Mencerahkan khazanah Islam

Advertisement

Jadwal Shalat
Tanggal
13/10/2024
Subuh
04:17
Terbit
05:29
Dhuha
05:56
Dhuhur
11:42
Ashar
14:46
Maghrib
17:49
Isya
18:58

النساۤء

4. An-Nisa'

Terdapat 176 ayat dan diturunkan di Madinah

Surat An Nisaa' yang terdiri dari 176 ayat itu, adalah surat Madaniyyah yang terpanjang sesudah surat Al Baqarah. Dinamakan An Nisaa' karena dalam surat ini banyak dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan wanita serta merupakan surat yang paling membicarakan hal itu dibanding dengan surat-surat yang lain. Surat yang lain banyak juga yang membicarakan tentang hal wanita ialah surat Ath Thalaq. Dalam hubungan ini biasa disebut surat An Nisaa' dengan sebutan: Surat An Nisaa' Al Kubraa (surat An Nisaa' yang besar), sedang surat Ath Thalaq disebut dengan sebutan: Surat An Nisaa' Ash Shughraa (surat An Nisaa' yang kecil).

Ayat 1

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

yā ayyuhan-nāsuttaqū rabbakumul-lażī khalaqakum min nafsiw wāḥidatiw wa khalaqa minhā zaujahā wa baṡṡa minhumā rijālan kaṡīraw wa nisā'ā(n), wattaqullāhal-lażī tasā'alūna bihī wal-arḥām(a), innallāha kāna ‘alaikum raqībā(n).

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.

Di dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada manusia agar bertakwa kepada Allah, yang memelihara manusia dan melimpahkan nikmat karunia-Nya. Dialah Yang menciptakan manusia dari seorang diri yaitu Adam. Dengan demikian, menurut jumhur mufasir, Adam adalah manusia pertama yang dijadikan oleh Allah. Kemudian dari diri yang satu itu Allah menciptakan pula pasangannya yang biasa disebut dengan nama Hawa. Dari Adam dan Hawa berkembang biaklah manusia. Dalam Al-Qur'an penciptaan Adam disebut dari tanah liat (al-Anam/6:2; as-Sajdah/32:7; Shad/38:71 dan dalam beberapa ayat lagi). Dalam an-Nisa/4:1 disebutkan "... dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari dirinya; ..." Kata-kata dalam Surah an-Nisa ayat pertama ini sering menimbulkan salah pengertian di kalangan awam, terutama di kalangan perempuan, karena ada anggapan bahwa perempuan diciptakan dari rusuk Adam, yang sering dipertanyakan oleh kalangan feminis. Ayat itu hanya menyebut ... wa khalaqa minha zaujaha, yang diterjemahkan dengan menciptakan pasangannya dari dirinya; lalu ada yang mengatakan bahwa perempuan itu diciptakan dari rusuk Adam, dan pernyataan yang terdapat dalam beberapa hadis ini ada yang mengira dari Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an nama Hawa pun tidak ada, yang ada hanya nama Adam. Nama Hawa (Eve) ada dalam Bibel ("Manusia itu memberi nama Hawa kepada isterinya, sebab dialah yang menjadi ibu semua yang hidup." (Kejadian iii. 20), (Hawwa dari kata bahasa Ibrani heva, dibaca: hawwah, yang berarti hidup). Pernyataan bahwa perempuan diciptakan dari rusuk laki-laki itu terdapat dalam Perjanjian Lama, Kitab Kejadian ii. 21 dan 22: "Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu."

Kemudian sekali lagi Allah memerintahkan kepada manusia untuk bertakwa kepada-Nya dan seringkali mempergunakan nama-Nya dalam berdoa untuk memperoleh kebutuhannya. Menurut kebiasaan orang Arab Jahiliah bila menanyakan sesuatu atau meminta sesuatu kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah. Allah juga memerintahkan agar manusia selalu memelihara silaturrahmi antara keluarga dengan membuat kebaikan dan kebajikan yang merupakan salah satu sarana pengikat silaturrahmi.

Ilmu Hayati Manusia (Human Biology) memberikan informasi kepada kita, bahwa manusia dengan kelamin laki-laki mempunyai sex-chromosome (kromosom kelamin) XY, sedang manusia dengan kelamin wanita mempunyai sex-chromosome XX. Ayat di atas menjelaskan bahwa "manusia diciptakan dari diri yang satu dan daripadanya Allah menciptakan istrinya". Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa 'diri yang satu itu tentu berjenis kelamin laki-laki, sebab kalimat berikutnya menyatakan, 'daripadanya diciptakan istrinya. Dari sudut pandang Human Biology hal itu sangatlah tepat, sebab sex-chromosome XY (laki-laki) dapat menurunkan kromosom XY atau XX; sedang kromosom XX (wanita) tidak mungkin akan membentuk XY, karena dari mana didapat kromosom Y? Jadi jelas bahwa laki-laki pada hakikatnya adalah penentu jenis kelamin dari keturunannya. Diri yang satu itu tidak lain adalah Adam.

Ayat 2

وَاٰتُوا الْيَتٰمٰىٓ اَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيْثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَهُمْ اِلٰٓى اَمْوَالِكُمْ ۗ اِنَّهٗ كَانَ حُوْبًا كَبِيْرًا

wa ātul-yatāmā amwālahum wa lā tatabaddalul-khabīṡa biṭ-ṭayyib(i), wa lā ta'kulū amwālahum ilā amwālikum, innahū kāna ḥūban kabīrā(n).

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.

Ayat ini ditujukan kepada para penerima amanat agar memelihara anak yatim dan hartanya. Anak yatim ialah setiap anak yang ayahnya telah meninggal dunia, dan masih kecil (belum mencapai usia dewasa).

Orang yang diserahi amanat untuk menjaga harta anak yatim haruslah memelihara harta tersebut dengan cara yang baik. Tidak boleh ia mencampurkan harta anak yatim itu dengan hartanya sendiri, sehingga tidak dapat dibedakan lagi mana yang harta anak yatim dan mana yang harta sendiri. Juga tidak dibenarkan ia memakan harta tersebut untuk dirinya sendiri apabila ia dalam keadaan mampu. Apabila hal tersebut dilakukan juga maka berarti ia telah memakan harta anak yatim dengan jalan yang tak benar. Dalam keadaan ini ia akan mendapat dosa yang besar. Apabila anak yatim itu telah mencapai umur dewasa dan cerdik mampu mengatur dan menggunakan harta, hendaklah hartanya itu segera diserahkan kepadanya, sebagaimana akan diterangkan pada ayat 5 surah ini.

Para mufasir dalam menafsirkan perkataan "anak yatim" dalam ayat ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "anak yatim" di sini ialah yang belum balig, sebagai pendahulu ayat 5 surah ini, sejalan dengan penafsiran yang dikemukakan di atas. Pendapat kedua menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "anak yatim" di sini ialah yang sudah balig, sejalan dengan sebab turunnya ayat ini, riwayat Ibnu Abi ¦atim dari Said bin Jubair bahwa seorang laki-laki dari suku Banu Gatafan menyimpan harta yang banyak milik anak yatim, yaitu anak saudara kandungnya. Ketika anak tersebut balig, dia meminta hartanya itu, tetapi pamannya tidak mau memberikannya. Hal ini diadukan kepada Nabi Muhammad saw, maka turunlah ayat ini.

As-salabi meriwayatkan dari Ibnu Muqatil dan al-Kalbi bahwa paman anak itu tatkala mendengar ayat ini berkata, "Kami taat kepada Allah dan Rasul-Nya, kami berlindung kepada Allah dari dosa besar."

Ayat 3

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

wa in khiftum allā tuqsiṭū fil-yatāmā fankiḥū mā ṭāba lakum minan-nisā'i maṡnā wa ṡulāṡa wa rubā‘(a), fa in khiftum allā ta‘dilū fa wāḥidatan au mā malakat aimānukum, żālika adnā allā ta‘ūlū.

Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.

Allah menjelaskan seandainya kamu tidak dapat berlaku adil atau tak dapat menahan diri dari makan harta anak yatim itu, bila kamu menikahinya, maka janganlah kamu menikahinya dengan tujuan menghabiskan hartanya, melainkan nikahkanlah ia dengan orang lain. Dan kamu pilihlah perempuan lain yang kamu senangi satu, dua, tiga, atau empat, dengan konsekuensi kamu memperlakukan istri-istri kamu itu dengan adil dalam pembagian waktu bermalam (giliran), nafkah, perumahan serta hal-hal yang berbentuk materi lainnya. Islam membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Tetapi pada dasarnya satu istri lebih baik, seperti dalam lanjutan ayat itu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang.

Apabila kamu tidak dapat melakukan semua itu dengan adil, maka cukuplah kamu nikah dengan seorang saja, atau memperlakukan sebagai istri hamba sahaya yang kamu miliki tanpa akad nikah dalam keadaan terpaksa. Kepada mereka telah cukup apabila kamu penuhi nafkah untuk kehidupannya. Hal tersebut merupakan suatu usaha yang baik agar kamu tidak terjerumus kepada perbuatan aniaya. Hamba sahaya dan perbudakan dalam pengertian ayat ini pada saat sekarang sudah tidak ada lagi karena Islam sudah berusaha memberantas dengan berbagai cara. Ketika Islam lahir perbudakan di dunia Barat dan Timur sangat subur dan menjadi institusi yang sah seperti yang dapat kita lihat dalam sejarah lama, dan dilukiskan juga dalam beberapa bagian dalam Bibel: Orang merdeka dapat menjadi budak hanya karena: tak dapat membayar utang, mencuri, sangat papa (sehingga terpaksa menjual diri), budak Yahudi dan bukan Yahudi (Gentile) statusnya berbeda dan sebagainya.

Nabi Muhammad diutus pada permulaan abad ke-7 M. Saat ia mulai berdakwah, perbudakan di sekitamya dan di Semenanjung Arab sangat subur dan sudah merupakan hal biasa. Sikapnya terhadap perbudakan, seperti dilukiskan dalam Al-Qur'an, sangat berbeda dengan sikap masyarakat pada umumnya. Ia mengajarkan perbudakan harus dihapus dan menghadapinya dengan sangat arif. Tanpa harus mengutuk perbudakan, ia mengajarkan agar budak diperlakukan dengan cara-cara yang manusiawi dan penghapusannya harus bertahap, tak dapat dengan sekaligus dan dengan cara radikal seperti dalam memberantas syirik dan paganisme. Dan tujuan akhirnya ialah menghapus perbudakan samasekali. Hal ini terlihat dalam beberapa ketentuan hukum Islam, seseorang dapat menghapus dosanya dengan memerdekakan seorang budak, yang juga menjadi ketentuan orang yang saleh dan bertakwa. Rasulullah telah memberi contoh nyata dengan memerdekakan seorang budak (Zaid) dan menempatkannya menjadi anggota keluarganya, diangkat sebagai anak angkatnya dan berstatus sama dengan status keluarga Quraisy.

Memang benar, rumah tangga yang baik dan harmonis dapat diwujudkan oleh pernikahan monogami. Adanya poligami dalam rumah tangga dapat menimbulkan banyak hal yang dapat mengganggu ketenteraman rumah tangga.

Manusia dengan fitrah kejadiannya memerlukan hal-hal yang dapat menyimpangkannya dari monogami. Hal tersebut bukanlah karena dorongan seks semata, tetapi justru untuk mencapai kemaslahatan mereka sendiri yang karenanya Allah membolehkan (menurut fuqaha) atau memberi hukum keringanan (rukhsah menurut ulama tafsir) kaum laki-laki untuk melakukan poligami (beristri lebih dari satu).

Adapun sebab-sebab yang membuat seseorang berpoligami adalah sebagai berikut:

a.Apabila dalam satu rumah tangga belum mempunyai seorang keturunan sedang istrinya menurut pemeriksaan dokter dalam keadaan mandul, padahal dari perkawinan diharapkan bisa mendapatkan keturunan, maka poligami merupakan jalan keluar yang paling baik.

b.Bagi kaum perempuan, masa berhenti haid (monopouse) lebih cepat datangnya, sebaliknya bagi seorang pria walau telah mencapai umur tua, dan kondisi fisiknya sehat ia masih membutuhkan pemenuhan hasrat seksualnya. Dalam keadaan ini apakah dibiarkan seorang pria itu berzina? Maka di sinilah dirasakan hikmah dibolehkanya poligami tersebut.

c.Sebagai akibat dari peperangan umpamanya jumlah kaum perempuan lebih banyak dari kaum laki-laki. Suasana ini lebih mudah menimbulkan hal-hal negatif bagi kehidupan masyarakat apabila tidak dibuka pintu poligami. Bahkan kecenderungan jumlah perempuan lebih banyak daripada jumlah lelaki saat ini sudah menjadi kenyataan, kendati tidak ada peperangan.

Ayat 4

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا

wa ātun-nisā'a ṣaduqātihinna niḥlah(tan), fa in ṭibna lakum ‘an syai'im minhu nafsan fa kulūhu hanī'am marī'ā(n).

Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.

Para suami agar memberikan mahar berupa sesuatu yang telah mereka janjikan kepada istri mereka pada waktu akad nikah yang terkenal dengan (mahar musamma) atau sejumlah mahar yang biasa diterima oleh keluarga istri yang terkenal dengan (mahar misil) karena tidak ada ketentuan mengenai jumlah itu sebelumnya.

Pemberian mahar ini adalah merupakan tanda kasih sayang dan menjadi bukti adanya ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membangun rumah tangga. Namun apabila istri rela dan ikhlas, maka dalam hal ini tidak mengapa jika suami turut memanfaatkan mahar tersebut. Ayat ini menunjukkan bahwa maskawin adalah disyariatkan oleh agama. Pada masa jahiliah menikah tanpa maskawin.

Ayat 5

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاۤءَ اَمْوَالَكُمُ الَّتِيْ جَعَلَ اللّٰهُ لَكُمْ قِيٰمًا وَّارْزُقُوْهُمْ فِيْهَا وَاكْسُوْهُمْ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا

wa lā tu'tus-sufahā'a amwālakumul-latī ja‘alallāhu lakum qiyāmaw warzuqūhum fīhā waksūhum wa qūlū lahum qaulam ma‘rūfā(n).

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.

Para wali dan pelaksana wasiat (wasi) yang memelihara anak yatim agar menyerahkan harta anak yatim yang ada dalam kekuasaannya apabila anak yatim itu telah dewasa dan telah dapat menjaga hartanya. Apabila belum mampu maka tetaplah harta tersebut dipelihara dengan sebaik-baiknya karena harta adalah modal kehidupan.

Segala keperluan anak yatim seperti pakaian, makanan, pendidikan, pengobatan dan sebagainya dapat diambil dari keuntungan harta itu apabila harta tersebut diusahakan (diinvestasikan). Kepada mereka hendaklah berkata lemah lembut penuh kasih sayang dan memperlakukan mereka seperti anak sendiri.

Ayat 6

وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَۚ فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ ۚ وَلَا تَأْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْا ۗ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۚ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ فَاِذَا دَفَعْتُمْ اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ فَاَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْ ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيْبًا

wabtalul-yatāmā ḥattā iżā balagun-nikāḥ(a), fa in ānastum minhum rusydan fadfa‘ū ilaihim amwālahum, wa lā ta'kulūhā isrāfaw wa bidāran ay yakbarū, wa man kāna ganiyyan falyasta‘fif, wa man kāna faqīran falya'kul bil-ma‘rūf(i), fa iżā dafa‘tum ilaihim amwālahum fa asyhidū ‘alaihim, wa kafā billāhi ḥasībā(n).

Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas.

Sebelum harta diserahkan kepada anak yatim, apabila mereka telah balig dan mampu dalam menggunakan harta maka terlebih dahulu kepada mereka diberikan ujian. Apakah benar-benar ia telah dapat memelihara dan menggunakan hartanya dengan baik, sebagaimana dipahami oleh Mazhab Syafii. Mazhab Hanafi mewajibkan wali menyerahkan harta pada umur dewasa dengan syarat cerdas, mampu dan pada umur 25 tahun walaupun dalam keadaan tidak cerdas.

Janganlah para wali ikut mengambil atau memakan harta anak yatim secara berlebiban. Apabila wali termasuk orang yang mampu hendaklah ia menahan diri agar tidak ikut memakan harta anak yatim tersebut. Tetapi apabila wali memang orang yang dalam keadaan kekurangan, maka boleh ia ikut memakannya secara baik dan tidak melampaui batas.

Apabila masa penyerahan di atas telah tiba, hendaklah penyerahan itu dilakukan di hadapan dua orang saksi untuk menghindarkan adanya perselisihan di kemudian hari. Allah selalu menyaksikan dan mengawasi apa yang dikerjakan oleh manusia. Tidak ada hal yang tersembunyi bagi-Nya baik di bumi maupun di langit.

Ayat 7

لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَۖ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ ۗ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا

lir-rijāli naṣībum mimmā tarakal-wālidāni wal-aqrabūn(a), wa lin-nisā'i naṣībum mimmā tarakal-wālidāni wal-aqrabūna mimmā qalla minhu au kaṡur(a), naṣībam mafrūḍā(n).

Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.

Apabila anak yatim mendapat peninggalan harta dari kedua orang tuanya atau kerabatnya yang lain mereka sama mempunyai hak dan bagian. Masing-masing mereka akan mendapat bagian yang telah ditentukan oleh Allah. Tak seorang pun dapat mengambil atau mengurangi hak mereka.

Ayat 8

وَاِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ اُولُوا الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنُ فَارْزُقُوْهُمْ مِّنْهُ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا

wa iżā ḥaḍaral-qismata ulul-qurbā wal-yatāmā wal-masākīnu farzuqūhum minhu wa qūlū lahum qaulam ma‘rūfā(n).

Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.

Dan apabila pada waktu diadakan pembagian harta warisan ikut hadir pula kaum kerabat yang tidak berhak mendapat warisan, begitu juga para fakir miskin atau anak yatim, maka kepada mereka sebaiknya diberikan juga sedikit bagian sebagai hadiah menurut keikhlasan para ahli waris agar mereka tidak hanya menyaksikan saja ahli waris mendapat bagian. Dan kepada mereka seraya memberikan hadiah tersebut diucapkan kata-kata yang menyenangkan hati mereka. Ini sangat bermanfaat sekali untuk menjaga silaturahmi dan persaudaraan agar tidak diputuskan oleh hasad dan dengki. Di samping itu, bagi para ahli waris hal ini menunjukkan rasa syukur kepada Allah.

Ayat 9

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا

walyakhsyal-lażīna lau tarakū min khalfihim żurriyyatan ḍi‘āfan khāfū ‘alaihim, falyattaqullāha walyaqūlū qaulan sadīdā(n).

Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.

Orang yang telah mendekati akhir hayatnya diperingatkan agar mereka memikirkan, janganlah meninggalkan anak-anak atau keluarga yang lemah terutama tentang kesejahteraan hidup mereka di kemudian hari. Untuk itu selalu bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah. Selalu berkata lemah lembut, terutama kepada anak yatim yang menjadi tanggung jawab mereka. Perlakukanlah mereka seperti memperlakukan anak kandung sendiri.

Ayat 10

اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتٰمٰى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا ۗ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا ࣖ

innal-lażīna ya'kulūna amwālal-yatāmā ẓulman innamā ya'kulūna fī buṭūnihim nārā(n), wa sayaṣlauna sa‘īrā(n).

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

Sekali lagi peringatan ini diberikan kepada orang yang tidak berlaku adil dan berlaku zalim terhadap anak yatim yang ada dalam asuhan mereka. Siapa yang ikut makan harta anak yatim secara zalim yakni tidak mengindahkan peraturan yang telah ditetapkan Allah, mereka seakan-akan memenuhi perut mereka dengan api.

Ayat 11

يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ ۚ فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۚ وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۗ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗٓ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهٗٓ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

yūṣīkumullāhu fī aulādikum liż-żakari miṡlu ḥaẓẓil-unṡayain(i), fa in kunna nisā'an fauqaṡnataini fa lahunna ṡuluṡā mā tarak(a), wa in kānat wāḥidatan fa lahan-niṣf(u), wa li abawaihi likulli wāḥidim minhumas-sudusu mimmā taraka in kāna lahū walad(un), fa illam yakul lahū waladuw wa wariṡahū abawāhu fa li'ummihiṡ-ṡuluṡ(u), fa in kāna lahū ikhwatun fa li'ummihis-sudusu mim ba‘di waṣiyyatiy yūṣī bihā au dain(in), ābā'ukum wa abnā'ukum, lā tadrūna ayyuhum aqrabu lakum naf‘ā(n), farīḍatam minallāh(i), innallāha kāna ‘alīman ḥakīmā(n).

Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

Adapun sebab turun ayat ini menurut hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Tirmizi dari sahabat Jabir yang artinya: Telah datang kepada Rasulullah saw istri Saad bin Rabi dan berkata, "Wahai Rasulullah! Ini adalah dua anak perempuan Saad bin Rabi. Ia telah gugur dalam Perang Uhud, seluruh hartanya telah diambil pamannya dan tak ada yang ditinggalkan untuk mereka sedangkan mereka tak dapat menikah bila tidak memiliki harta." Rasulullah saw berkata, "Allah akan memberikan hukumnya," maka turunlah ayat warisan. Kemudian Rasulullah mendatangi paman kedua anak tersebut dan berkata, "Berikan dua pertiga dari harta Saad kepada anaknya dan kepada ibunya berikan seperdelapannya, sedang sisanya ambillah untuk kamu."

Dalam ayat ini Allah menyampaikan wasiat yang mewajibkan kepada kaum Muslimin yang telah mukalaf untuk menyelesaikan harta warisan bagi anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya, baik mereka laki-laki atau perempuan. Apabila ahli waris itu terdiri dari anak-anak laki-laki dan perempuan, maka berikan kepada yang laki-laki dua bagian dan kepada yang perempuan satu bagian. Adapun hikmah anak laki-laki mendapat dua bagian, karena laki-laki memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan nafkah istrinya serta anaknya, sedang perempuan hanya memerlukan biaya untuk diri sendiri. Adapun apabila ia telah menikah maka kewajiban nafkah itu ditanggung oleh suaminya. Karena itu wajarlah jika ia diberikan satu bagian.

Yang dimaksud anak atau ahli waris lainnya dalam ayat ini adalah secara umum. Kecuali karena ada halangan yang menyebabkan anak atau ahli waris lainnya tidak mendapat hak warisan. Adapun yang dapat menghalangi seseorang menerima hak warisannya adalah:

1.Berlainan agama, sebagaimana sabda Rasulullah saw:

"Tidak saling mewarisi antara orang-orang yang berlainan agama." (Riwayat Ibnu Majah).

2.Membunuh pewaris. Ini berdasarkan hadis dan ijma.

3.Bila ahli waris menjadi hamba sahaya.

4.Harta peninggalan para nabi tidak boleh dibagi-bagi sebagai warisan.

Selanjutnya ditentukan oleh Allah apabila seseorang wafat hanya mempunyai anak perempuan yang jumlahnya lebih dari dua orang dan tidak ada anak laki-laki, maka mereka mendapat dua pertiga dari jumlah harta, lalu dibagi rata di antara mereka masing-masing. Tetapi apabila yang ditinggalkan itu anak perempuan hanya seorang diri maka ia mendapat seperdua dari jumlah harta warisan. Sisa harta yang sepertiga (kalau hanya meninggalkan dua anak perempuan) atau yang seperdua (bagi yang meninggalkan hanya seorang anak perempuan) dibagikan kepada ahli waris yang lain sesuai dengan ketentuan masing-masing.

Perlu ditambahkan di sini bahwa menurut bunyi ayat, anak perempuan mendapat 2/3 apabila jumlahnya lebih dari dua atau dengan kata lain mulai dari 3 ke atas. Tidak disebutkan berapa bagian apabila anak perempuan tersebut hanya dua orang. Menurut pendapat jumhur ulama bahwa mereka yang dimasukkan pada jumlah tiga ke atas mendapat 2/3 dari harta warisan.

Dari perincian di atas, diketahui bahwa anak perempuan tidak pernah menghabiskan semua harta. Paling banyak hanya memperoleh 1/2 dari jumlah harta. Berbeda dengan anak laki-laki, apabila tidak ada waris yang lain dan ia hanya seorang diri, maka ia mengambil semua harta warisan. Dan apabila anak laki-laki lebih dari seorang maka dibagi rata di antara mereka. Tentang hikmah dan perbedaan ini telah diterangkan di atas.

Dijelaskan pula tentang hak kedua orang tua. Apabila seseorang meninggal dunia dan ia meninggalkan anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka masing-masing orang tua yaitu ibu dan bapak mendapat 1/6 dari jumlah harta. Sebaliknya apabila ia tidak meninggalkan anak, maka ibu mendapat 1/3 dari jumlah harta dan sisanya diberikan kepada bapak. Apabila yang meninggal itu selain meninggalkan ibu-bapak ada pula saudara-saudaranya yang lain, laki-laki atau perempuan dua ke atas, menurut jumhur maka ibu mendapat 1/6 dan bapak mendapat sisanya.

Setelah diterangkan jumlah pembagian untuk anak, ibu dan bapak, diterangkan lagi bahwa pembagian tersebut barulah dilaksanakan setelah lebih dahulu diselesaikan urusan wasiat dan utangnya. Walaupun dalam ayat mendahulukan penyebutan wasiat dari utang namun dalam pelaksanaannya menurut Sunah Rasul hendaklah didahulukan pembayaran utang.

Di antara orang tua dan anak, kamu tidak mengetahui mana yang lebih dekat atau yang lebih memberi manfaat bagi kamu. Oleh karena itu janganlah kamu membagi harta warisan sebagaimana yang dilakukan oleh orang jahiliah yang memberikan hak warisan hanya kepada orang yang dianggap dapat ikut perang akan membela keluarganya dan tidak memberikan hak warisan sama sekali bagi anak kecil dan kaum perempuan. Ikutilah apa yang ditentukan Allah karena Dialah yang lebih tahu mana yang bermanfaat untuk kamu baik di dunia maupun di akhirat. Hukum warisan tersebut adalah suatu ketentuan dari Allah yang wajib dilaksanakan oleh kaum Muslimin. Ketahuilah bahwa Allah Mengetahui segala sesuatu dan apa yang ditentukan-Nya pastilah mengandung manfaat untuk kemaslahatan manusia.

Ayat 12

۞ وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امْرَاَةٌ وَّلَهٗٓ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُۚ فَاِنْ كَانُوْٓا اَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاۤءُ فِى الثُّلُثِ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصٰى بِهَآ اَوْ دَيْنٍۙ غَيْرَ مُضَاۤرٍّ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌۗ

wa lakum niṣfu mā taraka azwājukum illam yakul lahunna walad(un), fa in kāna lahunna waladun fa lakumur-rubu‘u mimmā tarakna mim ba‘di waṣiyyatiy yūṣīna bihā au dain(in), wa lahunnar-rubu‘u mimmā taraktum illam yakul lakum walad(un), fa in kāna lakum waladun fa lahunnaṡ-ṡumunu mimmā taraktum mim ba‘di waṣiyyatiy tūṣūna bihā au dain(in), wa in kāna rajuluy yūraṡu kalālatan awimra'atuw wa lahū akhun au ukhtun fa likulli wāḥidatim minhumas-sudus(u), fa in kānū akṡara min żālika fa hum syurakā'u fiṡ-ṡuluṡi mim ba‘di waṣiyyatiy yūṣā bihā au dain(in), gaira muḍārr(in), waṣiyyatam minallāh(i), wallāhu ‘alīmun ḥalīm(un).

Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.

Ayat ini menjelaskan perincian pembagian hak waris untuk suami atau istri yang ditinggal mati. Suami yang ditinggalkan mati oleh istrinya jika tidak ada anak maka ia mendapat ½ dari harta, tetapi bila ada anak, ia mendapat ¼ dari harta warisan. Ini juga baru diberikan setelah lebih dahulu diselesaikan wasiat atau utang almarhum. Adapun istri yang ditinggalkan mati suaminya dan tidak meninggalkan anak maka ia mendapat ¼ dari harta, tetapi bila ada anak, istri mendapat 1/8. Lalu diingatkan bahwa hak tersebut baru diberikan setelah menyelesaikan urusan wasiat dan utangnya.

Apabila seseorang meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan bapak maupun anak, tapi hanya meninggalkan saudara laki-laki atau perempuan yang seibu saja maka masing-masing saudara seibu itu apabila seorang diri bagiannya adalah 1/6 dari harta warisan dan apabila lebih dari seorang, mereka mendapat 1/3 dan kemudian dibagi rata di antara mereka. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Allah menerangkan juga bahwa ini dilaksanakan setelah menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan wasiat dan utang almarhum. Allah memperingatkan agar wasiat itu hendaklah tidak memberi mudarat kepada ahli waris. Umpama seorang berwasiat semata-mata agar harta warisannya berkurang atau berwasiat lebih dari 1/3 hartanya. Ini semua merugikan para ahli waris.

Ayat 13

تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ ۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ يُدْخِلْهُ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا ۗ وَذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ

tilka ḥudūdullāh(i), wa may yuṭi‘illāha wa rasūlahū yudkhilhu jannātin tajrī min taḥtihal-anhāru khālidīna fīhā, wa żālikal-fauzul-‘aẓīm(u).

Itulah batas-batas (hukum) Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang agung.

Semua ini merupakan ketentuan dari Allah yang harus dilaksanakan oleh orang yang bertakwa kepada-Nya. Allah Maha Mengetahui apa yang lebih bermanfaat untuk manusia dan Maha Penyantun. Dia tidak segera memberi hukuman kepada hamba-Nya yang tidak taat agar ada kesempatan baginya untuk bertobat dan kembali kepada jalan yang diridai-Nya.

Barang siapa yang taat melaksanakan apa yang disyariatkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, kepada mereka akan diberikan kebahagiaan hidup di akhirat.

Ayat 14

وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَتَعَدَّ حُدُوْدَهٗ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيْهَاۖ وَلَهٗ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ ࣖ

wa may ya‘ṣillāha wa rasūlahū wa yata‘adda ḥudūdahū yudkhilhu nāran khālidan fīhā, wa lahū ‘ażābum muhīn(un).

Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang menghinakan.

Sebaliknya barang siapa yang durhaka dan tidak mematuhi apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya maka Allah memberikan peringatan akan memasukkan orang tersebut ke dalam neraka yang penuh siksa dan derita.

Ayat 15

وَالّٰتِيْ يَأْتِيْنَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِّسَاۤىِٕكُمْ فَاسْتَشْهِدُوْا عَلَيْهِنَّ اَرْبَعَةً مِّنْكُمْ ۚ فَاِنْ شَهِدُوْا فَاَمْسِكُوْهُنَّ فِى الْبُيُوْتِ حَتّٰى يَتَوَفّٰىهُنَّ الْمَوْتُ اَوْ يَجْعَلَ اللّٰهُ لَهُنَّ سَبِيْلًا

wal-lātī ya'tīnal-fāḥisyata min nisā'ikum fastasyhidū ‘alaihinna arba‘atam minkum, fa in syahidū fa amsikūhunna fil-buyūti ḥattā yatawaffāhunnal-mautu au yaj‘alallāhu lahunna sabīlā(n).

Dan para perempuan yang melakukan perbuatan keji di antara perempuan-perempuan kamu, hendaklah terhadap mereka ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Apabila mereka telah memberi kesaksian, maka kurunglah mereka (perempuan itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan (yang lain) kepadanya.

Tentang hukum yang berhubungan dengan orang yang melakukan perbuatan keji (zina). Bahwa apabila terdapat di antara perempuan Muslimah yang pernah bersuami (muhsanah) melakukan perbuatan keji, maka sebelum dilakukan hukuman kepada mereka haruslah diteliti dahulu oleh empat orang saksi laki-laki yang adil. Apabila kesaksian mereka dapat diterima, maka perempuan itu harus dikurung atau dipenjara di dalam rumahnya tidak boleh keluar sampai menemui ajalnya.

Menurut ahli tafsir, jalan keluar yang diberikan Allah dan Rasul-Nya yaitu dengan datangnya hukuman zina yang lebih jelas yakni dengan turunnya ayat ke-2 Surah an-Nur yang kemudian diperinci lagi oleh Nabi dengan hadisnya, yaitu apabila pezina itu sudah pernah kawin, maka hukumannya rajam, yakni dilempari batu hingga mati dan apabila perawan/jejaka maka didera seratus kali, demikian menurut suatu riwayat.

Ayat 16

وَالَّذٰنِ يَأْتِيٰنِهَا مِنْكُمْ فَاٰذُوْهُمَا ۚ فَاِنْ تَابَا وَاَصْلَحَا فَاَعْرِضُوْا عَنْهُمَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا

wal-lażāni ya'tiyānihā minkum fa āżūhumā, fa in tābā wa aṣlaḥā fa a‘riḍū ‘anhumā, innallāha kāna tawwābar raḥīmā(n).

Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya. Jika keduanya tobat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.

Adapun terhadap orang yang belum pernah kawin, laki-laki atau perempuan yang melakukan zina, apabila telah lengkap saksi sebagaimana disebut dalam ayat 15 di atas maka hukuman mereka diserahkan kepada umat Islam pada masa itu, hukuman apa yang dianggap wajar/sesuai dengan perbuatannya. Hukuman ini sementara menjelang turunnya ayat ke-2 Surah an-Nur dengan perincian hadis Nabi sebagaimana tersebut di atas.

Hukuman ini dilakukan selama keduanya belum tobat dan menyesal atas perbuatan mereka. Apabila mereka bertobat hendaklah diterima dan dihentikan hukuman atas mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-Nya. Demikianlah hukuman terhadap perbuatan zina pada permulaan Islam sebelum turunnya ayat-ayat mengenai hukuman zina (rajam atau dera).

Ayat 17

اِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللّٰهِ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السُّوْۤءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوْبُوْنَ مِنْ قَرِيْبٍ فَاُولٰۤىِٕكَ يَتُوْبُ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

innamat-taubatu ‘alallāhi lil-lażīna ya‘malūnas-sū'a bijahālatin ṡumma yatūbūna min qarībin fa ulā'ika yatūbullāhu ‘alaihim, wa kānallāhu ‘alīman ḥakīmā(n).

Sesungguhnya bertobat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti, kemudian segera bertobat. Tobat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

Tobat seseorang dapat diterima apabila dia melakukan perbuatan maksiat yakni durhaka kepada Allah baik dengan sengaja atau tidak, atau dilakukan karena kurang pengetahuannya, atau karena kurang kesabarannya atau karena benar-benar tidak mengetahui bahwa perbuatan itu terlarang, kemudian datanglah kesadarannya, lalu ia menyesal atas perbuatannya dan ia segera bertobat meminta ampun atas segala kesalahannya dan berjanji dengan sepenuh hatinya tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut. Orang-orang yang demikianlah yang tobatnya diterima Allah, karena Allah Maha Mengetahui akan kelemahan hamba-Nya dan mengetahui pula keadaan hamba-Nya yang dalam keadaan lemah, tidak terlepas dari berbuat salah dengan sengaja atau tidak.

Ayat 18

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السَّيِّاٰتِۚ حَتّٰىٓ اِذَا حَضَرَ اَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ اِنِّيْ تُبْتُ الْـٰٔنَ وَلَا الَّذِيْنَ يَمُوْتُوْنَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۗ اُولٰۤىِٕكَ اَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا

wa laisatit-taubatu lil-lażīna ya‘malūnas-sayyi'āt(i), ḥattā iżā ḥaḍara aḥadahumul-mautu qāla innī tubtul-āna wa lal-lażīna yamūtūna wa hum kuffār(un), ulā'ika a‘tadnā lahum ‘ażāban alīmā(n).

Dan tobat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, “Saya benar-benar bertobat sekarang.” Dan tidak (pula diterima tobat) dari orang-orang yang meninggal sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan azab yang pedih.

Tetapi tobat tidak akan diterima Allah jika datangnya dari orang yang selalu bergelimang dosa sehingga ajalnya datang barulah ia bertobat. Orang semacam ini seluruh kehidupannya penuh dengan noda dan dosa, tidak terdapat padanya amal kebajikan walau sedikit pun. Bertobat pada waktu seseorang telah mendekati ajalnya sebenarnya bukanlah penyesalan atas dosa dan kesalahan, melainkan karena ia telah putus asa untuk menikmati hidup selanjutnya. Jadi tobatnya hanyalah suatu kebohongan belaka.

Begitu pula Allah tidak akan menerima tobat dari orang yang mati dalam keadaan kafir, ingkar kepada agama Allah. Kepada mereka ini yakni orang yang baru bertobat setelah maut berada di hadapannya atau orang yang mati dalam keingkarannya, Allah mengancam akan memberikan azab yang pedih nanti di hari perhitungan sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya semasa hidupnya di dunia.

Tingkat orang yang melakukan tobat yang telah diperingatkan ini diperinci oleh para sufi sebagai berikut:

1.Ada orang yang memiliki jiwa yang pada dasarnya (fitrahnya) sempurna dan selalu dalam kebaikan. Orang yang demikian apabila suatu waktu tanpa kesengajaan berbuat kesalahan walau sekecil apapun ia akan merasakannya sebagai suatu hal yang sangat besar. Ia sangat menyesal atas kejadian tersebut dan segera ia memperbaiki kesalahannya dan menjauhkan diri dari perbuatan itu. Nafsu yang demikian disebut dengan nafs mutmainnah.

2.Ada kalanya seseorang memiliki jiwa yang memang pada dasarnya labil, goyah, sehingga segala tindak tanduknya dikemudikan oleh nafsu dan syahwatnya saja. Sifat yang sudah demikian mendalam pada dirinya dan telah mendarah daging. Setelah sekian lama ia bergelimang dosa dengan memperturutkan kehendak hawa nafsunya akhirnya datanglah hidayah dan taufik Allah kepadanya sehingga ia sadar dan berjuang untuk memperbaiki tindakannya yang salah dan ia kembali pada tuntunan yang diberikan Allah. Hal semacam ini memang jarang terjadi dan bagi yang mendapatkannya benar-benar merupakan orang yang diberi petunjuk oleh Allah. Nafsu yang seperti di atas disebut nafs ammarah.

3.Ada pula orang yang memiliki jiwa di mana untuk mengerjakan dosa besar ia dapat mawas diri, sehingga ia tidak pernah mengerjakannya, tetapi mengenai dosa kecil sering dilakukannya, dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, kadang-kadang nafsu dan syahwatnya dapat ditundukkan dan menanglah petunjuk bahkan kadang-kadang terjadi sebaliknya. Nafsu yang demikian disebut dengan nafs musawwilah.

4.Terakhir ada pula orang yang memiliki nafs lawwamah. Orang ini sama sekali tidak dapat menghindarkan diri dari perbuatan dosa, baik besar maupun kecil. Apabila ia mengerjakan dosa maka datang kesadarannya dan ia bertobat minta ampun. Tetapi suatu saat datang lagi dorongan nafsu syahwatnya untuk berbuat dosa dan ia kerjakan pula dan kemudian bertobat lagi sesudah datang kesadarannya, begitulah seterusnya. Tobat yang demikian itu adalah tobat yang terendah derajatnya, namun begitu kepada orang seperti ini tetap dianjurkan agar selalu mengharap ampunan dari Allah.

Ayat 19

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

yā ayyuhal-lażīna āmanū lā yaḥillu lakum an tariṡun-nisā'a karhā(n), wa lā ta‘ḍulūhunna litażhabū biba‘ḍi mā ātaitumūhunna illā ay ya'tīna bifāḥisyatim mubayyinah(tin), wa ‘āsyirūhunna bil-ma‘rūf(i), fa in karihtumūhunna fa ‘asā an takrahū syai'aw wa yaj‘alallāhu fīhi khairan kaṡīrā(n).

Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.

Ayat ini tidak berarti bahwa mewariskan perempuan tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut sebagian adat Arab jahiliah apabila seseorang meninggal, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dinikahi sendiri atau dinikahkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan menikah lagi.

Kaum Muslimin dilarang meneruskan adat Arab jahiliah yang mewarisi dan menguasai kaum perempuan dengan paksa. Hal demikian sangat menyiksa dan merendahkan martabat kaum perempuan. Juga tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang menyusahkan dan memudaratkan perempuan seperti mengharuskan mereka mengembalikan mahar yang pernah diterima dari suaminya ketika perkawinan dahulu kepada ahli waris almarhum suaminya itu sebagai tebusan bagi diri mereka, sehingga mereka boleh kawin lagi dengan laki-laki yang lain.

Ayat di atas menjelaskan larangannya dengan melarang menikah dengan mereka dan tidak boleh kaum Muslimin mengambil apa saja yang pernah diberikannya kepada istri atau istri salah seorang ahli waris, kecuali apabila mereka melakukan pekerjaaan keji yang nyata, seperti tidak taat, berzina, mencuri dan sebagainya. Kecelakaan yang dilakukannya juga kadang kala disebabkan oleh harta tersebut.

Para suami agar bergaul dengan istri dengan baik. Jangan kikir dalam memberi nafkah, jangan sampai memarahinya dengan kemarahan yang melewati batas atau memukulnya atau selalu bermuka muram terhadap mereka. Seandainya suami membenci istri dikarenakan istri itu mempunyai cacat pada tubuhnya atau terdapat sifat-sifat yang tidak disenangi atau kebencian serius kepada istrinya timbul karena hatinya telah terpaut kepada perempuan lain, maka hendaklah suami bersabar, jangan terburu-buru menceraikan mereka. Mudah-mudahan yang dibenci oleh suami itu justru yang akan mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan kepada mereka.

Ayat 20

وَاِنْ اَرَدْتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍۙ وَّاٰتَيْتُمْ اِحْدٰىهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْـًٔا ۗ اَتَأْخُذُوْنَهٗ بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا

wa in arattumustibdāla zaujim makāna zauj(in), wa ātaitum iḥdāhunna qinṭāran falā ta'khużū minhu syai'ā(n), ata'khużūnahū buhtānaw wa iṡmam mubīnā(n).

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?

Apabila di antara para suami ingin mengganti istrinya dengan istri yang lain, karena ia tidak dapat lagi mempertahankan kesabaran atas ketidaksenangannya kepada istrinya itu, dan istri tidak pula melakukan tindak kejahatan, maka janganlah suami mengambil barang atau harta yang telah diberikan kepadanya.

Bahkan suami wajib memberikan hadiah penghibur kepadanya sebab perpisahan itu bukanlah atas kesalahan ataupun permintaan dari istri, tapi semata-mata kerena suami mencari kemaslahatan bagi dirinya sendiri. Allah memperingatkan: apakah suami mau menjadi orang yang berdosa dengan tetap meminta kembali harta mereka dengan alasan yang dicari-cari? Karena tidak jarang suami membuat tuduhan-tuduhan jelek terhadap istrinya agar ada alasan baginya untuk menceraikan dan minta kembali harta yang telah diberikannya.

Ayat 21

وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهٗ وَقَدْ اَفْضٰى بَعْضُكُمْ اِلٰى بَعْضٍ وَّاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًا

wa kaifa ta'khużūnahū wa qad afḍā ba‘ḍukum ilā ba‘ḍiw wa akhażna minkum mīṡāqan galīẓā(n).

Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.

Bagaimana mungkin suami akan mengambil kembali harta tersebut karena perpisahan itu semata-mata memperturutkan hawa nafsunya belaka, bukan untuk menurut aturan-aturan yang digariskan Allah, sedangkan antara suami istri telah terjalin suatu ikatan yang kukuh, telah bergaul sebagai suami istri sekian lamanya dan tak ada pula kesalahan yang diperbuat oleh istri. Di samping itu, istri telah pula menjalankan tugasnya dan memberikan hak-hak suami dengan baik dan telah lama pula ia mendampingi suami dengan segala suka dukanya. Jadi tidaklah ada alasan bagi suami untuk menuntut yang bukan-bukan dari harta yang telah diberikan kepada istrinya itu.

Ayat 22

وَلَا تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ اٰبَاۤؤُكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً وَّمَقْتًاۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا ࣖ

wa lā tankiḥū mā nakaḥa ābā'ukum minan-nisā'i illā mā qad salaf(a), innahū kāna fāḥisyataw wa maqtā(n), wa sā'a sabīlā(n).

Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).

Haram hukumnya menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh bapak kecuali terhadap perbuatan yang telah lalu sebelum turunnya ayat ini, maka hal itu dimaafkan oleh Allah. Allah melarang perbuatan tersebut karena sangat keji, bertentangan dengan akal sehat, sangat buruk karena dimurkai Allah dan sejahat-jahat jalan menurut adat istiadat manusia yang beradab.

Ayat 23

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ۔

Ḥurrimat ‘alaikum ummahātukum wa banātukum wa akhawātukum wa ‘ammātukum wa khālātukum wa banātul-akhi wa banātul-ukhti wa ummahātukumul-lātī arḍa‘nakum wa akhawātukum minar-raḍā‘ati wa ummahātu nisā'ikum wa rabā'ibukumul-lātī fī ḥujūrikum min nisā'ikumul-lātī dakhaltum bihinn(a), fa illam takūnū dakhaltum bihinna falā junāḥa ‘alaikum, wa ḥalā'ilu abnā'ikumul-lażīna min aṣlābikum, wa an tajma‘ū bainal-ukhtaini illā mā qad salaf(a), innallāha kāna gafūrar raḥīmā(n).

Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Perempuan lain yang juga haram dinikahi terdiri dari:

1.Dari segi nasab (keturunan)

a.Ibu, termasuk nenek dan seterusnya ke atas.

b.Anak, termasuk cucu dan seterusnya ke bawah.

c.Saudara perempuan, baik sekandung, sebapak atau seibu saja.

d.Saudara perempuan dari bapak maupun dari ibu.

c.Kemenakan perempuan baik dari saudara laki-laki atau dari saudara perempuan.

2.Dari segi penyusuan:

a.Ibu yang menyusui (ibu susuan).

b.Saudara-saudara perempuan sesusuan.

c .Dan selanjutnya perempuan-perempuan yang haram dikawini karena senasab haram pula dikawini karena sesusuan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw:

"Diharamkan karena susuan apa yang diharamkan karena nasab." (Hadis Muttafaq 'alaih).

Dapat ditambahkan di sini masalah berapa kali menyusu yang dapat mengharamkan perkawinan itu ada beberapa pendapat:

a.Ali bin Abi Talib, Ibnu Abbas, Hasan, az-Zuhri, Qatadah, Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa tidak ada ukuran yang tertentu untuk mengharamkan pernikahan. Banyak atau sedikit asal sudah diketahui dengan jelas anak itu menyusu, maka sudah cukup menjadikan ia anak susuan. Pendapat ini mereka ambil berdasarkan zahir ayat yang tidak menyebutkan tentang batasan susuan.

b.Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad berpendapat bahwa batasan penyusuan tersebut adalah minimal tiga kali menyusu barulah menjadi anak susuan. Ini didasarkan pada suatu riwayat yang artinya: "Sekali atau dua kali menyusu tidaklah mengharamkan."

c.Abdullah bin Masud, Abdullah bin Zubair, Syafii dan Hambali berpendapat bahwa ukurannya adalah paling sedikit lima kali menyusu.

Demikian juga tentang berapakah batas umur si anak yang menyusu itu, dalam hal ini para ulama mempunyai pendapat:

a. Umur si anak tidak boleh lebih dari dua tahun. Pendapat ini diambil berdasarkan firman Allah:

Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna¦ (al-Baqarah/2: 233).

Juga sabda Rasulullah saw yang artinya, "Tidak dianggap sepersususan kecuali pada umur dua tahun" (Riwayat Ibnu Abbas). Pendapat ini dipegang oleh Umar, Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Syafii, Ahmad, Abu Yusuf dan Muhammad.

b.Batasan umur adalah sebelum datang masa menyapih (berhenti menyusu). Jika si anak sudah disapih walau belum cukup umur dua tahun tidak lagi dianggap anak susuan. Sebaliknya umurnya telah lebih dari dua tahun tapi belum disapih, maka jika dia disusukan, tetaplah berlaku hukum sepersusuan. Pendapat ini dipegang oleh az-Zuhri, Hasan, Qatadah dan salah satu dari riwayat Ibnu Abbas.

3.Dari segi perkawinan:

a.Ibu dari istri (mertua) dan seterusnya ke atas.

b.Anak dari istri (anak tiri) yang ibunya telah dicampuri, dan seterusnya ke bawah.

c.Istri anak (menantu) dan seterusnya ke bawah seperti istri cucu.

Perlu dicatat dalam mengharamkan menikahi anak tiri, disebutkan "yang dalam pemeliharaanmu," bukanlah berarti bahwa yang di luar pemeliharaannya boleh dinikahi. Hal ini disebut hanyalah karena menurut kebiasaan saja yaitu perempuan yang kawin lagi sedang ia mempunyai anak yang masih dalam pemeliharaannya biasanya suami yang baru itulah yang bertanggung jawab terhadap anak itu dan memeliharanya. Kemudian ditambahkan apabila si ibu belum dicampuri lalu diceraikan maka diperbolehkan menikahi anak tiri tersebut.

4.Diharamkan juga menikahi perempuan karena adanya suatu sebab dengan pengertian apabila hilang sebab tersebut maka hilang pula keharamannya, yaitu seperti menghimpun (mempermadukan) dua orang bersaudara. Demikian pula mempermadukan seseorang dengan bibinya. Yang terakhir ini berdasarkan hadis Rasulullah saw. Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Tidak boleh menghimpun antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara perempuan ayah) dan antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara perempuan ibu)." (Riwayat al-Bukhari)

Berdasarkan ayat dan hadis di atas, ulama fikih membuat satu kaidah yaitu, haram mengumpulkan (mempermadukan) antara dua orang perempuan yang mempunyai hubungan kerabat (senasab dan sesusuan), andaikata salah seorang diantaranya laki-laki, maka haram pernikahan antara keduanya, seperti mengumpulkan antara seorang perempuan dengan cucunya. Dengan demikian boleh mengumpulkan (mempermadukan) antara seorang perempuan dengan anak tiri perempuan itu, karena hubungan antara keduanya bukan hubungan kerabat atau sesusuan, tetapi hubungan semenda saja.

Hukum ini berlaku sejak ayat ini diturunkan dan apa yang telah diperbuat sebelum turunnya ketentuan ini dapat dimaafkan. Kemudian ayat itu menutup ketentuan yang diberikannya ini dengan menerangkan sifat-sifat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Pemberi ampun. Dia memberikan ampunan atas perbuatan yang salah yang pernah dikerjakan hamba-Nya pada masa-masa sebelum datangnya syariat Islam, dan juga memberi ampunan kepada hamba-Nya yang segera bertobat apabila berbuat sesuatu tindakan yang salah.

Ayat di atas menyatakan mengenai kepatutan dan hal-hal yang secara biologis tidak baik dilakukan dalam memilih pasangan dalam perkawinan. Dalam hal kepatutan, dengan jelas dikatakan bahwa tidak patut seorang laki-laki menikahi saudara sesusuan, ibu susu, mertua, anak tiri, maupun dua saudara pada saat yang sama. Sedangkan mengenai perkawinan di antara keluarga (inbreed - misal saudara perempuan, bibi, dan keponakan) juga dilarang karena akan menimbulkan keturunan yang tidak baik. Mengenai hal kedua ini, penjelasannya adalah demikian.

Allah menetapkan siapa yang boleh dikawini dan siapa juga yang tidak boleh dikawini sebagaimana disebutkan dalam Surah an-Nisa/4: 22.

Saudara-saudara laki-laki dan perempuan (juga saudara-saudara tiri laki-laki dan perempuan, dsb.) dilarang oleh hukum untuk menikah diantara mereka karena anak-anak mereka memiliki resiko tinggi yang tak dapat diterima yaitu menjadi cacat. Semakin dekat kekerabatan orangtua, semakin mungkin keturunannya akan menjadi cacat.

Hubungan sumbang (incest) adalah hubungan saling mencintai yang bersifat seksual yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki ikatan keluarga atau kekerabatan yang dekat, biasanya antara ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama saudara kandung atau saudara tiri. Pengertian istilah ini lebih bersifat sosioantropologis daripada biologis (bandingkan dengan kerabat-dalam untuk pengertian biologis) meskipun sebagian penjelasannya bersifat biologis.

Hubungan sumbang diketahui berpotensi tinggi menghasilkan keturunan yang secara biologis lemah, baik fisik maupun mental (cacat), atau bahkan letal (mematikan). Fenomena ini juga umum dikenal dalam dunia hewan dan tumbuhan karena meningkatnya koefisien kerabat-dalam pada anak-anaknya. Akumulasi gen-gen pembawa 'sifat lemah dari kedua "orang tua" pada satu individu (anak) terekspresikan karena genotipenya berada dalam kondisi homozigot.

Ada suatu alasan genetis yang kuat bagi hukum-hukum tersebut yang mudah untuk dipahami. Setiap orang memiliki dua set gen, ada sekitar 130,000 pasang yang menentukan bagaimana seseorang terbentuk dan berfungsi. Setiap orang mewarisi satu gen dari setiap pasang milik masing-masing orangtua. Sayangnya, gen-gen sekarang mengandung banyak kesalahan, dan kesalahan-kesalahan ini muncul dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh, beberapa orang membiarkan rambutnya tumbuh menutupi telinga mereka untuk menyembunyikan kenyataan bahwa satu telinga lebih rendah dari yang satunya -- atau mungkin hidung seseorang terletak tidak benar-benar di tengah mukanya, atau rahang seseorang agak sedikit tidak berbentuk -- dan sebagainya.

Semakin jauh kekerabatan orangtua, semakin mungkin mereka akan memiliki kesalahan-kesalahan berbeda dalam gen-gen mereka.Anak-anak, yang mewarisi satu set gen dari setiap orangtuanya, sepertinya akan berakhir dengan memiliki sepasang gen yang mengandung maksimum satu gen buruk dalam setiap pasangnya. Gen yang baik cenderung menolak yang buruk sehingga suatu kelainan (yang serius, tentu saja) tidak terjadi.

Namun, semakin dekat hubungan kekerabatan dua orang, semakin mungkin mereka mendapatkan kesalahan-kesalahan (kelemahan) yang sama dalam gen-gen mereka, karena semua itu diwarisi dari orangtua yang sama. Karena itu, seorang saudara lelaki dan seorang saudara perempuan sepertinya lebih mungkin memiliki kesalahan yang sama dalam gen mereka. Seorang anak hasil dari perpaduan hubungan saudara kandung seperti itu dapat mewarisi gen buruk yang sama pada sepasang gen yang sama dari keduanya, berakibat dua salinan buruk dari gen dan kerusakan yang serius.

Secara sosial, hubungan sumbang dapat disebabkan, antara lain, oleh ruangan dalam rumah yang tidak memungkinkan orang tua, anak, atau sesama saudara pisah kamar. Hubungan sumbang antara orang tua dan anak dapat pula terjadi karena kondisi psikososial yang kurang sehat pada individu yang terlibat. Beberapa kebudayaan mentoleransi hubungan sumbang untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti politik atau kemurnian ras.

Akibat hal-hal tadi, hubungan sumbang tidak dikehendaki pada hampir semua masyarakat dunia. Semua agama besar dunia melarang hubungan sumbang. Di dalam aturan agama Islam (fiqih), misalnya, dikenal konsep mahram yang mengatur hubungan sosial di antara individu-individu yang masih sekerabat. Bagi seseorang tidak diperkenankan menjalin hubungan percintaan atau perkawinan dengan orang tua, kakek atau nenek, saudara kandung, saudara tiri (bukan saudara angkat), saudara dari orang tua, kemenakan, serta cucu.

Ayat 24

۞ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ النِّسَاۤءِ اِلَّا مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۚ كِتٰبَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَاُحِلَّ لَكُمْ مَّا وَرَاۤءَ ذٰلِكُمْ اَنْ تَبْتَغُوْا بِاَمْوَالِكُمْ مُّحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسٰفِحِيْنَ ۗ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهٖ مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً ۗوَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهٖ مِنْۢ بَعْدِ الْفَرِيْضَةِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

wal-muḥṣanātu minan-nisā'i illā mā malakat aimānukum, kitāballāhi ‘alaikum, wa uḥilla lakum mā warā'a żālikum an tabtagū bi'amwālikum muḥṣinīna gaira musāfiḥīn(a), famastamta‘tum bihī minhunna fa ātūhunna ujūrahunna farīḍah(tan), wa lā junāḥa ‘alaikum fīmā tarāḍaitum bihī mim ba‘dil-farīḍah(ti), innallāha kāna ‘alīman ḥakīmā(n).

Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

Kata al-muhshanat di dalam Al-Qur'an mempunyai empat pengertian, yaitu:

1.Perempuan yang bersuami, itulah yang dimaksud dalam ayat ini.

¦Apabila mereka telah bersuami¦ (an-Nisa/4:25).

2.Perempuan yang merdeka, seperti yang tercantum dalam firman Allah:

Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki.¦(an-Nisa/4:25).

3.Perempuan yang terpelihara akhlaknya, seperti dalam firman Allah:

Perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina (an-Nisa/4:25).

4. Perempuan-perempuan Muslimah.

Dengan demikian dibolehkan seorang Muslim menikahi seorang perempuan tawanan perang yang sudah menjadi budaknya, walaupun ia masih bersuami, karena hubungan perkawinannya dengan suaminya yang dahulu sudah putus, sebab dia ditawan tanpa suaminya dan suaminya berada di daerah musuh, dengan syarat perempuan itu sudah haid satu kali untuk membuktikan kekosongan rahimnya. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa suaminya tidak ikut tertawan bersama dia. Jika ditawan bersama-sama perempuan itu, maka tidak boleh dinikahi oleh orang lain. Ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi pada zaman sekarang. (lihat tafsir an-Nisa/4: 3)

Dihalalkan bagi kaum Muslimin mencari perempuan dengan harta mereka untuk dinikahi, dengan maksud mendirikan rumah tangga yang bahagia, memelihara keturunan yang baru dan bukan untuk berzina. Maka kepada istri-istri yang telah kamu campuri itu, berikanlah kepada mereka maharnya yang sempurna sebagai suatu kewajiban dengan niat menjaga kehormatan dan sekali-kali tidak berniat untuk membuat perzinaan. Maskawin yang diberikan bukanlah semata-mata imbalan dari laki-laki atau kerelaan perempuan untuk menjadi istrinya, tetapi juga sebagai tanda cinta dan keikhlasan. Oleh karena itu dalam ayat lain (an-Nisa/4:4) disebutkan mahar itu sebagai suatu pemberian. Bila terjadi perbedaan antara jumlah mahar yang dijanjikan dengan yang diberikan, maka tidak mengapa bila pihak istri merelakan sebagian mahar itu. Allah mengetahui niat baik yang terkandung dalam hati masing-masing. Maka berikanlah mahar mereka yang telah disepakati itu dengan sukarela. Mahar wajib dibayar sebelum akad nikah atau sebelum bercampur, bahkan menurut mazhab Hanafi wajib dibayar asal mereka berdua telah berkhalwat (mengasingkan diri dalam sebuah tempat yang tertutup).

Sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai dasar untuk menetapkan hukum nikah mut'ah, yaitu menikahi seorang perempuan dengan batas waktu tertentu seperti sehari, seminggu, sebulan atau lebih yang tujuannya untuk bersenang-senang. Pada permulaan Islam diperbolehkan atau diberi kelonggaran oleh Nabi saw melakukannya. Beliau mula-mula memberi kelonggaran kepada sahabat-sahabatnya yang pergi berperang di jalan Allah untuk nikah dengan batas waktu tertentu, karena dikhawatirkan mereka jatuh ke dalam perzinaan, sebab telah berpisah sekian lama dengan keluarganya. Kelonggaran itu termasuk :

"Mengerjakan yang lebih ringan mudaratnya di antara dua kemudaratan."

Kemudian nikah mut'ah itu diharamkan, berdasarkan hadis-hadis sahih yang menjelaskan haramnya nikah mut'ah itu sampai hari kiamat. Khalifah Umar pun pernah menyinggung soal haramnya mut'ah pada pidatonya di atas mimbar, dan tidak ada seorang sahabat pun yang membantahnya.

Ayat 25

وَمَنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا اَنْ يَّنْكِحَ الْمُحْصَنٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ فَمِنْ مَّا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ مِّنْ فَتَيٰتِكُمُ الْمُؤْمِنٰتِۗ وَاللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِكُمْ ۗ بَعْضُكُمْ مِّنْۢ بَعْضٍۚ فَانْكِحُوْهُنَّ بِاِذْنِ اَهْلِهِنَّ وَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ مُحْصَنٰتٍ غَيْرَ مُسٰفِحٰتٍ وَّلَا مُتَّخِذٰتِ اَخْدَانٍ ۚ فَاِذَآ اُحْصِنَّ فَاِنْ اَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنٰتِ مِنَ الْعَذَابِۗ ذٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ ۗ وَاَنْ تَصْبِرُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ࣖ

wa mal lam yastaṭi‘ minkum ṭaulan ay yankiḥal-muḥṣanātil-mu'mināti fa mim mā malakat aimānukum min fatayātikumul-mu'mināt(i), wallāhu a‘lamu bi'īmānikum, ba‘ḍukum mim ba‘ḍ(in), fankiḥūhunna bi'iżni ahlihinna wa ātūhunna ujūrahunna bil-ma‘rūfi muḥṣanātin gaira musāfiḥātiw wa lā muttakhiżāti akhdān(in), fa iżā uḥṣinna fa in ataina bifāḥisyatin fa ‘alaihinna niṣfu mā ‘alal-muḥṣanāti minal-‘ażāb(i), żālika limay khasyial-‘anata minkum, wa an taṣbirū khairul lakum, wallāhu gafūrur raḥīm(un).

Dan barangsiapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang lain (sama-sama keturunan Adam-Hawa), karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak bersuami). (Kebolehan menikahi hamba sahaya) itu, adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Dari permulaan surah an-Nisa sampai ayat 25 diperlihatkan gambaran kehidupan transisi masa jahiliyah dengan masa permulaan Islam. Pertama, soal pemilikan harta anak yatim oleh kerabat dari pihak bapak, kedua, laki-laki yang dapat mengawini perempuan dalam jumlah istri yang tanpa batas dibatasi menjadi empat istri, dan ketiga, masalah keluarga dan perbudakan, terutama budak perempuan. Waktu itu perbudakan yang sudah melembaga di seluruh dunia, tidak terkecuali di Semenanjung Arab masa jahiliyah, memang sangat subur. Secara bertahap semua penyakit masyarakat ini harus diubah, dan inilah yang sudah dimulai pada masa permulaan Islam, seperti yang dapat kita lihat dalam ayat-ayat di atas. Al-Qur'an telah merekam peristiwa-peristiwa yang berlaku waktu itu, dan ini perlu, karena ajaran Islam dalam masalah ini menghapus perbudakan dalam bentuk apa pun (2: 177, 9: 60), dicontohkan oleh Nabi yang telah membebaskan budak-budak yang ada padanya, oleh Abu Bakar as-Siddiq yang telah membeli 7 orang budak dari tuannya lalu dibebaskan sebagai orang merdeka, termasuk Bilal (lihat tafsir 92: 17-18). Dalam zakat, asnaf ke-5 penerimaan zakat dapat digunakan untuk memerdekakan budak.

Menikah dengan seorang perempuan yang merdeka, menuntut syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak suami, seperti memberi mahar, nafkah dan sebagainya. Maka jika seseorang tidak mempunyai biaya dan nafkah yang cukup untuk menikahi seorang perempuan merdeka yang beriman, maka dia dibolehkan menikahi hamba sahaya yang beriman.

Orang yang menikah dengan hamba sahaya biasanya mendapatkan perlakuan yang kurang baik di dalam masyarakat, bahkan tidak jarang mendapat ejekan dan cemoohan. Apabila orang yang menikah dengan hamba sahaya memperlakukan dengan baik serta sabar menahan cemoohan dan ejekan, selama dia melayarkan bahtera rumah tangganya, Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Semua ketentuan ini sebagai lanjutan ayat sebelumnya, tidak lepas dari peristiwa perang yang terjadi waktu itu dengan segala akibatnya sehingga tawanan-tawanan perang dalam hal tertentu dapat dijadikan budak belian dan hamba sahaya, seperti yang sudah menjadi ketentuan dunia waktu itu. Apa yang telah direkam dalam Al-Qur'an memperlihatkan kepada kita betapa buruknya kondisi masyarakat itu, masyarakat jahiliyah. Selain hamba sahaya yang sudah melembaga begitu mendalam dalam masyarakat, ditambah lagi dengan ketentuan, bahwa setiap tawanan perang harus menjadi budak baru. Secara berangsur masalah sosial demikian yang sudah dianggap wajar dalam masyarakat harus diubah. Dalam hal ini perubahan tentu tidak dapat dilakukan sekaligus, tetapi secara bertahap. Salah satunya dengan cara menebus atau membeli budak-budak itu lalu dimerdekakan, dan orang beriman harus berusaha untuk itu, seperti yang sudah ditentukan dalam Al-Qur'an tersebut di atas. Dengan demikian segala macam kelas sosial, terutama perbudakan harus dihapus, dan martabat manusia harus dikembalikan kepada fitrahnya. Manusia dilihat hanya dari ketakwaannya (49: 13). Dalam masyarakat Muslim tidak boleh ada perbudakan, termasuk penjajahan.

Ayat 26

يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوْبَ عَلَيْكُمْ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

yurīdullāhu liyubayyina lakum wa yahdiyakum sunanal-lażīna min qablikum wa yatūba ‘alaikum, wallāhu ‘alīmun ḥakīm(un).

Allah hendak menerangkan (syariat-Nya) kepadamu, dan menunjukkan jalan-jalan (kehidupan) orang yang sebelum kamu (para nabi dan orang-orang saleh) dan Dia menerima tobatmu. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

Ayat ini menerangkan kepada kaum Muslimin apa yang belum jelas baginya dan memberinya petunjuk ke jalan yang ditempuh oleh para nabi dan salihin sebelumnya, yaitu hukum yang tersebut dalam ayat 19, 20 dan 21 di antaranya yang mengenai hubungan rumah tangga di antara suami-istri, seperti bergaul dengan istri dengan cara yang sebaik-baiknya dan mahar istri yang dicerai tidak boleh diambil kembali karena mahar itu sudah menjadi hak penuh istri yang dicerai. Jika mereka mengikuti petunjuk Allah itu, dengan melaksanakan perintah-Nya dan berbuat amal kebajikan, niscaya amal itu dapat menghapus dosa-dosanya.

Ayat 27

وَاللّٰهُ يُرِيْدُ اَنْ يَّتُوْبَ عَلَيْكُمْ ۗ وَيُرِيْدُ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الشَّهَوٰتِ اَنْ تَمِيْلُوْا مَيْلًا عَظِيْمًا

wallāhu yurīdu ay yatūba ‘alaikum, wa yurīdul-lażīna yattabi‘ūnasy-syahawāti an tamīlū mailan ‘aẓīmā(n).

Dan Allah hendak menerima tobatmu, sedang orang-orang yang mengikuti keinginannya menghendaki agar kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).

Allah memberi ampunan kepada mereka dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, agar mereka menyucikan dan membersihkan diri mereka lahir batin, meskipun orang-orang yang mengikuti syahwat dan hawa nafsunya, selalu berpaling dari jalan yang lurus, dan menarik orang mukmin agar ikut terjerumus bersama mereka ke lembah kesesatan, karena dengan melaksanakan perintah Allah dan menaatinya akan tercapailah apa yang dikehendakinya untuk kebaikan dan kebahagiaan mereka. Allah melarang menikahi perempuan-perempuan yang tersebut pada ayat 22, 23 dan 24 karena menikahi perempuan-perempuan tersebut akan mengakibatkan kerusakan di masyarakat dan mengacaubalaukan hubungan nasab dan hubungan keluarga, sedang keluarga adalah tulang punggung kebahagiaan masyarakat. Perempuan-perempuan selain mereka boleh dinikahi untuk memelihara kelanjutan keturunan, menghindarkan masyarakat dari kekacauan dan terperosok ke dalam jurang perzinaan dan lain sebagainya.

Ayat 28

يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّخَفِّفَ عَنْكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْاِنْسَانُ ضَعِيْفًا

yurīdullāhu ay yukhaffifa ‘ankum, wa khuliqal-insānu ḍa‘īfā(n).

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.

Allah menghendaki keringanan bagi kaum Muslimin, karena itu membolehkan mereka yang kurang sanggup memberi belanja kepada perempuan merdeka untuk menikahi seorang hamba sahaya. Allah memberitahukan pula bahwa manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah, terutama dalam menghadapi godaan hawa nafsunya. Oleh karenanya hendaklah kaum Muslimin menjaga dirinya agar jangan sampai melakukan pelanggaran, seperti berzina dan lain sebagainya. Ini semua dalam rangka membentengi manusia dari pengaruh setan dan hawa nafsu yang dapat menjerumuskannya. Manusia harus menyadari kelemahan dirinya, karena itu perlu membentengi diri dengan iman yang kuat dan perlu mengetahui tuntunan Allah dan cara-cara mengatasi godaan hawa nafsunya.

Ayat 29

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

yā ayyuhal-lażīna āmanū lā ta'kulū amwālakum bainakum bil-bāṭili illā an takūna tijāratan ‘an tarāḍim minkum, wa lā taqtulū anfusakum, innallāha kāna bikum raḥīmā(n).

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.

Ayat ini melarang mengambil harta orang lain dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan perniagaan yang berlaku atas dasar kerelaan bersama.

Menurut ulama tafsir, larangan memakan harta orang lain dalam ayat ini mengandung pengertian yang luas dan dalam, antara lain:

a.Agama Islam mengakui adanya hak milik pribadi yang berhak mendapat perlindungan dan tidak boleh diganggu gugat.

b. Hak milik pribadi, jika memenuhi nisabnya, wajib dikeluarkan zakatnya dan kewajiban lainnya untuk kepentingan agama, negara dan sebagainya.

c.Sekalipun seseorang mempunyai harta yang banyak dan banyak pula orang yang memerlukannya dari golongan-golongan yang berhak

menerima zakatnya, tetapi harta orang itu tidak boleh diambil begitu saja tanpa seizin pemiliknya atau tanpa menurut prosedur yang sah.

Mencari harta dibolehkan dengan cara berniaga atau berjual beli dengan dasar kerelaan kedua belah pihak tanpa suatu paksaan. Karena jual beli yang dilakukan secara paksa tidak sah walaupun ada bayaran atau penggantinya. Dalam upaya mendapatkan kekayaan tidak boleh ada unsur zalim kepada orang lain, baik individu atau masyarakat. Tindakan memperoleh harta secara batil, misalnya mencuri, riba, berjudi, korupsi, menipu, berbuat curang, mengurangi timbangan, suap-menyuap, dan sebagainya.

Selanjutnya Allah melarang membunuh diri. Menurut bunyi ayat, yang dilarang dalam ayat ini ialah membunuh diri sendiri, tetapi yang dimaksud ialah membunuh diri sendiri dan membunuh orang lain. Membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, sebab setiap orang yang membunuh akan dibunuh, sesuai dengan hukum kisas.

Dilarang bunuh diri karena perbuatan itu termasuk perbuatan putus asa, dan orang yang melakukannya adalah orang yang tidak percaya kepada rahmat dan pertolongan Allah.

Kemudian ayat 29 ini diakhiri dengan penjelasan bahwa Allah melarang orang-orang yang beriman memakan harta dengan cara yang batil dan membunuh orang lain, atau bunuh diri. Itu adalah karena kasih sayang Allah kepada hamba-Nya demi kebahagiaan hidup mereka di dunia dan di akhirat.

Ayat 30

وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ عُدْوَانًا وَّظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيْهِ نَارًا ۗوَكَانَ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرًا

wa may yaf‘al żālika ‘udwānaw wa ẓulman fa saufa nuṣlīhi nārā(n), wa kāna żālika ‘alallāhi yasīrā(n).

Dan barangsiapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zalim, akan Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah.

Ayat ini memberikan peringatan kepada orang yang melanggar hak orang lain dan menganiayanya, dengan memasukkannya ke dalam api neraka, yang demikian itu sangat mudah bagi Allah, karena tidak ada sesuatu yang dapat membantah, merintangi atau menghalang-halangi-Nya.

Ayat 31

اِنْ تَجْتَنِبُوْا كَبَاۤىِٕرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُّدْخَلًا كَرِيْمًا

in tajtanibū kabā'ira mā tunhauna ‘anhu nukaffir ‘ankum sayyi'ātikum wa nudkhilkum mudkhalan karīmā(n).

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).

Perintah dalam ayat ini meminta agar orang yang beriman menjauhi dan meninggalkan semua pekerjaan yang berakibat dosa besar. Meninggalkan semua dosa besar itu bukan saja sekedar menghindarkan diri dari siksa-Nya, tetapi juga merupakan suatu amal kebajikan yang dapat menghapuskan dosa kecil yang telah diperbuat. Tindakan meninggalkan dosa besar bukanlah masalah yang ringan dan sederhana. Seseorang yang mampu menahan diri dari berbuat dosa besar pada saat peluangnya ada, berarti ia memiliki kadar keimanan yang teguh, sekaligus kesabaran yang kukuh. Orang seperti ini dijanjikan Allah masuk surga.

Mengenai apa yang dianggap sebagai dosa besar para ulama mempunyai pendapat yang berbeda-beda karena adanya beberapa hadis, di antaranya Rasulullah saw bersabda:

"Jauhilah tujuh macam perbuatan yang membahayakan. Para sahabat bertanya, "Apakah itu ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Mempersekutukan Allah, membunuh diri seseorang yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar, sihir, memakan harta anak yatim, memakan riba, lari dari medan peperangan pada waktu pertempuran dan menuduh berzina terhadap perempuan-perernpuan mukmin yang terhormat." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

"Maukah aku kabarkan kepadamu tentang dosa-dosa yang paling besar?" Kami menjawab, "Mau, ya Rasulullah." Lalu Rasulullah berkata, "Mempersekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua." Ketika itu Rasulullah sedang bertelekan, kemudian beliau duduk lalu berkata "Ketahuilah, juga berkata bohong, dan saksi palsu." Beliau senantiasa mengulang-ulang perkataannya itu sehingga kami mengatakan, "Kiranya Rasulullah saw diam." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Bahrah)

Ibnu Abbas sewaktu ditanya, "Apakah dosa-dosa besar itu hanya 7 macam saja?" Beliau menjawab dengan ringkas, "Hampir tujuh puluh macam banyaknya. Bila dosa-dosa kecil terus-menerus dikerjakan, dia akan menjadi dosa besar dan dosa-dosa besar akan hapus bila yang mengerjakannya bertobat dan meminta ampun.

Menurut keterangan al-Barizi yang dinukil oleh al-Alusi, dia mengatakan, "Bahwa dosa besar itu ialah setiap dosa yang disertai dengan ancaman hukuman had (hukuman siksa di dunia) atau disertai dengan laknat yang dinyatakan dengan jelas di dalam Al-Qur'an atau hadis.

Demikian pengertian tentang dosa-dosa besar dan macam-macamnya. Selain dari itu adalah dosa-dosa kecil. Kemudian dalam ayat ini Allah menjanjikan kelak akan memberikan tempat yang mulia yaitu surga, bagi orang yang menjauhi (meninggalkan) dosa-dosa besar itu.

Ayat 32

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا

wa lā tatamannau mā faḍḍalallāhu bihī ba‘ḍakum ‘alā ba‘ḍ(in), lir-rijāli naṣībum mimmaktasabū, wa lin-nisā'i naṣībum mimmaktasabn(a), was'alullāha min faḍlih(ī), innallāha kāna bikulli syai'in ‘alīmā(n).

Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Orang yang beriman tidak boleh merasa iri hati terhadap orang yang lebih banyak memperoleh karunia dari Allah, karena Allah telah mengatur alam ini sedemikian rupa terjalin dengan hubungan yang rapi. Manusia pun tidak sama jenis kemampuannya, sehingga masing-masing memiliki keistimewaan dan kelebihan. Bukan saja antara laki-laki dengan perempuan, tetapi juga antar sesama laki-laki atau sesama perempuan.

Selanjutnya ayat ini menerangkan bahwa laki-laki mempunyai bagian dari apa yang mereka peroleh, demikian juga perempuan mempunyai bagian dari apa yang mereka peroleh, sesuai dengan usaha dan kemampuan mereka masing-masing.

Oleh karena itu orang dilarang iri hati terhadap orang yang lebih banyak memperoleh karunia dari Allah. Akan tetapi ia hendaknya memohon kepada Allah disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh agar Allah melimpahkan pula karunia-Nya yang lebih banyak tanpa iri hati kepada orang lain. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, baik tentang permohonan yang dipanjatkan kepada-Nya, maupun tentang apa yang lebih sesuai diberikan kepada hamba-Nya.

Setiap orang yang merasa tidak senang terhadap karunia yang dianugerahkan Allah kepada seseorang, atau ia ingin agar karunia itu hilang atau berpindah dari tangan orang yang memperolehnya, maka hal itu adalah iri hati yang dilarang dalam ayat ini. Tetapi apabila seseorang ingin memiliki sesuatu seperti yang dimiliki orang lain, atau ingin kaya seperti kekayaan orang lain menurut pendapat yang termasyhur, hal demikian tidaklah termasuk iri hati yang terlarang.

Ayat 33

وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ ۗ وَالَّذِيْنَ عَقَدَتْ اَيْمَانُكُمْ فَاٰتُوْهُمْ نَصِيْبَهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدًا ࣖ

wa likullin ja‘alnā mawāliya mimmā tarakal-wālidāni wal-aqrabūn(a), wal-lażīna ‘aqadat aimānukum fa ātūhum naṣībahum, innallāha kāna ‘alā kulli syai'in syahīdā(n).

Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.

Secara umum ayat ini menerangkan bahwa semua ahli waris baik ibu bapak dan karib kerabat maupun orang-orang yang terikat dengan sumpah setia, harus mendapat bagian dari harta peninggalan menurut bagiannya masing-masing.

Ada beberapa hal yang harus disebutkan di sini, antara lain:

1.Kata mawalia yang diterjemahkan dengan "ahli waris" adalah bentuk jamak dari maula yang mengandung banyak arti, antara lain:

a.Tuan yang memerdekakan hamba sahaya (budak).

b.Hamba sahaya yang dimerdekakan.

c.Ahli waris asabah atau bukan.

2. Ashabah ialah ahli waris yang berhak menerima sisa dari harta warisan, setelah dibagikan kepada ahli waris lainnya yang mempunyai bagian tertentu atau berhak menerima semua harta warisan apabila tidak ada ahli waris yang lain.

Yang paling tepat maksud dari kata mawalia dalam ayat ini adalah "ahli waris asabah" sesuai dengan sabda Rasulullah saw:

"Berikanlah harta warisan itu kepada masing-masing yang berhak. Adapun sisanya berikanlah kepada laki-laki karib kerabat yang terdekat." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu 'Abbas).Dan sabda Rasulullah :

"Janda Sa'ad bin Rabi' datang kepada Rasulullah saw bersama dua orang anak perempuan dari Sa'ad, lalu ia berkata, "Ya Rasulullah! Ini dua orang anak perempuan dari Sa'ad bin Rabi' yang mati syahid sewaktu perang Uhud bersama-sama dengan engkau. Dan sesungguhnya paman dua anak ini telah mengambil semua harta peninggalan ayah mereka, sehingga tidak ada yang tersisa. Kedua anak ini tidak akan dapat kawin, kecuali jika mempunyai harta." Rasulullah menjawab, "Allah akan memberikan penjelasan hukumnya pada persoalan ini." Kemudian turunlah ayat mawaris (tentang warisan), lalu Rasulullah memanggil paman anak perempuan Sa'ad dan berkata, "Berikanlah 2/3 kepada kedua anak perempuan Sa'ad, seperdelapan untuk ibu mereka, dan apa yang masih tinggal itulah untukmu." (Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam ayat ini hendaklah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Barang siapa yang tidak melaksanakannya atau menyimpang dari hukum-hukum tersebut, maka ia telah melanggar ketentuan Allah dan akan mendapat balasan atas pelanggaran itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala perbuatan hamba-Nya. Menurut pendapat yang terkuat, bahwa sumpah setia yang pernah terjadi pada masa Nabi (permulaan Islam) yang mengakibatkan hubungan waris mewarisi antara mereka yang mengadakan sumpah setia, kemudian hal itu dinasakh hukumnya.

Ayat 34

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

ar-rijālu qawwāmūna ‘alan-nisā'i bimā faḍḍalallāhu ba‘ḍahum ‘alā ba‘ḍiw wa bimā anfaqū min amwālihim, faṣ-ṣāliḥātu qānitātun ḥāfiẓātul lil-gaibi bimā ḥafiẓallāh(u), wal-lātī takhāfūna nusyūzahunna fa ‘iẓūhunna wahjurūhunna fil-maḍāji‘i waḍribūhunn(a), fa in aṭa‘nakum falā tabgū ‘alaihinna sabīlā(n), innallāha kāna ‘aliyyan kabīrā(n).

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.

Kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah, bertanggung jawab penuh terhadap kaum perempuan yang menjadi istri dan yang menjadi keluarganya. Oleh karena itu, wajib bagi setiap istri menaati suaminya selama suami tidak durhaka kepada Allah. Apabila suami tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya, maka istri berhak mengadukannya kepada hakim yang berwenang menyelesaikan masalahnya.

Menurut riwayat Hasan al-Bashri:

"Seorang perempuan mengadu kepada Rasulullah saw, bahwa suaminya telah memukulnya. Rasulullah saw bersabda, "Ia akan dikenakan hukum kisas. Maka Allah menurunkan ayat Ar-Rijalu qawwamuna 'ala an-nisa¦" (Riwayat al-hasan al-Bashri dari Muqatil).

Diriwayatkan pula bahwa perempuan itu kembali ke rumahnya dan suaminya tidak mendapat hukuman kisas sebagai balasan terhadap tindakannya, karena ayat ini membolehkan memukul istri yang tidak taat kepada suaminya, dengan tujuan mendidik dan mengingatkannya.

Yang dimaksud dengan istri yang saleh dalam ayat ini ialah istri yang disifatkan dalam sabda Rasulullah saw:

"Sebaik-baik perempuan ialah perempuan yang apabila engkau melihatnya ia menyenangkan hatimu, dan apabila engkau menyuruhnya ia mengikuti perintahmu, dan apabila engkau tidak berada di sampingnya ia memelihara hartamu dan menjaga dirinya." (Riwayat Ibnu Jarir dan al-Baihaqi dari Abu Hurairah).

Inilah yang dinamakan istri yang saleh, sedang yang selalu membangkang, yaitu meninggalkan kewajiban selaku istri, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suami untuk hal-hal yang tidak penting, dinamakan istri yang nusyuz (yang tidak taat).

Bagaimana seharusnya suami berlaku terhadap istri yang tidak taat kepadanya (nusyuz), yaitu menasihatinya dengan baik. Kalau nasihat itu tidak berhasil, maka suami mencoba berpisah tempat tidur dengan istrinya, dan kalau tidak berubah juga, barulah memukulnya dengan pukulan yang enteng yang tidak mengenai muka dan tidak meninggalkan bekas.

Setelah itu para suami diberi peringatan, bila istri sudah kembali taat kepadanya, jangan lagi si suami mencari-cari jalan untuk menyusahkan istrinya, seperti membongkar-bongkar kesalahan-kesalahan yang sudah lalu, tetapi bukalah lembaran hidup baru yang mesra dan melupakan hal-hal yang sudah lalu. Bertindaklah dengan baik dan bijaksana. karena Allah Maha Mengetahui dan Mahabesar.

Ayat 35

وَاِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ اَهْلِهٖ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَا ۚ اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ اللّٰهُ بَيْنَهُمَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا

wa in khiftum syiqāqa bainihimā fab‘aṡū ḥakamam min ahlihī wa ḥakamam min ahlihā, iy yurīdā iṣlāḥay yuwaffiqillāhu bainahumā, innallāha kāna ‘alīman khabīrā(n).

Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti, Maha Mengenal.

Jika kamu khawatir akan terjadi syiqaq (persengketaan) antara suami istri, sesudah melakukan usaha-usaha tersebut di atas, maka kirimlah seorang hakam (perantara, wasit, juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Kedua hakam itu dikirim oleh yang berwajib atau oleh suami istri, atau oleh keluarga suami istri.

Dua orang hakam itu sebaiknya seorang dari keluarga suami dan seorang dari keluarga istri, dan boleh dari orang lain. Tugas hakam itu ialah untuk mengetahui persoalan perselisihan yang terjadi dan sebab-sebabnya, kemudian berusaha mendamaikan keduanya. Tugas serupa itu tepat dilaksanakan oleh orang yang bijaksana meskipun bukan dari keluarga suami istri yang mungkin lebih mengetahui rahasia persengketaan itu dan lebih mudah bagi keduanya untuk menyelesaikannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya perceraian.

Jika usaha kedua orang hakam dalam mencari islah antara kedua suami istri yang bersengketa pada tahap pertama tidak berhasil maka diusahakan lagi penunjukan dua hakam yang sifatnya sebagai wakil dari suami istri yang bersengketa dalam batas-batas kekuasaan yang diberikan kepadanya. Kalaupun ini belum berhasil, maka untuk ketiga kalinya dicari lagi dua orang hakam yang akan mengambil keputusan, dan keputusan itu mengikat.

Ayat 36

۞ وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبٰى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْۢبِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُوْرًاۙ

wa‘budullāha wa lā tusyrikū bihī syai'aw wa bil-wālidaini iḥsānaw wa biżil-qurbā wal-yatāmā wal-masākīni wal-jāri żil-qurbā wal-jāril-junubi waṣ-ṣāḥibi bil-jambi wabnis-sabīl(i), wa mā malakat aimānukum, innallāha lā yuḥibbu man kāna mukhtālan fakhūrā(n).

Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri,

Mengabdi dan menyembah kepada Allah dinamakan ibadah. Beribadah dengan penuh keikhlasan hati, mengakui keesaan-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, itulah kewajiban seseorang kepada Allah. Dalam kata lain, ibadah dan mengesakan Allah merupakan hak-hak Allah yang menjadi kewajiban manusia untuk menunaikannya. Melakukan ibadah kepada Allah tampak dalam amal perbuatan setiap hari, seperti mengerjakan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah dan telah dicontohkannya, seperti salat, puasa, zakat, haji dan lain-lainnya, dinamakan ibadah khusus. Kemudian ibadah umum, yaitu semua pekerjaan yang baik yang dikerjakan dalam rangka patuh dan taat kepada Allah saja, bukan karena yang lainnya, seperti membantu fakir miskin, menolong dan memelihara anak yatim, mengajar orang, menunjukkan jalan kepada orang yang sesat dalam perjalanan, menyingkirkan hal-hal yang dapat mengganggu orang di tengah jalan dan sebagainya. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas, memurnikan ketaatan kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain.

Ada bermacam-macam pekerjaan manusia yang menyebabkan dia bisa menjadi musyrik, di antaranya menyembah berhala sebagai perantara agar permohonannya disampaikan kepada Allah. Mereka bersembah sujud di hadapan berhala untuk menyampaikan hajat dan maksud mereka. Perbuatan manusia yang seperti itu banyak disebutkan Allah dalam Al-Qur'an. Allah berfirman:

Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan bencana kepada mereka dan tidak (pula) memberi manfaat, dan mereka berkata, "Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di hadapan Allah." Katakanlah, "Apakah kamu akan memberitahu kepada Allah sesuatu yang tidak diketahui-Nya apa yang di langit dan tidak (pula) yang di bumi?" Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan itu. (Yunus/10:18).

Ada pula golongan lain yang termasuk musyrik, sebagaimana yang disebutkan Allah dalam Al-Qur'an, yaitu orang Nasrani yang menuhankan Nabi Isa, putra Maryam. Di samping mereka menyembah Allah, juga mereka mengakui Isa a.s. sebagai Tuhan mereka. Allah berfirman:

Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah dan (juga) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan. (at-Taubah/9:31).

Orang musyrik semacam ini banyak terdapat pada masa sekarang, yaitu orang yang memohon dan meminta syafaat dengan perantaraan orang-orang yang dianggapnya suci dan keramat, baik orang-orang yang dianggapnya suci itu masih hidup maupun sudah mati. Mereka mendatangi kuburannya, di sanalah mereka menyampaikan hajat dan doa, bahkan mereka sampai bermalam di sana. Mereka berwasilah kepadanya dan dengan berwasilah itu, maksudnya akan berhasil dan doanya akan makbul. Tidak jarang terjadi manusia berdoa meminta kepada batu, pohon kayu, roh nenek moyang, jin, hantu dan sebagainya. Semua ini digolongkan perbuatan syirik.

Kewajiban seseorang kepada Allah ialah menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Rasulullah saw bersabda:

"Dari Mu'az bin Jabal, Rasulullah saw bersabda, "Ya Muaz, tahukah engkau apakah hak Allah atas hamba-Nya, dan apa pula hak hamba atas Allah?" Saya menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Rasulullah berkata, "Hak Allah atas hamba-Nya ialah agar hamba-Nya menyembah-Nya dan jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu. Hak hamba atas Allah ialah bahwa Allah tidak akan mengazab hamba-Nya yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Dalam ayat ini Allah mengatur kewajiban terhadap sesama manusia. Sesudah Allah memerintahkan agar menyembah dan beribadah kepada-Nya dengan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain, selanjutnya Allah memerintahkan agar berbuat baik kepada ibu-bapak. Berbuat baik kepada ibu-bapak adalah suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Perintah mengabdi kepada Allah diiringi perintah berbuat baik kepada ibu-bapak adalah suatu peringatan bahwa jasa ibu bapak itu sungguh besar dan tidak dapat dinilai harganya dengan apa pun. Selain ayat ini ada lagi beberapa ayat dalam Al-Qur'an yang memerintahkan agar berbuat baik kepada ibu-bapak seperti firman Allah:

Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu. (Luqman/31:14).

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. (al-Isra'/17:23).

Berbuat baik kepada ibu-bapak mencakup segala-galanya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan yang dapat menyenangkan hati mereka keduanya. Berlaku lemah lembut dan sopan santun kepada keduanya termasuk berbuat baik kepadanya. Mengikuti nasihatnya, selama tidak bertentangan dengan ajaran Allah juga termasuk berbuat baik. Andaikata keduanya memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Allah, perintahnya boleh tidak dipatuhi, tetapi terhadap keduanya tetap dijaga hubungan yang baik. Allah berfirman:

"Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (Luqman/31:15).

Termasuk pula berbuat baik mendoakan keduanya agar Allah mengampuni dosanya, sebab keduanya telah berjasa banyak, mendidik, memelihara dan mengasuh semenjak kecil.

Perintah agar selalu berbuat baik kepada ibu bapak selama hayat masih dikandung badan, karena ibu bapak adalah manusia yang paling berjasa, diperintahkan pula agar berbuat baik kepada karib kerabat. Karib kerabat adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan seseorang sesudah ibu bapak, baik karena ada hubungan darah maupun karena yang lainnya.

Kalau seseorang telah dapat menunaikan kewajibannya kepada Allah dengan sebaik-baiknya, maka dengan sendirinya akidah orang itu akan bertambah kuat dan amal perbuatannya akan bertambah baik. Kemudian bila dia telah menunaikan kewajibannya kepada kedua ibu bapaknya dengan ikhlas dan setia, akan terwujudlah rumah tangga yang aman dan damai dan akan berbahagialah seluruh rumah tangga itu.

Rumah tangga yang aman dan damai akan mempunyai kekuatan untuk berbuat baik kepada karib kerabat dan sanak famili. Maka akan terhimpunlah suatu kekuatan besar dalam masyarakat. Dari masyarakat yang seperti ini akan mudah terwujud sifat tolong-menolong dan bantu-membantu, berbuat baik kepada anak-anak yatim dan orang miskin.

Berbuat baik kepada anak yatim dan orang miskin, bukan hanya didorong oleh hubungan darah dan famili, tetapi semata-mata karena dorongan perikemanusiaan yang ditumbuhkan oleh rasa iman kepada Allah. Iman kepada Allah yang menumbuhkan kasih sayang untuk menyantuni anak-anak yatim dan orang-orang miskin, sebab banyak terdapat perintah Allah di dalam Al-Qur'an yang menyuruh berbuat baik kepada anak yatim dan orang miskin itu. Tangan siapa lagi yang dapat diharapkan oleh mereka itu untuk menolongnya, selain dari orang yang dadanya penuh dengan sifat kasih sayang, yaitu orang yang beriman yang mempunyai rasa perikemanusiaan.

Anak yatim itu tidak mempunyai bapak yang mengurus dan membelanjainya dan orang miskin itu tidak mempunyai daya untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Mungkin karena lemah badannya atau oleh karena tidak cukup pendapatannya dari sehari ke sehari. Agar mereka tetap menjadi anggota masyarakat yang baik jangan sampai terjerumus ke lembah kehinaan dan nista, setiap manusia yang mempunyai rasa perikemanusiaan dan mempunyai rasa kasih sayang, haruslah bersedia turun tangan membantu dan menolong mereka, sehingga lambat laun derajat hidup mereka dapat ditingkatkan.

Allah juga menyuruh berbuat baik kepada tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, kepada teman sejawat, ibnussabil dan hamba sahaya. Tetangga dekat dan yang jauh ialah orang-orang yang berdekatan rumahnya, sering berjumpa setiap hari, bergaul setiap hari, dan tampak setiap hari keluar-masuk rumahnya. Tetapi ada pula yang mengartikan dengan hubungan kekeluargaan, dan ada pula yang mengartikan antara yang muslim dan yang bukan muslim.

Berbuat baik kepada tetangga adalah penting. karena pada hakikatnya tetangga itulah yang menjadi saudara dan famili. Kalau terjadi sesuatu, tetanggalah yang paling dahulu datang memberikan pertolongan, baik siang maupun malam.

Saudara dan sanak famili yang berjauhan tempat tinggalnya, belum tentu dapat diharapkan dengan cepat memberikan pertolongan pada waktu diperlukan, seperti halnya tetangga. Oleh karena itu, hubungan yang baik dengan tetangga harus dijaga, jangan sampai terjadi perselisihan dan pertengkaran, walaupun tetangga itu beragama lain. Nabi Muhammad saw pernah melayat anak tetangganya yang beragama Yahudi.

Ibnu Umar pernah menyembelih seekor kambing, lalu dia berkata kepada pembantunya, "Sudahkah engkau berikan hadiah kepada tetangga kita orang Yahudi itu?" Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:

"Malaikat Jibril tidak henti-henti menasihati aku, (agar berbuat baik) kepada tetangga,sehingga aku menyangka bahwa Jibril akan memberikan hak waris kepada tetangga." (Riwayat al-Bukhari dari Ibnu Umar).

Banyak hadis yang menerangkan kewajiban bertetangga secara baik di antaranya:

"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berbuat baik kepada tetanggannya" (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Dari Jabir bin Abdullah dia berkata, Rasulullah saw bersabda, "Tetangga itu ada tiga macam, tetangga yang mempunyai satu hak saja, dan ia merupakan tetangga yang haknya paling ringan. Ada tetangga yang mempunyai dua hak dan ada tetangga yang mempunyai tiga hak, inilah tetangga yang paling utama haknya. Adapun tetangga yang hanya mempunyai satu hak saja, ialah tetangga musyrik, tidak ada hubungan darah dengan dia, dia mempunyai hak bertetangga. Adapun tetangga yang mempunyai dua hak, ialah tetangga Muslim, baginya ada hak sebagai Muslim dan hak sebagai tetangga. Tetangga yang mempunyai tiga hak ialah tetangga Muslim yang ada hubungan darahnya. Baginya ada hak sebagai tetangga, hak sebagai Muslim dan hak sebagai famili." (Riwayat Abu Bakar al-Bazzar).

"Demi Allah, tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah, tidak beriman." Rasulullah ditanya orang, "siapa ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Ialah orang yang kejahatannya tidak membuat aman tetangganya." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Rasulullah saw bersabda:

"Ya Abu Zar, kalau engkau membuat maraq (sop) banyakkanlah kuahnya, kemudian berilah tetanggamu." (Riwayat Muslim dari Abu dzarr).

Yang dimaksud berbuat baik kepada teman sejawat, ialah teman dalam perjalanan, atau dalam belajar, atau dalam pekerjaan yang dapat diharapkan pertolongannya dan memerlukan pertolongan, sehingga hubungan berkawan dan berteman tetap terpelihara. Setia-kawan adalah lambang ukhuwah Islamiyah, lambang persaudaraan dalam Islam.

Berbuat baik kepada ibnu sabil, ialah menolong orang yang sedang dalam perjalanan bukan untuk tujuan maksiat, atau dalam perantauan yang jauh dari sanak famili dan memerlukan pertolongan, pada saat dia ingin kembali ke negerinya. Termasuk ibnu sabil ialah anak yang diketemukan yang tidak diketahui ibu bapaknya. Orang yang beriman wajib menolong anak tersebut, memeliharanya atau menemukan orang tuanya atau familinya, agar anak itu jangan terlunta-lunta hidupnya yang akibatnya akan menjadi anak yang rusak rohani dan jasmaninya.

Berbuat baik kepada hamba sahaya, ialah dengan jalan memerdekakan budak. Apakah tuannya sendiri yang memerdekakannya atau orang lain dengan membelinya dari tuannya, kemudian dimerdekakannya. Pada zaman sekarang ini tidak terdapat lagi hamba sahaya, sebab perbudakan bertentangan dengan hak asasi manusia. Agama Islam pun tidak menginginkan adanya perbudakan. Karena itu semua hamba sahaya yang ditemui sebelum Islam datang, berangsur-angsur dimerdekakan dari tuannya, sehingga akhirnya habislah perbudakan itu.

Yang dimaksud dengan orang yang sombong dan membanggakan diri dalam ayat ini, ialah orang yang takabur yang dalam gerak-geriknya memperlihatkan kebesaran dirinya, begitu juga dalam pembicaraannya tampak kesombongannya melebihi orang lain, dialah yang tinggi dan mulia, orang lain rendah dan hina. Orang yang sombong dan membanggakan diri tidak disukai Allah. Sebab orang-orang yang seperti itu termasuk manusia yang tak tahu diri, lupa daratan dan akhirnya akan menyesal. Sifat takabur itu adalah hak Allah, bukan hak manusia. Siapa yang mempunyai sifat sombong dan takabur berarti menantang Allah. Biasanya orang yang sombong dan takabur itu kasar budi pekertinya dan busuk hatinya. Dia tidak dapat menunaikan kewajiban dengan baik dan ikhlas, baik kewajiban kepada Allah maupun kewajiban terhadap sesama manusia.

Banyak hadis yang mencela orang-orang yang sombong dan takabur, di antaranya, Rasulullah saw bersabda:

"Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat takabur walaupun sedikit." Berkata seorang sabahat, "Seseorang itu ingin memakai pakaian yang bagus dan sandal yang bagus." Berkata Rasulullah saw, "Sesungguhnya Allah itu indah dan senang kepada keindahan. Sifat takabur itu ialah menolak yang benar dan memandang rendah kepada orang lain." (Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi dari Ibnu Mas'ud).

Apakah yang akan disombongkan manusia, padahal semua yang ada padanya adalah kepunyaan Allah yang dititipkan kepadanya buat sementara. Lambat laun semuanya akan diambil Allah kembali, berikut nyawa dan tubuhnya yang kasar dan semuanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah nantinya.

Ayat 37

ۨالَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُوْنَ مَآ اٰتٰىهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابًا مُّهِيْنًاۚ

al-lażīna yabkhalūna wa ya'murūnan-nāsa bil-bukhli wa yaktumūna mā ātāhumullāhu min faḍlih(ī), wa a‘tadnā lil-kāfirīna ‘ażābam muhīnā(n).

(yaitu) orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah kepadanya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir azab yang menghinakan.

Siapakah orang yang sombong dan takabur itu dan bagaimana perbuatannya? Mereka adalah orang-orang yang bakhil, tidak mau berbuat kebaikan sebagaimana yang telah diperintahkan Allah. Mereka tidak mau memberikan pertolongan dengan harta, tenaga dan pikiran untuk kemaslahatan sesama manusia. Di samping bakhil mereka mempengaruhi orang lain untuk berlaku bakhil, agar orang lain tidak mengeluarkan hartanya untuk menolong orang yang perlu ditolong. Di dalam hati mereka tersimpan sifat loba dan tamak kepada harta benda. Biar orang lain hidup melarat dan sengsara, asal mereka dapat hidup senang dan bermegah-megah. Mereka menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah kepadanya. Mereka berpura-pura seperti orang yang selalu dalam kesempitan dan kekurangan. Mereka yang seperti itu termasuk manusia yang tidak bersyukur kepada Allah, mereka adalah orang yang kafir atas nikmat Allah. Bagi orang kafir, Allah menyediakan siksa yang menghinakan, baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Ayat 38

وَالَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ۗ وَمَنْ يَّكُنِ الشَّيْطٰنُ لَهٗ قَرِيْنًا فَسَاۤءَ قَرِيْنًا

wal-lażīna yunfiqūna amwālahum ri'ā'an-nasi wa lā yu'minūna billāhi wa lā bil-yaumil ākhir(i), wa may yakunisy-syaiṭānu lahū qarīnan fasā'a qarīnā(n).

Dan (juga) orang-orang yang menginfakkan hartanya karena ria dan kepada orang lain (ingin dilihat dan dipuji), dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa menjadikan setan sebagai temannya, maka (ketahuilah) dia (setan itu) adalah teman yang sangat jahat.

Pada ayat ini dijelaskan sifat dan perbuatan orang yang sombong dan takabur, yaitu mereka menafkahkan hartanya karena ria. Mereka mau memberikan pertolongan kepada seseorang dengan hartanya, karena ingin dilihat orang, dibesarkan dan dipuji orang. Bukan karena ingin membayar kewajiban terhadap sesama manusia.

Pada hakikatnya mereka sama saja dengan orang yang bakhil cuma bedanya orang yang bakhil tidak mau sama sekali mengeluarkan hartanya untuk berbuat kebaikan kepada sesama manusia, malahan selalu loba dan tamak mengumpulkan harta benda dan kadang-kadang tidak peduli dari mana diperolehnya harta itu, apakah dari jalan yang halal ataukah dari jalan yang haram. Sedangkan orang ria, kadang-kadang mau berbuat kebaikan terhadap sesama manusia dengan mengeluarkan hartanya, asal dia mendapat pujian dan sanjungan. Bahkan untuk yang tidak baik sekalipun dia mau mengeluarkan hartanya, asal dia dapat pujian dari manusia. Jadi orang ria itu mengeluarkan hartanya bukan karena bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya yang banyak dan bukan pula karena kesadarannya dalam membayarkan kewajibannya sesama manusia, tetapi hanya semata-mata karena hendak dipuji saja.

Perbuatan seperti itu adalah perbuatan orang yang tidak percaya kepada Allah dan tidak percaya kepada hari akhirat. Orang yang percaya kepada Allah, mau mengeluarkan hartanya dengan ikhlas, tidak untuk mencari pujian, tetapi hanya mengharapkan balasan dari Allah nanti. Yang mendorong orang itu berbuat demikian, tidak lain hanya karena menurut ajaran setan saja, tidak mau mengikuti petunjuk Allah. Ajaran setan selalu membawa manusia kepada perbuatan yang keji dan terlarang. Maka dengan sendirinya manusia yang seperti itu telah menjadi teman dan pengikut setan, sedang setan itu adalah teman yang jahat. Maka akan celakalah akhirnya manusia bila telah berteman dengan setan. Dia akan terjauh dari jalan yang benar yang akan membawa kepada kebahagiaan di dunia dan selamat di akhirat nanti.

Teman mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan manusia. Berapa banyak orang yang baik bisa rusak karena berteman dengan orang yang jahat, dan berapa banyak pula orang yang jadi baik karena berteman dengan orang yang baik. Berhati-hatilah mencari teman, jangan berteman dengan sembarang orang.

Seperti halnya pada masa Rasulullah saw orang Ansar disuruh berhati-hati berteman dengan orang Yahudi, karena ternyata orang-orang Yahudi itu selalu mempengaruhi orang mukmin agar jangan mau mengeluarkan harta untuk membantu seseorang, dengan alasan nanti bisa jatuh miskin, atau bisa mengakibatkan sengsara di hari depan.

Ayat 39

وَمَاذَا عَلَيْهِمْ لَوْ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَاَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقَهُمُ اللّٰهُ ۗوَكَانَ اللّٰهُ بِهِمْ عَلِيْمًا

wa māżā ‘alaihim lau āmanū billāhi wal-yaumil-ākhiri wa anfaqū mimmā razaqahumullāh(u), wa kānallāhu bihim ‘alīmā(n).

Dan apa (keberatan) bagi mereka jika mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menginfakkan sebagian rezeki yang telah diberikan Allah kepadanya? Dan Allah Maha Mengetahui keadaan mereka.

Ayat ini merupakan pertanyaan yang mengandung peringatan kepada manusia yang mempunyai sifat dan perbuatan seperti tersebut dalam ayat di atas. Sudah jelas, mereka akan beruntung dan berbahagia serta selamat sejahtera di dunia dan di akhirat bila mereka beriman kepada Allah dan hari akhir serta mau memberikan sebagian rezeki yang telah Allah berikan kepadanya untuk kemaslahatan sesama manusia. Sifat orang yang sombong dan takabur dan mereka yang bakhil, sudah jelas akan mendatangkan kerugian dan bahaya bagi mereka, dan mereka akan mendapat siksa nanti di akhirat. Tetapi mengapa mereka tidak mau sadar dan insaf, dan tidak mau mengikuti ajaran Allah dan Rasul. Apakah mungkin karena kebodohan mereka atau mungkin karena hati mereka sudah tertutup untuk menerima kebenaran.

Mengharapkan pujian dan balasan dari manusia akan banyak mendatangkan kekecewaan dan putus asa. Apalagi kalau sudah ditimpa oleh musibah, maka timbullah kegoncangan dan kegelisahan dalam pikiran dan jiwa yang mengakibatkan putus asa dan hilang harapan. Berapa banyaknya korban yang jatuh akibat putus asa dan hilang harapan di mana manusia berani bunuh diri karenanya. Seandainya mereka orang yang beriman, tentu tidak akan ada sifat putus asa dan hilang harapan pada mereka. Mereka tentu akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kalau mendapat karunia dan nikmat, mereka bersyukur kepada Allah dan mempergunakan karunia itu untuk mengerjakan amal yang diridai-Nya. Tapi sebaliknya, kalau dia mendapat musibah, dia sabar dan tawakal kepada Allah. Bahkan musibah itu dianggapnya sebagai ujian dari Allah untuk memperkuat imannya.

Iman yang kuat dan keyakinan yang membaja adalah senjata yang ampuh untuk mempengaruhi hidup yang beraneka ragam corak dan bentuknya. Kadang-kadang menjadikan hati gembira dan kadang-kadang sedih dan duka. Kadang-kadang menjadikan seseorang gelak tertawa dan kadang-kadang menangis mengucurkan air mata. Tetapi di dalam hati orang beriman itu tetap ada keyakinan, bahwa Allah mengetahui setiap perbuatan manusia. Allah mengetahui mana manusia yang ikhlas beramal dan mana manusia yang beramal karena mengharapkan pujian manusia. Allah akan memberikan balasan kepada seseorang sesuai dengan niatnya.

Ayat 40

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ ۚوَاِنْ تَكُ حَسَنَةً يُّضٰعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَّدُنْهُ اَجْرًا عَظِيْمًا

innallāha lā yaẓlimu miṡqāla żarrah(tin), wa in taku ḥasanatay yuḍā‘ifhā wa yu'ti mil ladunhu ajran ‘aẓīmā(n).

Sungguh, Allah tidak akan menzalimi seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan (sekecil dzarrah), niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya.

Ayat ini memerintahkan agar orang suka berbuat baik. Setiap kebaikan yang dikerjakan seseorang tidak akan dikurangi Allah pahalanya, sebab mengurangi itu artinya menganiaya. Mustahil Allah akan bersifat aniaya kepada hamba-Nya, sebab Allah bersifat sempurna lagi Maha Pemurah. Setiap kebaikan yang dikerjakan seseorang, asal dia mengerjakan karena Allah, akan diberi pahala, bahkan pahalanya itu berlipat-ganda, sampai sepuluh kali lipat atau lebih. Allah berfirman:

Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi). (al-An'am/6:160).

Itulah sebagai tanda bahwa Allah Maha Pemurah dan karunia-Nya sangat luas dan banyak. Dia memberikan pahala kepada setiap orang yang berbuat baik dengan berlipat ganda yang disebut dalam ayat ini dengan pahala yang besar.

Ayat 41

فَكَيْفَ اِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ اُمَّةٍۢ بِشَهِيْدٍ وَّجِئْنَا بِكَ عَلٰى هٰٓؤُلَاۤءِ شَهِيْدًاۗ

fa kaifa iżā ji'nā min kulli ummatim bisyahīdiw wa ji'nā bika ‘alā hā'ulā'i syahīdā(n).

Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), jika Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka.

Digambarkan pula bagaimana keadaan manusia di akhirat nanti. Allah Maha Pengasih tidak akan merugikan hamba-Nya yang mengerjakan kebaikan walaupun sedikit, tapi akan diberi pahala yang berlipat ganda atas kebaikannya itu.

Digambarkan pula, bagaimana keadaan manusia nanti kalau mereka berhadapan dengan saksi-saksi mereka, dengan nabi-nabi mereka. Tiap-tiap umat akan berhadapan dengan saksi mereka, seperti umat Yahudi, umat Nasrani dan umat Islam, masing-masing umat itu akan dihadapkan ke hadapan saksinya, yaitu nabi mereka masing-masing. Pada waktu itulah dapat diketahui, siapa yang sebenarnya pengikut nabi dan siapa yang hanya pengakuannya saja mengikuti nabi, tapi amal perbuatannya mendurhakai nabi. Maka siapa yang telah disaksikan oleh nabinya bahwa dia betul-betul telah mengikuti ajaran rasul, maka orang itu termasuk orang yang beruntung. Bila nabinya berlepas diri dari mereka, karena amal perbuatannya dan kepercayaannya tidak sesuai dengan yang diajarkan rasul, maka mereka termasuk orang yang rugi. Nabi Muhammad saw akan menjadi saksi bagi umat Islam nanti dan bagi semua manusia. Allah berfirman:

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) "umat pertengahan" agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (al-Baqarah/2:143).

Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad sampai mengucurkan air mata, ketika mendengarkan ayat ini dibacakan seorang sahabat kepadanya, memikirkan bagaimana hebatnya suasana pada hari akhirat, beliau akan melihat dengan jelas pengikut-pengikutnya yang setia dan benar dan yang pura-pura dan palsu, sebagaimana diterangkan dalam hadis Nabi saw:

Dari Ibnu Masud dia berkata, Rasulullah saw telah berkata kepada saya, "Tolong, bacakan kepada saya Al-Qur'an itu." Lalu saya menjawab, "Ya Rasulullah, akukah yang akan membacakan kepada engkau, padahal dia diturunkan kepada engkau?" Rasulullah berkata, "Betul, tapi saya ingin mendengarkannya dibaca oleh orang lain." Maka aku membaca surah An-Nisa. Ketika aku sampai membaca ayat ini (ayat 41), maka beliau bersabda, "Sekarang cukuplah sebegitu saja," dan tiba-tiba air matanya bercucuran." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud).

Ayat 42

يَوْمَىِٕذٍ يَّوَدُّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَعَصَوُا الرَّسُوْلَ لَوْ تُسَوّٰى بِهِمُ الْاَرْضُۗ وَلَا يَكْتُمُوْنَ اللّٰهَ حَدِيْثًا ࣖ

yauma'iżiy yawaddul-lażīna kafarū wa ‘aṣawur-rasūla lau tusawwā bihimul-arḍ(u), wa lā yaktumūnallāha ḥadīṡā(n).

Pada hari itu, orang yang kafir dan orang yang mendurhakai Rasul (Muhammad), berharap sekiranya mereka diratakan dengan tanah (dikubur atau hancur luluh menjadi tanah), padahal mereka tidak dapat menyembunyikan sesuatu kejadian apa pun dari Allah.

Ayat ini menggambarkan bagaimana penyesalan orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai Rasulullah pada hari kiamat, setelah melihat hebatnya azab yang akan mereka derita. Semua perbuatan mereka yang salah, lebih-lebih perbuatan mereka mengingkari Allah dan tidak patuh menuruti ajaran Rasul, pada hari itu akan mendapat balasan yang setimpal. Apalagi pada hari itu sengaja Rasul didatangkan untuk menjadi saksi atas perbuatan mereka. Alangkah malunya mereka dan menyesal atas perbuatan mereka semasa hidup di dunia. Sampai-sampai mereka menginginkan, lebih baik mereka disamakan saja dengan tanah. Bahkan mereka ada yang menginginkan agar jadi tanah saja, jangan jadi manusia yang akan mendapat siksaan yang hebat dari Allah. Allah berfirman:

¦ Dan orang kafir berkata, "Alangkah baiknya seandainya dahulu aku jadi tanah." (an-Naba'/78:40).

Begitulah hebatnya penyesalan mereka pada hari itu, sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Pada saat itu orang-orang kafir tidak dapat menyembunyikan sedikit pun apa yang telah mereka kerjakan. Kedurhakaan mereka kepada Allah dan Rasul, kesombongan dan ketakaburan mereka, dan tentang kebakhilan dan ria mereka. Pendeknya tidak dapat mereka sembunyikan semua kejelekan dan kesalahan mereka. Pada hari itu tidak satu pertolongan pun yang dapat menolong mereka. Apa yang biasa mereka jadikan tempat minta tolong dan minta syafaat, selain dari Allah, semuanya berlepas diri, tidak mampu menolong dan melepaskan mereka dari siksa yang hebat itu. Allah berfirman:

(22) Dan (ingatlah), pada hari ketika Kami mengumpulkan mereka semua kemudian Kami berfirman kepada orang-orang yang menyekutukan Allah, "Di manakah sembahan-sembahanmu yang dahulu kamu sangka (sekutu-sekutu Kami)?"(23) Kemudian tidaklah ada jawaban bohong mereka, kecuali mengatakan, "Demi Allah, ya Tuhan kami, tidaklah kami mempersekutukan Allah." (24) Lihatlah, bagaimana mereka berbohong terhadap diri mereka sendiri. Dan sesembahan yang mereka ada-adakan dahulu akan hilang dari mereka. (al-An'am/6:22, 23 dan 24).

Ayat 43

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗوَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا

yā ayyuhal-lażīna āmanū lā taqrabuṣ-ṣalāta wa antum sukārā ḥattā ta‘lamū mā taqūlūna wa lā junuban illā ‘ābirī sabīlin ḥattā tagtasilū, wa in kuntum marḍā au ‘alā safarin au jā'a aḥadum minkum minal-gā'iṭi au lāmastumun-nisā'a falam tajidū mā'an fa tayammamū ṣa‘īdan ṭayyiban famsaḥū biwujūhikum wa aidīkum, innnallāha kāna ‘afuwwan gafūrā(n).

Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.

Orang-orang mukmin dilarang mengerjakan salat pada waktu mereka sedang mabuk. Mereka tidak dibolehkan salat sehingga mereka menyadari apa yang dibaca dan apa yang dilakukan dalam salat. Pada waktu keadaan mabuk itu tidak memungkinkan beribadat dengan khusyuk. Ayat ini belum mengharamkan khamar secara tegas, namun telah memperingatkan kaum Muslim akan bahaya minum khamar sebelum diharamkan sama sekali.

Adapun sebab turunnya ayat yang berkenaan dengan tayamum adalah sebagai berikut: Dalam suatu perjalanan Nabi Muhammad saw, Siti Aisyah kehilangan kalungnya, maka beliau beserta sahabat-sahabatnya mencari kalung itu. Di tempat itu tidak ada air dan mereka kehabisan air (sedang waktu salat telah tiba), maka turunlah ayat ini, lalu mereka salat dengan tayamum saja.

Dalam ayat ini orang mukmin dilarang melaksanakan salat pada waktu ia berhadas besar. Larangan ini akan berakhir setelah ia mandi janabah, karena mandi akan membersihkan lahir dan batin. Di antara hikmah mandi, apabila seseorang sedang lesu, lelah dan lemah biasanya akan menjadi segar kembali, setelah ia mandi.

Lazimnya meskipun salat dapat dilakukan di mana saja, salat itu sebaiknya dilakukan di mesjid. Maka orang yang sedang junub dilarang salat, juga dilarang berada di mesjid kecuali sekedar lewat saja kerena ada keperluan. Dalam hal ini ada riwayat yang menerangkan bahwa seorang sahabat Nabi dari golongan Ansar, pintu rumahnya di pinggir mesjid. Pada waktu junub, ia tidak dapat keluar rumah kecuali melewati mesjid, maka ia dibolehkan oleh Rasulullah saw melewatinya dan tidak memerintahkan menutup pintu rumahnya yang ada di pinggir mesjid itu.

Dapat dimaklumi bahwa orang yang salat harus suci dari hadas kecil, yaitu hadas yang timbul oleh misalnya karena buang air kecil atau suci dari hadas besar sesudah bersetubuh. Menyucikan hadas itu adalah dengan wudu atau mandi. Untuk berwudu atau mandi kadang-kadang orang tidak mendapatkan air, atau ia tidak boleh terkena air karena penyakit tertentu, maka baginya dalam keadaan serupa itu diperbolehkan tayamum yaitu mengusap muka dan tangan dengan debu tanah yang suci.

Yang dimaksud dengan au lamastum an-nisaa ialah menyentuh perempuan (yang bukan mahram). Maka menyentuh perempuan mengakibatkan hadas kecil yang dapat dihilangkan dengan wudu atau tayamum. Apabila seseorang buang air kecil atau buang air besar, maka kedua hal itu menyebabkan hadas kecil yang dapat dihilangkan dengan wudu. Setiap orang buang air kecil atau buang air besar diwajibkan menyucikan dirinya dengan membersihkan tempat najis itu (istinja'). Hal itu dapat dilakukan dengan memakai air atau benda-benda suci yang bersih seperti batu, kertas kasar dan lain sebagainya. Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan "menyentuh perempuan" dalam ayat ini ialah bersetubuh, sedang bersetubuh mengakibatkan hadas besar yang dapat dihilangkan dengan mandi janabah.

Hukum-hukum yang tersebut di atas menunjukkan bahwa Allah tidak memberati hamba-Nya di luar batas kemampuannya, karena Dia adalah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.

Ayat 44

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ اُوْتُوْا نَصِيْبًا مِّنَ الْكِتٰبِ يَشْتَرُوْنَ الضَّلٰلَةَ وَيُرِيْدُوْنَ اَنْ تَضِلُّوا السَّبِيْلَۗ

alam tara ilal-lażīna ūtū naṣībam minal-kitābi yasytarūnaḍ-ḍalālata wa yurīdūna an taḍillus-sabīl(a).

Tidakkah kamu memperhatikan orang yang telah diberi bagian Kitab (Taurat)? Mereka membeli kesesatan dan mereka menghendaki agar kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar).

Kaum Muslimin harus mengetahui bahwa para Ahli Kitab yang menerima kitab dari Allah dengan perantaraan rasul-Nya, mereka hanya mengambil sebagian dari isi kitab itu yang sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu mereka, bahkan mereka banyak mengubah-ubah dan menambahkannya. Dengan kedatangan Nabi Muhammad saw, mereka semestinya menjadi orang-orang yang beriman, tetapi sebaliknya mereka menjadi orang-orang yang kafir. Maksud dan tujuan mereka berbuat seperti itu adalah untuk menyesatkan orang banyak termasuk umat Islam sendiri dari jalan yang benar. Mereka tidak segan-segan mengadakan berbagai macam tipu daya dan pura-pura bersimpati terhadap kaum Muslimin padahal mereka adalah musuh dalam selimut.

Ayat 45

وَاللّٰهُ اَعْلَمُ بِاَعْدَاۤىِٕكُمْ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ وَلِيًّا ۙوَّكَفٰى بِاللّٰهِ نَصِيْرًا

wallāhu a‘lamu bi'a‘dā'ikum, wa kafā billāhi waliyyaw wa kafā billāhi naṣīrā(n).

Dan Allah lebih mengetahui tentang musuh-musuhmu. Cukuplah Allah menjadi pelindung dan cukuplah Allah menjadi penolong (bagimu).

Allah mengetahui siapa yang menjadi musuh umat Islam. Umat Islam kadang-kadang mengira bahwa musuh-musuh itu adalah sahabat mereka, padahal sebenarnya bukan. Kebaikan-kebaikan yang mereka lahirkan terhadap kaum Muslimin adalah tipu muslihat belaka, sedang tujuan mereka yang sebenarnya ialah menarik kaum Muslimin agar menyeleweng seperti penyelewengan mereka dari jalan yang benar. Allah-lah yang memberi petunjuk kaum Muslimin kepada keselamatan, kebahagiaan dan kebaikan. Dialah yang menolong mereka dalam menghadapi musuh-musuh agama.

Ayat 46

مِنَ الَّذِيْنَ هَادُوْا يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَّوَاضِعِهٖ وَيَقُوْلُوْنَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَّرَاعِنَا لَيًّاۢ بِاَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِى الدِّيْنِۗ وَلَوْ اَنَّهُمْ قَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَاَقْوَمَۙ وَلٰكِنْ لَّعَنَهُمُ اللّٰهُ بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوْنَ اِلَّا قَلِيْلًا

minal-lażīna hādū yuḥarrifūnal-kalima ‘am mawāḍi‘ihī wa yaqūlūna sami‘nā wa ‘aṣainā wasma‘ gaira musmi‘iw wa rā‘inā layyam bi'alsinatihim wa ṭa‘nan fid-dīn(i), wa lau annahum qālū sami‘nā wa aṭa‘nā wasma‘ wanẓurnā lakāna khairal lahum wa aqwam(a), wa lākil la‘anahumullāhu bikufrihim falā yu'minūna illā qalīlā(n).

(Yaitu) di antara orang Yahudi, yang mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Dan mereka berkata, “Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya.” Dan (mereka mengatakan pula), “Dengarlah,” sedang (engkau Muhammad sebenarnya) tidak mendengar apa pun. Dan (mereka mengatakan), “Raa‘ina” dengan memutar-balikkan lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan, “Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami,” tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, tetapi Allah melaknat mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali sedikit sekali.

Di antara Ahli Kitab yang tersebut di atas ada pula yang mengubah kalimat-kalimat yang ada pada kitab mereka dan memindahkannya dari tempat semula ke tempat yang lain, sehingga kitab itu menjadi kacau dan tidak dapat lagi dijadikan pedoman. Mereka menafsirkan bahwa kedatangan Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw adalah tidak benar dan mereka masih menunggu kedatangan Isa dan Muhammad yang diutus dari kalangan mereka. Orang-orang Yahudi itu berkata kepada Nabi Muhammad saw, "Sami'na wa 'ashaina (kami mendengar ucapanmu akan tetapi kami tidak akan taat kepada perintahmu)." Mereka juga berkata kepada Nabi Muhammad saw, "Isma' gaira musma'in (dengarlah Muhammad semoga engkau tidak dapat mendengar/tuli)." Demikian juga mereka berkata kepada Nabi Muhammad saw, "Ra'ina (kiranya engkau memperhatikan kami)."

Ketika para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini terhadap Rasulullah. Padahal yang mereka maksud dengan ra'ina itu ialah "kebodohan yang sangat" sebagai celaan kepada Rasulullah saw. (lihat tafsir ayat 104 al-Baqarah, dan kosakata ra'ina). Semua pemakaian kata-kata yang tidak benar itu dimaksudkan untuk memutarbalikkan panggilan dan untuk mencela agama.Termasuk pula pemutaran lidah mereka terhadap Nabi Muhammad saw ialah bila mereka bertemu dengan Nabi, mereka mengucapkan, "As-sam (mudah-mudahan kamu mati)." Ucapan itu dijawab oleh Nabi, "Alaikum (mudah-mudahan kamulah yang mati)."

Sekiranya orang-orang Yahudi tidak mengucapkan kata-kata yang sejelek itu, tetapi mengganti ucapannya kepada Muhammad dengan "Sami'na wa ata'na wa isma' wa undhurna (kami mendengarkan ucapanmu dan menaati segala perintahmu, dengarkanlah ucapan kami dan perhatikanlah kami)," maka pastilah perkataan-perkataan itu akan membawa akibat yang sangat baik bagi mereka. Tetapi karena kekafiran mereka, mereka mendapat laknat Allah dan mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis yang tidak dapat membawa mereka kepada kebahagiaan yang hakiki.

Ayat 47

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اٰمِنُوْا بِمَا نَزَّلْنَا مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّطْمِسَ وُجُوْهًا فَنَرُدَّهَا عَلٰٓى اَدْبَارِهَآ اَوْ نَلْعَنَهُمْ كَمَا لَعَنَّآ اَصْحٰبَ السَّبْتِ ۗ وَكَانَ اَمْرُ اللّٰهِ مَفْعُوْلًا

yā ayyuhal-lażīna ūtul-kitāba āminū bimā nazzalnā muṣaddiqal limā ma‘akum min qabli an naṭmisa wujūhan fa naruddahā ‘alā adbārihā au nal‘anahum kamā la‘annā aṣḥābas-sabt(i), wa kāna amrullāhi maf‘ūlā(n).

Wahai orang-orang yang telah diberi Kitab! Berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu, sebelum Kami mengubah wajah-wajah(mu), lalu Kami putar ke belakang atau Kami laknat mereka sebagaimana Kami melaknat orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabat (Sabtu). Dan ketetapan Allah pasti berlaku.

Orang Yahudi yang pernah menerima Kitab Taurat dan orang Nasrani yang pernah menerima Kitab Injil, dalam ayat ini diperintahkan agar mereka percaya kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang membenarkan isi kedua kitab mereka. Di antara pokok-pokok isi Al-Qur'an adalah mengenai keesaan Allah, menjauhi perbuatan syirik dan memperkuat iman dengan memperbanyak amal saleh dan meninggalkan perbuatan-perbuatan keji, lahir dan batin. Tiga soal utama itu adalah tiang agama yang diperintahkan Allah untuk dilakukan oleh hamba-Nya. Perintah mempercayai Al-Qur'an harus diterima dengan positif oleh mereka agar Allah tidak mengubah wajah mereka, membalikkan muka mereka ke belakang dan mengutuk mereka sebagaimana nenek moyang mereka pernah dikutuk karena menangkap ikan pada hari yang terlarang, hari Sabat. Ketentuan-ketentuan Allah baik berupa penciptaan sesuatu maupun berupa pelaksanaan hukum atau ancaman, semua pasti akan terlaksana sebagaimana dikehendaki-Nya.

Sebagian mufasir memahami pengertian hukuman Allah berupa penghapusan mereka adalah membalikkan arah muka mereka dari menghadap jalan lurus ke arah jalan kesesatan.

Setelah turun ayat ini, banyak di antara Ahli Kitab yang masuk Islam karena takut kepada ancaman siksa itu. Di antara mereka itu ialah: Ka'ab Al-Ahbar. Allah yang bersifat Mahakuasa tidak akan menghadapi kesukaran sedikit pun dalam melaksanakan kudrat-iradat-Nya, termasuk pelaksanaan ancaman-Nya dalam ayat ini.

Ayat 48

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا

innallāha lā yagfiru ay yusyraka bihī wa yagfiru mā dūna żālika limay yasyā'(u), wa may yusyrik billāhi fa qadiftarā iṡman ‘aẓīmā(n).

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.

Allah sekali-kali tidak akan mengampuni perbuatan syirik yang dilakukan oleh hamba-Nya, kecuali apabila mereka bertobat sebelum mati. Syirik adalah dosa yang paling besar, karena orang musyrik beriktikad dan mempercayai bahwa Allah mempunyai sekutu dan tandingan yang sama derajatnya.

Dalam Al-Qur'an disebutkan berulang-ulang dosa syirik ini. Adapun dosa selain syirik, jika dikehendaki, Allah akan mengampuninya. Hal itu disesuaikan dengan hikmah kebijaksanaan-Nya dan menurut tata cara sunah-Nya yang berlaku. Misalnya yang berdosa itu benar-benar telah tobat dari dosanya dan mengiringi tobat itu dengan amal-amal saleh. Allah berfirman:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar." (an-Nisa/4:48).

" ¦Sesungguhnya barang siapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu". (al-Maidah/5:72).

Ayat 49

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ يُزَكُّوْنَ اَنْفُسَهُمْ ۗ بَلِ اللّٰهُ يُزَكِّيْ مَنْ يَّشَاۤءُ وَلَا يُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا

alam tara ilal-lażīna yuzakkūna anfusahum, balillāhu yuzakkī may yasyā'u wa lā yuẓlamūna fatīlā(n).

Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci (orang Yahudi dan Nasrani)? Sebenarnya Allah menyucikan siapa yang Dia kehendaki dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Hasan, bahwa ayat ini diturunkan mengenai orang-orang Yahudi dan Nasrani yang memuji-muji diri mereka dengan mengatakan bahwa mereka anak Allah dan kesayangan-Nya, tidak akan masuk surga selain orang Yahudi atau Nasrani dan mereka tidak akan masuk neraka kecuali beberapa hari saja.

Allah memperingatkan Nabi Muhammad saw agar berhati-hati terhadap tindakan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menganggap dan mengakui diri mereka sebagai orang suci. Pengakuan itu seperti tertera pada sebab turunnya ayat di atas bahwa ucapan mereka itu tidak benar karena mereka masih tetap dalam kekafiran dan tetap melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah.

Sebenarnya mereka tidak berhak membersihkan diri hanya dengan kata-kata dan pengakuan yang tidak beralasan. Membersihkan diri haruslah dengan amal perbuatan yang dapat menjadikan seseorang bersih dan bebas dari perbuatan syirik dan maksiat. Tidak ada gunanya seseorang mengemukakan kebersihan dirinya karena kebersihan diri seseorang berada di tangan Allah Yang Mahakuasa, dan Allah sekali-kali tidak akan menganiaya hamba-Nya.

Ayat 50

اُنْظُرْ كَيْفَ يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَۗ وَكَفٰى بِهٖٓ اِثْمًا مُّبِيْنًا ࣖ

unẓur kaifa yaftarūna ‘alallāhil-każib(a), wa kafā bihī iṡmam mubīnā(n).

Perhatikanlah, betapa mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah! Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka).

Ayat ini menekankan tentang keanehan perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Nabi Muhammad diperintahkan memperhatikan betapa beraninya orang-orang Yahudi dan Nasrani membuat kebohongan terhadap Allah dengan pengakuan mereka bahwa dirinya suci dan mereka disayangi oleh Allah secara khusus, tidak seperti umat-umat lain. Cukup jelas bahwa perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu merupakan dosa yang besar.

Ayat 51

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ اُوْتُوْا نَصِيْبًا مِّنَ الْكِتٰبِ يُؤْمِنُوْنَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوْتِ وَيَقُوْلُوْنَ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا هٰٓؤُلَاۤءِ اَهْدٰى مِنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا سَبِيْلًا

alam tara ilal-lażīna ūtū naṣībam minal-kitābi yu'minūna bil-jibti waṭ-ṭāgūti wa yaqūlūna lil-lażīna kafarū hā'ulā'i ahdā minal-lażīna āmanū sabīlā(n).

Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Kitab (Taurat)? Mereka percaya kepada Jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman.

Ayat ini mengisahkan kembali perbuatan orang-orang Yahudi yang telah diberi kitab, telah memahami dan mendalami isi kitab yang pada dasarnya menyuruh berbakti dan menyembah hanya kepada Allah saja, tetapi mereka masih juga mau bersujud dan menyembah berhala dan mempersekutukan Allah, memenuhi ajakan orang-orang Quraisy yang tidak memiliki kitab. Satu hal yang aneh dan mengherankan, mereka menyangka bahwa mereka orang-orang yang benar, yang mengikuti dan menempuh jalan yang lebih baik daripada jalan orang-orang mukmin pengikut Nabi Muhammad saw.

Bani Israil punya sejarah panjang dalam penyembahan berhala oleh nenek moyang mereka sampai generasi-generasi berikutnya. "Mereka meninggalkan Allah Tuhan mereka yang telah membawa mereka keluar dari tanah Mesir, lalu mengikuti tuhan lain, dari antara tuhan bangsa-bangsa di sekeliling mereka, dan sujud menyembah kepadanya, sehingga mereka menyakiti hati Tuhan" (Kitab Hakim-hakim. 2.12) dan sekian banyak lagi kisah penyembahan berhala oleh mereka.

Alangkah kelirunya mereka, dan mereka sangat rugi. Seperti tersebut dalam firman Allah:

Katakanlah (Muhammad), "Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?" (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya 'dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya. (al-Kahf/18:103-104).

Ayat 52

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَعَنَهُمُ اللّٰهُ ۗوَمَنْ يَّلْعَنِ اللّٰهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهٗ نَصِيْرًا

ulā'ikal-lażīna la‘anahumullāh(u), wa may yal‘anillāhu falan tajida lahū naṣīrā(n).

Mereka itulah orang-orang yang dilaknat Allah. Dan barangsiapa dilaknat Allah, niscaya engkau tidak akan mendapatkan penolong baginya.

Orang Yahudi dan orang-orang yang sifatnya seperti mereka dikutuk Allah, dijauhkan dari rahmat-Nya. Ar-Razi berkata, "Orang-orang Yahudi dan orang-orang semacam mereka itu, memang pantas dikutuk karena mereka sombong dan takabur; mereka memandang bahwa penyembah berhala lebih mulia daripada orang mukmin pengikut Muhammad. Apakah dapat diterima akal sehat bahwa orang musyrik, orang yang menyembah apa dan siapa pun selain Allah lebih baik dan lebih benar daripada orang yang hanya menyembah Allah?"

Barang siapa telah mendapat kutukan dari Allah pasti ia tidak akan menemukan penolong dan pembela yang akan membebaskannya dari siksaan dan azab di akhirat nanti, tidak ada yang akan memberi syafaat kepadanya dan tidak ada yang akan menolongnya.

Ayat 53

اَمْ لَهُمْ نَصِيْبٌ مِّنَ الْمُلْكِ فَاِذًا لَّا يُؤْتُوْنَ النَّاسَ نَقِيْرًاۙ

am lahum naṣībum minal-mulki fa iżal lā yu'tūnan-nāsa naqīrā(n).

Ataukah mereka mempunyai bagian dari kerajaan (kekuasaan), meskipun mereka tidak akan memberikan sedikit pun (kebajikan) kepada manusia,

Orang Yahudi tidak akan memperoleh kerajaan dan kekuasaan sesuai dengan yang dicita-citakan seperti sebelum Islam datang, karena mereka telah banyak berbuat aniaya, menempuh jalan yang sesat, dan tidak lagi mengamalkan isi kitab Taurat secara umum. Andaikata pada suatu ketika mereka membina kerajaan dan memiliki kekuasaan, itu berarti hanya bayangan yang sifatnya sementara, dan di kala itu mereka tidak akan memberikan sedikit pun kebajikan kepada manusia.

Ayat 54

اَمْ يَحْسُدُوْنَ النَّاسَ عَلٰى مَآ اٰتٰىهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۚ فَقَدْ اٰتَيْنَآ اٰلَ اِبْرٰهِيْمَ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاٰتَيْنٰهُمْ مُّلْكًا عَظِيْمًا

am yaḥsudūnan-nāsa ‘alā mā ātāhumullāhu min faḍlih(ī), faqad ātainā āla ibrāhīmal-kitāba wal-ḥikmata wa ātaināhum mulkan ‘aẓīmā(n).

ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah diberikan Allah kepadanya? Sungguh, Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepada mereka kerajaan (kekuasaan) yang besar.

Kalau ayat-ayat sebelumnya menerangkan sifat-sifat jelek Yahudi seperti sangkaan bahwa merekalah yang lebih baik dan menempuh jalan yang lebih benar dari orang-orang mukmin, maka pada ayat ini diterangkan sifat dengkinya kepada Muhammad saw, karena kenabian jatuh kepadanya, tidak kepada orang Yahudi, dan mereka dengki kepada pengikut-pengikut Nabi Muhammad saw, karena mereka percaya dan beriman kepadanya, terutama setelah mereka melihat kemajuan dan kemenangan yang dicapai oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya, dari hari ke hari bertambah kuat dan makin banyak pendukung dan pengikutnya.

Kedengkian orang-orang Yahudi kepada Muhammad dan pengikutnya, adalah suatu kekeliruan besar dari mereka dan sangat mengherankan, kerena apa yang telah dicapai Muhammad dan sahabat-sahabatnya bukanlah hal yang baru. Sebab Allah telah memberikan juga kitab, hikmah kerajaan kepada keluarga keturunan Nabi Ibrahim; seperti yang pernah diberikan kepada Nabi Yusuf, Nabi Daud dan Nabi Sulaiman.

Sifat dengki bukan hanya perasaan tidak senang melihat orang lain memperoleh nikmat Allah, malah menginginkan nikmat itu lenyap dari pemiliknya. Sifat itu tidak saja buruk tetapi juga akan menghilangkan pahala-pahala kebajikan yang telah dikerjakan. Nabi saw bersabda:

"Jauhilah sifat dengki karena sesungguhnya dengki itu memakan (pahala) kebaikan, seperti api memakan kayu bakar" (Riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah).

Ayat 55

فَمِنْهُمْ مَّنْ اٰمَنَ بِهٖ وَمِنْهُمْ مَّنْ صَدَّ عَنْهُ ۗ وَكَفٰى بِجَهَنَّمَ سَعِيْرًا

fa minhum man āmana bihī wa minhum man ṣadda ‘anh(u), wa kafā bijahannama sa‘īrā(n).

Maka di antara mereka (yang dengki itu), ada yang beriman kepadanya dan ada pula yang menghalangi (manusia beriman) kepadanya. Cukuplah (bagi mereka) neraka Jahanam yang menyala-nyala apinya.

Anugerah kenabian dan kekuasaan kepada nabi-Nya terdahulu seperti Nabi Ibrahim dan keluarganya menjadikan umatnya terbagi dua. Sebagian dari mereka percaya kepada nabi-Nya dan sebagian yang lain tetap di dalam kekafirannya, menghalangi orang lain beriman.

Begitu pula halnya umat sekarang ada yang beriman, dan ada pula yang ingkar. Ketahuilah, sekalipun mereka yang ingkar di dunia ini kelihatannya aman dan tenteram saja, tetapi di akhirat mereka akan merasakan pedihnya api yang menyala-nyala, kerena mengutamakan perbuatan yang batil dan sesat serta tidak mengikuti yang hak dan benar yang dibawa oleh nabi-Nya.

Ayat 56

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِنَا سَوْفَ نُصْلِيْهِمْ نَارًاۗ كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُوْدُهُمْ بَدَّلْنٰهُمْ جُلُوْدًا غَيْرَهَا لِيَذُوْقُوا الْعَذَابَۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَزِيْزًا حَكِيْمًا

innal-lażīna kafarū bi'āyātinā sanuṣlīhim nārā(n), kullamā naḍijat julūduhum baddalnāhum julūdan gairahā liyażūqul-‘ażāb(a), innallāha kāna ‘azīzan ḥakīmā(n).

Sungguh, orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan azab. Sungguh, Allah Maha-perkasa, Mahabijaksana.

Allah tidak akan membiarkan orang kafir dan orang yang mengingkari ayat-ayat Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya, tetapi bagi mereka telah disediakan api neraka.

Setiap kali kulit mereka hangus sampai tidak merasakan sesuatu lagi, kulit ini diganti dengan kulit yang baru yang dapat merasakan pedihnya api yang membakar. Demikian siksa itu berlaku seterusnya agar mereka senantiasa menderita dan merasakan kepedihan.

Ayat 57

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًاۗ لَهُمْ فِيْهَآ اَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ ۙ وَّنُدْخِلُهُمْ ظِلًّا ظَلِيْلًا

wal-lażīna āmanū wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti sanudkhiluhum jannātin tajrī min taḥtihal-anhāru khālidīna fīhā abadā(n), lahum fīhā azwājum muṭahharah(tun), wa nudkhiluhum ẓillan ẓalīlā(n).

Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Di sana mereka mempunyai pasangan-pasangan yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman.

Beruntung dan berbahagialah orang yang tidak termasuk golongan orang yang ingkar dan bergelimang dosa dan maksiat, dan mereka termasuk orang-orang yang beriman, mereka senantiasa percaya kepada apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, yang ditandai dengan perbuatan amal saleh, selalu taat dan patuh kepada perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, sekalipun pada suatu saat ia harus mempertaruhkan jiwanya.

Orang semacam itu akan dianugerahi segala macam nikmat dan kesenangan yang ada di dalam surga, mereka akan tetap kekal di dalamnya.

Ayat 58

۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

innallāha ya'murukum an tu'addul-amānāti ilā ahlihā, wa iżā ḥakamtum bainan-nāsi an taḥkumū bil-‘adl(i), innallāha ni‘immā ya‘iẓukum bih(ī), innallāha kāna samī‘am baṣīrā(n).

Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.

Ayat ini memerintahkan agar menyampaikan "amanat" kepada yang berhak. Pengertian "amanat" dalam ayat ini, ialah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kata "amanat" dengan pengertian ini sangat luas, meliputi "amanat" Allah kepada hamba-Nya, amanat seseorang kepada sesamanya dan terhadap dirinya sendiri.

Amanat Allah terhadap hamba-Nya yang harus dilaksanakan antara lain: melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Semua nikmat Allah berupa apa saja hendaklah kita manfaatkan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya.

Amanat seseorang terhadap sesamanya yang harus dilaksanakan antara lain: mengembalikan titipan kepada yang punya dengan tidak kurang suatu apa pun, tidak menipunya, memelihara rahasia dan lain sebagainya dan termasuk juga di dalamnya ialah:

a. Sifat adil penguasa terhadap rakyat dalam bidang apa pun dengan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain di dalam pelaksanaan hukum, sekalipun terhadap keluarga dan anak sendiri, sebagaimana ditegaskan Allah dalam ayat ini.

¦ Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.... (an-Nisa'/4:58).

Dalam hal ini cukuplah Nabi Muhammad saw menjadi contoh. Di dalam satu pernyataannya beliau bersabda:

"Andaikata Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya saya potong tangannya" (Riwayat asy-Syaikhan dari 'Â'isyah).

b.Sifat adil ulama (yaitu orang yang berilmu pengetahuan) terhadap orang awam, seperti menanamkan ke dalam hati mereka akidah yang benar, membimbingnya kepada amal yang bermanfaat baginya di dunia dan di akhirat, memberikan pendidikan yang baik, menganjurkan usaha yang halal, memberikan nasihat-nasihat yang menambah kuat imannya, menyelamatkan dari perbuatan dosa dan maksiat, membangkitkan semangat untuk berbuat baik dan melakukan kebajikan, mengeluarkan fatwa yang berguna dan bermanfaat di dalam melaksanakan syariat dan ketentuan Allah.

c.Sifat adil seorang suami terhadap istrinya, begitu pun sebaliknya, seperti melaksanakan kewajiban masing-masing terhadap yang lain, tidak membeberkan rahasia pihak yang lain, terutama rahasia khusus antara keduanya yang tidak baik diketahui orang lain.

Amanat seseorang terhadap dirinya sendiri; seperti berbuat sesuatu yang menguntungkan dan bermanfaat bagi dirinya dalam soal dunia dan agamanya. Janganlah ia membuat hal-hal yang membahayakannya di dunia dan akhirat, dan lain sebagainya.

Ajaran yang sangat baik ini yaitu melaksanakan amanah dan hukum dengan seadil-adilnya, jangan sekali-kali diabaikan, tetapi hendaklah diindahkan, diperhatikan dan diterapkan dalam hidup dan kehidupan kita, untuk dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ayat 59

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

yā ayyuhal-lażīna āmanū aṭī‘ullāha wa aṭī‘ur-rasūla wa ulil-amri minkum, fa in tanāza‘tum fī syai'in fa rudd­hu ilallāhi war-rasūli in kuntum tu'minūna billāhi wal-yaumil-ākhir(i), żālika khairuw wa aḥsanu ta'wīlā(n).

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Ayat ini memerintahkan agar kaum Muslimin taat dan patuh kepada-Nya, kepada rasul-Nya dan kepada orang yang memegang kekuasaan di antara mereka agar tercipta kemaslahatan umum. Untuk kesempurnaan pelaksanaan amanat dan hukum sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, hendaklah kaum Muslimin:

a. Taat dan patuh kepada perintah Allah dengan mengamalkan isi Kitab suci Al-Qur'an, melaksanakan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, sekalipun dirasa berat, tidak sesuai dengan keinginan dan kehendak pribadi. Sebenarnya segala yang diperintahkan Allah itu mengandung maslahat dan apa yang dilarang-Nya mengandung mudarat.

b.Melaksanakan ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah saw pembawa amanat dari Allah untuk dilaksanakan oleh segenap hamba-Nya. Dia ditugaskan untuk menjelaskan kepada manusia isi Al-Qur'an. Allah berfirman:

"... Dan Kami turunkan Adz-dzikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka ¦." (an-Nahl/16:44).

c.Patuh kepada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan ulil amri yaitu orang-orang yang memegang kekuasaan di antara mereka. Apabila mereka telah sepakat dalam suatu hal, maka kaum Muslimin berkewajiban melaksanakannya dengan syarat bahwa keputusan mereka tidak bertentangan dengan Kitab Al-Qur'an dan hadis. Kalau tidak demikian halnya, maka kita tidak wajib melaksanakannya, bahkan wajib menentangnya, karena tidak dibenarkan seseorang itu taat dan patuh kepada sesuatu yang merupakan dosa dan maksiat pada Allah.

Nabi Muhammad saw bersabda:

"Tidak (dibenarkan) taat kepada makhluk di dalam hal-hal yang merupakan maksiat kepada Khalik (Allah swt)." (Riwayat Ahmad).

d.Kalau ada sesuatu yang diperselisihkan dan tidak tercapai kata sepakat, maka wajib dikembalikan kepada Al-Qur'an dan hadis. Kalau tidak terdapat di dalamnya haruslah disesuaikan dengan (dikiaskan kepada) hal-hal yang ada persamaan dan persesuaiannya di dalam Al-Qur'an dan sunah Rasulullah saw.

Tentunya yang dapat melakukan kias seperti yang dimaksud di atas ialah orang-orang yang berilmu pengetahuan, mengetahui dan memahami isi Al-Qur'an dan sunah Rasul. Demikianlah hendaknya dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhirat.

Ayat 60

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ اَنَّهُمْ اٰمَنُوْا بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّتَحَاكَمُوْٓا اِلَى الطَّاغُوْتِ وَقَدْ اُمِرُوْٓا اَنْ يَّكْفُرُوْا بِهٖ ۗوَيُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّضِلَّهُمْ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا

alam tara ilal-lażīna yaz‘umūna annahum āmanū bimā unzila ilaika wa mā unzila min qablika yurīdūna ay yataḥākamū ilaṭ-ṭāgūti wa qad umirū ay yakfurū bih(ī), wa yurīdusy-syaiṭānu ay yuḍillahum ḍalālam ba‘īdā(n).

Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, Muhammad saw agar memperhatikan sikap dan tingkah laku orang-orang yang telah mengaku dirinya beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepada Rasulullah saw dan kepada kitab-kitab suci lainnya yang diturunkan kepada nabi dan rasul sebelumnya. Orang-orang yang mengaku beriman ini telah berbuat sesuatu yang berlawanan dengan pengakuan keimanan yang mereka ucapkan. Andaikata mereka benar-benar beriman kepada Muhammad sebagaimana diucapkan dengan mulut mereka, tentu mereka mau bertahkim kepadanya untuk menyelesaikan persengketaan yang terjadi di antara mereka, dan tidak akan mau bertahkim kepada Tagut yaitu orang yang banyak bergelimang dalam kejahatan dan kesesatan. Yang dimaksud dengan Tagut di sini ialah Ka'ab bin al-Asyraf, seorang Yahudi yang selalu memusuhi Nabi Muhammad saw dan kaum Muslimin. Ada yang mengatakan yang dimaksud Tagut di sini ialah Abu Barzah al-Aslami seorang tukang tenung di masa Nabi. Termasuk juga di sini berhala-berhala dan setiap orang yang membuat dan menetapkan hukum secara tidak benar. Demikianlah mereka telah disesatkan oleh setan dengan penyesatan yang sangat jauh.

Ayat 61

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا اِلٰى مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَاِلَى الرَّسُوْلِ رَاَيْتَ الْمُنٰفِقِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْكَ صُدُوْدًاۚ

wa iżā qīla lahum ta‘ālau ilā mā anzalallāhu wa ilar-rasūli ra'aital-munāfiqīna yaṣuddūna ‘anka ṣudūdā(n).

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (patuh) kepada apa yang telah diturunkan Allah dan (patuh) kepada Rasul,” (niscaya) engkau (Muhammad) melihat orang munafik menghalangi dengan keras darimu.

Dalam ayat ini dijelaskan tentang sikap dan tingkah laku orang-orang yang mengaku beriman di mulut dan membangkang di hati. Jika diajak beramal atau menjalankan apa yang diturunkan Allah dalam Al-Qur'an dan menerima hukum dari Rasulullah. Mereka tetap berpaling dan menghalangi manusia menerima hukum tersebut dengan segala macam jalan dan alasan, padahal hukum Allah dan Rasul itu adalah hukum yang benar dan adil. Yang mendorong mereka bersikap demikian hanyalah semata-mata karena memperturutkan hawa nafsu saja.

Ayat 62

فَكَيْفَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۢبِمَا قَدَّمَتْ اَيْدِيْهِمْ ثُمَّ جَاۤءُوْكَ يَحْلِفُوْنَ بِاللّٰهِ ۖاِنْ اَرَدْنَآ اِلَّآ اِحْسَانًا وَّتَوْفِيْقًا

fa kaifa iżā aṣābathum muṣībatum bimā qaddamat aidīhim ṡumma jā'ūka yaḥlifūna billāh(i), in aradnā illā iḥsānaw wa taufīqā(n).

Maka bagaimana halnya apabila (kelak) musibah menimpa mereka (orang munafik) disebabkan perbuatan tangannya sendiri, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil bersumpah, “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaikan dan kedamaian.”

Ayat ini menerangkan tentang kelicikan orang-orang munafik, apabila mereka ditimpa suatu musibah karena rahasia mereka telah terbuka dan diketahui oleh Rasulullah dan orang-orang mukmin, mereka datang kepada Nabi sambil bersumpah, "Demi Allah, perbuatan kami itu bukanlah dengan maksud jahat dan sengaja melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya, tetapi semata-mata karena ingin hendak mencapai penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna," padahal sumpah mereka itu hanyalah semata-mata siasat licik belaka.

Ayat 63

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ يَعْلَمُ اللّٰهُ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَاَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَّهُمْ فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ قَوْلًا ۢ بَلِيْغًا

ulā'ikal-lażīna ya‘lamullāhu mā fī qulūbihim fa a‘riḍ ‘anhum wa ‘iẓhum wa qul lahum fī anfusihim qaulam balīgā(n).

Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.

Demikianlah kelicikan dari orang-orang munafik, tetapi ayat ini menyatakan dengan tegas bahwa mereka itu adalah orang-orang yang telah diketahui apa yang tersimpan di dalam hati mereka, yaitu sifat dengki dan keinginan untuk melakukan tipu muslihat yang merugikan kaum Muslimin. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada Rasulullah dan kaum Muslimin agar jangan mempercayai mereka dan jangan terpedaya oleh tipu muslihat mereka. Di samping itu hendaklah mereka diberi peringatan dan pelajaran dengan kata-kata yang dapat mengembalikan mereka kepada kesadaran dan keinsafan sehingga mereka bebas dari sifat kemunafikan, dan benar-benar menjadi orang yang beriman.

Ayat 64

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا لِيُطَاعَ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَلَوْ اَنَّهُمْ اِذْ ظَّلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ جَاۤءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللّٰهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللّٰهَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا

wa mā arsalnā mir rasūlin illā liyuṭā‘a bi'iżnillāh(i), wa lau annahum iẓ ẓalamū anfusahum jā'ūka fastagfarullāha wastagfara lahumur-rasūlu lawajadullāha tawwābar raḥīmā(n).

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.

Bagian pertama dari ayat ini menerangkan bahwa setiap rasul yang diutus Allah ke dunia ini semenjak dari dahulu sampai kepada Nabi Muhammad saw wajib ditaati dengan izin (perintah) Allah, karena tugas risalah mereka adalah sama, yaitu untuk menunjukkan umat manusia ke jalan yang benar dan kebahagiaan hidup mereka di dunia dan di akhirat.

Dalam ayat ini dikaitkan taat itu dengan izin Allah, maksudnya bahwa tidak ada satu makhluk pun yang boleh ditaati melainkan dengan izin Allah atau sesuai dengan perintah-Nya, seperti menaati rasul, ulil amri, ibu bapak dan sebagainya, selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi thalib yang berbunyi:

"Tidak boleh menaati manusia yang menyuruh melanggar perintah Allah" (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abi thalib).

"Sesungguhnya yang ditaati itu hanya perintah berbuat makruf, (Riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa'i).

Bagian kedua sampai akhir ayat ini menerangkan: Andaikata orang yang menganiaya dirinya sendiri yaitu orang yang bertahkim kepada thagut seperti tersebut pada ayat 60, datang kepada Nabi Muhammad ketika itu, lalu mereka memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun turut memohon agar mereka diampuni, niscaya Allah akan mengampuni mereka, karena Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.

Di dalam ayat ini disebutkan orang-orang yang bertahkim kepada thagut itu adalah orang-orang yang menganiaya diri sendiri, karena mereka melakukan kesalahan besar dan membangkang tidak mau sadar. Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang bertobat agar tobatnya diterima oleh Tuhan, antara lain:

a. Tobat itu dilakukan seketika itu juga, artinya segera setelah membuat kesalahan.

b.Hendaklah tobat itu merupakan tobat nasuha, artinya benar-benar menyesal atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat dan tidak akan mengulangi lagi.

c. Bila ada hak orang lain yang dilanggar, hak orang itu haruslah diselesaikan lebih dahulu dengan meminta maaf dan mengembalikan/mengganti kerugian.

Sebab turunnya ayat ini berhubungan dengan peristiwa berikut sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan perawi-perawi lain. Mereka menceritakan bahwa Zubair bin 'Awwam mengadukan seorang laki-laki dari kaum Ansar kepada Rasulullah saw dalam suatu persengketaan tentang pembagian air untuk kebun kurma. Rasulullah memberi putusan seraya berkata kepada Zubair, "Airilah kebunmu itu lebih dahulu kemudian alirkanlah air itu kepada kebun tetanggamu". Maka laki-laki itu berkata, "Apakah karena dia anak bibimu hai Rasulullah?" Maka berubahlah muka Rasulullah karena mendengar tuduhan tentang itu. Rasulullah berkata lagi (untuk menguatkan putusannya) "Airilah hai Zubair, kebunmu itu sehingga air itu meratainya, kemudian alirkanlah kepada kebun tetanggamu". Maka turunlah ayat ini.

Ayat 65

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

falā wa rabbika lā yu'minūna ḥattā yuḥakkimūka fīmā syajara bainahum ṡumma lā yajidū fī anfusihim ḥarajam mimmā qaḍaita wa yusallimū taslīmā(n).

Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Ayat ini menjelaskan dengan sumpah bahwa walaupun ada orang yang mengaku beriman, tetapi pada hakikatnya tidaklah mereka beriman selama mereka tidak mau bertahkim kepada Rasul. Rasulullah saw pernah mengambil keputusan dalam perselisihan yang terjadi di antara mereka, seperti yang terjadi pada orang-orang munafik. Atau mereka bertahkim kepada Rasul tetapi kalau putusannya tidak sesuai dengan keinginan mereka lalu merasa keberatan dan tidak senang atas putusan itu, seperti putusan Nabi untuk az-Zubair bin Awwam ketika seorang laki-laki dari kaum Ansar yang tersebut di atas datang dan bertahkim kepada Rasulullah.

Jadi orang yang benar-benar beriman haruslah mau bertahkim kepada Rasulullah dan menerima putusannya dengan sepenuh hati tanpa merasa curiga dan keberatan. Memang putusan seorang hakim baik ia seorang rasul maupun bukan, haruslah berdasarkan kenyataan dan bukti-bukti yang cukup.

Ayat 66

وَلَوْ اَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ اَنِ اقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ اَوِ اخْرُجُوْا مِنْ دِيَارِكُمْ مَّا فَعَلُوْهُ اِلَّا قَلِيْلٌ مِّنْهُمْ ۗوَلَوْ اَنَّهُمْ فَعَلُوْا مَا يُوْعَظُوْنَ بِهٖ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَاَشَدَّ تَثْبِيْتًاۙ

wa lau annā katabnā ‘alaihim aniqtulū anfusakum awikhrujū min diyārikum mā fa‘alūhu illā qalīlum minhum, wa lau annahum fa‘alū mā yū‘aẓūna bihī lakāna khairal lahum wa asyadda taṡbītā(n).

Dan sekalipun telah Kami perintahkan kepada mereka, “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu,” ternyata mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sekiranya mereka benar-benar melaksanakan perintah yang diberikan, niscaya itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),

Ayat ini menjelaskan berbagai sikap manusia pada umumnya dalam mematuhi perintah Allah. Kebanyakan mereka apabila diperintahkan hal-hal yang berat, mereka enggan bahkan menolak untuk melaksanakannya seperti halnya orang-orang munafik dan mereka yang lemah imannya.

Adapun orang yang benar-benar beriman selalu menaati segala yang diperintahkan Allah bagaimanapun beratnya perintah itu, walaupun perintah itu meminta pengorbanan jiwa, harta atau meninggalkan kampung halaman. Hal ini terbukti dari sikap kaum Muslimin pada waktu diperintahkan hijrah ke Madinah dan pada waktu diperintahkan berperang melawan musuh yang amat kuat, berlipat ganda jumlahnya dan lengkap persenjataannya. Inilah yang digambarkan oleh Nabi Muhammad saw dalam sabdanya yang tersebut di atas.

Sebenarnya kalau manusia itu melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan apa yang di larang-Nya, itulah yang lebih baik bagi mereka, karena dengan demikian iman mereka bertambah kuat dan akan menumbuhkan sifat-sifat yang terpuji pada diri mereka.

Ayat 67

وَّاِذًا لَّاٰتَيْنٰهُمْ مِّنْ لَّدُنَّآ اَجْرًا عَظِيْمًاۙ

wa iżal la'ātaināhum mil ladunnā ajran ‘aẓīmā(n).

dan dengan demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami,

Kemudian dijelaskan bahwa kalau mereka berbuat kebaikan dan mematuhi segala perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya serta beramal dengan penuh ikhlas, niscaya Allah akan memberikan kepada mereka pahala yang besar dan akan memimpin mereka ke jalan yang lurus yang dapat membawa kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.

Ayat 68

وَّلَهَدَيْنٰهُمْ صِرَاطًا مُّسْتَقِيْمًا

wa lahadaināhum ṣirāṭam mustaqīmā(n).

dan pasti Kami tunjukkan kepada mereka jalan yang lurus.

Kemudian dijelaskan bahwa kalau mereka berbuat kebaikan dan mematuhi segala perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya serta beramal dengan penuh ikhlas, niscaya Allah akan memberikan kepada mereka pahala yang besar dan akan memimpin mereka ke jalan yang lurus yang dapat membawa kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.

Ayat 69

وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَ ۚ وَحَسُنَ اُولٰۤىِٕكَ رَفِيْقًا

wa may yuṭi‘illāha war-rasūla fa ulā'ika ma‘al-lażīna an‘amallāhu ‘alaihim minan-nabiyyīna waṣ-ṣiddīqīna wasy-syuhadā'i waṣ-ṣāliḥīn(a), wa ḥasuna ulā'ika rafīqā(n).

Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Ayat ini mengajak dan mendorong setiap orang agar taat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Allah berjanji akan membalas ketaatan dengan pahala yang sangat besar, yaitu bukan saja sekedar masuk surga, tetapi akan ditempatkan bersama-sama dengan orang-orang yang paling tinggi derajatnya di sisi Tuhan, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada (orang-orang yang mati syahid) dan orang-orang yang saleh.

Berdasarkan ayat ini para ahli tafsir secara garis besarnya membagi orang-orang yang memperoleh anugerah Allah yang paling besar di dalam surga kepada empat macam yaitu:

1.Para rasul dan nabi, yaitu mereka yang menerima wahyu dari Allah.

2.Para shiddiqin, yaitu orang-orang yang teguh keimanannya kepada kebenaran nabi dan rasul.

3.Para syuhada mempunyai kriteria sebagai berikut:

a.Orang beriman yang berjuang di jalan Allah dan mati syahid dalam peperangan melawan orang kafir

b.Orang yang menghabiskan usianya berjuang di jalan Allah dengan harta dan dengan segala macam jalan yang dapat dilaksanakannya.

c.Orang beriman yang mati ditimpa musibah mendadak atau teraniaya, seperti mati bersalin, tenggelam, terbunuh dengan aniaya. Bagian (a) disebut syahid dunia dan akhirat yang lebih tinggi pahalanya dari bagian (b) dan (c) yang keduanya hanya dinamakan syahid akhirat. Ada satu bagian lagi yang disebut namanya syahid dunia, yaitu orang-orang yang mati berperang melawan kafir, hanya untuk mencari keuntungan duniawi, seperti untuk mendapatkan harta rampasan, untuk mencari nama dan sebagainya. Syahid yang serupa ini tidak dimasukkan pembagian syahid di atas, karena syahid dunia tersebut tidak termaksud sama sekali dalam kedua ayat ini.

4. Orang-orang saleh, yaitu orang-orang yang selalu berbuat amal baik yang bermanfaat untuk umum, termasuk dirinya dan keluarganya baik untuk kebahagiaan hidup duniawi maupun untuk kebahagiaan hidup ukhrawi yang sesuai dengan ajaran Allah.

Orang yang benar-benar taat kepada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang tersebut dalam ayat ini akan masuk surga dan ditempatkan bersama-sama dengan semua golongan yang empat itu.

Ayat 70

ذٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللّٰهِ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ عَلِيْمًا ࣖ

Żālikal-faḍlu minallāh(i), wa kafā billāhi ‘alīmā(n).

Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan cukuplah Allah yang Maha Mengetahui.

Pahala yang dijanjikan Allah kepada orang yang taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, adalah karunia yang tidak ada tara dan bandingannya bagi yang ingin mencapainya. Allah lah Yang Maha Mengetahui siapa yang benar-benar taat kepada-Nya, sehingga berhak memperoleh pahala yang besar itu.

Ayat 71

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا خُذُوْا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوْا ثُبَاتٍ اَوِ انْفِرُوْا جَمِيْعًا

yā ayyuhal-lażīna āmanū khużū ḥiżrakum fanfirū ṡubātin awinfirū jamī‘ā(n).

Wahai orang-orang yang beriman! Bersiapsiagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) secara berkelompok, atau majulah bersama-sama (serentak).

Dalam ayat ini diperintahkan untuk mengadakan segala macam persiapan menghadapi musuh, ayat ini seirama dengan ayat 60 surah al-Anfal. Menurut Sayyid Qutub, ayat-ayat ini diturunkan segera setelah Perang Uhud dan sebelum Perang Khandak. Tetapi beliau tidak menyebutkan sebab turunnya.

Orang mukmin harus senantiasa bersiap siaga dalam segala hal, untuk menghadapi orang-orang kafir dalam peperangan, dimana wajib maju ke medan pertempuran, baik secara berkelompok maupun secara serempak, sesuai dengan taktik strategi peperangan, dan menurut komando yang diatur dengan baik.

Hal ini sudah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad saw dalam menghadapi beberapa peperangan yang terjadi antara kaum Muslimin dengan orang-orang kafir. Beliau sebelum membebaskan kota Mekah lebih dahulu telah mengetahui kekuatan musuh dan strategi mereka dalam menghadapi kaum Muslimin dan mengetahui pula secara mendalam bagaimana semangat dan kekuatan iman yang dimiliki oleh pengikut-pengikutnya. Pada umumnya Nabi dalam melakukan peperangan telah mengetahui lebih dahulu keadaan musuh dan kesetiaan pengikutnya.

Ayat 72

وَاِنَّ مِنْكُمْ لَمَنْ لَّيُبَطِّئَنَّۚ فَاِنْ اَصَابَتْكُمْ مُّصِيْبَةٌ قَالَ قَدْ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيَّ اِذْ لَمْ اَكُنْ مَّعَهُمْ شَهِيْدًا

wa inna minkum lamal layubaṭṭi'ann(a), fa in aṣābatkum muṣībatun qāla qad an‘amallāhu ‘alayya iż lam akum ma‘ahum syahīdā(n).

Dan sesungguhnya di antara kamu pasti ada orang yang sangat enggan (ke medan pertempuran). Lalu jika kamu ditimpa musibah dia berkata, “Sungguh, Allah telah memberikan nikmat kepadaku karena aku tidak ikut berperang bersama mereka.”

Di antara kaum Muslimin ada yang enggan dan tidak segera bersiap-siap untuk pergi ke medan pertempuran dengan bermacam alasan agar mereka tidak jadi ikut bertempur. Mereka ini adalah orang-orang yang lemah iman dan orang-orang munafik yang selalu terdapat dalam setiap peperangan dan perjuangan di sepanjang masa.

Selanjutnya ayat ini menjelaskan bagaimana sikap kaum munafik dan orang yang tidak ikut berperang. Bila kaum Muslimin ditimpa musibah atau kekalahan dalam medan pertempuran, mereka merasa gembira dan menganggap bahwa tidak ikutnya mereka dalam peperangan sebagai satu karunia dari Allah karena mereka tidak ikut terbunuh atau luka-luka.

Ayat 73

وَلَىِٕنْ اَصَابَكُمْ فَضْلٌ مِّنَ اللّٰهِ لَيَقُوْلَنَّ كَاَنْ لَّمْ تَكُنْۢ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهٗ مَوَدَّةٌ يّٰلَيْتَنِيْ كُنْتُ مَعَهُمْ فَاَفُوْزَ فَوْزًا عَظِيْمًا

wa la'in aṣābakum faḍlum minallāhi layaqūlanna ka'allam takum bainakum wa bainahū mawaddattuy yā laitanī kuntu ma‘ahum fa afūza fauzan ‘aẓīmā(n).

Dan sungguh, jika kamu mendapat karunia (kemenangan) dari Allah, tentulah dia mengatakan seakan-akan belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia, “Wahai, sekiranya aku bersama mereka, tentu aku akan memperoleh kemenangan yang agung (pula).”

Ayat ini menambah penjelasan tentang sikap kaum munafik dan orang yang lemah iman. Jika kaum Muslimin memperoleh kemenangan dalam peperangan melawan orang kafir maka mereka ini berkata, "Andaikata saya ikut dengan mereka dalam peperangan, tentulah saya mendapat keuntungan yang besar dengan memperoleh harta rampasan yang banyak."

Ucapan seperti ini menggambarkan seakan-akan mereka adalah orang lain yang tidak mempunyai hubungan silaturrahmi sedikit pun dengan kaum Muslimin, padahal mereka telah bergabung dengan kaum Muslimin dan telah hidup bersama mereka dalam suasana yang aman dan baik, tetapi dalam hati mereka tersimpan rasa hasad dan dengki yang mendalam.

Ayat 74

۞ فَلْيُقَاتِلْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يَشْرُوْنَ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا بِالْاٰخِرَةِ ۗ وَمَنْ يُّقَاتِلْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَيُقْتَلْ اَوْ يَغْلِبْ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا

falyuqātil fī sabīlillāhil-lażīna yasytarūnal-ḥayātad-dun-yā bil-ākhirah(ti), wa may yuqātil fī sabīlillāhi fa yuqtal au yaglib fa saufa nu'tīhi ajran ‘aẓīmā(n).

Karena itu, hendaklah orang-orang yang menjual kehidupan dunia untuk (kehidupan) akhirat berperang di jalan Allah. Dan barangsiapa berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka akan Kami berikan pahala yang besar kepadanya.

Berperang di jalan Allah adalah suatu pekerjaan yang mulia. Orang yang berperang di jalan Allah pasti mendapat keuntungan besar. Orang yang benar-benar beriman dan ikhlas dalam melaksanakan tuntutan agamanya serta rela mengorbankan kepentingan dunianya untuk mencapai keutamaan di akhirat hendaklah ikut berperang di jalan Allah. Barang siapa berperang di jalan Allah, maka ia akan memperoleh salah satu dari dua kebajikan, mati syahid di jalan Allah atau menang dalam peperangan, yang masing-masing dari dua kebajikan itu akan dibalas oleh Tuhan dengan pahala yang besar, karena orang yang mati syahid telah dengan ikhlas mengorbankan jiwa raganya dalam mematuhi perintah Allah, sedang yang menang dan masih hidup akan dapat pula melanjutkan perjuangan untuk menegakkan keadilan dan membela kebenaran di jalan Allah.

Ayat 75

وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاۤءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآ اَخْرِجْنَا مِنْ هٰذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ اَهْلُهَاۚ وَاجْعَلْ لَّنَا مِنْ لَّدُنْكَ وَلِيًّاۚ وَاجْعَلْ لَّنَا مِنْ لَّدُنْكَ نَصِيْرًا

wa mā lakum lā tuqātilūna fī sabīlillāhi wal-mustaḍ‘afīna minar-rijāli wan-nisā'i wal-wildānil-lażīna yaqūlūna rabbanā akhrijnā min hāżihil-qaryatiẓ-ẓālimi ahluhā, waj‘al lanā mil ladunka waliyyā(n), waj‘al lanā mil ladunka naṣīrā(n).

Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang berdoa, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.”

Dalam ayat ini terdapat dorongan yang kuat agar kaum Muslimin berperang di jalan Allah untuk membela saudara-saudara mereka yang tertindas dan yang berada dalam cengkeraman musuh, karena mereka lemah dan tidak berdaya baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Keamanan mereka terancam. Mereka tidak mampu membebaskan diri dari cengkeraman musuh, mereka ditindas dan dianiaya oleh penguasa-penguasa yang zalim, mereka tidak berbuat apa-apa selain berdoa memohon pertolongan dan perlindungan dari Allah. Allah mendorong untuk berperang dengan cara yang lebih mendalam, mengetuk pintu hati nurani setiap orang yang masih memiliki perasaan dan keinginan yang baik, dengan menyebutkan keuntungan dan tujuan murni dari peperangan menurut Islam.

Tujuan perang dalam Islam ialah meninggikan kalimah Allah, membela hak saudara-saudara seagama, membela hak-hak asasi manusia dan menegakkan norma-norma akhlak yang tinggi dan membela diri; bukan untuk memperbudak atau menjajah atau untuk menguasai bangsa atau negara atau hak-hak orang lain.

Berdasarkan tujuan berperang di atas, adalah menjadi kewajiban bagi kaum Muslimin membebaskan setiap Muslim yang ditawan oleh musuh dengan berperang atau menebusnya dengan harta. Menurut Abu Abdillah al-Qurtubi, tidak ada perbedaan paham di antara ulama dalam hukum ini, mereka telah sepakat semuanya. Harta untuk penebusannya diambilkan dari baitul mal atau wajib ditanggung oleh seluruh umat Islam jika dana tidak tersedia.

Ayat 76

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۚ وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ الطَّاغُوْتِ فَقَاتِلُوْٓا اَوْلِيَاۤءَ الشَّيْطٰنِ ۚ اِنَّ كَيْدَ الشَّيْطٰنِ كَانَ ضَعِيْفًا ۚ ࣖ

al-lażīna āmanū yuqātilūna fī sabīlillāh(i), wal-lażīna kafarū yuqātilūna fī sabīliṭ-ṭāgūti fa qātilū auliyā'asy-syaiṭān(i), inna kaidasy-syaiṭāni kāna ḍa‘īfā(n).

Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, maka perangilah kawan-kawan setan itu, (karena) sesungguhnya tipu daya setan itu lemah.

Orang mukmin berperang untuk menegakkan keadilan dan membela diri, sedang orang musyrik berperang karena mengikuti hawa nafsu yang dikendalikan oleh setan dan mengembangkan angkara murka di dunia, sehingga kalau orang mukmin meninggalkan atau mengabaikan tugas berperang di jalan Allah, niscaya kerusakan yang ditimbulkan oleh berbagai perbuatan hawa nafsu akan merajalela.

Oleh karena tujuan berperang dalam Islam demikian suci dan murninya, yaitu untuk mempertahankan diri dan membasmi kezaliman dan angkara murka, maka hendaklah kaum Muslimin menyerang musuh-musuh Islam yang menjadi kawan-kawan setan itu, dan hendaklah diyakini, bahwa tipu daya setan itu lemah, tidak akan mampu mengalahkan orang-orang yang benar-benar beriman.

Ayat 77

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ قِيْلَ لَهُمْ كُفُّوْٓا اَيْدِيَكُمْ وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَۚ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ اِذَا فَرِيْقٌ مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللّٰهِ اَوْ اَشَدَّ خَشْيَةً ۚ وَقَالُوْا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَۚ لَوْلَآ اَخَّرْتَنَآ اِلٰٓى اَجَلٍ قَرِيْبٍۗ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيْلٌۚ وَالْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقٰىۗ وَلَا تُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا

alam tara ilal-lażīna qīla lahum kuffū aidiyakum wa aqīmuṣ-ṣalāta wa ātuz-zakāt(a), fa lammā kutiba ‘alaihimul-qitālu iżā farīqum minhum yakhsyaunan-nāsa kakhasy-yatillāhi au asyadda khasy-yah(tan), wa qālū rabbanā lima katabta ‘alainal-qitāl(a), lau lā akhkhartanā ilā ajalin qarīb(in), qul matā‘ud-dun-yā qalīl(un), wal-ākhiratu khairul limanittaqā, wa lā tuẓlamūna fatīlā(n).

Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, ”Tahanlah tanganmu (dari berperang), laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat!” Ketika mereka diwajibkan berperang, tiba-tiba sebagian mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih takut (dari itu). Mereka berkata, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tunda (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?” Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (mendapat pahala turut berperang) dan kamu tidak akan dizalimi sedikit pun.”

Ayat ini menggambarkan keadaan masyarakat masa jahiliah. Mereka suka berperang meskipun karena sebab yang kecil. Setelah masuk Islam, mereka diperintahkan agar menghentikan perang, melaksanakan salat dan membayar zakat. Sebagian dari mereka mengharapkan adanya perintah perang karena kepentingan duniawi sebagaimana kebiasaan mereka pada masa jahiliah.

Ayat ini memerintahkan kepada sebagian kaum Muslimin yang enggan berperang agar mereka bersikap tenang dan menahan diri untuk tidak mengadakan peperangan terhadap orang kafir dan mereka hanya diperintahkan melakukan salat dan membayar zakat. Tetapi pada waktu mereka diperintahkan berperang untuk mempertahankan diri, ternyata sebagian dari mereka tidak bersemangat untuk berperang karena takut kepada musuh, padahal semestinya mereka hanya takut kepada Allah. Malahan mereka berkata, "Mengapa kami diwajibkan berperang pada waktu ini, biarkanlah kami mati seperti biasa."

Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar mengatakan kepada sebagian kaum Muslimin bahwa sikap mereka itu adalah sikap seorang pengecut, karena takut mati dan cinta kepada harta dunia, sedangkan kelezatan dunia itu hanya sedikit sekali dibandingkan dengan kelezatan akhirat yang abadi dan tidak terbatas, yang hanya akan didapat oleh orang-orang yang bertakwa kepada Allah yaitu orang yang bersih dari syirik dan akhlak yang rendah. Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah tidak akan menganiaya dan merugikan manusia. Masing-masing akan mendapat balasan sesuai dengan amal perbuatannya walaupun sebesar zarrah.

Ayat 78

اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يُدْرِكْكُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِيْ بُرُوْجٍ مُّشَيَّدَةٍ ۗ وَاِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَّقُوْلُوْا هٰذِهٖ مِنْ عِنْدِ اللّٰهِ ۚ وَاِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَّقُوْلُوْا هٰذِهٖ مِنْ عِنْدِكَ ۗ قُلْ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ ۗ فَمَالِ هٰٓؤُلَاۤءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُوْنَ يَفْقَهُوْنَ حَدِيْثًا

aina mā takūnū yudrikkumul-mautu wa lau kuntum fī burūjim musyayyadah(tin), wa in tuṣibhum ḥasanatuy yaqūlū hāżihī min ‘indillāh(i), wa in tuṣibhum sayyi'atuy yaqūlū hāżihī min ‘indik(a), qul kullum min ‘indillāh(i), famā lihā'ulā'il-qaumi lā yakādūna yafqahūna ḥadīṡā(n).

Di manapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kukuh. Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, “Ini dari sisi Allah,” dan jika mereka ditimpa suatu keburukan, mereka mengatakan, “Ini dari engkau (Muham-mad).” Katakanlah, “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (sedikit pun)?”

Maut (mati) adalah suatu hal yang pasti datangnya. Tidak seorang pun yang dapat lepas dari padanya di manapun dia berada meskipun berlindung di dalam benteng yang kokoh kuat. Karena itu tidaklah wajar manusia takut mati meskipun ia berada di dalam kancah peperangan. Jika sampai ajalnya, tentulah ia mati, meskipun ia hidup mewah di dalam istana atau bertahan di dalam benteng yang kokoh.

Ayat ini merupakan kecaman Allah terhadap segolongan kaum Muslimin yang tidak mempunyai semangat juang untuk membela kebenaran, mereka tak mau berperang karena takut mati. Sikap pengecut dan kemunafikan mereka itu tidak lain disebabkan kelemahan iman dan piciknya pikiran mereka.

Selanjutnya digambarkan kepicikan akal mereka yang tidak mau berperang karena takut mati. Sikap pengecut mereka anggap sebagai karunia dari Allah sedang malapetaka yang menimpa mereka adalah karena datangnya Muhammad ke Medinah, sehingga musim kemarau yang menimpa kota Medinah mereka anggap sebagai musibah yang ditimbulkan oleh kedatangan Nabi Muhammad dan kesialannya. Adapun orang yang beriman ia tetap berpendirian bahwa baik dan buruk adalah datangnya dari Allah. Pendirian seperti inilah yang Allah perintahkan kepada Muhammad agar disampaikan kepada mereka. Sekiranya mereka tidak dapat memahaminya, mereka akan tetap sepanjang masa di dalam kegelapan. Jika mereka dapat memahaminya tentulah mereka tidak akan mengatakan bahwa hal yang buruk itu dikarenakan celanya seseorang, tetapi baik dan buruk itu akan mereka ketahui erat hubungannya dengan sebab musabab yang telah menjadi sunah Allah.

Ayat 79

مَآ اَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ۖ وَمَآ اَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَّفْسِكَ ۗ وَاَرْسَلْنٰكَ لِلنَّاسِ رَسُوْلًا ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ شَهِيْدًا

mā aṣābaka min ḥasanatin fa minallāh(i), wa mā aṣābaka min sayyi'atin fa min nafsik(a), wa arsalnāka lin-nāsi rasūlā(n), wa kafā billāhi syahīdā(n).

Kebajikan apa pun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu (Muhammad) menjadi Rasul kepada (seluruh) manusia. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi.

Dari segi kesopanan bahwa sesuatu yang baik yang diperoleh seseorang hendaklah dikatakan datangnya dari Allah. Malapetaka yang menimpa seseorang itu hendaklah dikatakan datangnya dari dirinya sendiri, mungkin pula karena disebabkan kelalaiannya atau kelalaian orang lain apakah dia saudara, sahabat atau tetangga.

Ayat 80

مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ اَطَاعَ اللّٰهَ ۚ وَمَنْ تَوَلّٰى فَمَآ اَرْسَلْنٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا ۗ

may yuṭi‘ir-rasūla faqad aṭā‘allāh(a), wa man tawallā famā arsalnāka ‘alaihim ḥafīẓā(n).

Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.

Perintah dan larangan Rasul yang tidak menyangkut urusan keagamaan umpamanya yang berhubungan dengan keduniaan seperti urusan pertanian dan pertahanan, maka Rasul sendiri bersedia menerima pendapat dari sahabatnya yang lebih mengetahui masalahnya.

Menurut sejarah, dalam menjaga kesopanan terhadap Rasul para sahabat bertanya lebih dahulu apakah hal itu datangnya dari Allah atau pendapat Rasul sendiri. Jika ditegaskan oleh Rasul bahwa ini adalah dari Allah maka mereka menaati tanpa ragu-ragu dan jika dikatakan bahwa ini pendapat Muhammad maka para sahabat mengemukakan pula pendapat mereka. Peristiwa ini pernah terjadi ketika sahabat menghadapi perintah Rasul dalam memilih suatu tempat yang dekat ke mata air untuk kepentingan strategi pertahanan ketika perang Badar.

Ketika menerangkan sebab turunnya ayat ini Muqatil meriwayatkan bahwa ketika Nabi bersabda:

"Barang siapa mencintai aku sesungguhnya ia mencintai Allah. Dan barang siapa yang menaati aku sesungguhnya ia menaati Allah. Orang munafik berkata, "Tidakkah kamu mendengar kata laki-laki ini (Muhammad)? Sesungguhnya ia telah mendekati syirik. Sesungguhnya ia melarang kita menyembah selain Allah dan ia menghendaki kita menjadikannya tuhan sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan Isa tuhan. Maka Allah menurunkan ayat ini." (Riwayat Muqatil).

Menaati Rasul tidak dapat dikatakan perbuatan syirik, karena Rasul penyampai perintah Allah. Dengan demikian menaati Rasul adalah menaati Allah, bukan mempersekutukannya dengan Allah.

Di dalam Tafsir al-Maragi dijelaskan bahwa syirik itu terdiri dari dua macam. Pertama, syirik uluhiyah, yaitu mempercayai adanya sesuatu selain Allah yang mempunyai kekuatan gaib dan dapat memberi manfaat dan memberi mudarat. Kedua, syirik rububiyah, mempercayai bahwa ada sesuatu selain Allah yang mempunyai hak menetapkan hukum haram dan halal, sebagaimana orang Nasrani memandang hak tersebut ada pada pendeta-pendeta mereka.

Orang mukmin sejati berpendirian: Tunduk hanya kepada Allah sebagai Pencipta dan tiada makhluk yang mempunyai kekuatan gaib yang dapat memberi manfaat dan mudarat, dan tidak ada di antara makhluk yang berhak menetapkan hukum haram dan halal, karena semua makhluk tunduk kepada kehendak-Nya.

Allah menghendaki agar Rasul-Nya (Muhammad) tidak mengambil tindakan kekerasan atau paksaan terhadap orang yang tidak menaatinya, karena ia diutus hanya sekedar menyampaikan berita gembira dan peringatan keras. Keimanan manusia pada kerasulannya tidak digantungkan kepada paksaan, tetapi kepada kesadaran setelah menggunakan pikiran.

Ayat 81

وَيَقُوْلُوْنَ طَاعَةٌ ۖ فَاِذَا بَرَزُوْا مِنْ عِنْدِكَ بَيَّتَ طَاۤىِٕفَةٌ مِّنْهُمْ غَيْرَ الَّذِيْ تَقُوْلُ ۗ وَاللّٰهُ يَكْتُبُ مَا يُبَيِّتُوْنَ ۚ فَاَعْرِضْ عَنْهُمْ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ وَكِيْلًا

wa yaqūlūna ṭā‘ah(tun), fa iżā barazū min ‘indika bayyata ṭā'ifatum minhum gairal-lażī taqūl(u), wallāhu yaktubu mā yubayyitūn(a), fa a‘riḍ ‘anhum wa tawakkal ‘alallāh(i), wa kafā billāhi wakīlā(n).

Dan mereka (orang-orang munafik) mengatakan, “(Kewajiban kami hanyalah) taat.” Tetapi, apabila mereka telah pergi dari sisimu (Muhammad), sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah mencatat siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah dari mereka dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah yang menjadi pelindung.

Golongan yang takut berperang seperti yang digambarkan dalam ayat 77 yang lalu berkata di hadapan Nabi Muhammad saw bahwa mereka mematuhi perintahnya, tetapi setelah mereka terpisah, sebagian mengatur siasat yang bertentangan dengan ucapan mereka. Sebenarnya ucapan patuh mereka sekedar menyelamatkan diri dan menyelamatkan harta benda mereka dari tindakan Rasul.

Ayat ini mengungkapkan kepada Nabi apa yang terkandung di dalam hati orang munafik dan Allah memerintahkan Muhammad agar membiarkan sifat mereka yang demikian dengan menyerahkan segala sesuatu pada Allah, karena Allah tetap melindungi Rasul-Nya dari kejahatan golongan munafik tersebut.

Ayat 82

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ ۗ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللّٰهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَافًا كَثِيْرًا

afalā yatadabbarūnal-qur'ān(a), wa lau kāna min ‘indi gairillāhi lawajadū fīhikhtilāfan kaṡīrā(n).

Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur'an? Sekiranya (Al-Qur'an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.

Orang-orang kafir dan kaum munafik tersebut dicela karena mereka tidak mengerti tentang kerasulan Muhammad dan tidak mau memahami Al-Qur'an yang menjelaskan tentang kerasulan Nabi Muhammad. Kalau mereka mau mengerti dan mau memperhatikan, niscaya mereka mengetahui bahwa kerasulan Muhammad dan Al-Qur'an itu memang sebenarnya dari Tuhan. Janji Allah kepada orang mukmin dan ancaman-Nya kepada orang kafir dan orang munafik sebagaimana yang disampaikan oleh Muhammad adalah suatu hal yang pasti sebagaimana pasti benarnya ayat-ayat yang disampaikan oleh Muhammad tentang isi hati yang dikandung oleh orang munafik dan orang kafir. Demikian pula pasti benarnya ayat-ayat yang dibawa Muhammad tentang nasib buruk mereka di akhirat nanti, karena kalau Al-Qur'an dibuat Muhammad, bukan datang dari Allah yang mengutus niscaya mereka akan menemui dalam Al-Qur'an ayat-ayat yang saling bertentangan satu sama lain.

Menurut al-Maragi, hal-hal yang berikut ini adalah sebagai bukti bahwa Al-Qur'an bukan bikinan Muhammad, tetapi wahyu dari Allah:

1. Tidak seorang makhluk pun yang dapat menggambarkan hakikat dari sesuatu sebagaimana digambarkan oleh Al-Qur'an tanpa adanya pertentangan antara satu dengan yang lain.

2. Al-Qur'an menceritakan kejadian masa lalu yang tidak pernah disaksikan oleh Muhammad dan sebagiannya tidak terdapat pula dalam sejarah. Al-Qur'an juga menceritakan hal-hal yang akan datang dan ternyata sesuai dengan kenyataan, juga diceritakan yang sudah terjadi dan tersembunyi di dalam hati sanubari sebagian manusia sebagaimana Al-Qur'an menceritakan tentang siasat yang diatur oleh segolongan manusia yang menentang Rasul (lihat ayat 77 yang berhubungan dengan ayat 81 pada ayat yang lalu).

3. Tidak seorang pun yang dapat membuat tandingan Al-Qur'an dalam menguraikan pokok-pokok akidah, kaidah-kaidah syariah, siasat suku-suku dan golongan secara tepat tanpa ada pertentangan satu sama lain.

4. Tidak seorang pun dapat menandingi Al-Qur'an dalam mengemukakan undang-undang kemasyarakatan atau nilai-nilai kemakmuran, untuk masing-masing agama dan penganutnya dengan mengemukakan alasan yang kongkrit beserta contoh-contoh dan perbandingan. Satu cerita yang disebut berulang kali dalam ungkapan yang berbeda, dengan mengesankan dan meyakinkan tanpa lepas dari bentuk nasihat dan pengajaran. Semuanya diterangkan tanpa adanya pertentangan antara satu dengan yang lain.

5. Tidak seorang pun dapat mendatangkan tandingan Al-Qur'an dalam membicarakan tentang kejadian alam ini dengan menguraikan sesuatu yang dikandung oleh bumi dan langit seperti binatang, angin, laut, tumbuh-tumbuhan dan hikmah masing-masing dengan bahasa sastra yang tinggi meskipun dikemukakan secara berulang-ulang tetapi tidak membosankan. Bahkan masing-masing ayat saling memperkuat pengertian dan mengesankan.

6. Al-Qur'an memberitakan tentang yang gaib, hari kemudian, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan adanya perhitungan terhadap perbuatan manusia dan pembalasan yang setimpal. Pemberitaan semacam ini termaktub dalam ayat yang berlainan penguraiannya tetapi satu tujuannya.

Jadi, memperhatikan keistimewaan Al-Qur'an adalah jalan untuk memperoleh petunjuk, bahwa memang Al-Qur'an itu datang dari Allah dan wajib diikuti. Segala sesuatu yang dikandungnya dapat diterima akal, sesuai dengan fitrah, sejalan dengan kemaslahatan dan hanya dalam Al-Qur'an terdapat jalan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.

Ayat 83

وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ ۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا

wa iżā jā'ahum amrum minal-amni awil-khaufi ażā‘ū bih(ī), wa lau ruddūhu ilar-rasūli wa ilā ulil-amri minhum la‘alimahul-lażīna yastambiṭūnahū minhum, wa lau lā faḍlullāhi ‘alaikum wa raḥmatuhū lattaba‘tumusy-syaiṭāna illā qalīlā(n).

Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).

Orang yang lemah iman dan orang munafik suka menyiarkan berita-berita yang mereka ketahui terutama dalam keadaan perang yaitu berita-berita yang dibocorkan dari pihak markas tentara, tentang rahasia peperangan, dalam negeri atau luar negeri yang tidak wajar diketahui oleh khalayak umum.

Maksud mereka menyiarkan berita-berita itu adalah untuk mengacaukan keadaan. Tetapi kalau mereka bermaksud baik dan mereka mengembalikan berita itu kepada Rasul sebagai pimpinan tertinggi atau mereka kembalikan kepada ulil amri yaitu pemimpin dan orang-orang pemerintahan tentulah mereka akan mengetahui persoalan berita yang sebenarnya; mereka akan mendapat keterangan dari pemimpin dan orang pemerintahan. Dengan demikian keamanan umum tidak sempat terganggu.

Masyarakat akan terpengaruh oleh orang yang menyiarkan berita secara provokatif, kecuali orang yang kuat imannya yang selamat dari berita provokasi tersebut. Dengan rahmat dan karunia Allah kaum Muslimin terpelihara dari perangkap semacam itu karena mereka patuh pada Allah dan Rasul, serta mengembalikan segala urusan kepada pimpinan yang dipercayai.

Ayat 84

فَقَاتِلْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۚ لَا تُكَلَّفُ اِلَّا نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ ۚ عَسَى اللّٰهُ اَنْ يَّكُفَّ بَأْسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا ۗوَاللّٰهُ اَشَدُّ بَأْسًا وَّاَشَدُّ تَنْكِيْلًا

faqātil fī sabīlillāh(i), lā tukallafu illā nafsaka wa ḥarriḍil-mu'minīn(a), ‘asallāhu ay yakuffa ba'sal lażīna kafarū, wallāhu asyaddu ba'saw wa asyaddu tankīlā(n).

Maka berperanglah engkau (Muhammad) di jalan Allah, engkau tidaklah dibebani melainkan atas dirimu sendiri. Kobarkanlah (semangat) orang-orang beriman (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak (mematahkan) serangan orang-orang yang kafir itu. Allah sangat besar kekuatan(-Nya) dan sangat keras siksaan(-Nya).

Perintah perang untuk menahan serangan pihak kafir ini ditujukan langsung oleh Allah kepada Nabi-Nya dan Allah menghendaki pelaksanaan perintah perang ini atas dasar ketaatan dan berserah diri kepada-Nya tanpa menggantungkan harapan kepada orang-orang munafik yakni dengan mengharap bantuan kaum munafik. Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar menganjurkan kepada orang-orang mukmin untuk ikut memerangi orang-orang kafir. Sejarah membuktikan pada Perang Uhud betapa ketabahan Rasulullah menjalankan perintah Allah meskipun pasukan Muslimin berada dalam keadaan kacau balau. Dalam ayat ini Allah menjanjikan akan melemahkan kekuatan orang-orang kafir, karenanya sudah sewajarnya kaum Muslimin tidak merasa khawatir, bahkan hendaknya semakin patuh kepada Rasulullah dengan memenuhi anjurannya untuk turut memerangi orang-orang kafir dengan keyakinan bahwa Allah Mahakuat dan memenuhi janji-Nya, memberikan kemenangan kepada Rasulullah beserta orang-orang mukmin.

Ayat 85

مَنْ يَّشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَّكُنْ لَّهٗ نَصِيْبٌ مِّنْهَا ۚ وَمَنْ يَّشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَّكُنْ لَّهٗ كِفْلٌ مِّنْهَا ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ مُّقِيْتًا

may yasyfa‘ syafā‘atan ḥasanatay yakul lahū naṣībum minhā, wa may yasyfa‘ syafā‘atan sayyi'atay yakul lahū kiflum minhā, wa kānallāhu ‘alā kulli syai'im muqītā(n).

Barangsiapa memberi pertolongan dengan pertolongan yang baik, niscaya dia akan memperoleh bagian dari (pahala)nya. Dan barangsiapa memberi pertolongan dengan pertolongan yang buruk, niscaya dia akan memikul bagian dari (dosa)nya. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Syafaat ialah bantuan seseorang kepada orang lain dalam suatu hal. Syafaat berbentuk dua macam: pertama, yang berbentuk kebajikan yaitu yang dipandang baik oleh agama, dan kedua, berbentuk kejahatan yaitu yang dipandang buruk oleh agama.

Orang yang melakukan syafaat berbentuk kebajikan umpamanya menolong atau menganjurkan kepada orang lain melakukan perbuatan baik, seperti mendirikan madrasah, mesjid dan sebagainya, orang yang menganjurkan akan mendapat ganjaran dari perbuatan orang yang mengikuti anjurannya tersebut seolah-olah ia sendiri yang berbuat. Demikian juga orang yang melakukan syafaat berbentuk kejahatan umpamanya membantu orang yang melakukan pekerjaan jahat seperti berjudi, berzina dan lari dari perang sabil. Ia akan mendapat bagian ganjaran dari perbuatan tersebut seolah-olah ia berserikat dalam pekerjaan itu.

Suatu perbuatan tidak lepas dari bentuk sebab dan akibat. Maka orang yang menjadi sebab terwujudnya kebaikan atau menjadi sebab terwujudnya kejahatan tidak akan luput dari menerima ganjaran Allah. Allah sanggup menentukan segala sesuatu. Karena itu orang yang berbuat baik tidak akan berkurang pahalanya, karena Allah memberi ganjaran pula kepada penganjurnya, karena Allah Mahaadil, Allah memberi balasan berupa hukuman terhadap orang yang menjadi sebab sesatnya orang lain.

Ayat 86

وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا

wa iżā ḥuyyītum bitaḥiyyatin fa ḥayyū bi'aḥsana minhā au ruddūhā, innallāha kāna ‘alā kulli syai'in ḥasībā(n).

Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu.

Perintah untuk berlaku sopan santun dalam pergaulan, agar terpelihara hubungan persaudaraan dengan jalan mengadakan tata tertib yang dilakukan ketika bertemu dengan seseorang. Seseorang harus membalas penghormatan yang diberikan kepadanya berupa salam yang diterimanya dengan balasan yang setimpal atau dengan cara lebih baik. Balasan yang setimpal atau yang lebih baik dapat berbentuk ucapan yang menyenangkan atau dengan suara yang lemah lembut atau dengan gerak-gerik yang menarik hati, memperhatikan kehidupan dalam menegakkan sopan santun yang memperkuat hubungan persaudaraan antara sesama mereka.

Allah memperhatikan segala sesuatu termasuk memperhatikan kehidupan manusia dalam menegakkan sopan santun yang bisa memperkuat hubungan persaudaraan antara sesama mereka.

Sejalan dengan ayat itu terdapat hadis-hadis sebagai berikut

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda, "Hendaklah orang yang berkendaraan memberi salam kepada orang yang berjalan kaki, dan orang yang berjalan kaki memberi salam kepada orang yang duduk, kelompok orang yang sedikit memberi salam kepada kelompok yang banyak, kelompok orang yang muda memberi salam kepada kelompok yang tua." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Dari Abdullah bin 'Amr, dia berkata, "bahwasannya seseorang bertanya kepada Rasulullah, mana ajaran Islam yang terbaik? Rasulullah Saw menjawab, "(yaitu) memberi makan (kepada fakir miskin) dan memberi salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang belum engkau kenal. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Ayat 87

اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ لَيَجْمَعَنَّكُمْ اِلٰى يَوْمِ الْقِيٰمَةِ لَا رَيْبَ فِيْهِ ۗ وَمَنْ اَصْدَقُ مِنَ اللّٰهِ حَدِيْثًا ࣖ

allāhu lā ilāha illā huw(a), layajma‘annakum ilā yaumil-qiyāmati lā raiba fīh(i), wa man aṣdaqu minallāhi ḥadīṡā(n).

Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Dia pasti akan mengumpulkan kamu pada hari Kiamat yang tidak diragukan terjadinya. Siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?

Kaum Muslimin akan menerima ganjaran berupa pahala dari Allah Yang Mahakuasa di hari kemudian nanti. Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa yang berhak disembah, karenanya janganlah kaum Muslimin lalai berbakti kepada-Nya dan tunduk menjunjung perintah dan menjauhi larangan-Nya. Kebahagiaan dan ketenangan jiwa serta kemurnian akal manusia adalah terletak pada kebebasannya dari belenggu kebendaan. Selain Allah, tidak ada yang berhak disembah karena hanya Allah yang sanggup membangkitkan dan menghimpun manusia pada hari kemudian, hari yang pasti datangnya. Karena itu hendaklah manusia percaya kepada firman Allah, karena tidak satupun yang dapat lebih dipercayai selain firman Allah.

Adapun yang bukan berasal dari Allah tidak pasti kebenarannya, karena berita-berita dari manusia mengandung kemungkinan benar dan kemungkinan salah.

Ayat 88

۞ فَمَا لَكُمْ فِى الْمُنٰفِقِيْنَ فِئَتَيْنِ وَاللّٰهُ اَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوْا ۗ اَتُرِيْدُوْنَ اَنْ تَهْدُوْا مَنْ اَضَلَّ اللّٰهُ ۗوَمَنْ يُّضْلِلِ اللّٰهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهٗ سَبِيْلًا

famā lakum fil-munāfiqīna fi'ataini wallāhu arkasahum bimā kasabū, aturīdūna an tahdū man aḍallallāh(u), wa may yuḍlilillāhu falan tajida lahū sabīlā(n).

Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah mengembalikan mereka (kepada kekafiran), disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang yang telah dibiarkan sesat oleh Allah? Barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, kamu tidak akan mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.

Ayat ini menyingkap suatu kenyataan yang terjadi pada masa Rasulullah saw, bahwa ada segolongan kaum munafik yang selalu bermuka dua terhadap Rasulullah dan kaum Muslimin dalam menghadapi peperangan. Mereka pura-pura membantu dan menyokong Rasulullah saw dan kaum Muslimin, padahal yang sebenarnya mereka enggan memberikan bantuan, bahkan mereka dengan sembunyi-sembunyi membantu musuh Muslimin.

Dalam menghadapi orang-orang munafik ini, ternyata kaum Muslimin terpecah menjadi dua golongan. Golongan pertama berpendapat bahwa kaum munafik itu harus ditindak dan dibasmi; sedang golongan kedua ingin membela mereka, karena mereka dianggap penolong kaum Muslimin.

Sikap kaum Muslimin dikoreksi, mengapa mereka terpecah belah dan tidak bersatu padu menghadapi kaum munafik. Disebutkan bahwa orang-orang munafik itu sebagai "orang-orang yang telah dibalikkannya kepada kekafiran" karena tindak-tanduk mereka sendiri, dan sebagai "orang-orang yang telah disesatkannya" dengan arti: mereka telah menjadi sesat karena keingkaran dan tidak mengindahkan lagi petunjuk-petunjuk Allah.

Dengan nada bertanya ayat ini melarang kaum Muslimin untuk mencoba memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan-Nya. Allah berfirman, "Apakah kamu berusaha untuk memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah?"

Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa tidak ada jalan bagi kaum Muslimin dan bagi siapa pun, untuk memberikan petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah, karena keingkaran dan kefasikan mereka. Dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa kaum Muslimin tidak boleh ragu dalam menghadapi orang munafik. Perintah Allah untuk berperang dan membela agama harus dilaksanakan, dan semua penghalang haruslah disingkirkan. Kaum Muslimin harus bersatu padu dalam sikap dan perbuatannya untuk menghadapi golongan munafik serta musuh-musuh Islam yang lain.

Ayat 89

وَدُّوْا لَوْ تَكْفُرُوْنَ كَمَا كَفَرُوْا فَتَكُوْنُوْنَ سَوَاۤءً فَلَا تَتَّخِذُوْا مِنْهُمْ اَوْلِيَاۤءَ حَتّٰى يُهَاجِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوْهُمْ وَاقْتُلُوْهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُّمُوْهُمْ ۖ وَلَا تَتَّخِذُوْا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَّلَا نَصِيْرًاۙ

waddū lau takfurūna kamā kafarū fa takūnūna sawā'an falā tattakhiżū minhum auliyā'a ḥattā yuhājirū fī sabīlillāh(i), fa in tawallau fa khużūhum waqtulūhum ḥaiṡu wajattumūhum, wa lā tattakhiżū minhum waliyyaw wa lā naṣīrā(n).

Mereka ingin agar kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, sehingga kamu menjadi sama (dengan mereka). Janganlah kamu jadikan dari antara mereka sebagai teman-teman(mu), sebelum mereka berpindah pada jalan Allah. Apabila mereka berpaling, maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka di mana pun mereka kamu temukan, dan janganlah kamu jadikan seorang pun di antara mereka sebagai teman setia dan penolong,

Diriwayatkan bahwa beberapa orang Arab datang kepada Rasulullah saw. di Medinah, lalu mereka masuk Islam, kemudian mereka ditimpa penyakit panas, yang menyebabkan mereka kembali kafir lalu mereka keluar dari Medinah. Kemudian mereka berjumpa dengan sahabat Nabi, para sahabat menanyakan sebab-sebab mereka meninggalkan Medinah. Mereka menerangkan bahwa mereka ditimpa penyakit panas. Para sahabat berkata, "Mengapa kamu tidak mengambil teladan yang baik dari Rasulullah?" Dalam menyikapi orang-orang ini, para sahabat terbagi kepada dua golongan. Yang sebagian berpendapat bahwa mereka telah menjadi munafik, sedang sebagian lagi berpendapat bahwa mereka masih Islam. Lalu turunlah ayat ini yang mencela sikap kaum muslimin, karena terpecah menjadi dua golongan, dan memerintahkan agar orang Arab ditawan dan dibunuh, jika mereka tidak berhijrah ke Medinah, karena mereka disamakan dengan kaum musyrikin yang lain.

Ayat ini menjelaskan sifat-sifat orang-orang munafik, yang oleh sebagian kaum Muslimin ketika itu dibela dan hendak diberi petunjuk, serta diharapkan bantuan mereka untuk memperkuat kaum Muslimin. Sifat kaum munafik itu jauh berbeda dari orang-orang kafir, yang senang dengan kekafiran mereka dan tidak mengganggu orang lain. Adapun orang-orang munafik, mereka tidak hanya sekedar bermuka dua terhadap kaum Muslimin, melainkan juga ingin mengembalikan kaum Muslimin kepada kekafiran, dan sesudah itu mereka akan melenyapkan agama Islam dari muka bumi ini.

Oleh karena demikian buruknya niat dan perbuatan orang-orang munafik itu, maka kaum Muslimin sekali lagi diingatkan, agar jangan sekali-kali mempercayai mereka dan jangan menjadikan mereka sebagai teman dan penolong, kecuali mereka benar-benar telah menganut agama Islam dan telah sesuai perbuatan mereka dengan ucapan, serta telah bersatu padu dengan kaum Muslimin dalam akidah, sikap dan perbuatan, bukan hanya sekedar tunduk karena mereka dalam keadaan lemah. Jika mereka benar-benar telah beriman, tentulah mereka tidak akan meninggalkan Nabi dan kaum Muslimin dalam menghadapi berbagai kesulitan. Mereka tentu akan selalu bersama Nabi dan kaum Muslimin, karena hal itu adalah dorongan iman yang kuat di dalam hati seseorang. Maka keengganan untuk mengikuti Nabi adalah suatu tanda lemahnya keimanan dan belum adanya keikhlasan untuk membela agama Islam.

Oleh sebab itu perintah dalam ayat ini bilamana ternyata mereka tidak mau beriman dan berjihad di jalan Allah, maka hendaklah kaum Muslimin menawan dan membunuh mereka, dan tidak menjadikan mereka sebagai pelindung dan penolong.

Dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa yang menjadi alasan pokok bagi perintah untuk menawan dan membunuh mereka, ialah sifat mereka yang tidak jujur kepada kaum Muslimin serta perbuatan mereka yang dilakukan dengan sembunyi untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin. Tindakan terhadap mereka itu dipandang sebagai suatu keharusan yang perlu dilakukan untuk keselamatan Islam dan kaum Muslimin. Tindakan itu harus dihentikan apabila ternyata mereka itu telah menghentikan pula sikap dan perbuatan mereka yang bersifat bermusuhan terhadap Islam dan kaum Muslimin.

Ayat 90

اِلَّا الَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ اِلٰى قَوْمٍۢ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيْثَاقٌ اَوْ جَاۤءُوْكُمْ حَصِرَتْ صُدُوْرُهُمْ اَنْ يُّقَاتِلُوْكُمْ اَوْ يُقَاتِلُوْا قَوْمَهُمْ ۗ وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوْكُمْ ۚ فَاِنِ اعْتَزَلُوْكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ وَاَلْقَوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ ۙ فَمَا جَعَلَ اللّٰهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلًا

illal lażīna yaṣilūna ilā qaumim bainakum wa bainahum mīṡāqun au jā'ūkum ḥaṣirat ṣudūruhum ay yuqātilūkum au yuqātilū qaumahum, wa lau syā'allāhu lasallaṭahum ‘alaikum fa laqātalūkum, fa ini‘tazalūkum falam yuqātilūkum wa alqau ilaikumus-salam(a), famā ja‘alallāhu lakum ‘alaihim sabīlā(n).

kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada suatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang yang datang kepadamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu atau memerangi kaumnya. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya diberikan-Nya kekuasaan kepada mereka (dalam) menghadapi kamu, maka pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangimu serta menawarkan perdamaian kepadamu (menyerah), maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.

Diperintahkan kepada kaum Muslimin agar tindakan "menawan dan membunuh" itu tidak dilakukan kepada orang-orang seperti berikut: Pertama: Orang-orang kafir yang meninggalkan kelompok mereka semula yang memusuhi Islam dan kaum Muslimin, kemudian mereka pergi minta perlindungan kepada kelompok orang-orang kafir lain yang telah mengadakan perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Dalam hal ini kaum Muslimin tidak diperbolehkan menawan atau membunuh mereka sebab mereka telah disamakan hukumnya dengan orang-orang kafir tempat mereka berlindung yang telah mengadakan perjanjian damai dengan Muslimin. Kaum Muslimin harus menghormati perjanjian damai yang telah dibuat, sekalipun dengan orang kafir selama mereka tidak melanggarnya.

Kedua: Orang-orang kafir yang datang kepada kaum Muslimin untuk mengadakan perdamaian. Mereka tidak mau memerangi kaum Muslimin; karena keinginan mereka untuk berdamai. Mereka juga tidak bersedia membantu kaum Muslimin untuk memerangi orang-orang kafir lainnya, karena kemungkinan orang-orang kafir ini masih kaum kerabat mereka, atau sebagian keluarga mereka masih tinggal bersama orang-orang kafir tersebut. Orang yang semacam ini juga tidak boleh ditawan dan dibunuh oleh kaum Muslimin.

Dari ketentuan ini dapat dilihat betapa adilnya hukum Al-Qur'an. Kaum Muslimin harus menghormati perjanjian atau persetujuan yang telah dibuat dengan orang-orang kafir selama mereka tetap menghormati dan menepati isi perjanjian itu.

Boleh jadi terasa berat bagi sebagian Muslimin untuk menahan diri tidak memerangi kedua golongan tersebut, misalnya karena melihat kenyataan bahwa mereka masih berada dalam masyarakat kafir, atau karena mereka tidak bersedia membantu Muslimin dalam memerangi kaum kafir lainnya yang memusuhi mereka. Oleh sebab itu ayat ini mengingatkan kaum Muslimin kepada rahmat-Nya bahwa ia telah melenyapkan bahaya yang mungkin timbul dari orang-orang tersebut terhadap Muslimin. Andaikata Allah menghendaki, niscaya Dia memberikan kekuatan kepada orang kafir tersebut untuk memerangi kaum Muslimin, misalnya dengan menunjukkan kepada mereka kelemahan kaum Muslimin, yang memungkinkan orang kafir itu memerangi dan mengalahkan Muslimin. Tetapi Allah Maha Pengasih telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga berbagai bahaya tersebut tidak terjadi. Sebagai imbalannya, kaum Muslimin harus menahan diri terhadap mereka.

Pada akhir ayat ini ditegaskan kembali larangan-Nya kepada kaum Muslimin untuk menawan dan membunuh orang-orang kafir dari kedua golongan tersebut di atas, apabila mereka benar-benar tidak memusuhi Islam dan kaum Muslimin dan selalu memelihara perdamaian. Apabila Muslimin memerangi mereka, mungkin hal itu akan menggerakkan mereka untuk menyusun kekuatan guna menghadapi Muslimin. Ayat ini merupakan dasar "hukum suaka politik" dalam Islam.

Ayat 91

سَتَجِدُوْنَ اٰخَرِيْنَ يُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّأْمَنُوْكُمْ وَيَأْمَنُوْا قَوْمَهُمْ ۗ كُلَّ مَا رُدُّوْٓا اِلَى الْفِتْنَةِ اُرْكِسُوْا فِيْهَا ۚ فَاِنْ لَّمْ يَعْتَزِلُوْكُمْ وَيُلْقُوْٓا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ وَيَكُفُّوْٓا اَيْدِيَهُمْ فَخُذُوْهُمْ وَاقْتُلُوْهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوْهُمْ ۗ وَاُولٰۤىِٕكُمْ جَعَلْنَا لَكُمْ عَلَيْهِمْ سُلْطٰنًا مُّبِيْنًا ࣖ

satajidūna akharīna yurīdūna ay ya'manūkum wa ya'manū qaumahum, kullamā ruddū ilal-fitnati urkisū fīhā, fa illam ya‘tazilūkum wa yulqū ilaikumus-salama wa yakuffū aidiyahum fa khużūhum waqtulūhum ḥaiṡu ṡaqiftumūhum, wa ulā'ikum ja‘alnā lakum ‘alaihim sulṭānam mubīnā(n).

Kelak akan kamu dapati (golongan-golongan) yang lain, yang menginginkan agar mereka hidup aman bersamamu dan aman (pula) bersama kaumnya. Setiap kali mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), mereka pun terjun ke dalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan tidak mau menawarkan perdamaian kepadamu, serta tidak menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka di mana saja kamu temui, dan merekalah orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk memerangi, menawan dan membunuh) mereka.

Selain kedua golongan kafir tersebut, kaum Muslimin akan menemukan satu golongan lain dengan ciri-ciri dan niat yang berbeda. Mereka adalah golongan kafir munafik, yaitu munafik dalam hal kepercayaan. Apabila mereka bertemu dengan kaum Muslimin mereka menyatakan diri beragama Islam, dan apabila mereka berada bersama orang-orang kafir, mereka mengatakan tetap seagama dengan mereka dan tetap menyembah sesembahan mereka. Hal itu mereka lakukan karena menjaga keamanan diri, keluarga dan harta benda mereka terhadap gangguan kaum Muslimin dan gangguan dari golongan mereka sendiri.

Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, "Kami telah beriman." Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, "Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok." (al-Baqarah/2:14).

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir bahwa ayat tersebut diturunkan mengenai satu kaum dari kalangan penduduk kota Mekah. Mereka pernah datang kepada Rasulullah saw mengatakan bahwa mereka masuk Islam. Tetapi pada hakikatnya mereka berbuat demikian hanyalah berpura-pura. Sesudah itu mereka kembali kepada Quraisy yang masih kafir, lalu mereka menyembah patung bersama-sama orang tersebut.

Hal itu mereka lakukan dengan maksud agar mereka aman terhadap kaum Muslimin dan aman pula terhadap orang-orang kafir. Ayat ini menjelaskan bagaimana seharusnya sikap kaum Muslimin dalam menghadapi orang-orang munafik tersebut, yaitu selama mereka tidak menghentikan gangguan mereka terhadap kaum Muslimin, dan tidak mengemukakan permintaan mereka untuk mengadakan perjanjian damai, maka kaum Muslimin haruslah memerangi, menawan dan membunuh mereka, di mana pun mereka ditemukan. Allah swt telah memberikan wewenang dan alasan yang nyata kepada kaum Muslimin untuk menawan dan membunuh mereka.

Dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa apabila orang-orang munafik telah menghentikan gangguan mereka terhadap kaum Muslimin atau mereka sudah mengajukan perdamaian, maka kaum Muslimin dilarang memerangi, menawan dan membunuh mereka.

Dalam ayat yang lain Allah berfirman:

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (al-Mumtahanah/60:8).

Dengan demikian, perintah Allah kepada Muslimin untuk memerangi orang-orang kafir, adalah khusus mengenai mereka yang memerangi atau bersikap memusuhi Islam dan kaum Muslimin.

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang

melampaui batas. (al-Baqarah/2:190).

Ayat 92

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ اَنْ يَّقْتُلَ مُؤْمِنًا اِلَّا خَطَـًٔا ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَـًٔا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَّدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى اَهْلِهٖٓ اِلَّآ اَنْ يَّصَّدَّقُوْا ۗ فَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۗوَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍۢ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيْثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى اَهْلِهٖ وَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِۖ تَوْبَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

wa mā kāna limu'minin ay yaqtula mu'minan illā khaṭa'ā(n), wa man qatala mu'minan khaṭa'an fa taḥrīru raqabatim mu'minatiw wa diyatum musallamatun ilā ahlihī illā ay yaṣṣaddaqū, fa in kāna min qaumim bainakum wa bainahum mīṡāqun fa diyatum musallamatun ilā ahlihī wa taḥrīru raqabatim mu'minah(tin), famal lam yajid fa ṣiyāmu syahraini mutatābi‘aini taubatam minallāh(i), wa kānallāhu ‘alīman ḥakīmā(n).

Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak mendapatkan (hamba sahaya), maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

Ayat ini menerangkan bahwa tidaklah layak bagi seorang mukmin untuk membunuh mukmin yang lain dengan sengaja.

Kemudian dijelaskan hukum pembunuhan sesama mukmin yang terjadi dengan tidak sengaja. Hal ini mungkin terjadi dalam berbagai kasus, dilihat dari keadaan mukmin yang terbunuh dan dari kalangan manakah mereka berasal. Dalam hal ini ada 3 kasus:

Pertama: Mukmin yang terbunuh tanpa sengaja itu berasal dari keluarga yang mukmin. Maka hukumannya ialah pihak pembunuh harus memerdekakan hamba sahaya yang mukmin, disamping membayar diat (denda) kepada keluarga yang terbunuh, kecuali jika mereka merelakan dan membebaskan pihak pembunuh dari pembayaran diat tersebut.

Kedua: Mukmin yang terbunuh itu berasal dari kaum atau keluarga bukan mukmin, tetapi keluarganya memusuhi kaum Muslimin. Maka dalam hal ini hukuman yang berlaku terhadap pihak yang membunuh ialah harus memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin tanpa membayar diat.

Ketiga: Mukmin yang terbunuh tanpa sengaja itu berasal dari keluarga bukan mukmin, tetapi mereka itu sudah membuat perjanjian damai dengan kaum Muslimin, maka hukumannya ialah pihak pembunuh harus membayar diat yang diserahkan kepada keluarga pihak yang terbunuh di samping itu harus pula memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin. Jadi hukumannya sama dengan kasus yang pertama tadi.

Mengenai kewajiban memerdekakan "hamba sahaya yang mukmin" yang tersebut dalam ayat ini: ada kemungkinan tidak dapat dilaksanakan oleh pihak pembunuh, karena tidak diperolehnya hamba sahaya yang memenuhi syarat yang disebutkan itu; atau karena sama sekali tidak mungkin mendapatkan hamba sahaya, misalnya pada zaman sekarang ini; atau hamba sahaya yang beriman, tetapi pihak pembunuh tidak mempunyai kemampuan untuk membeli dan memerdekakannya. Dalam hal ini, kewajiban untuk memerdekakan hamba sahaya dapat diganti dengan kewajiban yang lain, yaitu si pembunuh harus berpuasa dua bulan berturut-turut, agar tobatnya diterima Allah. Dengan demikian ia bebas dari kewajiban memerdekakan hamba sahaya yang beriman.

Mengenai "ketidaksengajaan" dalam pembunuhan yang disebut dalam ayat ini, ialah ketidak sengajaan yang disebabkan karena kecerobohan yang sesungguhnya dapat dihindari oleh manusia yang normal. Misalnya apabila seorang akan melepaskan tembakan atau lemparan sesuatu yang dapat menimpa atau membahayakan seseorang, maka ia seharusnya meneliti terlebih dahulu, ada atau tidaknya seseorang yang mungkin menjadi sasaran pelurunya tanpa sengaja. Kecerobohan dan sikap tidak berhati-hati itulah yang menyebabkan pembunuh itu harus dikenai hukuman, walaupun ia membunuh tanpa sengaja, agar dia dan orang lain selalu berhati-hati dalam berbuat terutama yang berhubungan dengan keamanan jiwa manusia lainnya.

Adapun diat (diyat) atau denda yang dikenakan kepada pembunuh, dapat dibayar dengan beberapa macam barang pengganti kerugian, yaitu dengan seratus ekor unta, atau dua ratus ekor sapi, atau dua ribu ekor kambing, atau dua ratus lembar pakaian atau uang seribu dinar atau dua belas ribu dirham.

Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir, dari Rasulullah saw disebutkan sebagai berikut:

"Bahwasanya Rasulullah saw telah mewajibkan diat itu sebanyak seratus ekor unta kepada orang yang memiliki unta, dan dua ratus ekor sapi kepada yang memiliki sapi dan dua ribu ekor kambing kepada yang memiliki kambing, dan dua ratus perhiasan kepada yang memiliki perhiasan" (Riwayat Abu Dawud).

Kewajiban memerdekakan hamba sahaya yang beriman atau berpuasa dua bulan berturut-turut adalah kewajiban yang ditimpakan kepada si pembunuh dan 'aqilah (keluarga), yang juga disebut "asabah"-nya. Dalam kitab hadis al-Muwatta "Kitab al-Uqud" dari Imam Malik disebutkan bahwa Umar bin al-Khattab pernah menetapkan diat kepada penduduk desa, sebanyak seribu dinar kepada yang memiliki uang emas dan dua belas ribu dirham kepada yang memiliki uang perak, dan diat ini hanyalah diwajibkan kepada 'aqilah dari si pembunuh.

Ayat 93

وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ وَاَعَدَّ لَهٗ عَذَابًا عَظِيْمًا

wa may yaqtul mu'minam muta‘ammidan fa jazā'uhū jahannamu khālidan fīhā wa gaḍiballāhu ‘alaihi wa la‘anahū wa a‘adda lahū ‘ażāban ‘aẓīmā(n).

Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.

Betapa besarnya dosa seorang mukmin yang membunuh mukmin lainnya dengan sengaja. Dalam permulaan ayat yang lalu disebutkan sebagai suatu perbuatan yang tidak layak bagi seorang yang beriman karena seharusnya imannya menghalanginya dari perbuatan tersebut. Maka ayat ini menyebutkan hukuman yang akan ditimpakan kepada mukmin yang membunuh mukmin yang lain dengan sengaja, sama dengan hukuman yang disediakan Allah swt untuk orang yang tidak beriman, sehingga seolah-olah si pembunuh tersebut disamakan dengan orang yang tidak beriman karena kejahatan yang dilakukannya sama sekali tidak layak bagi orang yang beriman.

Menurut ayat ini, hukuman yang akan diterapkan untuknya ialah azab neraka yang kekal di dalamnya dan kemurkaan serta laknat Allah. Neraka Jahanam merupakan azab yang paling berat. Kekekalan seseorang dalam neraka menunjukkan bahwa Allah tidak menerima tobatnya. Sedang laknat Allah berarti dijauhkan dari rahmat-Nya selama-lamanya. Kemurkaan Allah kepada seseorang akan menjauhkannya dari keridaan-Nya, di samping itu masih disediakan pula untuknya azab yang besar yang tidak dijelaskan dalam ayat ini.

Perlu diketahui, berbagai hukuman yang disebutkan dalam ayat ini diancamkan kepada si pembunuh mukmin, yang membunuh mukmin yang lain dengan sengaja, adalah merupakan azab ukhrawi, yaitu azab yang akan diterima di akhirat kelak. Sedang di dunia ini, berlaku hukuman duniawi yang dilakukan oleh pihak penguasa. Menurut peraturan yang telah ditentukan dalam agama, yaitu: apabila dalam sidang pengadilan seseorang telah terbukti bersalah, maka terhadapnya dijatuhkan dan dilaksanakan hukum kisas, yaitu pembalasan yang setimpal, nyawa dengan nyawa. Tetapi, apabila ahli waris dari yang terbunuh memberikan maaf dan tidak menghendaki pelaksanaan hukuman kisas terhadap si pembunuh, maka pihak si pembunuh diwajibkan membayar diat, yang harus dilaksanakan dengan cara yang baik. Artinya: harus dibayar oleh yang bersangkutan pada waktu dan dengan jumlah yang ditetapkan oleh pengadilan tanpa mengulur-ulur waktu. Sebaliknya pihak yang akan menerima harus bersabar sampai datangnya waktu yang telah ditetapkan dan tidak mendesak (lihat al-Baqarah/2:178).

Mengenai tobat si pembunuh menurut zahir ayat ini memang tidak diterima Allah swt, karena dalam ayat ini disebutkan bahwa ia kekal dalam neraka Jahanam, sedang orang yang diterima tobatnya oleh Tuhan tidak akan kekal dalam neraka. Mengenai masalah ini ada dua pendapat:

Pertama: Pendapat sebagian sahabat, antara lain Ibnu Abbas, mengatakan bahwa orang mukmin yang membunuh orang mukmin lain dengan sengaja tidak diterima tobatnya di sisi Allah Yang Maha Esa. Lain halnya dengan orang musyrik yang walaupun pada masa-masa musyriknya ia membunuh, tetapi ia berbuat demikian sebelum ia mendapat petunjuk dan belum mengetahui hukum-hukum Allah, maka perbuatan membunuhnya diampuni oleh Allah selama perbuatan itu tidak diulangi setelah masuk Islam. Tetapi apabila ia telah memperoleh petunjuk dan telah mengetahui hukum-hukum dan larangan-larangan agama, maka perbuatannya itu berarti meremehkan hukum Allah yang telah diketahuinya dengan baik, dan seolah-olah telah meninggalkan imannya. Maka wajar bila Allah tidak menerima tobatnya, sebaliknya Allah memberikan azab yang kekal dalam neraka Jahanam dan kemurkaan serta laknat-Nya.

Kedua: Pendapat sebagian ulama, si pembunuh walaupun ia membunuh mukmin lainnya dengan sengaja, namun bila ia bertobat maka tobatnya masih diterima Allah, sebab Allah telah menjelaskan bahwa hanya dosa syiriklah yang tidak diampuni-Nya. Adapun dosa-dosa selain syirik masih dapat diampuni bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya. Allah berfirman:

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar. (an-Nisa/4:48).

Jika Allah dapat menerima tobat seorang yang dahulunya musyrik yang melakukan pembunuhan dan perzinaan, kemudian ia masuk Islam dan bertobat serta senantiasa melakukan amal-amal saleh dan menjauhi perbuatan jahat, mengapa tobat seorang mukmin yang melakukan satu kali pembunuhan saja tidak dapat diterima Allah? Apakah tidak mungkin bahwa setelah melaksanakan pembunuhan itu yang mungkin karena disebabkan dorongan emosi yang meluap-luap, ia sadar akan kesalahannya dan mengetahui betapa besar dosanya dan betapa berat azab yang akan diterimanya, lalu ia bertobat kepada Allah dan menjauhi segala macam kejahatan, serta mengerjakan amal-amal saleh dengan tekun?

Adapun orang-orang yang mengaku mukmin, tetapi ia senantiasa bergelimang dalam perbuatan dosa dan membunuh orang-orang mukmin yang lain yang dianggapnya sebagai musuh-musuhnya, atau karena ingin menguasai harta benda, maka orang-orang semacam ini tidak diterima tobatnya di sisi Allah dan selayaknyalah mereka menerima azab neraka dan kekal di dalamnya serta ditimpa kemurkaan dan laknat Allah jika mereka tidak bertobat sebelum ajalnya.

Ayat 94

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا ضَرَبْتُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَتَبَيَّنُوْا وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَنْ اَلْقٰىٓ اِلَيْكُمُ السَّلٰمَ لَسْتَ مُؤْمِنًاۚ تَبْتَغُوْنَ عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۖفَعِنْدَ اللّٰهِ مَغَانِمُ كَثِيْرَةٌ ۗ كَذٰلِكَ كُنْتُمْ مِّنْ قَبْلُ فَمَنَّ اللّٰهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

yā ayyuhal-lażīna āmanū iżā ḍarabtum fī sabīlillāhi fa tabayyanū wa lā taqūlū liman alqā ilaikumus-salāma lasta mu'minā(n), tabtagūna ‘araḍal-ḥayātid-dun-yā, fa ‘indallāhi magānimu kaṡīrah(tun), każālika kuntum min qablu fa mannallāhu ‘alaikum fa tabayyanū, innallāha kāna bimā ta‘malūna khabīrā(n).

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah (carilah keterangan) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ”salam” kepadamu, ”Kamu bukan seorang yang beriman,” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia, padahal di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah memberikan nikmat-Nya kepadamu, maka telitilah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

Apabila seorang mukmin pergi ke daerah musuh untuk berperang, maka hendaklah mereka bersikap hati-hati dan teliti terhadap orang yang mereka temui, dan jangan tergesa-gesa menuduhnya sebagai "orang yang tidak beriman", lalu membunuhnya. Utamanya apabila orang yang ditemui itu telah mengucapkan Assalamu'alaikum, atau telah mengucapkan La ilaha illallah, yaitu ucapan secara Islam, maka orang tersebut tidak boleh dituduh "kafir", sebagai alasan untuk membunuhnya karena ucapan salamnya itu menunjukkan bahwa ia telah tunduk kepada agama Islam, menurut zahirnya.

Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin agar mengadakan penelitian lebih dahulu sebelum membunuh seseorang yang dianggapnya musuh, agar jangan sampai membunuh seseorang yang telah menganut agama Islam. Apalagi jika pembunuhan itu dilakukan hanya karena keinginan untuk memiliki harta bendanya. Allah memperingatkan bahwa orang-orang mukmin tidak boleh berbuat demikian, sebab ia telah menyediakan rahmat yang banyak bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya dan mematuhi segala ketentuan-Nya.

Selanjutnya Allah mengingatkan orang mukmin bahwa pada awal mereka memeluk agama Islam, mereka menyembunyikan imannya, tetapi mereka tetap mengucapkan salam Assalamu'alaikum bila berjumpa dengan sesama mukmin yang telah lebih dahulu memeluk agama Islam. Hal itu mereka lakukan untuk memberitahukan bahwa mereka telah memeluk agama Islam. Dengan demikian, mereka mengharapkan keamanan diri, keluarga dan harta benda mereka dari kaum Muslimin yang telah masuk Islam lebih dahulu.

Apabila mereka pernah berbuat demikian, dan Allah telah memberikan keamanan yang mereka inginkan, maka sewajarnya pula mereka menghormati orang-orang yang berbuat semacam itu terhadap mereka, dan tidak tergesa-gesa menuduh seseorang sebagai musuh Islam, lalu membunuhnya, dan merampas harta bendanya.

Allah senantiasa mengetahui segala perbuatan hamba-Nya, dan Dia akan memberinya balasan yang setimpal, baik atau buruk.

Ayat 95

لَا يَسْتَوِى الْقٰعِدُوْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ غَيْرُ اُولِى الضَّرَرِ وَالْمُجٰهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْۗ فَضَّلَ اللّٰهُ الْمُجٰهِدِيْنَ بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقٰعِدِيْنَ دَرَجَةً ۗ وَكُلًّا وَّعَدَ اللّٰهُ الْحُسْنٰىۗ وَفَضَّلَ اللّٰهُ الْمُجٰهِدِيْنَ عَلَى الْقٰعِدِيْنَ اَجْرًا عَظِيْمًاۙ

lā yastawil-qā‘idūna minal-mu'minīna gairu uliḍ-ḍarari wal-mujāhidūna fī sabīlillāhi bi'amwālihim wa anfusihim, faḍḍalallāhul-mujāhidīna bi amwālihim wa anfusihim ‘alal-qā‘idīna darajah(tan), wa kullaw wa‘adallāhul-ḥusnā, wa faḍḍalallāhul-mujāhidīna ‘alal-qā‘idīna ajran ‘aẓīmā(n).

Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak turut berperang) tanpa mempunyai uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa halangan). Kepada masing-masing, Allah menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar,

Orang mukmin yang berjuang untuk membela agama Allah dengan penuh keimanan dan keikhlasan tidaklah sama derajatnya dengan orang yang enggan berbuat demikian. Ayat ini menekankan bahwa perbedaan derajat antara kedua golongan itu adalah sedemikian besarnya, sehingga orang-orang yang berjihad mempunyai derajat yang amat tinggi. Apabila orang yang tidak berjihad menyadari kerugian mereka dalam hal ini, maka mereka akan tergugah hatinya dan berusaha untuk mencapai derajat yang tinggi, dengan turut serta berjihad bersama-sama kaum mukminin lainnya. Untuk itulah ayat ini mengemukakan perbedaan antara kedua golongan tersebut.

Dengan demikian maksud yang terkandung dalam ayat ini sama dengan maksud yang dikandung dalam firman Allah pada ayat lain yang menerangkan perbedaan derajat antara orang-orang mukmin yang berilmu pengetahuan dan orang-orang yang tidak berilmu.

¦.Katakanlah, "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" ¦ (az-Zumar/39:9).

Orang yang berilmu pengetahuan jauh lebih tinggi derajatnya daripada orang yang tidak berilmu. Apabila orang yang tidak berilmu mengetahui kekurangan derajatnya, semoga hati mereka tergerak untuk mencari ilmu pengetahuan dengan giat, sehingga dapat meningkatkan derajat mereka.

Ayat ini turun pada waktu Perang Badar. Di antara kaum Muslimin ada orang-orang yang tetap tinggal di rumah, dan tidak bersedia berangkat ke medan perang. Lalu turunlah ayat ini untuk mengingatkan mereka bahwa dengan sikap yang semacam itu, mereka berada pada derajat yang rendah, dibanding dengan derajat orang-orang yang berjihad dengan penuh iman dan kesadaran.

Sementara ada di antara kaum Muslimin yang sangat ingin untuk ikut berjihad, tetapi niat dan keinginan mereka tidak dapat mereka laksanakan karena mereka uzur, misalnya: karena buta, pincang, sakit dan sebagainya, atau mereka tidak mempunyai sesuatu untuk disumbangkan.

Orang-orang semacam itu, tidak bisa disamakan dengan orang yang enggan berjihad, melainkan disamakan dengan orang-orang yang berjihad dengan harta benda dan jiwa raga mereka. Ayat ini juga menjelaskan bahwa mereka yang benar-benar berjihad dengan harta benda dan jiwa raganya memperoleh martabat yang lebih tinggi satu derajat dari mereka yang tidak berjihad karena uzur. Namun golongan itu akan mendapatkan pahala dari Allah, karena iman dan niat mereka yang ikhlas.

Allah akan memberikan pahala yang jauh lebih besar kepada mereka yang berjihad, dari mereka yang tidak berjihad tanpa uzur. Berjuang atau berjihad "dengan harta benda" ialah: menggunakan harta benda milik sendiri untuk keperluan jihad, atau untuk keperluan orang lain yang turut berjihad, misalnya: bahan-bahan perbekalan berupa makanan, kendaraan, senjata dan sebagainya. Berjuang dengan "jiwa raga" berarti: ia rela mengorbankan miliknya yang paling berharga baginya, yaitu tenaga bahkan jiwanya, sekalipun ia menerima perbekalan dari orang lain, karena ia tidak mempunyainya.

Ayat 96

دَرَجٰتٍ مِّنْهُ وَمَغْفِرَةً وَّرَحْمَةً ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ࣖ

darajātim minhu wa magfirataw wa raḥmah(tan), wa kānallāhu gafūrar raḥīmā(n).

(yaitu) beberapa derajat daripada-Nya, serta ampunan dan rahmat. Allah Ma-ha Pengampun, Maha Penyayang.

Ayat ini merupakan lanjutan dan keterangan bagi ayat yang lalu, karena akhir ayat yang lalu menyebutkan bahwa Allah akan memberikan pahala yang lebih besar kepada mereka yang berjihad, tetapi belum dijelaskan apa wujud pahala yang besar itu. Maka ayat ini menjelaskan bahwa pahala yang paling besar ialah: keunggulan martabat mereka beberapa derajat di sisi Allah Yang Maha Pengampun serta ampunan dan rahmat-Nya.

Ayat 97

اِنَّ الَّذِيْنَ تَوَفّٰىهُمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ ظَالِمِيْٓ اَنْفُسِهِمْ قَالُوْا فِيْمَ كُنْتُمْ ۗ قَالُوْا كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِى الْاَرْضِۗ قَالُوْٓا اَلَمْ تَكُنْ اَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوْا فِيْهَا ۗ فَاُولٰۤىِٕكَ مَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُ ۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًاۙ

innal-lażīna tawaffāhumul-malā'ikatu ẓālimī anfusihim qālū fīma kuntum, qālū kunnā mustaḍ‘afīna fil-arḍ(i), qālū alam takun arḍullāhi wāsi‘atan fa tuhājirū fīhā, fa ulā'ika ma'wāhum jahannam(u), wa sā'at maṣīrā(n).

Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri, mereka (para malaikat) bertanya, “Bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Kami orang-orang yang tertindas di bumi (Mekah).” Mereka (para malaikat) bertanya, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?” Maka orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan (Jahanam) itu seburuk-buruk tempat kembali,

Ada segolongan Muslimin yang tetap tinggal di Mekah. Mereka menyembunyikan keislaman mereka dari penduduk Mekah dan mereka tidak ikut berhijrah ke Medinah, padahal mereka mempunyai kesanggupan untuk melakukan hijrah. Mereka merasa senang tinggal di Mekah, walaupun mereka tidak mempunyai kebebasan mengerjakan ajaran agama dan membinanya. Allah menyatakan mereka sebagai orang yang menganiaya diri sendiri.

Sewaktu Perang Badar terjadi, mereka dipaksa ikut berperang oleh orang musyrikin menghadapi Rasulullah saw. Dalam peperangan ini sebagian mereka mati terbunuh. ) Sesudah mereka mati malaikat mencela mereka, karena mereka tidak berbuat suatu apa pun dalam urusan agama mereka (Islam), seperti tidak dapat mengerjakan ajaran-ajaran agama. Mereka menjawab dengan mengajukan alasan bahwa mereka tidak melaksanakan ajaran agama, disebabkan tekanan dari orang-orang musyrik Mekah, sehingga banyak kewajiban agama yang mereka tinggalkan.

Para malaikat menolak alasan mereka. Kalau benar-benar mereka ingin mengerjakan ajaran agama, tentu mereka meninggalkan Mekah dan hijrah ke Medinah. Bukankah bumi Allah ini luas. Kenapa mereka senang tetap tinggal di Mekah, tidak mau hijrah? Padahal mereka mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk hijrah itu? Mereka tidak pindah ke tempat yang baru di mana mereka akan memperoleh kebebasan dalam mengerjakan ajaran agama dan memperoleh ketenteraman dan kemerdekaan. Oleh karena itu mereka mengalami nasib yang buruk. Mereka dilemparkan ke dalam neraka Jahanam yakni tempat yang paling buruk.

Secara umum setiap Muslim wajib hijrah dari negeri orang kafir bilamana di negeri tersebut tidak ada jaminan kebebasan melakukan kewajiban agama dan memelihara agama. Tetapi bilamana ada jaminan kebebasan beragama di negeri itu serta kebebasan membina pendidikan agama bagi dirinya dan keluarganya, maka ia tidak diwajibkan hijrah.

Ayat 98

اِلَّا الْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاۤءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ حِيْلَةً وَّلَا يَهْتَدُوْنَ سَبِيْلًاۙ

illal-mustaḍ‘afīna minar-rijāli wan-nisā'i wal-wildāni lā yastaṭī‘ūna ḥīlataw wa lā yahtadūna sabīlā(n).

kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan dan anak-anak yang tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah),

Kemudian dalam ayat ini Allah swt mengecualikan golongan orang yang tertindas, baik laki-laki atau perempuan, seperti 'Iyasy bin Abi Rabi'ah dan Salamah bin Hisyam, Ummul Fadli dan Ummu Abdillah bin Abbas, dan anak-anak seperti Abdullah bin Abbas dan lain-lain. Mereka ini tidaklah dipandang menganiaya diri dan tidaklah dipandang berdosa karena mereka meninggalkan kewajiban hijrah. Mereka ini adalah orang-orang yang benar-benar ditindas karena mereka tidak mempunyai kemampuan untuk keluar dari Mekah.

Mereka tidak mempunyai daya upaya, perbekalan dan nafkah untuk hijrah. Mereka tidak mengetahui jalan keluar dari kesulitan itu. Faktor ketuaan, sakit, kemiskinan dan juga tidak tahu jalan menuju Medinah adalah termasuk alasan-alasan yang dapat diterima.

Ayat 99

فَاُولٰۤىِٕكَ عَسَى اللّٰهُ اَنْ يَّعْفُوَ عَنْهُمْ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَفُوًّا غَفُوْرًا

fa ulā'ika ‘asallāhu ay ya‘fuwa ‘anhum, wa kānallāhu ‘afuwwan gafūrā(n).

maka mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.

Allah akan memaafkan mereka karena mereka benar-benar tidak mampu menunaikan hijrah. Tetapi bilamana kemampuan dan kesempatan itu sudah ada segeralah berhijrah. Karena hijrah dari bumi Mekah yang musyrik itu suatu kaharusan.

Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf terhadap segala macam dosa hambanya yang dilakukan karena keadaan terpaksa dan alasan-alasan yang benar. Allah tidak akan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Allah Maha Pengampun terhadap kesalahan mereka dan tidak akan menampakkan kesalahan itu kelak.

Ayat 100

۞ وَمَنْ يُّهَاجِرْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يَجِدْ فِى الْاَرْضِ مُرٰغَمًا كَثِيْرًا وَّسَعَةً ۗوَمَنْ يَّخْرُجْ مِنْۢ بَيْتِهٖ مُهَاجِرًا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ اَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ࣖ

wa may yuhājir fī sabīlillāhi yajid fil-arḍi murāgaman kaṡīraw wa sa‘ah(tan), wa may yakhruj mim baitihī muhājiran ilallāhi wa rasūlihī ṡumma yudrik-hul-mautu faqad waqa‘a ajruhū ‘alallāh(i), wa kānallāhu gafūrar raḥīmā(n).

Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Kemudian Allah menjanjikan kepada orang-orang yang hijrah meninggalkan kampung halamannya karena menaati perintah Allah dan mengharapkan keridaan-Nya, mereka akan memperoleh tempat tinggal yang lebih makmur, lebih tenteram dan aman dan lebih mudah menunaikan kewajiban-kewajiban agama di daerah yang baru, yaitu Medinah. Janji yang demikian itu sangat besar pengaruhnya bagi mereka yang hijrah. Sebab umumnya orang-orang Islam di Mekah yang tidak ikut hijrah menyangka bahwa hijrah itu penuh dengan penderitaan dan daerah yang dituju itu tidak memberikan kelapangan hidup bagi mereka.

Allah akan memberikan kelapangan hidup di dunia dan akan memberikan pahala yang sempurna di akhirat kepada orang-orang yang hijrah dan meninggal dunia sebelum sempat sampai ke Medinah. Amat jelas janji Allah kepada orang-orang yang hijrah dibandingkan dengan janji kepada mereka yang tidak hijrah karena uzur, sebab bagi golongan yang akhir ini pengampunan Allah tidak disebut secara pasti. Pengampunan dan kasih sayang Allah sangatlah besar terhadap kaum muhajirin yang dengan ikhlas meninggalkan kampung halaman mereka untuk menegakkan kalimah Allah.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Abu Ya'la dengan sanad yang baik dari Ibnu Abbas beliau berkata, "Damrah bin Jundub pergi dari rumahnya "Bawalah aku dan keluarkanlah aku dari bumi orang-orang musyrik ini (Mekah) untuk menemui Rasulullah saw." Maka pergilah dia, dalam perjalanan dia meninggal sebelum berjumpa dengan Nabi Muhammad saw lalu turunlah ayat ini.

Sebab-sebab Islam mensyariatkan hijrah pada zaman permulaan:

1.Untuk menghindarkan diri dari tekanan dan penindasan orang kafir Mekah terhadap Muslimin, sehingga mereka memiliki kebebasan dalam menjalankan perintah agama dan menegakkan syiarnya.

2.Untuk menerima ajaran agama dari Nabi Muhammad saw, kemudian menyebarkannya ke seluruh dunia.

3. Untuk membina negara Islam yang kuat yang dapat menyebarkan Islam, menegakkan hukum-hukumnya, menjaga rakyat dari musuh dan melindungi dakwah Islamiyah.

Ketiga sebab inilah yang menjadikan hijrah dari Mekah menjadi salah satu kewajiban bagi umat Islam. Sesudah umat Islam membebaskan Mekah tidak ada lagi kewajiban hijrah, karena ketiga sebab ini tidak ada lagi. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda:

"Tidak ada hijrah sesudah pembebasan Mekah, tetapi yang ada ialah jihad dan niat. Jika kamu diperintahkan berperang, maka penuhilah perintah itu" (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu 'Abbas).

Ayat 101

وَاِذَا ضَرَبْتُمْ فِى الْاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلٰوةِ ۖ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَّفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ اِنَّ الْكٰفِرِيْنَ كَانُوْا لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِيْنًا

wa iżā ḍarabtum fil-arḍi fa laisa ‘alaikum junāḥun an taqṣurū minaṣ-ṣalāh(ti), in khiftum ay yaftinakumul-lażīna kafarū, innal-kāfirīna kānū lakum ‘aduwwam mubīnā(n).

Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qasar salat, jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa dibenarkan umat Islam menunaikan fardu salat qasar (qashar) pada waktu dia dalam perjalanan, baik dalam keadaan aman atau dalam ancaman musuh.

Salat dalam perjalanan yang aman disebut salat safar. Pada salat safar, salat yang terdiri dari empat rakaat: zuhur, asar, dan isya diqasar menjadi dua rakaat. Magrib dan subuh tidak diqasar. Syarat menqasar salat safar ialah perjalanan yang jauhnya diukur dengan perjalanan kaki selama tiga hari tiga malam. Menurut Imam Syafii, perjalanan dua hari atau 89 km. Menurut perhitungan mazhab Hanafi 3 farsakh (18 km). Sedangkan menurut pendapat lain, kebolehan mengkasar salat tidak terikat dengan ketentuan jauh jarak, tetapi asal sudah boleh dinamai safar, boleh mengkasar.

Salat dalam perjalanan yang diancam bahaya disebut salat khauf, seperti dikatakan dalam ayat: "Jika kamu takut diserang orang-orang kafir." Cara salat khauf ini diterangkan dalam ayat berikut.

(102) Dalam ayat ini dijelaskan cara salat khauf, yaitu bilamana Rasulullah berada dalam barisan kaum Muslimin dan beliau hendak salat bersama pasukannya, maka lebih dahulu beliau membagi pasukannya menjadi dua kelompok. Kelompok pertama salat bersama Rasul sedang kelompok kedua tetap ditempatnya menghadapi musuh sambil melindungi kelompok yang sedang salat. Kelompok yang sedang salat ini diharuskan menyandang senjata dalam salat untuk menjaga kemungkinan musuh menyerang dan agar mereka tetap waspada. Bilamana kelompok pertama ini telah menyelesaikan rakaat pertama hendaklah mereka pergi menggantikan kelompok kedua, dan Nabi menanti dalam salat. Kelompok kedua ini juga harus menyandang senjata bahkan harus lebih bersiap siaga. Nabi salat dengan kelompok kedua ini dalam rakaat kedua. Sesudah rakaat kedua ini beliau membaca salam, kemudian masing-masing kelompok menyelesaikan satu rakaat lagi dengan cara bergantian.

Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata:

"Nabi saw mengerjakan salat khauf dengan salah satu di antara dua kelompok satu rakaat, sedang kelompok lainnya menghadapi musuh. Kemudian kelompok pertama pindah menempati kelompok teman-teman mereka sambil menghadapi musuh, lalu datanglah kelompok kedua dan bersalat di belakang Nabi satu rakaat pula kemudian Nabi membaca salam. Kemudian masing-masing kelompok menyelesaikan salatnya satu rakaat lagi." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu 'Umar).

Ayat ini menjadi dasar salat khauf. Dalam ayat ini Allah swt menjelaskan alasan kaum Muslimin salat menyandang senjata dalam salat khauf, yaitu bila musuh yang berada tidak jauh dari mereka selalu mengintai saat-saat pasukan Islam kehilangan kewaspadaan dan meninggalkan senjata dan perlengkapan mereka, maka pada saat itulah pasukan kafir mendapat kesempatan menggempur mereka. Kemudian Allah menerangkan bilamana pasukan itu mendapat kesusahan karena hujan atau sakit atau kesulitan lain, maka membawa senjata dalam salat khauf dibolehkan walaupun tidak disandang. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan terhadap orang-orang kafir yaitu kekalahan yang mereka alami.

Ayat 102

وَاِذَا كُنْتَ فِيْهِمْ فَاَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلٰوةَ فَلْتَقُمْ طَاۤىِٕفَةٌ مِّنْهُمْ مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُوْٓا اَسْلِحَتَهُمْ ۗ فَاِذَا سَجَدُوْا فَلْيَكُوْنُوْا مِنْ وَّرَاۤىِٕكُمْۖ وَلْتَأْتِ طَاۤىِٕفَةٌ اُخْرٰى لَمْ يُصَلُّوْا فَلْيُصَلُّوْا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوْا حِذْرَهُمْ وَاَسْلِحَتَهُمْ ۚ وَدَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْ تَغْفُلُوْنَ عَنْ اَسْلِحَتِكُمْ وَاَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيْلُوْنَ عَلَيْكُمْ مَّيْلَةً وَّاحِدَةً ۗوَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ كَانَ بِكُمْ اَذًى مِّنْ مَّطَرٍ اَوْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَنْ تَضَعُوْٓا اَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوْا حِذْرَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ اَعَدَّ لِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابًا مُّهِيْنًا

wa iżā kunta fīhim fa aqamta lahumuṣ-ṣalāta faltaqum ṭā'ifatum minhum ma‘aka walya'khużū asliḥatahum, fa iżā sajadū falyakūnū miw warā'ikum, walta'ti ṭā'ifatun ukhrā lam yuṣallū falyuṣallū ma‘aka walya'khużū ḥiżrahum wa asliḥatahum, waddal-lażīna kafarū lau tagfulūna ‘an asliḥatakum wa amti‘atikum, fa yamīlūna ‘alaikum mailataw wāḥidah(tan), wa lā junāḥa ‘alaikum in kāna bikum ażam mim maṭarin au kuntum marḍā an taḍa‘ū asliḥatakum wa khużū ḥiżrakum, innallāha a‘adda lil-kāfirīna ‘ażābam muhīnā(n).

Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata mereka, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang lain yang belum salat, lalu mereka salat denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata mereka. Orang-orang kafir ingin agar kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu sekaligus. Dan tidak mengapa kamu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan karena hujan atau karena kamu sakit, dan bersiap siagalah kamu. Sungguh, Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.

Dalam ayat ini dijelaskan cara salat khauf, yaitu bilamana Rasulullah berada dalam barisan kaum Muslimin dan beliau hendak salat bersama pasukannya, maka lebih dahulu beliau membagi pasukannya menjadi dua kelompok. Kelompok pertama salat bersama Rasul sedang kelompok kedua tetap ditempatnya menghadapi musuh sambil melindungi kelompok yang sedang salat. Kelompok yang sedang salat ini diharuskan menyandang senjata dalam salat untuk menjaga kemungkinan musuh menyerang dan agar mereka tetap waspada. Bilamana kelompok pertama ini telah menyelesaikan rakaat pertama hendaklah mereka pergi menggantikan kelompok kedua, dan Nabi menanti dalam salat. Kelompok kedua ini juga harus menyandang senjata bahkan harus lebih bersiap siaga. Nabi salat dengan kelompok kedua ini dalam rakaat kedua. Sesudah rakaat kedua ini beliau membaca salam, kemudian masing-masing kelompok menyelesaikan satu rakaat lagi dengan cara bergantian.

Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata:

“Nabi saw mengerjakan salat khauf dengan salah satu di antara dua kelompok satu rakaat, sedang kelompok lainnya menghadapi musuh. Kemudian kelompok pertama pindah menempati kelompok teman-teman mereka sambil menghadapi musuh, lalu datanglah kelompok kedua dan bersalat di belakang Nabi satu rakaat pula kemudian Nabi membaca salam. Kemudian masing-masing kelompok menyelesaikan salatnya satu rakaat lagi.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar).

Ayat ini menjadi dasar salat khauf. Dalam ayat ini Allah swt menjelaskan alasan kaum Muslimin salat menyandang senjata dalam salat khauf, yaitu bila musuh yang berada tidak jauh dari mereka selalu mengintai saat-saat pasukan Islam kehilangan kewaspadaan dan meninggalkan senjata dan perlengkapan mereka, maka pada saat itulah pasukan kafir mendapat kesempatan menggempur mereka. Kemudian Allah menerangkan bilamana pasukan itu mendapat kesusahan karena hujan atau sakit atau kesulitan lain, maka membawa senjata dalam salat khauf dibolehkan walaupun tidak disandang. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan terhadap orang-orang kafir yaitu kekalahan yang mereka alami.

Ayat 103

فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِكُمْ ۚ فَاِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ ۚ اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا

fa iżā qaḍaitumuṣ-ṣalāta fażkurullāha qiyāmaw wa qu‘ūdaw wa ‘alā junūbikum, fa iżaṭma'nantum fa aqīmuṣ-ṣalāh(ta), innaṣ-ṣalāta kānat ‘alal-mu'minīna kitābam mauqūtā(n).

Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka laksanakanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

Selanjutnya diperintahkan apabila salat khauf itu selesai dikerjakan dengan cara yang telah diterangkan itu, maka hendaklah pasukan Islam itu mengingat Allah terus-menerus dalam segala keadaan. Lebih lagi mereka harus menyebut nama Allah pada saat mereka berada dalam ancaman musuh. Allah akan menolong mereka selama mereka menolong agama Allah. Hendaklah mereka mengucapkan tahmid dan takbir ketika berdiri di medan pertempuran, atau ketika duduk memanah musuh atau ketika berbaring karena luka-luka. Segala penderitaan lahir dan batin akan lenyap, jika jiwa sudah diisi penuh dengan zikir kepada Allah, oleh karenanya kaum Muslimin harus terus ingat dan berzikir kepada Allah baik dalam keadaan perang ataupun damai.

Orang beriman setiap saat berada di dalam perjuangan. Pada suatu saat dia berperang dengan musuh pada saat yang lain dia bertempur melawan hawa nafsunya. Demikianlah berzikir mengingat Allah diperintahkan setiap saat karena dia mendidik jiwa, membersihkan rohani dan menanamkan kebesaran Allah ke dalam hati. Bila peperangan sudah usai, ketakutan sudah lenyap dan hati sudah tenteram hendaklah dilakukan salat yang sempurna rukun dan syaratnya. Karena salat adalah suatu kewajiban bagi orang mukmin dan mereka wajib memelihara waktunya yang sudah ditetapkan. Paling kurang lima kali dalam sehari semalam umat Islam melakukan salat agar dia selalu ingat kepada Allah, sehingga meniadakan kemungkinan terjerumus ke dalam kejahatan dan kesesatan. Bagi orang yang ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah, waktu lima kali itu dipandang sedikit, maka dia menambah lagi dengan salat-salat sunah pada waktu-waktu yang telah ditentukan dalam agama.

Ayat 104

وَلَا تَهِنُوْا فِى ابْتِغَاۤءِ الْقَوْمِ ۗ اِنْ تَكُوْنُوْا تَأْلَمُوْنَ فَاِنَّهُمْ يَأْلَمُوْنَ كَمَا تَأْلَمُوْنَ ۚوَتَرْجُوْنَ مِنَ اللّٰهِ مَا لَا يَرْجُوْنَ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا ࣖ

wa lā tahinū fibtigā'il-qaum(i), in takūnū ta'lamūna fa innahum ya'lamūna kamā ta'lamūn(a), wa tarjūna minallāhi mā lā yarjūn(a), wa kānallāhu ‘alīman ḥakīmā(n).

Dan janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka ketahuilah mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu rasakan, sedang kamu masih dapat mengharapkan dari Allah apa yang tidak dapat mereka harapkan. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

Kemudian diterangkan bahwa sesudah selesai pasukan Islam menunaikan ibadah salat, haruslah dia siap kembali menghadapi musuh. Jangan ada sedikit pun rasa gentar dalam menghadapi musuh. Dalam peperangan bila tidak menyerang pasti diserang. Pada ayat ini sebenarnya ada perintah untuk teguh menghadapi musuh, karena semangat tempur yang lebih tinggi akan menentukan keberhasilan. Allah memerintahkan agar pasukan Islam senantiasa bersiaga dengan tawakal pada Allah. Kesudahan suatu peperangan ialah penderitaan, dan penderitaan bukan saja bagi si penyerang bahkan juga bagi yang diserang.

"Jika kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. ¦." (Â'li 'Imran/3:140).

Jika musuh dapat sabar menahan derita, mengapa kaum Muslimin tidak sabar? Pasukan Islam patut lebih sabar dan lebih tabah dari orang kafir, karena mereka mempunyai harapan dari Allah yang tidak dimiliki oleh orang kafir. Allah menjanjikan kepada mujahid Islam sekurang-kurangnya memperoleh satu dari dua keberuntungan. Yaitu mereka memperoleh kemenangan dalam pertempuran atau surga bagi yang syahid. Janji Allah ini mendorong setiap pejuang Islam untuk berjuang lebih gigih, sabar dan berani. Allah Maha Mengetahui segala apa yang bermanfaat bagi agama dan bagi kaum Muslimin. Dia tidak akan memikulkan beban di luar kesanggupan mereka, karena Dia Mahabijaksana. Sesuai dengan ilmu dan kebijaksanaan-Nya, maka keuntungan pasti dipihak yang benar dan kehancuran pasti di pihak yang batil.

Ayat 105

اِنَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ اَرٰىكَ اللّٰهُ ۗوَلَا تَكُنْ لِّلْخَاۤىِٕنِيْنَ خَصِيْمًا ۙ

innā anzalnā ilaikal-kitāba bil-ḥaqqi litaḥkuma bainan-nāsi bimā arākallāh(u), wa lā takun lil-khā'inīna khaṣīmā(n).

Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat,

Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk mengadili perkara yang terjadi antara manusia berdasarkan hukum-hukum yang diajarkan Allah. Berdasarkan kitab itu, Nabi Muhammad saw memutuskan suatu perkara dengan adil. Beliau dilarang menjadi lawan dari yang benar atau kawan bagi yang salah. Ayat ini menegur Rasul karena beliau percaya begitu saja terhadap laporan Bani ¨afar dan beliau dengan segera membebaskan thu'mah. Seolah-olah beliau menjadi pembela bagi orang-orang yang belum tentu benar.

Ayat 106

وَّاسْتَغْفِرِ اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًاۚ

wastagfirillāh(a), innallāha kāna gafūrar raḥīmā(n).

dan mohonkanlah ampunan kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Kemudian Allah menyuruh Rasulullah saw meminta ampun kepada-Nya atas sikapnya yang lekas percaya kepada laporan satu pihak yang berperkara karena sesungguhnya Allah Mahabesar ampunan-Nya dan Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-Nya yang meminta ampun.

Tindakan beliau itu bukanlah suatu kesalahan. Beliau memutuskan dengan ijtihad, dan tuduhan kepada Tu'mah tidak disertai dengan bukti-bukti, lalu beliau percaya keterangan pembelaan famili Tu'mah. Diriwayatkan dari kitab shahih Bukhari dan shahih Muslim sebagai berikut:

"Dari Ummu Salamah bahwasanya Rasulullah saw mendengar keributan orang-orang bertengkar di muka pintu rumahnya, lalu beliau mendatangi mereka. Beliau berkata, "Ketahuilah bahwa sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia. Aku memutuskan suatu perkara sesuai dengan apa yang kudengar. Mungkin salah seorang kamu lebih pandai mengemukakan alasan dari yang lain, lalu aku mengambil keputusan untuknya. Maka barang siapa aku tetapkan untuknya hak seorang Muslim, maka sesungguhnya hak itu adalah sepotong api neraka. Maka hendaklah dia memikulnya atau membuangnya." (Riwayat al-Bukhari-Muslim).

Ayat 107

وَلَا تُجَادِلْ عَنِ الَّذِيْنَ يَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا اَثِيْمًاۙ

wa lā tujādil ‘anil-lażīna yakhtānūna anfusahum, innallāha lā yuḥibbu man kāna khawwānan aṡīmā(n).

Dan janganlah kamu berdebat untuk (membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat dan bergelimang dosa,

Nabi Muhammad saw dilarang membela orang-orang yang mengkhianati dirinya sendiri, seperti thu'mah dengan kaum kerabatnya yang berusaha menutupi kesalahannya. Mereka dikatakan mengkhianati diri sendiri sedang yang dikhianati sebenarnya adalah orang lain karena akibat pengkhianatan itu akan menimpa diri mereka sendiri. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang khianat, berdosa dan mengotori jiwanya dengan perbuatan-perbuatan jahat seperti thu'mah yang ternyata setelah kedok kejahatannya terbuka dia murtad dan melarikan diri ke Mekah bergabung dengan orang-orang musyrik.

Ayat 108

يَّسْتَخْفُوْنَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُوْنَ مِنَ اللّٰهِ وَهُوَ مَعَهُمْ اِذْ يُبَيِّتُوْنَ مَا لَا يَرْضٰى مِنَ الْقَوْلِ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِمَا يَعْمَلُوْنَ مُحِيْطًا

yastakhfūna minan-nāsi wa lā yastakhfūna minallāhi wa huwa ma‘ahum iż yubayyitūna mā lā yarḍā minal-qaul(i), wa kānallāhu bimā ya‘malūna muḥīṭā(n).

mereka dapat bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak dapat bersembunyi dari Allah, karena Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak diridai-Nya. Dan Allah Ma-ha Meliputi terhadap apa yang mereka kerjakan.

Orang yang berkhianat itu bersembunyi dari manusia sewaktu melakukan kejahatan, mungkin karena malu atau takut terhadap pembalasan. Tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah dan tidak pula malu kepada-Nya dengan mengerjakan perbuatan jahat itu. Seandainya mereka memiliki iman yang kuat tentulah mereka tidak akan mengerjakannya. Orang yang beriman tidak akan jatuh ke dalam pengkhianatan kecuali karena dia lupa atau tidak sadar. Orang yang menyadari bahwa Allah selalu melihatnya di manapun dia berada, pastilah dia tidak berbuat dosa dan tidak berbuat curang, karena malu kepada Tuhan dan takut terhadap-Nya. Allah menyaksikan sewaktu Bani Ubairik bermusyawarah di malam hari dan menetapkan keputusan rahasia, yaitu melemparkan kejahatan yang mereka perbuat kepada orang lain yang tidak berdosa. Allah akan menjatuhkan hukuman atas mereka, karena Dia mengetahui segala perbuatan mereka. Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi tersembunyi bagi Allah betapa pun kecilnya.

Ayat 109

هٰٓاَنْتُمْ هٰٓؤُلَاۤءِ جَادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ فَمَنْ يُّجَادِلُ اللّٰهَ عَنْهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَمْ مَّنْ يَّكُوْنُ عَلَيْهِمْ وَكِيْلًا

hā'antum hā'ulā'i jādaltum ‘anhum fil-ḥayātid-dun-yā, famay yujādilullāha ‘anhum yaumal-qiyāmati am may yakūnu ‘alaihim wakīlā(n).

Itulah kamu! Kamu berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini, tetapi siapa yang akan menentang Allah untuk (membela) mereka pada hari Kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka (terhadap azab Allah)?

Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang hendak membela mereka yang curang yakni Bani ¨afar dan berusaha membersihkan diri mereka dari segala tuduhan mencuri. Andaikata pembelaan mereka itu berhasil, maka siapakah yang sanggup membela mereka di hadapan Allah di hari kiamat? Bukankah waktu itu yang menjadi hakim untuk mengadili segala sengketa adalah Allah yang Maha Mengetahui segala amal perbuatan manusia? Tak seorang pun yang dapat menjadi pembela orang-orang yang bersalah di dunia dan menjadi pelindungnya pada hari kiamat.

(Yaitu) hari (ketika) seseorang sama sekali tidak berdaya (menolong) orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. (al-Infitar/82:19).

Umat Islam haruslah menyadari bahwa keberuntungan yang diperolehnya secara curang lewat pengadilan di dunia ini akan menjadi siksaan baginya di akhirat.

Ayat 110

وَمَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا اَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهٗ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللّٰهَ يَجِدِ اللّٰهَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

wa may ya‘mal sū'an au yaẓlim nafsahū ṡumma yastagfirillāha yajidillāha gafūrar raḥīmā(n).

Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Ayat ini memberikan dorongan kepada mereka yang berbuat salah untuk menyadari dirinya dan kembali ke jalan yang benar, bertobat kepada Allah. Perbuatan mereka menzalimi diri sendiri dengan jalan berbuat maksiat, seperti sumpah palsu akan diampuni Allah jika mereka benar-benar minta ampun kepada-Nya. Dalam ayat ini diterangkan bagaimana jalan keluar dari dosa sesudah terperosok ke dalamnya dan sesudah diturunkan peringatan kepada musuh-musuh kebenaran, yaitu dengan tobat dan minta ampun. Orang yang minta ampun akan mendapati Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dia akan merasakan hasil pengampunan Allah pada dirinya yaitu rasa benci kepada kemaksiatan dan penyebab-penyebabnya. Dia juga akan merasakan kasih sayang Allah kepadanya dengan tumbuhnya hasrat dalam hatinya hendak berbuat kebajikan.

Ayat 111

وَمَنْ يَّكْسِبْ اِثْمًا فَاِنَّمَا يَكْسِبُهٗ عَلٰى نَفْسِهٖ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

wa may yaksib iṡman fa innamā yaksibuhū ‘alā nafsih(ī),wa kānallāhu ‘alīman ḥakīmā(n).

Dan barangsiapa berbuat dosa, maka sesungguhnya dia mengerjakannya untuk (kesulitan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijak-sana.

Kemudian ayat ini memperingatkan bencana perbuatan dosa, yaitu barang siapa mengerjakan dosa lalu mengira pekerjaan itu akan bermanfaat bagi dirinya niscaya dia mengalami hal yang sebaliknya. Pekerjaannya itu akan mengakibatkan bencana dan penderitaan bagi dirinya, sedikitpun tidak ada manfaatnya. Perbuatan yang busuk lambat atau cepat tercium oleh masyarakat. Pengadilan akan membuka kejelekannya di muka umum dan menjatuhkan hukuman atas dirinya. Inilah penghinaan atas dirinya dan penderitaan di dunia. Di akhirat dia akan mengalami lagi hukuman Allah. Allah dengan ilmu-Nya yang Mahaluas telah menetapkan perbuatan mana yang terlarang, dan dengan kebijaksanaan-Nya ditetapkan hukuman bagi pelanggaran atas perbuatan itu. Manusialah yang merusak dirinya sendiri bila ia melanggar batas-batas yang telah ditetapkan Tuhan.

Ayat 112

وَمَنْ يَّكْسِبْ خَطِيْۤـَٔةً اَوْ اِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهٖ بَرِيْۤـًٔا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا ࣖ

wa may yaksib khaṭī'atan au iṡman ṡumma yarmi bihī barī'an fa qadiḥtamala buhtānaw wa iṡmam mubīnā(n).

Dan barangsiapa berbuat kesalahan atau dosa, kemudian dia tuduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka sungguh, dia telah memikul suatu kebohongan dan dosa yang nyata.

Orang yang melakukan perbuatan dosa dengan tidak disengaja atau dengan sengaja, kemudian mereka melemparkan kesalahan itu kepada orang lain dan menuduh orang lain mengerjakannya, sedang ia mengetahui orang lain itu tidak bersalah, maka dia sesungguhnya telah membuat kebohongan yang besar dan akan memikul dosanya seperti yang dilakukan keluarga Banu Ubairiq yang melemparkan kejahatan Tu'mah kepada Zaid bin Saleh. Orang seperti Tu'mah dan keluarganya tetap melakukan dua macam kejahatan. Kejahatan melakukan perbuatan dosa itu sendiri dan kejahatan melemparkan tuduhan yang tidak benar kepada orang lain.

Ayat 113

وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهٗ لَهَمَّتْ طَّاۤىِٕفَةٌ مِّنْهُمْ اَنْ يُّضِلُّوْكَۗ وَمَا يُضِلُّوْنَ اِلَّآ اَنْفُسَهُمْ وَمَا يَضُرُّوْنَكَ مِنْ شَيْءٍ ۗ وَاَنْزَلَ اللّٰهُ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُۗ وَكَانَ فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكَ عَظِيْمًا

wa lau lā faḍlullāhi ‘alaika wa raḥmatuhū lahammaṭ-ṭā'ifatum minhum ay yuḍillūk(a), wa mā yuḍillūna illā anfusahum wa mā yaḍurrūnaka min syai'(in), wa anzalallāhu ‘alaikal-kitāba wal-ḥikmata wa ‘allamaka mā lam takun ta‘lam(u), wa kāna faḍlullāhi ‘alaika ‘aẓīmā(n).

Dan kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu (Muhammad), tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka hanya menyesatkan dirinya sendiri, dan tidak membahayakanmu sedikit pun. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah (Sunnah) kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar.

Dalam ayat ini dijelaskan anugerah dan nikmat Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw. Dijelaskan bahwa tanpa karunia dan nikmat-Nya kepada Nabi tentulah golongan yang berhasrat untuk menyesatkan beliau akan berhasil. Di antara karunia dan rahmat Allah itu ialah pemberitahuan-Nya kepada Nabi tentang perbuatan Tu'mah dan kerabatnya. Berkat adanya pemberitahuan Allah dan petunjuk-Nya gagallah rencana Bani ¨afar dan pendukung-pendukungnya itu.

Seandainya rencana golongan itu terlaksana tentulah Nabi harus menyediakan waktu dan tenaga untuk mengatasinya. Padahal di hadapan beliau amat banyak perkara dan tugas yang lebih penting yang memerlukan tenaga dan pikiran. Tetapi Allah tidak membiarkan Rasul-Nya dipermainkan oleh orang-orang yang rusak akhlaknya. Mereka sebenarnya menyesalkan diri mereka sendiri karena mereka bertambah jauh dari jalan yang ditunjukkan Allah. Sedikit pun mereka tidak dapat mempersulit Nabi, karena beliau dalam menetapkan putusan tidaklah mengikuti hawa nafsu. Beliau bertindak sesuai dengan kenyataan yang ada. Tidaklah terlintas di hati beliau bahwa keadaan yang sebenarnya berlawanan dengan laporan yang beliau terima.

Dengan rahmat dan karunia Allah, Nabi telah terpelihara dari membuat keputusan yang tidak benar. Selanjutnya diterangkan bahwa Allah telah melimpahkan anugerah-Nya kepada Nabi-Nya dengan menurunkan Al-Qur'an dan al-Hikmah untuk digunakan dalam menetapkan suatu keputusan. Dia mengajarkan kepadanya apa yang tidak diketahuinya sebelumnya. Karunia Allah kepada Nabi Muhammad saw sangat besar, karena beliau diutus kepada seluruh umat manusia untuk sepanjang masa.

Ayat 114

۞ لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ اِلَّا مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلَاحٍۢ بَيْنَ النَّاسِۗ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا

lā khaira fī kaṡīrim min najwāhum illā man amara biṣadaqatin au ma‘rūfin au iṣlāḥim bainan-nās(i), wa may yaf‘al żālikabtigā'a marḍātillāhi fa saufa nu'tīhi ajran ‘aẓīmā(n).

Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.

Merahasiakan pembicaraan dan perbuatan keji, seperti yang telah dilakukan oleh thu'mah dan kawan-kawannya adalah perbuatan yang terlarang, tidak ada faedahnya, kecuali bisik-bisik itu untuk menyuruh bersedekah, berbuat makruf dan mengadakan perdamaian di antara manusia.

Berbisik-bisik dan menyembunyikan pembicaraan biasanya dilakukan untuk merahasiakan perbuatan terlarang, perbuatan jahat dan untuk melenyapkan kebaikan, jarang yang dilakukan untuk perbuatan baik dan terpuji.

Manusia menurut tabiatnya senang menyatakan dan mengatakan kepada orang lain atau kepada orang banyak tentang perbuatan baik yang telah atau yang akan dilakukannya. Sedang perbuatan jahat atau perbuatan dosa yang telah atau yang akan dilakukannya, selalu disembunyikan dan dirahasiakannya. Ia takut orang lain akan mengetahuinya, sesuai dengan sabda Rasulullah saw:

"Kebajikan itu adalah akhlak yang baik, dan dosa itu adalah apa yang terasa tidak enak di dalam hatimu, dan kamu tidak senang orang lain mengetahuinya" (Riwayat Muslim).

Karena itu diperintahkan agar orang yang beriman menjauhi perbuatan itu, terutama berbisik-bisik atau mengadakan pembicaraan rahasia untuk melakukan perbuatan dosa, permusuhan, mendustakan Rasulullah dan lain sebagainya.

Ayat yang lain menegaskan larangan Allah dan menyatakan bahwa berbisik dan mengadakan perjanjian rahasia untuk melakukan perbuatan dosa, termasuk perbuatan setan. Allah berfirman:

(9) Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan perbuatan dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Tetapi bicarakanlah tentang perbuatan kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikumpulkan kembali. (10) Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu termasuk (perbuatan) setan, agar orang-orang yang beriman itu bersedih hati, sedang (pembicaraan) itu tidaklah memberi bencana sedikit pun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah. Dan kepada Allah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal. (al-Mujadalah/58:9-10).

Allah mengecualikan tiga macam perbuatan yang dibolehkan bahkan diperintahkan menyampaikannya dengan berbisik-bisik atau dengan rahasia, yaitu bersedekah, berbuat makruf dan mengadakan perdamaian di antara manusia.

Bersedekah adalah salah satu perbuatan baik yang sangat dianjurkan Allah. Tetapi menyebut-nyebut atau memberitahukannya di hadapan orang banyak, kadang-kadang dapat menimbulkan rasa tidak senang di dalam hati orang yang menerimanya. Bahkan adakalanya dirasakan sebagai suatu penghinaan terhadap dirinya, sekalipun si pemberi sedekah itu telah menyatakan bahwa ia bersedekah dengan hati yang ikhlas dan untuk mencari keridaan Allah swt.

"Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu¦" (al-Baqarah/2:271).

Perbuatan makruf adalah lawan dari perbuatan mungkar, lawan dari segala perbuatan yang dilarang Allah Yang Mahatahu dan perbuatan yang mengikuti hawa nafsu. Menasihati seseorang untuk berbuat makruf di hadapan orang banyak, mungkin akan menimbulkan rasa kurang enak pada yang dinasihati, apabila yang diberi nasihat itu teman sebaya atau orang yang lebih tinggi derajatnya dari orang yang menasihati. Biasanya orang yang menasihati lebih tinggi derajat, pangkat atau kedudukannya dari yang dinasihati. Karena itu Allah memerintahkan agar menasihati seseorang untuk berbuat makruf dengan cara berbisik dan tidak didengar orang lain. Bila didengar orang lain, maka orang yang dinasihati itu mungkin akan merasa terhina dan sakit hati, sehingga nasihat itu tidak diterimanya.

Kaum Muslimin diperintahkan agar selalu menjaga dan berusaha mengadakan perdamaian di antara manusia yang sedang berselisih terutama mendamaikan antara saudara-saudara yang beriman, sesuai dengan firman Allah:

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. (al-hujurat/49:10).

"¦ Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, ¦" (al-Anfal/8:1).

Usaha mengadakan perdamaian di antara orang-orang mukmin yang berselisih adalah usaha yang terpuji dan diperintahkan Allah. Tetapi menyebut usaha itu kepada orang lain atau didengar oleh orang banyak mungkin akan membawa kepada kemudaratan atau kejahatan yang lain, sehingga maksud mendamaikan itu akan berubah menjadi fitnah yang dapat memperdalam jurang persengketaan antara orang-orang yang akan didamaikan.

Ada orang yang enggan didamaikan bila diketahuinya bahwa yang akan mendamaikan itu orang lain. Ada pula orang yang enggan menerima perdamaian bila proses perdamaian itu diketahui orang banyak, karena ia khawatir bahwa usaha itu akan menjadi bahan pembicaraan orang banyak. Di samping itu mungkin ada pula pihak ketiga yang tidak menginginkan terjadinya suatu perdamaian. Karena itu Allah memerintahkan agar orang-orang yang beriman merahasiakan pembicaraan dan usaha yang berhubungan dengan mengadakan perdamaian di antara manusia.

Orang yang melaksanakan tiga macam perintah Allah, yaitu bersedekah, berbuat kebaikan dan mencari perdamaian di antara manusia dengan ketundukan hati dan kepatuhan kepada-Nya serta mencari kerelaan-Nya, akan diberi pahala yang berlipat ganda oleh Allah. Keridaan Allah hanyalah dapat dicapai dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan bermanfaat, disertai dengan keikhlasan hati sesuai dengan yang diperintahkan-Nya.

Ayat 115

وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا ࣖ

wa may yusyāqiqir-rasūla mim ba‘di mā tabayyana lahul-hudā wa yattabi‘ gaira sabīlil-mu'minīna nuwallihī mā tawallā wa nuṣlihī jahannam(a), wa sā'at maṣīrā(n).

Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.

Seseorang yang menentang Rasulullah setelah nyata baginya kebenaran risalah yang dibawanya, serta mengikuti jalan orang yang menyimpang dari jalan kebenaran, maka Allah membiarkan mereka menempuh jalan sesat yang dipilihnya. Kemudian Dia akan memasukkan mereka ke dalam neraka, tempat kembali yang seburuk-buruknya. Ayat ini erat hubungannya dengan tindakan Tu'mah dan pengikut-pengikutnya, dan perbuatan orang-orang yang bertindak seperti yang dilakukan Tu'mah itu.

Dari ayat ini dipahami bahwa Allah telah menganugerahkan kepada manusia kemauan dan kebebasan memilih. Pada ayat Al-Qur'an yang lain diterangkan pula bahwa Allah telah menganugerahkan akal, pikiran dan perasaan serta melengkapinya dengan petunjuk-petunjuk yang dibawa para rasul. Jika manusia menggunakan dengan baik semua anugerah Allah itu, pasti ia dapat mengikuti jalan yang benar.

Tetapi kebanyakan manusia mementingkan dirinya sendiri, mengikuti hawa nafsunya sehingga ia tidak menggunakan akal, pikiran, perasaan, dan petunjuk-petunjuk Allah dalam menetapkan dan memilih perbuatan yang patut dikerjakannya. Karena itu ada manusia yang menantang dan memusuhi para rasul, setelah nyata bagi mereka kebenaran dan ada pula manusia yang suka mengerjakan pekerjaan jahat, sekalipun hatinya mengakui kesalahan perbuatannya itu.

Allah menilai perbuatan manusia, kemudian Dia memberi balasan yang setimpal, amal baik dibalas dengan pahala yang berlipat ganda, sedang perbuatan buruk diberi balasan yang setimpal dengan perbuatan itu.

Ayat 116

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا

innallāha lā yagfiru ay yusyraka bihī wa yagfiru mā dūna żālika limay yasyā'(u), wa may yusyrik billāhi faqad ḍalla ḍalālam ba‘īdā(n).

Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (mempersekutukan Allah dengan sesuatu), dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sungguh, dia telah tersesat jauh sekali.

Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang mengakui adanya tuhan lain selain Allah atau menyembah selain Allah, tetapi Dia mengampuni dosa lainnya. Dari ayat ini dipahami bahwa ada dua macam dosa, yaitu:

1.Dosa yang tidak diampuni Allah, dosa syirik.

2.Dosa yang dapat diampuni Allah, dosa selain dosa syirik.

Jika seseorang mensyarikatkan Allah, berarti di dalam hatinya tidak ada pengakuan tentang keesaan Allah. Karena itu hubungannya dengan Allah Yang Mahakuasa, Yang Maha Penolong, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang telah terputus: Ini berarti tidak ada lagi baginya penolong, pelindung, pemelihara, seakan-akan dirinya telah lepas dari Tuhan Yang Maha Esa. Ia telah sesat dan jauh menyimpang dari jalan yang lurus yang diridai Allah, maka mustahil baginya mendekatkan diri kepada Allah.

Seandainya di dalam hati dan jiwa seseorang telah tumbuh syirik berarti hati dan jiwanya telah dihinggapi penyakit yang paling parah; tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya. Segala macam bentuk kebenaran dan kebaikan yang ada pada orang itu tidak akan sanggup mengimbangi, apalagi menghapuskan kejahatan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh syirik itu.

Hati seorang musyrik tidak berhubungan lagi dengan Allah, tetapi terpaut kepada hawa nafsu, loba dan tamak kepada harta benda yang tidak akan dapat menolongnya sedikit pun. Itulah sebabnya Allah menegaskan bahwa dosa syirik itu amat besar dan tidak akan diampuni-Nya.

Seandainya hati dan jiwa seseorang bersih dari syirik, atau ada cahaya iman di dalamnya, maka sekalipun ia telah mengerjakan dosa, hatinya akan ditumbuhi iman dan datang kepadanya petunjuk, maka ia akan bertobat, karena cahaya iman yang ada di dalam hatinya dapat bersinar kembali. Karena itulah Allah akan mengampuni dosanya karena bukan dosa syirik.

An-Nisa' 48 telah menerangkan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi akan mengampuni dosa selain dari dosa itu. Pengulangan pernyataan itu adalah untuk menegaskan kepada orang yang beriman agar mereka menjauhi syirik. Hendaklah mereka memupuk tauhid di dalam hati mereka, karena tauhid itu adalah dasar agama.

Ayat 117

اِنْ يَّدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهٖٓ اِلَّآ اِنٰثًاۚ وَاِنْ يَّدْعُوْنَ اِلَّا شَيْطٰنًا مَّرِيْدًاۙ

iy yad‘ūna min dūnihī illā ināṡā(n), wa iy yad‘ūna illā syaiṭānam marīdā(n).

Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain hanyalah (berhala), dan mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka,

Telah menjadi adat kebiasaan orang Arab jahiliah menyeru, menyembah dan memohon pertolongan kepada patung-patung yang mereka buat sendiri. Mereka mempercayainya sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan mereka namai dengan nama-nama perempuan (inatsan), seperti al-Lata, al-'Uzza dan Manat. Berhala atau patung-patung itu mereka beri hiasan dan pakaian seperti perempuan. Setiap kabilah atau suku mempunyai berhala sendiri yang mereka beri nama dengan nama-nama perempuan.

Sebagian ahli tafsir mengartikan inatsan dengan "orang yang telah mati", karena orang yang telah mati itu lemah dan tidak berdaya. Orang-orang Arab jahiliah mengagungkan dan memuja nenek moyang mereka yang mati. Mereka mempercayai bahwa orang yang telah mati itu dapat dijadikan perantara untuk menyampaikan hajat atau keinginan kepada kekuatan gaib yang tidak mereka ketahui keadaan dan ujudnya. Kepercayaan yang seperti ini secara tidak sadar banyak dianut oleh Ahli Kitab dan sebagian kaum Muslimin pada masa kini.

Kepercayaan menyembah berhala, menyembah benda, memuja dan menyembah orang yang telah mati itu adalah kepercayaan yang timbul karena mengikuti hawa nafsu dan karena mengikuti tipu daya setan yang durhaka yang selalu berusaha untuk menyesatkan anak cucu Adam dari jalan yang lurus, sebagaimana mereka dahulu telah mengikrarkannya.

Ayat 118

لَّعَنَهُ اللّٰهُ ۘ وَقَالَ لَاَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًاۙ

la‘anahullāh(u), wa qāla la'attakhiżanna min ‘ibādika naṣībam mafrūḍā(n).

yang dilaknati Allah, dan (setan) itu mengatakan, “Aku pasti akan mengambil bagian tertentu dari hamba-hamba-Mu,

Setan itu selain mempunyai sifat durhaka, ia juga telah mendapat laknat dan murka dari Allah. Mereka telah bertambah jauh dari rahmat dan karunia-Nya, karena mereka selalu berusaha mengajak manusia mengerjakan kejahatan dan mengerjakan larangan-larangannya, dengan membisik-bisikan dan menjadikan manusia memandang baik perbuatan-perbuatan terlarang itu.

Setan menyatakan kepada Allah bahwa ia akan mempengaruhi sebagian manusia, sehingga mereka mengikuti kehendaknya, serta menjadi hamba yang durhaka seperti dia. Pernyataan ini akan dilaksanakannya dengan segala macam cara dan usaha dan dengan segala kepandaian yang ada padanya.

Dipahami pula dari ayat ini bahwa manusia itu ada yang taat kepada Allah dan tidak dapat digoda setan serta ada pula yang tidak taat kepada Allah dan dapat digodanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang menyatakan bahwa manusia itu mempunyai kesediaan untuk berbuat baik dan kesediaan untuk berbuat jahat. Allah berfirman:

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan). (al-Balad/90:10).

Setan berusaha memanfaatkan potensi untuk berbuat jahat yang ada pada manusia untuk melaksanakan pernyataannya kepada Allah. Pada sebagian manusia potensi untuk berbuat jahat itu tidak dapat dimanfaatkan oleh setan, karena potensi untuk itu telah dihambat pertumbuhannya oleh potensi kebaikan yang telah berkembang dan tumbuh pada dirinya.

Ayat 119

وَّلَاُضِلَّنَّهُمْ وَلَاُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَاٰمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ اٰذَانَ الْاَنْعَامِ وَلَاٰمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يَّتَّخِذِ الشَّيْطٰنَ وَلِيًّا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِيْنًا

wa la'uḍillannahum wa la'umanniyannahum wa la'āmurannahum fa layubattikunna āżānal-an‘āmi wa la'āmurannahum fa layugayyirunna khalqallāh(i), wa may yattakhiżisy-syaiṭāna waliyyam min dūnillāhi faqad khasira khusrānam mubīnā(n).

dan pasti kusesatkan mereka, dan akan kubangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan kusuruh mereka memotong telinga-telinga binatang ternak, (lalu mereka benar-benar memotongnya), dan akan aku suruh mereka mengubah ciptaan Allah, (lalu mereka benar-benar mengubahnya).” Barangsiapa menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah, maka sungguh, dia menderita kerugian yang nyata.

Pada ayat ini diterangkan tindakan dan usaha setan dalam menggunakan potensi jahat yang ada pada manusia, agar cita-citanya mencelakakan manusia dapat tercapai yaitu dengan:

1.Berusaha memalingkan manusia dari kepercayaan yang benar dengan mengaburkan petunjuk Allah ke jalan yang benar, sehingga mereka tersesat dan menempuh jalan yang diinginkan setan.

2.Berusaha memperdayakan pikiran manusia dengan khayalan-khayalan yang mustahil terjadi dan dengan angan-angan kosong, sehingga mereka memandang baik segala perbuatan yang dilarang, serta menanamkan di dalam hati dan pikirannya bahwa kesenangan hidup di dunia itu adalah kesenangan yang pasti tercapai sedang kesenangan dan kebahagiaan di akhirat adalah kesenangan yang diragukan adanya.

3.Berusaha menyesatkan manusia dengan menjadikan mereka memandang haram suatu perbuatan yang halal, sebaliknya memandang yang halal sebagai sesuatu perbuatan yang haram, sebagaimana yang terdapat di kalangan Arab jahiliah. Menurut kepercayaan Arab jahiliah sebagian binatang yang akan dikorbankan untuk berhala dipotong atau dibelah telinganya.

Bila binatang itu telah dipotong atau dibelah telinganya berarti telah menjadi kepunyaan berhala, karena itu tidak boleh lagi dikendarai atau dipergunakan untuk suatu keperluan; binatang itu dibiarkan lepas dan tidak boleh diganggu seorang pun.

4.Mengubah ciptaan Allah, menurut sebagian mufasir, ialah mengubah ketentuan-ketentuan yang telah diciptakan Allah, seperti mengebiri orang laki-laki agar ia dapat dijadikan penjaga istri-istri atau budak-budak perempuan seorang pembesar, sebagaimana yang banyak dilakukan di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri lain zaman dahulu. Menurut sebagian mufassir, yang dimaksud dengan ciptaan Allah ialah agama Allah, karena agama Allah telah menjadi fitrah bagi manusia. Allah berfirman:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (ar-Rum/30:30).

Manusia diciptakan Allah mempunyai fitrah beragama tauhid, mengakui keesaan Allah, tidak bersekutu dengan sesuatu, hanya Allah saja yang berhak disembah. Seandainya ada manusia tidak mengakui keesaan Allah, berarti pengaruh lingkungan alam sekitarnya telah mengalahkan fitrahnya. Termasuk yang mempengaruhi manusia itu ialah usaha setan untuk melenyapkan naluri itu, sebagai yang disebutkan hadis:

Dari 'Iyad bin hammad, Bersabda Rasulullah saw, berfirman Allah 'Azza wajalla, "Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku cenderung kepada (agama-Ku), maka datanglah setan kepada mereka, lalu setan itu memalingkan mereka dari agamanya dan ia mengharamkan apa yang telah Aku halalkan bagi mereka." (Riwayat Muslim).

Allah memperingatkan hamba-Nya dengan pernyataan bahwa barang siapa yang mengikuti bisikan, tipu daya dan keinginan setan berarti dia telah jauh dari rahmat dan karunia-Nya dan telah merugi di dunia (dan di akhirat), karena setan itu selalu berusaha menggunakan segala kelemahan manusia untuk melaksanakan janjinya kepada Allah.

Ayat 120

يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيْهِمْۗ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطٰنُ اِلَّا غُرُوْرًا

ya‘iduhum wa yumannīhim, wa mā ya‘iduhumusy-syaiṭānu illā gurūrā(n).

(Setan itu) memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu hanya menjanjikan tipuan belaka kepada mereka.

Setan selalu menjanjikan yang muluk-muluk dan menimbulkan angan-angan kosong serta menimbulkan khayalan-khayalan di dalam hati dan pikiran manusia. Jika seseorang ingin menafkahkan hartanya di jalan Allah dibisikannyalah kepada orang itu bahwa menafkahkan itu mengakibatkan kemiskinan, dan dijanjikan kesenangan dan kemuliaan bila manusia itu kikir. Kepada penjudi diiming-imingi kebahagiaan dan kekayaan tanpa usaha, kepada peminum khamar dibisikkannya kegembiraan dan kesenangan bila seseorang telah mabuk dan sebagainya.

Termasuk di dalam janji setan, ialah janji dan iming-iming yang ditanamkan kepada orang-orang yang mau melanggar larangan-larangan Allah untuk kepentingan dirinya. seperti pangkat, kehormatan dan sebagainya. Janji setan itu tidak lain hanyalah tipuan belaka, tidak ada satupun yang akan dapat ditepatinya dan tidak dapat diharapkan hasilnya sedikit pun, seperti janji dan angan-angan yang ditanamkan kepada penjudi, peminum khamar, pezina, orang yang gila pangkat dan gila hormat. Mereka mengkhayalkan kesenangan dan kebahagiaan dari hasil perbuatan mereka itu, tetapi hasil itu tidak pernah mereka nikmati.

Ayat 121

اُولٰۤىِٕكَ مَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُۖ وَلَا يَجِدُوْنَ عَنْهَا مَحِيْصًا

ulā'ika ma'wāhum jahannam(u), wa lā yajidūna ‘anhā maḥīṣā(n).

Mereka (yang tertipu) itu tempatnya di neraka Jahanam dan mereka tidak akan mendapat tempat (lain untuk) lari darinya.

Karena orang-orang yang mengikuti dan memenuhi keinginan setan telah sesat, maka buku amalannya telah dipenuhi oleh perbuatan dosa dan maksiat. Oleh karena itu, tempat mereka adalah neraka Jahanam, mereka tidak dapat keluar dari padanya, karena tidak mempunyai suatu kebaikan yang dapat membebaskan dan menyelamatkan mereka dari azab neraka itu.

Ayat 122

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًاۗ وَعْدَ اللّٰهِ حَقًّا ۗوَمَنْ اَصْدَقُ مِنَ اللّٰهِ قِيْلًا

wal-lażīna āmanū wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti sanudkhiluhum jannātin tajrī min taḥtihal-anhāru khālidīna fīhā abadā(n), wa‘dallāhi ḥaqqā(n), wa man aṣdaqu minallāhi qīlā(n).

Dan orang yang beriman dan mengerjakan amal kebajikan, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan janji Allah itu benar. Siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?

Orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka tidak terperdaya dengan godaan setan, mereka tidak mau menjadi pembantu setan, mereka mengikuti petunjuk-petunjuk Allah, melaksanakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Mereka diberi balasan dengan surga yang penuh nikmat, di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalam surga, karena tidak ada sesuatu pun yang dapat mengeluarkan mereka dari tempat yang penuh kesenangan dan kebahagiaan.

Itulah janji Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, bukan janji palsu, bukan pula angan-angan kosong yang tidak ada hasilnya yang dibisikkan setan, tetapi janji yang pasti ditepati, karena yang menjanjikan itu adalah Yang Mahakuasa, Maha Perkasa, Mahakaya, Pemilik seluruh alam. Janji setan mustahil ditepati, karena dia sendiri tidak mempunyai kesanggupan untuk menepatinya. Allah berfirman:

Dan setan berkata ketika perkara (hisab) telah diselesaikan, "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku tidak dapat menolongmu, dan kamu pun tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu." Sungguh, orang yang zalim akan mendapat siksaan yang pedih. (Ibrahim/14:22).

Ayat 123

لَيْسَ بِاَمَانِيِّكُمْ وَلَآ اَمَانِيِّ اَهْلِ الْكِتٰبِ ۗ مَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا يُّجْزَ بِهٖۙ وَلَا يَجِدْ لَهٗ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلِيًّا وَّلَا نَصِيْرًا

laisa bi'amāniyyikum wa lā amāniyyi ahlil-kitāb(i), may ya‘mal sū'ay yujza bih(ī), wa lā yajid lahū min dūnillāhi waliyyaw wa lā naṣīrā(n).

(Pahala dari Allah) itu bukanlah angan-anganmu dan bukan (pula) angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan dibalas sesuai dengan kejahatan itu, dan dia tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah.

Tidak ada keistimewaan bagi seseorang, kecuali dengan amal baktinya dan tidak mungkin ia luput dari azab Allah dan mustahil ia masuk surga semata-mata dengan mengatakan bahwa agama yang dianutnya adalah agama yang paling baik dan sempurna, serta nabi-nabi dan rasul-rasul yang mereka ikuti adalah yang paling tinggi derajatnya dalam pandangan Allah, seperti yang dikatakan Ahli Kitab itu. Hendaklah orang yang beriman mengerjakan amal yang saleh, melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya karena pahala itu diberikan Allah berdasarkan amal yang dilakukan dengan ikhlas, bukan berdasarkan perkataan dan angan-angan kosong. Allah mendatangkan agama bukan untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga dengan agama itu, tetapi agama didatangkan untuk diamalkan dan dilaksanakan.

Di antara sebab yang menimbulkan salah sangka dan angan-angan yang demikian, ialah karena kesalahan manusia dalam memahami agama atau mereka sengaja berbuat demikian agar dianggap lebih tinggi dari umat atau bangsa yang lain, karena Allah mengangkat nabi-nabi atau rasul-rasul dari bangsa-bangsa mereka. Dengan kemuliaan dan kemaksuman (terpelihara dari dosa) nabi-nabi dan rasul-rasul itu, mereka merasa telah mendapatkan kemuliaan dan terpelihara pula dari azab Allah. Karena itu menurut anggapan mereka, mereka akan masuk surga dan terlepas dari siksa neraka, tanpa melaksanakan perintah-perintah Allah dan menghentikan larangan-larangan-Nya.

Persangkaan dan angan-angan kosong yang demikian telah menjalar pula di kalangan kaum Muslimin, sebagaimana tersebut dalam ayat ini. Sikap yang demikian telah dinyatakan pula oleh Ahli Kitab, sebagaimana tersebut dalam ayat lain:

Orang Yahudi dan Nasrani berkata, "Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya." ¦ (al-Maidah/5:18).

Dan mereka berkata, "Neraka tidak akan menyentuh kami, kecuali beberapa hari saja." ¦ (al-Baqarah/2:80).

Setiap kejahatan yang dilakukan manusia, akan dibalas Allah, karena segala macam perbuatan baik atau buruk yang dilakukan oleh seseorang, tanggung jawabnya dipikul oleh orang yang mengerjakannya, tidak dipikul oleh orang lain. Karena itu orang yang benar-benar beriman hendaklah meneliti dan memperhitungkan setiap pekerjaan yang akan dikerjakannya, sehingga sesuai dengan petunjuk-petunjuk Allah.

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Zuhair, bahwa pada waktu turunnya ayat ini Abu Bakar sangat memperhatikannya dan merasa khawatir. Maka beliau bertanya kepada Rasulullah saw, "Siapakah yang selamat berhubungan dengan ini ya Rasulullah?" Rasulullah saw menjawab, "Apakah kamu tidak pernah susah, apakah kamu tidak pernah sakit, dan apakah malapetaka tidak pernah menimpamu?" Abu Bakar menjawab, "Pernah ya Rasulullah." Rasulullah berkata, "Itulah dia (pembalasan dari kesalahanmu)."

Diriwayatkan pula oleh Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata, "Tatkala turun ayat ini kaum Muslimin merasa berat dan sampailah kepada mereka apa yang dikehendaki Allah," maka mereka mengadu kepada Rasulullah saw. Rasulullah menjawab, "Ambillah tempat olehmu dan saling mendekatlah, sesungguhnya setiap musibah yang menimpa manusia itu adalah sebagai tebusan (bagi perbuatannya) sampai kepada duri yang menusuknya dan musibah yang menimpanya."

Dari hadis ini dapat dipahami bahwa segala musibah yang menimpa manusia baik kecil maupun besar, sedikit atau banyak adalah sebagai balasan dari kelalaian, kesalahan dan perbuatan buruk yang telah dilakukannya, karena mereka tidak lagi berjalan mengikuti sunatullah. Allah berfirman:

Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu). (asy-Syura/42:30).

Sebagian mufasir berpendapat bahwa musibah yang menimpa manusia di dunia ini tidak dapat menghapus azab di akhirat, kecuali bila yang ditimpa musibah itu berusaha menghapus kesalahan dan tindakan buruknya dengan amal yang saleh, dengan menguatkan imannya, dengan meninggalkan perbuatan jahat dan bertobat selama ia hidup di dunia. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Orang-orang yang mengerjakan kejahatan pasti mendapat azab dari Allah dan ia tidak mempunyai penolong dan pelindung selain Allah untuk menghindarkan diri dari azab itu, dan setan yang menjanjikan perlindungan dan pertolongan itu tidak kuasa menenepati janjinya.

Ayat 124

وَمَنْ يَّعْمَلْ مِنَ الصّٰلِحٰتِ مِنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُوْنَ نَقِيْرًا

wa may ya‘mal minaṣ-ṣāliḥāti min żakarin au unṡā wa huwa mu'minun fa ulā'ika yadkhulūnal-jannata wa lā yuẓlamūna naqīrā(n).

Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.

Orang yang beramal saleh dan membersihkan dirinya sesuai dengan kesanggupannya, memperbaiki budi pekertinya, memperbaiki hubungannya dengan orang lain dalam pergaulannya di masyarakat dan orang yang tidak mau mengikuti tipu daya setan, Allah berjanji membalas kebaikan mereka dengan balasan yang sempurna dengan menyediakan surga bagi mereka, dan Allah tidak akan mengurangi pahala amalan mereka walau sedikit pun.

Ayat ini merupakan peringatan dan pelajaran bagi kaum Muslimin bahwa manusia tidak dapat menggantungkan harapan dan cita-citanya semata-mata kepada angan-angan dan khayalan belaka, tetapi hendaklah berdasarkan usaha dan perbuatan. Orang yang berbangga-bangga dengan keturunan dan bangsa mereka adalah orang yang sesat, tidak akan mencapai apa yang dicita-citakannya.

Ayat 125

وَمَنْ اَحْسَنُ دِيْنًا مِّمَّنْ اَسْلَمَ وَجْهَهٗ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَّاتَّبَعَ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَاتَّخَذَ اللّٰهُ اِبْرٰهِيْمَ خَلِيْلًا

wa man aḥsanu dīnam mimman aslama wajhahū lillāhi wa huwa muḥsinuw wattaba‘a millata ibrāhīma ḥanīfā(n), wattakhażallāhu ibrāhīma khalīlā(n).

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan(-Nya).

Tidak ada seorang pun yang lebih baik agamanya dari orang yang melakukan ketaatan dan ketundukannya kepada Allah, ia mengerjakan kebaikan dan mengikuti agama Ibrahim.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa ada tiga macam ukuran yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan ketinggian suatu agama dan keadaan pemeluknya, yaitu:

1.Menyerahkan diri hanya kepada Allah,

2.Berbuat kebaikan, dan

3. Mengikuti agama Ibrahim yang hanif.

Seseorang dikatakan menyerahkan diri kepada Allah, jika ia menyerahkan seluruh jiwa dan raganya serta seluruh kehidupannya hanya kepada Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Karena itu ia hanya berdoa, memohon, meminta pertolongan dan merasa dirinya terikat hanya kepada Allah saja. Ia langsung berhubungan dengan Allah tanpa ada sesuatu pun yang menghalanginya. Untuk mencapai yang demikian seseorang harus mengetahui dan mempelajari sunah Rasul dan sunatullah yang berlaku di alam ini, kemudian diamalkannya karena semata-mata mencari keridaan Allah.

Jika seseorang benar-benar menyerahkan diri kepada Allah, maka ia akan melihat dan merasakan sesuatu pada waktu melaksanakan ibadahnya, sebagaimana yang dilukiskan Rasulullah saw:

Jibril bertanya ya Rasulullah, "Apakah ihsan itu?" Rasulullah saw menjawab, "Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau." (Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Mengerjakan kebaikan adalah manifestasi dari pada berserah diri kepada Allah. Makin sempurna penyerahan diri seseorang, makin baik dan sempurna pula amal yang dikerjakannya. Di samping mengerjakan yang diwajibkan, seseorang sebaiknya melengkapi dengan yang sunah dengan sempurna, sesuai dengan kesanggupannya.

Mengikuti agama Ibrahim yang hanif ialah mengikuti agama Ibrahim yang lurus yang percaya kepada keesaan Allah, yaitu kepercayaan yang benar dan lurus. Allah berfirman:

(26) Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, "Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah,(27) kecuali (kamu menyembah) Allah yang menciptakanku; karena sungguh, Dia akan memberi petunjuk kepadaku." (28) Dan (Ibrahim) menjadikan (kalimat tauhid) itu kalimat yang kekal pada keturunannya agar mereka kembali (kepada kalimat tauhid itu). (az-Zukhruf/43:26-28)

Sekalipun ada perintah agar mengikuti agama Ibrahim, bukanlah berarti bahwa Ibrahim-lah yang pertama kali membawa kepercayaan tauhid, dan agama yang dibawa oleh para nabi sebelumnya tidak berasaskan tauhid. Maksud perintah mengikuti agama Nabi Ibrahim ialah untuk menarik perhatian bangsa Arab, sebagai bangsa yang pertama kali menerima seruan agama Islam. Ibrahim a.s. dan Ismail adalah nenek moyang bangsa Arab.

Orang Arab waktu itu amat senang mendengar perkataan yang menjelaskan bahwa mereka adalah pengikut agama Nabi Ibrahim, sekalipun mereka telah menjadi penyembah berhala. Dengan menghubungkan agama yang dibawa Nabi Muhammad saw dengan agama yang dibawa Nabi Ibrahim akan menarik hati dan menyadarkan orang Arab yang selama ini telah mengikuti jalan yang sesat.

Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa ¦ (asy-Syura/42:13).

Agama yang dibawa Nabi Muhammad bukan saja sesuai dengan agama yang dibawa Nabi Ibrahim, tetapi juga berhubungan dan seasas dengan agama yang dibawa oleh Nabi Musa dan Nabi Isa yang diutus sesudah Nabi Ibrahim. Demikian pula agama Islam berhubungan dan seasas dengan agama yang dibawa oleh nabi-nabi Allah terdahulu.

Perintah mengikuti agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim di sini adalah karena kehidupan Ibrahim dan putranya Ismail dapat dijadikan teladan yang baik serta mengingatkan kepada pengorbanan yang telah dilakukannya dalam menyiarkan agama Allah. Hal ini dapat pula dijadikan iktibar oleh kaum Muslimin dalam menghadapi orang-orang kafir yang selalu berusaha menghancurkan Islam dan Muslimin.

Ibrahim telah menjadi kesayangan Allah, karena kekuatan iman, ketinggian budi pekertinya dan keikhlasan serta pengorbanannya dalam menegakkan agama Allah. Seakan-akan Allah menyatakan bahwa orang yang mengikuti jejak dan langkah Nabi Ibrahim dan hal ini tampak dalam tingkah laku dan budi pekertinya, berhak menamakan dirinya sebagai pengikut Ibrahim. Bukan seperti orang Yahudi, Nasrani dan orang musyrik Mekah yang mengaku sebagai pengikut Nabi Ibrahim, tetapi mereka tidak mengikuti agama yang dibawanya dan tidak pula mencontoh budi pekertinya.

Ayat 126

وَلِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُّحِيْطًا ࣖ

wa lillāhi mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ(i), wa kānallāhu bikulli syai'im muḥīṭā(n).

Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan (pengetahuan) Allah meliputi segala sesuatu.

Ayat ini menegaskan tentang kekuasaan Allah atas alam semesta, sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, tidak ada satu pun yang luput dari pengetahuan-Nya. Ayat ini merupakan penutup dari ayat-ayat yang sebelumnya, dan mengandung beberapa hikmah:

1.Untuk mengingatkan bahwa Allah Mahakuasa, pemilik seluruh alam, karena itu Dia pasti menepati janjinya yang tersebut pada ayat-ayat yang lalu.

2.Untuk menerangkan bahwa hanya kepada-Nyalah semua makhluk berserah diri, mohon pertolongan, mengemukakan harapan, bukan kepada yang lain, karena yang selain Allah adalah milik-Nya dan berada di bawah kekuasaan-Nya.

3. Untuk menjelaskan maksud perkataan Ibrahim Khalilullah (Ibrahim kesayangan Allah), dengan adanya ayat ini jelaslah bahwa Ibrahim itu bukanlah teman Allah, seperti anggapan sebagian Ahli Kitab, tetapi hamba kesayangan-Nya, karena ia tunduk dan berserah diri kepada Allah, selalu berkorban dan berbuat baik. Ibrahim adalah milik Allah, seperti makhluk yang lain, bukanlah orang yang berserikat dengan Allah dalam memiliki alam ini.

Ayat 127

وَيَسْتَفْتُوْنَكَ فِى النِّسَاۤءِۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِيْهِنَّ ۙوَمَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ فِى الْكِتٰبِ فِيْ يَتٰمَى النِّسَاۤءِ الّٰتِيْ لَا تُؤْتُوْنَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُوْنَ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْوِلْدَانِۙ وَاَنْ تَقُوْمُوْا لِلْيَتٰمٰى بِالْقِسْطِ ۗوَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِهٖ عَلِيْمًا

wa yastaftūnaka fin-nisā'(i), qulillāhu yuftīkum fīhinn(a), wa mā yutlā ‘alaikum fil-kitābi fī yatāman-nisā'il-lātī lā tu'tūnahunna mā kutiba lahunna wa targabūna an tankiḥūhunna wal-mustaḍ‘afīna minal-wildān(i), wa an taqūmū lil-yatāmā bil-qisṭ(i), wa mā taf‘alū min khairin fa innallāha kāna bihī ‘alīmā(n).

Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang perempuan. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al-Qur'an (juga memfatwakan) tentang para perempuan yatim yang tidak kamu berikan sesuatu (maskawin) yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin menikahi mereka dan (tentang) anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) agar mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa pun yang kamu kerjakan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”

Sejarah telah melukiskan bahwa orang-orang Arab jahiliah pada masa turunnya ayat ini memandang rendah kedudukan perempuan, orang yang lemah dan anak yatim, seakan-akan mereka adalah makhluk yang tidak ada artinya, tidak dapat memiliki sesuatu pun, bahkan mereka sendiri boleh dimiliki dan diperjualbelikan sebagaimana memiliki dan memperjualbelikan barang. Turunnya ayat-ayat pertama sampai dengan ayat 36 Surah An-Nisa' yang memerintahkan agar menjaga hak-hak orang tersebut, mengagetkan orang-orang Arab, karena perintah itu tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan adat kebiasaan mereka. Karena itu timbullah di dalam pikiran mereka bermacam-macam pertanyaan, dan mereka ingin agar Allah segera menurunkan ayat-ayat Al-Qur'an untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul itu. Karena itu turunlah ayat 127 sampai dengan ayat 130 untuk mejelaskan lagi hak-hak perempuan, orang yang lemah dan anak yatim yang telah diterangkan pada permulaan Surah ini sehingga terjawablah pertanyaan yang timbul di dalam pikiran orang-orang Arab jahiliah itu.

Para sahabat meminta fatwa kepada Rasulullah saw tentang perempuan, yaitu tentang hak mereka baik yang berhubungan dengan harta, hak mereka sebagai manusia, maupun hak mereka di dalam rumah tangga. Maka ayat ini menjelaskan kepada mereka tentang perempuan-perempuan itu dan menjelaskan hukum-hukum yang tersebut dalam ayat-ayat yang telah diturunkan sebelum ini.

Menurut kebiasaan Arab jahiliah, seorang wali berkuasa atas anak yatim yang berada di bawah asuhan dan pemeliharaannya, serta berkuasa pula atas hartanya, seakan-akan harta itu telah menjadi miliknya. Jika anak yatim itu cantik, dinikahinya, sehingga dengan demikian harta anak yatim itu dapat dikuasainya, dan keinginan nafsunya dapat terpenuhi. Sebaliknya jika anak yatim itu tidak cantik dan ia tidak ingin menikahinya maka dihalang-halanginya nikah dengan laki-laki lain, agar harta anak yatim itu tidak lepas dari tangannya.

Demikian pula halnya orang yang lemah yang mempunyai bagian harta pusaka yang berada di bawah perwalian seseorang. Menurut adat kebiasaan Arab jahiliah, hanyalah orang laki-laki yang telah dewasa dan telah sanggup ikut pergi berperang yang berhak mendapat bagian warisan. Sedang anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang lemah, baik laki-laki maupun perempuan tidak berhak walaupun yang meninggal itu adalah ayah kandungnya. Yang berhak atas pusaka itu adalah walinya. Bahkan jika seorang perempuan kematian suami dan suaminya mempunyai seorang anak laki-laki yang telah dewasa, maka perempuan janda itu termasuk bagian warisan yang diperoleh putra suaminya. Karena itu janda tersebut dapat dicampuri atau dijadikan istri oleh anak tirinya.

Allah memperingatkan kaum Muslimin agar menjauhkan diri dari kebiasaan Arab jahiliah itu, hendaklah selalu berlaku adil terhadap perempuan, anak yatim dan orang yang lemah. Berikanlah kepada mereka harta dan haknya, seperti hak memilih jodoh selama yang dipilihnya itu sesuai dengan ketentuan agama dan dapat membahagiakan mereka di dunia dan di akhirat, dan bergaullah dengan mereka secara baik, baik sebagai seorang istri maupun sebagai anggota masyarakat.

Allah memerintahkan agar berbuat baik kepada anak yatim. Setiap kebaikan yang dilakukan terhadap mereka pasti diketahui Allah, dan pasti akan diberikan balasan dengan pahala yang berlipat ganda. Sebaliknya Allah swt mengetahui pula setiap kejahatan yang dilakukan terhadap anak yatim dan Allah akan membalasnya dengan azab yang pedih.

Di samping memberikan harta dan hak kepada anak yatim dan orang yang lemah, hendaklah kaum Muslimin berbuat kebajikan kepada anak yatim. Disamping memberikan kepada mereka hak dan hartanya, berikan pulalah kepada mereka pemberian-pemberian yang lain dan peliharalah mereka dengan baik seperti memelihara anak sendiri

Ayat 128

وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۗوَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗوَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

wa inimra'atun khāfat mim ba‘lihā nusyūzan au i‘rāḍan falā junāḥa ‘alaihimā ay yuṣliḥā bainahumā ṣulḥā(n), waṣ-ṣulḥu khair(un), wa uḥḍiratil-anfususy-syuḥḥ(a), wa in tuḥsinū wa tattaqū fa innallāha kāna bimā ta‘malūna khabīrā(n).

Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

Ayat ini menerangkan sikap yang harus diambil oleh seorang istri bila ia melihat sikap nusyuz dari suaminya, seperti tidak melaksanakan kewajibannya terhadap dirinya sebagaimana mestinya, tidak memberi nafkah, tidak menggauli dengan baik, berkurang rasa cinta dan kasih sayangnya dan sebagainya. Hal ini mungkin ditimbulkan oleh kedua belah pihak atau disebabkan oleh salah satu pihak saja.

Jika demikian halnya, maka hendaklah istri mengadakan musyawarah dengan suaminya, mengadakan pendekatan, perdamaian di samping berusaha mengembalikan cinta dan kasih sayang suaminya yang telah mulai pudar. Dalam hal ini tidak berdosa jika istri bersikap mengalah kepada suaminya, seperti bersedia beberapa haknya dikurangi dan sebagainya.

Usaha mengadakan perdamaian yang dilakukan istri, bukanlah berarti bahwa istri harus bersedia merelakan sebagian haknya yang tidak dipenuhi oleh suaminya, tetapi untuk memperlihatkan kepada suaminya keikhlasan hatinya, sehingga dengan demikian suami ingat kembali kepada kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan Allah. Allah berfirman:

... Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. ¦ (al-Baqarah/2:228).

Damai dalam kehidupan keluarga menjadi tujuan agama dalam mensyariatkan pernikahan. Karena itu hendaklah Muslimin menjauhkan segala macam kemungkinan yang dapat menghilangkan suasana damai dalam keluarga. Hilangnya suasana damai dalam keluarga membuka kemungkinan terjadinya perceraian yang dibenci Allah.

Kikir termasuk tabiat manusia. Sikap kikir timbul karena manusia mementingkan dirinya sendiri, kurang memperhatikan orang lain, walaupun orang lain itu adalah istrinya sendiri atau suaminya. Karena itu waspadalah terhadap sikap kikir. Hendaklah masing-masing pihak baik suami atau istri bersedia beberapa haknya dikurangi untuk menciptakan suasana damai di dalam keluarga.

Jika suami berbuat kebaikan dengan menggauli istrinya dengan baik kembali, memupuk rasa cinta dan kasih sayang, melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap istrinya. Maka Allah mengetahuinya dan memberi balasan yang berlipat ganda.

Ayat 129

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

wa lan tastaṭī‘ū an ta‘dilū bainan-nisā'i wa lau ḥaraṣtum falā tamīlū kullal-maili fa tażarūhā kal-mu‘allaqah(ti), wa in tuṣliḥū wa tattaqū fa innallāha kāna gafūrar raḥīmā(n).

Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Aisyah r.a. berkata:

Adalah Rasulullah saw membagi giliran antara istri-istrinya, ia berlaku adil, dan berdoa, 'Ya Allah, inilah penggiliranku sesuai dengan kemampuaku, maka janganlah Engkau mencelaku terhadap apa yang Engkau kuasai, tetapi aku tidak menguasai. (Riwayat Ahmad dan penyusun Kitab-kitab Sunan).

Berdasarkan sebab turun ayat ini, maka yang dimaksud dengan berlaku adil dalam ayat ini ialah berlaku adil dalam hal membagi waktu untuk masing-masing istrinya, Rasulullah saw telah berusaha sekuat tenaga agar beliau dapat berlaku adil di antara mereka. Maka ditetapkanlah giliran hari, pemberian nafkah dan perlakuan yang sama di antara istri-istrinya. Sekalipun demikian, beliau merasa bahwa beliau tidak dapat membagi waktu dan kecintaannya dengan adil di antara istri-istrinya. Beliau lebih mencintai 'Aisyah r.a. daripada istri-istrinya yang lain. Tetapi 'Aisyah memang punya kelebihan dari istri-istri Nabi yang lain, antara lain ialah kecerdasannya, sehingga ia dipercayai oleh Nabi untuk mengajarkan hukum agama kepada kaum perempuan. Hal ini dilakukan sampai Rasulullah wafat dan banyak sahabat, terutama kalangan perempuan sering bertanya kepada 'Aisyah mengenai hukum atau hadis. Sungguhpun begitu, beliau merasa berdosa dan mohon ampun kepada Allah Yang Maha Pengampun. Dengan turunnya ayat ini hati Rasulullah saw menjadi tenteram, karena tidak dibebani dengan kewajiban yang tidak sanggup beliau mengerjakannya.

Dari keterangan di atas dipahami bahwa manusia tidak dapat menguasai hatinya sendiri, hanyalah Allah yang menguasainya. Karena itu sekalipun manusia telah bertekad akan berlaku adil terhadap istri-istrinya, namun ia tidak dapat membagi waktu dan cintanya antara istri-istrinya secara adil. Keadilan yang dituntut dari seorang suami terhadap istri-istrinya ialah keadilan yang dapat dilakukannya, seperti adil dalam menetapkan hari dan giliran antara istri-istrinya, adil dalam memberi nafkah, adil dalam bergaul dan sebagainya.

Allah memperingatkan, kepada para suami karena tidak dapat membagi cintanya di antara istri-istrinya dengan adil, janganlah terlalu cenderung kepada salah seorang istri, sehingga istri yang lain hidup terkatung-katung, hidup merana, hidup dalam keadaan antara terikat dalam perkawinan dengan tidak terikat lagi, dan sebagainya.

Jika para suami selalu berusaha mendamaikan dan menenteramkan para istri dan memelihara hak-hak istrinya, Allah mengampuni dan memaafkan dosanya yang disebabkan oleh terlalu cenderung hatinya kepada salah seorang istrinya, Allah Maha Pengasih kepada hamba-Nya. Ayat ini merupakan pelajaran bagi orang yang melakukan perkawinan semata-mata untuk melampiaskan hawa nafsunya saja dan orang yang punya istri lebih dari satu orang.

Ayat 130

وَاِنْ يَّتَفَرَّقَا يُغْنِ اللّٰهُ كُلًّا مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَكَانَ اللّٰهُ وَاسِعًا حَكِيْمًا

wa iy yatafarraqā yugnillāhu kullam min sa‘atih(ī), wa kānallāhu wāsi‘an ḥakīmā(n).

Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya), Mahabijaksana.

Jika suami istri bercerai karena keduanya atau salah seorang tidak dapat melaksanakan hukum-hukum Allah, seperti tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya sekalipun telah diusahakannya, kehidupan mereka telah hambar tidak ada rasa cinta dan kasih sayang lagi, perkawinan mereka telah dihinggapi penyakit yang parah yang tidak ada obatnya, maka Allah membolehkan mencari jalan keluar dari kesulitan itu, dengan cara yang baik dan kalau gagal juga boleh diambil tindakan terakhir yaitu bercerai. Walaupun demikian, sekalipun perceraian itu adalah suatu perbuatan yang halal, tetapi tetap dibenci Allah. Dengan perceraian itu mungkin terbuka bagi mereka lembaran baru dalam kehidupan, umpamanya dengan mendapat jodoh yang baru yang lebih sesuai dan serasi serta diberkahi dengan limpahan karunia Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas Karunia-Nya dan Mahabijaksana.

Ayat 131

وَلِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَاِيَّاكُمْ اَنِ اتَّقُوا اللّٰهَ ۗوَاِنْ تَكْفُرُوْا فَاِنَّ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَنِيًّا حَمِيْدًا

wa lillāhi mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ(i), wa laqad waṣṣainal-lażīna ūtul-kitāba min qablikum wa iyyākum anittaqullāh(a), wa in takfurū fa inna lillāhi mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ(i), wa kānallāhu ganiyyan ḥamīdā(n).

Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan sungguh, Kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi kitab suci sebelum kamu dan (juga) kepadamu agar bertakwa kepada Allah. Tetapi jika kamu ingkar, maka (ketahuilah), milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan Allah Mahakaya, Maha Terpuji.

Apa saja yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah. Dialah yang menciptakan dan Dia pula yang mengurus. Dalam mengurus makhluk-makhluk-Nya, Allah menciptakan hukum secara mutlak, dan semuanya tunduk di bawah hukum itu.

Orang yang benar-benar memahami hukum-hukum Allah yang berlaku umum terhadap bumi, langit dan semua isinya serta memahami pula hukum yang mengatur kehidupan makhluk-Nya, akan mengetahui betapa besar limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada semua makhluk-Nya. Oleh sebab itulah kepada setiap hamba diperintahkan agar bertakwa kepada-Nya, seperti telah diperintahkan kepada umat-umat terdahulu, yang telah diberi Al-Kitab seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani. Serta kepada orang-orang yang melaksanakan ketakwaan dengan tunduk dan patuh kepada-Nya dan menjalankan syariat-Nya. Dengan tunduk dan patuh kepada-Nya dan dengan menegakkan syariat-Nya manusia akan berjiwa yang bersih dan dapat mewujudkan kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

Jika mereka mengingkari nikmat Allah yang tak terhingga besarnya, maka keingkaran dan pembangkangan itu sedikit pun tidak akan mengurangi kekuasaan Allah terhadap segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Sebaliknya apabila mereka bersyukur, maka syukur mereka itu sedikit pun tidak akan menambah kekuasaan-Nya. Perintah bertakwa itu adalah semata-mata untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untuk kepentingan Allah. Allah Mahakaya, tidak memerlukan apa pun dari makhluk-Nya dan Maha Terpuji, tidak memerlukan pujian siapa pun untuk menambah kesempurnaan-Nya. Allah berfirman:

¦Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka¦ (al-Isra'/17:44).

Ayat 132

وَلِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ وَكِيْلًا

wa lillāhi mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ(i), wa kafā billāhi wakīlā(n).

Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Cukuplah Allah sebagai pemeliharanya.

Kemudian dalam ayat ini dipertegas bahwa kepunyaan Allah-lah apa saja yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dia berkuasa untuk mengatur secara mutlak dan berkuasa mewujudkan atau melenyapkan, berkuasa untuk menghidupkan dan mematikan menurut kehendak-Nya. Karena itu cukuplah Allah menjadi pemelihara dan Dialah yang mengurus dan menentukan urusan hamba-Nya.

Ayat 133

اِنْ يَّشَأْ يُذْهِبْكُمْ اَيُّهَا النَّاسُ وَيَأْتِ بِاٰخَرِيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلٰى ذٰلِكَ قَدِيْرًا

iy yasya' yużhibkum ayyuhan-nāsu wa ya'ti bi'ākharīn(a), wa kānallāhu ‘alā żālika qadīrā(n).

Kalau Allah menghendaki, niscaya dimusnahkan-Nya kamu semua wahai manusia! Kemudian Dia datangkan (umat) yang lain (sebagai penggantimu). Dan Allah Mahakuasa berbuat demikian.

Apabila Allah berkehendak untuk melenyapkan semua manusia dan seluruh alam ini, sesudah itu menciptakan makhluk dan alam yang lain sebagai ganti untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya, maka Allah kuasa melaksanakan kehendak-Nya itu; karena segala apa yang terdapat di langit dan di bumi tunduk di bawah kekuasaan-Nya.

Apabila ada sebagian manusia yang mengingkari nikmat Allah dan membangkang terhadap perintah-perintah-Nya, kemudian mereka dibiarkan terus hidup di dunia ini hingga ajalnya tiba, hal itu menunjukkan bahwa Allah benar-benar tidak memerlukan ketaatan mereka. Apabila mereka tidak diberi balasan secara langsung, bukanlah karena Allah tidak berkuasa untuk membinasakan mereka, tetapi semata-mata karena adanya hikmah dan kemaslahatan yang berguna bagi manusia yang bertakwa. Allah berfirman:

(19) Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak (benar)? Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu), (20) dan yang demikian itu tidak sukar bagi Allah. (Ibrahim/14:19-20).

¦ Dan jika kamu berpaling (dari jalan yang benar) Dia akan menggantikan (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan (durhaka) seperti kamu (ini). (Muhammad/47:38).

Ayat ini mengandung ancaman kepada orang-orang musyrik yang selalu menyiksa pikiran dan perasaan Nabi dan menentang seruannya, juga untuk memperingatkan agar orang memperhatikan sunatullah yang menguasai hidup dan mati mereka.

Ayat 134

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ ثَوَابَ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللّٰهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا ࣖ

man kāna yurīdu ṡawābad-dun-yā fa ‘indallāhi ṡawābud-dun-yā wal-ākhirah(ti), wa kānallāhu samī‘am baṣīrā(n).

Barangsiapa menghendaki pahala di dunia maka ketahuilah bahwa di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.

Ayat ini memberi peringatan kepada orang yang melupakan tujuan hidup yang sebenarnya, agar menyadari bahwa tujuan hidup mencari kebahagian dunia saja adalah tujuan yang tidak benar dan hasil yang akan diperolehnya adalah rendah sekali, karena hidup di dunia tidak akan kekal. Orang serupa ini adalah orang munafik yang apabila berjumpa dengan orang yang beriman, ia berpura-pura mengaku beriman, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Pahala yang diterima dari Allah adalah lebih tinggi, karena meliputi pahala dunia dan pahala akhirat. Karena itu seharusnyalah Muslimin berjuang untuk mencapai kedua pahala itu secara seimbang, tidak hanya tertarik pada kepentingan dunia saja, yang sifatnya sementara. Berusaha untuk memperoleh pahala dunia dan pahala akhirat, sebenarnya adalah tujuan yang mudah dilakukan, bukan tujuan yang berada diluar kesanggupan manusia; dan tujuan ini tergambar dalam firman Allah yang merjadi doa orang yang beriman.

"... Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka." (al-Baqarah/2:201).

Agama Islam menuntun pemeluk-pemeluknya untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, kedua-duanya merupakan limpahan rahmat dan karunia Allah yang harus dicapai.

Allah Maha Mendengar akan bisikan hati hamba-hamba-Nya dan Maha Mengetahui segala urusan mereka. Oleh sebab itu seharusnyalah kaum Muslimin berusaha mendekatkan diri kepada Allah, baik dengan lisan atau dengan perbuatan. Dengan demikian mereka akan mempunyai jiwa yang bersih dan dapat membatasi diri dalam setiap usahanya dan perjuangannya agar mencapai keridaan Allah dan hidup berbahagia dunia dan akhirat.

Ayat 135

۞ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ ۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

yā ayyuhal-lażīna āmanū kūnū qawwāmīna bil-qisṭi syuhadā'a lillāhi wa lau ‘alā anfusikum awil-wālidaini wal-aqrabīn(a), iy yakun ganiyyan au faqīran fallāhu aulā bihimā, falā tattabi‘ul-hawā an ta‘dilū, wa in talwū au tu‘riḍū fa innallāha kāna bimā ta‘malūna khabīrā(n).

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.

Orang-orang beriman diperintahkan agar menjadi orang yang benar-benar menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Karenanya Allah memerintahkan kepada mereka untuk berlaku adil dalam segala hal, seperti keadilan dalam membagi waktu, menegakkan salat secara tetap dan tepat pada waktunya. Dalam memberikan kesaksian, Allah memerintahkan agar memberikan kesaksian seperti apa adanya, tidak boleh memutarbalikkan kenyataan. Dalam menimbang barang agar berlaku adil, menimbang dengan tepat, tidak menambah dan tidak mengurangi (al-Mutaffifin/83: 1-4). Semua perintah itu jika dilakukan dengan sebaik-baiknya, niscaya akan menjadikan kebiasaan yang meresap di dalam jiwanya. Keadilan itu harus dilakukan secara menyeluruh di tengah-tengah pergaulan masyarakat, baik yang menjalani itu rakyat biasa ataupun kepala negara, petani atau pedagang, anggota atau kepala rumah tangga.

Jika menjadi saksi, jadilah saksi yang jujur, semata-mata karena mengharapkan keridaan Allah, tidak memutarbalikkan kenyataan, tidak berat sebelah, meskipun menyangkut dirinya sendiri, ataupun keluarganya. Kesaksian itu hendaklah diberikan sesuai dengan kenyataan baik menguntungkan dirinya sendiri ataupun menguntungkan orang lain, karena pada dasarnya kesaksian itu adalah salah satu jalan pembuktian untuk mencari kebenaran. Oleh sebab itu, kesaksian harus diberikan dengan jujur.

Apabila ada seseorang memberikan kesaksian yang tidak benar, dengan maksud ingin menguntungkan dirinya atau keluarganya, maka cara serupa ini tidaklah dianggap suatu kebaikan, karena memberikan keterangan palsu dengan maksud memberikan pertolongan kepada seseorang, tidak dibenarkan syariat dan bukanlah suatu kebajikan, tetapi pada hakikatnya perbuatan yang demikian itu termasuk membantu kejahatan dan menginjak-injak hak asasi manusia.

Allah menyerukan agar keadilan dan kesaksian itu dilaksanakan secara merata tanpa pandang bulu, baik yang disaksikan itu keluarganya sendiri ataupun orang lain, baik kaya ataupun miskin. Hendaklah manusia mengetahui bahwa keridaan Allah dan tuntunan syariat-Nya yang harus diutamakan: tidak boleh orang-orang kaya disenangi atau dibela karena kekayaannya atau orang-orang fakir dikasihani karena kefakirannya, sebab jika kekayaan dan kefakiran yang dijadikan dasar pertimbangan dalam memberikan kesaksian, maka pertimbangan serupa itu bukanlah merupakan pertimbangan yang dapat membuahkan keputusan yang benar. Pertimbangan yang benar ialah didasarkan kepada kebenaran dan keridaan Allah semata.

Menegakkan keadilan dan memberikan kesaksian yang benar sangat penting artinya, baik bagi orang-orang yang menjadi saksi ataupun bagi orang-orang yang diberi kesaksian. Itulah sebabnya, menegakkan keadilan atau memberikan persaksian yang benar itu, ditetapkan dan dimasukkan ke dalam rangkaian syariat Allah yang wajib dijalankan.

Sesudah itu Allah melarang kaum Muslimin memperturutkan hawa nafsu, agar mereka tidak menyeleweng dari kebenaran, karena orang yang terbiasa menuruti hawa nafsunya, mudah dipengaruhi oleh dorongan hawa nafsu untuk melakukan tindakan yang tidak adil dan tidak jujur, sehingga mereka tergelincir dari kebenaran.

Apabila mereka memutarbalikkan kenyataan dalam memberikan persaksian, sehingga apa yang disaksikan tidak sesuai dengan kenyataan, atau mereka enggan untuk memberikan kesaksian karena tekanan-tekanan yang mempengaruhi jiwanya, maka mereka harus ingat bahwa Allah mengetahui apa yang terkandung di dalam hati mereka.

Ayat 136

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْ نَزَّلَ عَلٰى رَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا

yā ayyuhal-lażīna āmanū āminū billāhi wa rasūlihī wal-kitābil-lażī nazzala ‘alā rasūlihī wal-kitābil-lażī anzala min qabl(u), wa may yakfur billāhi wa malā'ikatihī wa kutubihī wa rusulihī wal-yaumil-ākhiri faqad ḍalla ḍalālam ba‘īdā(n).

Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh.

Ayat ini menyeru kaum Muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, kepada Rasul-Nya Muhammad saw, kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya, dan kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul-rasul sebelumnya. Kemudian ayat ini memperingatkan orang-orang yang mengingkari seruan-Nya. Barang siapa mengingkari Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan hari akhirat, ia telah tersesat dari jalan yang benar, yaitu jalan yang akan menyelamatkan mereka dari azab yang pedih dan membawanya kepada kebahagiaan yang abadi.

Iman kepada kitab-kitab Allah dan kepada rasul-rasul-Nya adalah satu rangkaian yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Tidak boleh beriman kepada sebagian rasul dan kitab saja, tetapi mengingkari bagian yang lain seperti dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Iman serupa ini tidak dipandang benar, karena dipengaruhi oleh hawa nafsu atau hanya mengikuti pendapat-pendapat dan pemimpin-pemimpin saja.

Apabila ada orang yang mengingkari sebagian kitab, atau sebagian rasul, maka hal itu menunjukkan bahwa ia belum meresapi hakikat iman, karena itu imannya tidak dapat dikatakan iman yang benar, bahkan suatu kesesatan yang jauh dari bimbingan hidayah Allah.

Ayat 137

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ثُمَّ كَفَرُوْا ثُمَّ اٰمَنُوْا ثُمَّ كَفَرُوْا ثُمَّ ازْدَادُوْا كُفْرًا لَّمْ يَكُنِ اللّٰهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيْلًاۗ

innal-lażīna āmanū ṡumma kafarū ṡumma āmanū ṡumma kafarū ṡummazdādū kufral lam yakunillāhu liyagfira lahum wa lā liyahdiyahum sabīlā(n).

Sesungguhnya orang-orang yang beriman lalu kafir, kemudian beriman (lagi), kemudian kafir lagi, lalu bertambah kekafirannya, maka Allah tidak akan mengampuni mereka, dan tidak (pula) menunjukkan kepada mereka jalan (yang lurus).

Ada sekelompok orang yang telah menyatakan dirinya beriman, kemudian berbalik menjadi kafir. Sesudah itu beriman kembali, lalu berbalik lagi menjadi kafir dan akhirnya mereka bertambah-tambah kekafirannya hingga saat ajal mereka tiba. Orang-orang yang serupa itu sedikit pun tidak akan mendapat ampunan dari Allah, dan tidak akan mendapat bimbingan untuk memperoleh petunjuk.

Mereka selalu dalam keadaan bimbang dan ragu, pendirian mereka berubah-ubah dari iman ke kafir, dari kafir ke iman, mereka telah kehilangan pegangan. Karenanya mereka tidak dapat lagi memahami hakikat kebenaran dan keutamaan iman. Oleh sebab itulah sesuai dengan ketentuan Allah, orang yang hatinya bimbang dan ragu tidak akan mendapat petunjuk ke jalan yang benar. Maka sudah sepantasnyalah apabila mereka jauh dari rahmat Allah, apalagi untuk mendapatkan ampunan-Nya, karena jiwa mereka telah ditutupi noda-noda kekafiran, sehingga tidak lagi dapat melihat cahaya kebenaran.

Sebenarnya tak ada yang dapat menghalang-halangi ampunan dan hidayah Allah yang akan diberikan kepada makhluk-Nya. Hanya saja kehendak Allah itu tidak terlepas dari usaha manusia yang timbul karena ilmu dan amalannya, akan berbekas pada jiwanya. Maka apabila seseorang terus-menerus mengikuti saja sesuatu pendapat tanpa penyelidikan niscaya akalnya tidak mendapat petunjuk. Begitu pula apabila jiwa seseorang telah dikotori dengan kefasikan dan maksiat, maka ia tidak akan mendapat jalan untuk memperoleh ampunan, tanpa bertobat.

"Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk". (Thaha/20:82).

Ampunan Allah dapat menghapuskan noda-noda dosa di dalam jiwa. Apabila seseorang bertobat dan beramal saleh, maka semua kekotoran jiwa dan dosanya akan terkikis habis.

Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah). (Hud/11:114).

Ayat 138

بَشِّرِ الْمُنٰفِقِيْنَ بِاَنَّ لَهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًاۙ

basysyiril-munāfiqīna bi'anna lahum ‘ażāban alīmā(n).

Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih,

Orang-orang munafik sangat tercela karena sikap mereka yang selalu berubah-ubah, dan tidak sesuai ucapannya dengan perbuatannya. Pada saat berkumpul dengan orang-orang mukmin, mereka menampakkan keimanannya dan menyembunyikan kekufurannya. Sebaliknya apabila bertemu dengan orang-orang kafir, mereka menampakkan kekafirannya dan menyembunyikan keimanannya. Mereka benar-benar akan mendapat siksaan yang pedih.

Ayat 139

ۨالَّذِيْنَ يَتَّخِذُوْنَ الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَ ۗ اَيَبْتَغُوْنَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَاِنَّ الْعِزَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًاۗ

al-lażīna yattakhiżūnal-kāfirīna auliyā'a min dūnil-mu'minīn(a), ayabtagūna ‘indahumul-‘izzata fa innal-‘izzata lillāhi jamī‘ā(n).

(yaitu) orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Ketahuilah bahwa semua kekuatan itu milik Allah.

Kemudian diterangkan sifat-sifat mereka yang pantas dicela, yaitu sifat orang-orang munafik, yang sebenarnya bersekongkol dengan orang-orang kafir. Mereka memusuhi orang-orang mukmin, bahkan dalam saat-saat yang penting, mereka membantu orang kafir, karena mereka berkeyakinan bahwa kemenangan akan diperoleh orang kafir.

Sikap mereka dicela, karena harapan mereka akan mendapatkan kekuatan dari orang-orang kafir, tetapi kekuatan itu tidak akan mereka peroleh, sebab kekuatan dan perlindungan pada hakikatnya di tangan Allah. Allah yang memberikan kekuatan dan perlindungan, menurut kehendak-Nya kepada orang yang betul-betul beriman dan mematuhi segala petunjuk-Nya.

Petunjuk Allah disampaikan melalui para rasul dan merekalah yang menjelaskan jalan yang harus ditempuh guna memperoleh petunjuk. Maka kekuatan dan perlindungan Allah, akan dimiliki oleh orang-orang mukmin, apabila mereka tetap berpegang kepada Kitab Allah dan selalu berpedoman pada hidayah-Nya. Tetapi orang-orang munafik tidak melihat kekuatan dan perlindungan yang gaib, mereka hanya teperdaya oleh kekuatan dan perlindungan lahir yang sifatnya tidak tetap. Mereka pun tidak akan memperoleh apa yang diharapkannya. Berkenaan dengan itu Allah berfirman:

"Barang siapa menghendaki kemuliaan, maka (ketahuilah) kemuliaan itu semuanya milik Allah. ¦" (Fajir/35:10).

"¦Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui." (al-Munafiqun/63:8).

Ayat 140

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِى الْكِتٰبِ اَنْ اِذَا سَمِعْتُمْ اٰيٰتِ اللّٰهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَاُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوْا مَعَهُمْ حَتّٰى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهٖٓ ۖ اِنَّكُمْ اِذًا مِّثْلُهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ جَامِعُ الْمُنٰفِقِيْنَ وَالْكٰفِرِيْنَ فِيْ جَهَنَّمَ جَمِيْعًاۙ

wa qad nazzala ‘alaikum fil-kitābi an iżā sami‘tum āyātillāhi yukfaru bihā wa yustahza'u bihā falā taq‘udū ma‘ahum ḥattā yakhūḍū fī ḥadīṡin gairih(ī), innakum iżam miṡlahum, innallāha jāmi‘ul-munāfiqīna wal-kāfirīna fī jahannama jamī‘ā(n).

Dan sungguh, Allah telah menurunkan (ketentuan) bagimu di dalam Kitab (Al-Qur'an) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sebelum mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena (kalau tetap duduk dengan mereka), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sungguh, Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di neraka Jahanam,

Orang mukmin dilarang berkumpul atau berada dalam satu majelis dengan kaum munafik yang menghina agama dan hukum-hukumnya, karena kaum munafik itu apabila mendengar ayat-ayat Allah, mereka ingkar dan memperolok-oloknya.

"Apabila engkau (Muhammad) melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka hingga mereka beralih ke pembicaraan lain. ¦" (al-An'am/6:68).

Sebagian Muslimin duduk-duduk bersama orang-orang musyrik yang sedang membicarakan kekafiran, mencela Islam, dan menghina Al-Qur'an, sedang Muslimin itu tidak sanggup menyanggah pembicaraan orang-orang musyrik itu, karena mereka dalam keadaan lemah. Maka Allah menyuruh umat Islam berpaling meninggalkan orang-orang musyrik dan melarang duduk bersama mereka.

Demikian pula orang Yahudi berbuat seperti kaum musyrik, yaitu membicarakan kekafiran dan mencela Islam bersama orang-orang musyrik. Orang mukmin dilarang duduk bersama orang-orang Yahudi dan melibatkan diri dalam pembicaraan-pembicaraan yang menghina agama Allah. Mereka disuruh menjauhi, dan masuk kepada pembicaraan lain yang tidak mengandung penghinaan kepada agama.

Apabila kaum Muslimin ikut bersama-sama dengan kaum munafik itu dan tidak mau meninggalkan mereka, maka Allah menganggap mereka bersekongkol dengan orang-orang kafir itu. Itulah sebabnya Allah melarang kaum Muslimin berkumpul dengan orang Yahudi. Apabila larangan yang telah disampaikan kepada mereka itu masih juga dilakukan, niscaya mereka dianggap sama dengan orang-orang kafir.

Barang siapa membenarkan perbuatan yang mungkar, dan diam saja terhadap kemungkaran itu, maka ia dapat disamakan dengan orang yang berbuat dosa. Membantah kemungkaran berarti mencegah tersebarnya perbuatan itu di tengah-tengah masyarakat. Sesudah itu Allah menegaskan ancaman-Nya terhadap orang-orang yang tidak menghiraukan larangan-Nya. Dia akan menyiksa mereka dengan api neraka bersama-sama orang kafir.

Ayat 141

ۨالَّذِيْنَ يَتَرَبَّصُوْنَ بِكُمْۗ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِّنَ اللّٰهِ قَالُوْٓا اَلَمْ نَكُنْ مَّعَكُمْ ۖ وَاِنْ كَانَ لِلْكٰفِرِيْنَ نَصِيْبٌ قَالُوْٓا اَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ ۗ فَاللّٰهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا ࣖ

al-lażīna yatarabbaṣūna bikum, fa in kāna lakum fatḥum minallāhi qālū alam nakum ma‘akum, wa in kāna lil-kāfirīna naṣībun qālū alam nastaḥwiż ‘alaikum wa namna‘kum minal-mu'minīn(a), fallāhu yaḥkumu bainakum yaumal-qiyāmah(ti), wa lay yaj‘alallāhu lil-kāfirīna ‘alal-mu'minīna sabīlā(n).

(yaitu) orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu. Apabila kamu mendapat kemenangan dari Allah mereka berkata, “Bukankah kami (turut berperang) bersama kamu?” Dan jika orang kafir mendapat bagian, mereka berkata, “Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang mukmin?” Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu pada hari Kiamat. Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman.

Kaum munafik senantiasa menunggu-nunggu peluang yang baik yang menguntungkan diri mereka. Mereka mencari-cari kesempatan kapan terjadi peristiwa yang menimpa Muslimin. Harapan mereka ialah hancurnya kekuatan Islam dan kemenangan orang-orang kafir. Hanya saja mereka tidak mau menampakkan sikap yang tegas karena mereka dipengaruhi oleh keragu-raguan yang menyelubungi jiwa mereka. Itulah sebabnya apabila kemenangan diperoleh Muslimin, mereka mengaku bahwa mereka membantu kaum Muslimin, agar memperoleh kesempatan untuk menikmati kemenangan itu. Sebaliknya apabila kemenangan berada di pihak orang-orang kafir mereka pun mengatakan bahwa mereka berusaha dengan keras untuk membantu mereka dalam menghadapi serangan-serangan kaum Muslimin, dengan maksud agar mereka dapat memperoleh bagian dari kemenangan tersebut.

Jelas bahwa perbuatan orang-orang munafik itu adalah semata-mata untuk memperoleh keuntungan, tetapi tidak mau menanggung resikonya. Dengan demikian mereka ingin mendapatkan keuntungan tanpa berusaha, dan ingin menyelamatkan diri tanpa bersusah payah. Maka ayat ini menegaskan bahwa Allah akan menentukan pada hari kiamat siapa-siapa di antara mereka yang betul-betul beriman dan melaksanakan perintah Allah dengan ikhlas, dan siapa yang munafik dan pura-pura beriman tetapi di hatinya tersembunyi penyakit nifaq. Allah akan memberikan pahala kepada siapa yang berhak menerimanya, dan juga akan memberikan siksaan kepada siapa yang berhak menerimanya.

Selama kaum Muslimin tetap berpegang kepada agama, melaksanakan apa yang diperintahkannya dan menjauhi apa yang dilarangnya, serta berusaha menyiapkan apa yang diperlukan untuk kepentingan agama, niscaya Allah akan menjamin kemenangan mereka, sedikit pun Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memperoleh kemenangan atas orang-orang mukmin.

"Sesungguhnya Kami akan menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tampilnya para saksi (hari Kiamat)," (al-Mu'min/40:51).

Ayat 142

اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ

innal-munāfiqīna yukhādi‘ūnallāha wa huwa khādi‘uhum, wa iżā qāmū ilaṣ-ṣalāti qāmū kusālā, yurā'ūnan-nāsa wa lā yażkurūnallāha illā qalīlā(n).

Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk salat, mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud ria (ingin dipuji) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.

Kemudian Allah menjelaskan sikap orang-orang munafik yang selalu membantu tipu daya untuk menghalang-halangi berkembangnya agama Islam. Mereka juga menipu Rasul saw dengan jalan menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran.

Kaum munafik telah menipu Allah dengan menipu Rasul-Nya, karena menipu Rasul itu disamakan dengan menipu Allah. Perbuatan mereka menipu Allah dan Rasul-Nya itu adalah perbuatan sesat. Allah Maha Mengetahui apa yang terkandung dalam hati mereka. Oleh sebab itu Allah membalas tipuan mereka seperti yang diterangkan dalam firman-Nya:

Dan mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (ali 'Imran/3:54).

Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang menyalakan api, setelah menerangi sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. (al-Baqarah/2:17).

Tipu daya mereka tidak akan berhasil dan mereka tidak akan mendapat manfaat dari petunjuk-petunjuk yang datang dari Allah karena sifat-sifat kemunafikannya yang bersemi di dalam dada mereka. Apabila mereka mendirikan salat, mereka bermalas-malas karena tidak mempunyai keinginan untuk melakukannya, mereka tidak meyakini adanya pahala di akhirat dan tidak merasa takut akan ancaman Allah di hari kemudian. Hal ini disebabkan karena hatinya kosong dari iman yang benar. Mereka ikut melakukan salat hanyalah agar dikatakan Muslim. Sedangkan apabila mereka tidak lagi berada dilingkungan kaum Muslimin, mereka tidak lagi melakukannya.

Pantaslah apabila mereka berlaku demikian karena mereka sebenarnya adalah bersifat ria, ingin agar mereka dianggap mukmin. Mereka tidak melakukan salat terkecuali dalam waktu-waktu tertentu saja, yaitu pada saat-saat mereka berada di hadapan umat Islam.

Ayat 143

مُّذَبْذَبِيْنَ بَيْنَ ذٰلِكَۖ لَآ اِلٰى هٰٓؤُلَاۤءِ وَلَآ اِلٰى هٰٓؤُلَاۤءِ ۗ وَمَنْ يُّضْلِلِ اللّٰهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهٗ سَبِيْلًا

mużabżabīna baina żālik(a), lā ilā ha'ulā'i wa lā ilā ha'ulā'(i), wa may yuḍlilillāhu falan tajida lahū sabīlā(n).

Mereka dalam keadaan ragu antara yang demikian (iman atau kafir), tidak termasuk kepada golongan ini (orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang kafir). Barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka kamu tidak akan mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.

Kaum munafik kadang-kadang memihak orang-orang mukmin dan kadang-kadang memihak orang-orang kafir. Sikap mereka memihak itupun tidak dilakukan secara ikhlas, karena mereka hanya menginginkan ketentuan duniawi dan melepaskan diri dari tekanan-tekanan yang akan dijumpainya dari kedua belah pihak.

Barang siapa yang disesatkan dari hidayah Allah, maka tidak ada yang dapat menolong dan tidak ada yang dapat menunjukinya kepada jalan yang benar yang akan melepaskan mereka dari kesesatan.

Ayat 144

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَ ۚ اَتُرِيْدُوْنَ اَنْ تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ عَلَيْكُمْ سُلْطٰنًا مُّبِيْنًا

yā ayyuhal-lażīna āmanū lā tattakhiżul-kāfirīna auliyā'a min dūnil-mu'minīn(a), aturīdūna an taj‘alū lillāhi ‘alaikum sulṭānam mubīnā(n).

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin selain dari orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin memberi alasan yang jelas bagi Allah (untuk menghukummu)?

Dalam ayat ini ada larangan, agar orang-orang mukmin tidak meminta pertolongan kepada orang kafir yang memusuhi kaum Muslimin, baik dengan meminta pendapat atau berteman dekat dengan mereka, dan tidak boleh memberikan kepercayaan apalagi membocorkan rahasia kepada mereka. Larangan serupa ini terdapat juga dalam firman Allah:

"Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan (siksa) dari-Nya, ¦." (Ali 'Imran/3:28).

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. ¦" (al-Maidah/5:51).

Kaum Muslimin diperingatkan agar berhati-hati dalam meminta pertolongan kepada orang kafir yang memusuhi Islam baik dengan niat, ide-ide maupun dengan perbuatan, karena pertolongan yang didapat dari orang-orang kafir itu mungkin akan membahayakan kaum Muslimin sendiri. Allah menanyakan kepada orang-orang mukmin, apakah mereka akan membuat hal-hal yang menyebabkan mereka berhak menerima siksaan yaitu apabila mereka menggunakan orang kafir menjadi penolong mereka?

Ayat 145

اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ الْاَسْفَلِ مِنَ النَّارِۚ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيْرًاۙ

innal-munāfiqīna fid-darkil-asfali minan-nār(i), wa lan tajida lahum naṣīrā(n).

Sungguh, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.

Orang-orang munafik diperingatkan, bahwa mereka akan disiksa di neraka pada tingkatan yang paling bawah, karena perbuatan mereka dipandang perbuatan yang paling jahat, di dalam diri mereka bersemi kekafiran dan kemunafikan. Mereka menipu Rasulullah dan orang-orang mukmin. Maka siksaan yang paling pantas bagi mereka ialah neraka yang paling bawah tingkatannya. Mereka tidak akan mendapatkan penolong yang dapat menyelamatkan ataupun meringankan siksaan yang akan mereka terima.

Ayat 146

اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا وَاَصْلَحُوْا وَاعْتَصَمُوْا بِاللّٰهِ وَاَخْلَصُوْا دِيْنَهُمْ لِلّٰهِ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الْمُؤْمِنِيْنَۗ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللّٰهُ الْمُؤْمِنِيْنَ اَجْرًا عَظِيْمًا

illal-lażīna tābū wa aṣlaḥū wa‘taṣamū billāhi wa akhlaṣū dīnahum lillāhi fa ulā'ika ma‘al-mu'minīn(a), wa saufa yu'tillāhul mu'minīna ajran ‘aẓīmā(n).

Kecuali orang-orang yang bertobat dan memperbaiki diri dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan dengan tulus ikhlas (menjalankan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu bersama-sama orang-orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang yang beriman.

Orang-orang munafik masih diberi kesempatan untuk bertobat selama ajal mereka belum tiba, asal mereka betul-betul menyesali perbuatan mereka atas dasar kesadaran yang keluar dari hati nurani mereka, dan memperbaiki perbuatan mereka dengan melakukan amal saleh dan berpegang teguh pada tuntunan Ilahi.

Dengan kata lain, ancaman Tuhan yang sangat keras itu tidak akan menimpa mereka, apabila mereka bertobat dan menyesali perbuatannya, kemudian melakukan perbuatan-perbuatan sebagai berikut:

1.Mereka betul-betul berusaha untuk melakukan amal saleh yang dapat menghilangkan noda kemunafikannya dengan selalu bersifat jujur, baik dalam berkata maupun dalam berbuat, dapat dipercaya, memenuhi janji, ikhlas terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan tetap melakukan salat dengan khusyuk serta tekun, baik di hadapan orang maupun pada waktu sendiri-sendiri.

2.Berpegang teguh kepada ajaran Allah, yaitu meniatkan tobat dan amal saleh kepada keridaan Allah serta berpegang teguh pada Al-Qur'an, berakhlak mulia serta berperangai baik sesuai dengan ajaran Al-Qur'an, menjalani semua perintah dan menjauhi segala larangan Allah.

3.Mengikhlaskan diri kepada Allah yaitu memohon pertolongan hanya kepada-Nya, baik pada waktu senang atau dalam keadaan susah.

Apabila mereka melakukan ketentuan-ketentuan tersebut, maka Allah berjanji akan memasukkan mereka ke dalam barisan orang-orang mukmin di hari kiamat, karena mereka telah beriman, dan beramal seperti orang-orang mukmin, bahkan mereka itu akan diberi pahala seperti pahala yang diterima oleh orang-orang mukmin.

Ayat 147

مَا يَفْعَلُ اللّٰهُ بِعَذَابِكُمْ اِنْ شَكَرْتُمْ وَاٰمَنْتُمْۗ وَكَانَ اللّٰهُ شَاكِرًا عَلِيْمًا ۔

mā yaf‘alullāhu bi‘ażābikum in syakartum wa āmantum, wa kānallāhu syākiran ‘alīmā(n).

Allah tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman. Dan Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui.

Allah tidak akan menyiksa seseorang secara semena-mena. Allah menyiksa orang-orang munafik, hanyalah karena perbuatan mereka sendiri. Kepada mereka telah diberi akal, panca indera dan perasaan tetapi tidak mereka pergunakan sebagaimana mestinya sehingga mereka tidak mau menerima petunjuk-petunjuk Allah, dan jiwa mereka menjadi kotor serta penyakit kemunafikan bersemi di dalam diri mereka.

Apabila Allah memberikan pahala kepada mereka, sesudah mereka bertobat adalah karena kesadaran dan keikhlasan yang timbul dari hati mereka sendiri, dan telah melakukan amal saleh yang didasarkan kepada iman yang benar. Kemudian Allah menegaskan bahwa Dia Maha Pembalas jasa kepada hamba-Nya yang mau bersyukur dan Maha Mengetahui setiap amal perbuatan yang dilakukannya, dengan memberikan pahala yang tidak terhingga. Allah berfirman:

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat." (Ibrahim/14:7).

Ayat 148

۞ لَا يُحِبُّ اللّٰهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْۤءِ مِنَ الْقَوْلِ اِلَّا مَنْ ظُلِمَ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ سَمِيْعًا عَلِيْمًا

lā yuḥibbullāhul-jahra bis-sū'i minal-qauli illā man ẓulim(a), wa kānallāhu samī‘an ‘alīmā(n).

Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Allah tidak menyukai hamba-Nya yang melontarkan kata-kata buruk kepada siapa pun. Kata buruk dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara anggota masyarakat dan jika berlarut-larut dapat menjurus kepada pengingkaran hak dan pertumpahan darah, dan dapat pula mempengaruhi orang yang mendengarnya untuk meniru perbuatan itu, terutama bila perbuatan itu dilakukan oleh pemimpin. Allah tidak menyukai sesuatu, berarti Allah tidak meridainya dan tidak memberinya pahala.

Dalam hal ini dikecualikan orang yang dianiaya. Jika seseorang dianiaya, dia diperbolehkan mengadukan orang yang menganiayanya kepada hakim atau kepada orang lain yang dapat memberi pertolongan dalam menghilangkan kezaliman. Jika seseorang dianiaya lalu ia menyampaikan pengaduan, tentu saja pengaduan itu dengan menyebutkan keburukan-keburukan orang yang menganiayanya. Maka dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, orang yang teraniaya melontarkan ucapan-ucapan buruk terhadap seseorang yang menganiayanya. Hal ini dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian antara kedua belah pihak. Kedua, bila orang yang dianiaya itu mendiamkan saja, maka kezaliman akan tambah memuncak dan keadilan akan lenyap. Karena itu Allah mengizinkan dalam ayat ini bagi orang yang teraniaya melontarkan ucapan dan tuduhan tentang keburukan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang yang menganiaya walaupun akan mengakibatkan kebencian, karena membiarkan penganiayaan adalah lebih buruk akibatnya, sesuai dengan kaidah:

"Melakukan yang lebih ringan mudaratnya di antara dua kemudaratan."

Orang yang dianiaya wajib menyampaikan pengaduannya kepada hakim atau lainnya. Seseorang yang zalim jika tidak diambil tindakan yang tegas terhadapnya, kezalimannya akan bertambah luas. Tetapi jika tidak ada maksud untuk menghilangkan kezaliman, seseorang dilarang keras melontarkan ucapan-ucapan yang buruk. Dalam ayat ini diperingatkan bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui setiap ucapan yang dikeluarkan oleh orang yang zalim dan orang yang dianiaya, terutama jika mereka melampaui batas sampai melontarkan pengaduan yang dusta atau bersifat menghasut dan mengadu domba.

Ayat 149

اِنْ تُبْدُوْا خَيْرًا اَوْ تُخْفُوْهُ اَوْ تَعْفُوْا عَنْ سُوْۤءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيْرًا

in tubdū khairan au tukhfūhu au ta‘fū ‘an sū'in fa innallāha kāna ‘afuwwan qadīrā(n).

Jika kamu menyatakan sesuatu kebajikan, menyembunyikannya atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sungguh, Allah Maha Pemaaf, Mahakuasa.

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa menyatakan suatu perbuatan baik dengan membeberkannya memang baik, seandainya orang yang melakukan perbuatan itu dapat menjaga diri dari sifat ria serta hatinya penuh dengan keikhlasan dan keimanan, sehingga menjadi teladan bagi orang lain. Sedangkan mengerjakan kebaikan secara tersembunyi akan lebih memelihara kehormatan fakir miskin. Pemberian maaf yang dilakukan seseorang kepada orang-orang yang telah berbuat salah terhadapnya termasuk perbuatan yang akan mendapat balasan dan pahala dari Allah, sebab Allah Maha Pemaaf lagi Mahakuasa.

Ayat 150

اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْفُرُوْنَ بِاللّٰهِ وَرُسُلِهٖ وَيُرِيْدُوْنَ اَنْ يُّفَرِّقُوْا بَيْنَ اللّٰهِ وَرُسُلِهٖ وَيَقُوْلُوْنَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَّنَكْفُرُ بِبَعْضٍۙ وَّيُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّتَّخِذُوْا بَيْنَ ذٰلِكَ سَبِيْلًاۙ

innal-lażīna yakfurūna billāhi wa rusulihī wa yurīdūna ay yufarriqū bainallāhi wa rusulihī wa yaqūlūna nu'minu biba‘ḍin wa nakfuru biba‘ḍ(in), wa yurīdūna ay yattakhiżū baina żālika sabīlā(n).

Sesungguhnya orang-orang yang ingkar kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, “Kami beriman kepada sebagian dan kami mengingkari sebagian (yang lain),” serta bermaksud mengambil jalan tengah (iman atau kafir),

Di antara manusia ada yang beriman kepada Allah dan sebagian rasul-Nya seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani. Orang-orang Yahudi berkata, "Kami percaya hanya kepada Musa, tidak percaya kepada Muhammad." Dan orang Nasrani berkata, "Kami percaya kepada Musa dan Isa, tetapi tidak percaya kepada Muhammad." Kepercayaan seperti itu berarti mencampur-adukkan antara iman dan kafir, padahal sesungguhnya iman dan kafir itu adalah dua hal yang sangat bertentangan. Jika orang Yahudi itu sungguh-sungguh beriman kepada Nabi Musa, tentulah beriman pula kepada Nabi Muhammad saw, demikian pula orang Nasrani, jika mereka sungguh-sungguh beriman kepada Nabi Isa, tentulah mereka beriman kepada Nabi Muhammad saw karena perihal kedatangan Nabi Muhammad saw itu disebut-sebut pula dalam kitab Taurat dan Injil, dan Nabi Muhammad pun membenarkan kitab Taurat dan Injil yang asli yang menjadi pegangan mereka.

Alasan-alasan yang menunjukkan atas kebenaran kenabian Muhammad saw adalah sempurna, karena Nabi Muhammad saw seorang yang ummi (tidak pandai membaca dan menulis), dibesarkan dalam masyarakat jahiliah, kepadanya diturunkan Al-Qur'an yang sempurna, yang menerangkan segala yang benar. Kedua golongan yang membeda-bedakan kepercayaan terhadap sebagian rasul itu dinyatakan Allah sebagai orang kafir. Terhadap mereka Allah menyediakan siksaan yang menghinakan, azab yang mengandung penghinaan dan penderitaan.

Ayat 151

اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ حَقًّا ۚوَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابًا مُّهِيْنًا

ulā'ika humul-kāfirūna ḥaqqā(n), wa a‘tadnā lil-kāfirīna ‘ażābam muhīnā(n).

merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya. Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan.

Di antara manusia ada yang beriman kepada Allah dan sebagian rasul-Nya seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani. Orang-orang Yahudi berkata, "Kami percaya hanya kepada Musa, tidak percaya kepada Muhammad." Dan orang Nasrani berkata, "Kami percaya kepada Musa dan Isa, tetapi tidak percaya kepada Muhammad." Kepercayaan seperti itu berarti mencampur-adukkan antara iman dan kafir, padahal sesungguhnya iman dan kafir itu adalah dua hal yang sangat bertentangan. Jika orang Yahudi itu sungguh-sungguh beriman kepada Nabi Musa, tentulah beriman pula kepada Nabi Muhammad saw, demikian pula orang Nasrani, jika mereka sungguh-sungguh beriman kepada Nabi Isa, tentulah mereka beriman kepada Nabi Muhammad saw karena perihal kedatangan Nabi Muhammad saw itu disebut-sebut pula dalam kitab Taurat dan Injil, dan Nabi Muhammad pun membenarkan kitab Taurat dan Injil yang asli yang menjadi pegangan mereka.

Alasan-alasan yang menunjukkan atas kebenaran kenabian Muhammad saw adalah sempurna, karena Nabi Muhammad saw seorang yang ummi (tidak pandai membaca dan menulis), dibesarkan dalam masyarakat jahiliah, kepadanya diturunkan Al-Qur'an yang sempurna, yang menerangkan segala yang benar. Kedua golongan yang membeda-bedakan kepercayaan terhadap sebagian rasul itu dinyatakan Allah sebagai orang kafir. Terhadap mereka Allah menyediakan siksaan yang menghinakan, azab yang mengandung penghinaan dan penderitaan.

Ayat 152

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرُسُلِهٖ وَلَمْ يُفَرِّقُوْا بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْهُمْ اُولٰۤىِٕكَ سَوْفَ يُؤْتِيْهِمْ اُجُوْرَهُمْ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ࣖ

wal-lażīna āmanū billāhi wa rusulihī wa lam yufarriqū baina aḥadim minhum ulā'ika saufa nu'tīhim ujūrahum, wa kānallāhu gafūrar raḥīmā(n).

Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan di antara mereka (para rasul), kelak Allah akan memberikan pahala kepada mereka. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Ayat ini menjelaskan perkara iman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dengan tidak membeda-bedakan di antara rasul-rasul itu, terutama kepada Nabi yang terakhir, Muhammad saw.

Allah telah mengutus beberapa rasul sejak dahulu disertai petunjuk yang benar dan menutup rangkaian rasul dengan kedatangan Muhammad yang membawa kitab Al-Qur'an sebagai peraturan agama terakhir yang harus ditaati oleh seluruh umat manusia. Bagi orang yang percaya kepada kerasulannya kelak akan disediakan pahala yang besar sesuai dengan keimanan dengan disertai amal saleh. Allah Maha Pengampun terhadap kesalahan orang yang benar-benar beriman dan Maha Penyayang kepada sekalian hamba-Nya dengan memberi petunjuk kepada jalan yang lurus dengan perantaraan rasul-rasul-Nya.

Ayat 153

يَسْـَٔلُكَ اَهْلُ الْكِتٰبِ اَنْ تُنَزِّلَ عَلَيْهِمْ كِتٰبًا مِّنَ السَّمَاۤءِ فَقَدْ سَاَلُوْا مُوْسٰٓى اَكْبَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَقَالُوْٓا اَرِنَا اللّٰهَ جَهْرَةً فَاَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْۚ ثُمَّ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَتْهُمُ الْبَيِّنٰتُ فَعَفَوْنَا عَنْ ذٰلِكَ ۚ وَاٰتَيْنَا مُوْسٰى سُلْطٰنًا مُّبِيْنًا

yas'aluka ahlul-kitābi an tunazzila ‘alaihim kitābam minas-samā'i faqad sa'alū mūsā akbara min żālika fa qālū arinallāha jahratan fa akhażathumuṣ-ṣā‘iqatu bi ẓulmihim, ṡummattakhażul-‘ijla mim ba‘di mā jā'athumul-bayyinātu fa ‘afaunā ‘an żālik(a), wa ātainā mūsā sulṭānam mubīnā(n).

(Orang-orang) Ahli Kitab meminta kepadamu (Muhammad) agar engkau menurunkan sebuah kitab dari langit kepada mereka. Sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, “Perlihatkanlah Allah kepada kami secara nyata.” Maka mereka disambar petir karena kezalimannya. Kemudian mereka menyembah anak sapi, setelah mereka melihat bukti-bukti yang nyata, namun demikian Kami maafkan mereka, dan telah Kami berikan kepada Musa kekuasaan yang nyata.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Juraij bahwa orang-orang Yahudi berkata kepada Nabi Muhammad saw, "Kami tidak akan membenarkan ajakanmu, kecuali jika kamu dapat membawakan kepada kami sebuah kitab dari Allah kepada Fulan bahwa engkau adalah utusan Allah, dan Fulan yang lain menyatakan bahwa engkau utusan Allah," dan begitulah seterusnya mereka menyebut beberapa nama orang-orang tertentu dan pendeta-pendeta Yahudi. Mereka berbuat demikian itu tidak lain hanya semata-mata untuk membangkang kepada Nabi Muhammad.

Orang-orang Yahudi meminta kepada Nabi Muhammad saw supaya diturunkan kepada mereka kitab dari langit yang menyebutkan bahwa Muhammad adalah rasul Allah. Dalam menghadapi persoalan ini, Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk bersabar, jangan kaget, karena orang-orang Yahudi pernah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka meminta kepada Musa supaya diperlihatkan Allah kepada mereka dengan nyata. Permintaan yang seperti itu menunjukkan kebodohan, karena mereka menyangka bahwa Allah mempunyai tubuh yang dapat dilihat dengan nyata. Tabiat mereka yang suka mengingkari mukjizat dan tidak membedakan antara mukjizat seorang nabi dengan keanehan dari tukang sihir yang semata-mata untuk dijadikan tontonan, adalah menunjukkan keinginan dan kebodohan mereka, dan bagaimanapun keadaannya, permintaan mereka itu tidak patut dilayani, karena mereka tetap tidak akan percaya, seperti firman Allah:

Dan sekiranya Kami turunkan kepadamu (Muhammad) tulisan di atas kertas, sehingga mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, niscaya orang-orang kafir itu akan berkata, "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata." (al-An'am/6:7).

Orang-orang Yahudi yang ingin melihat Allah, disambar petir sampai mati akibat permintaannya yang lancang itu, kemudian mereka dihidupkan kembali. Semestinya mereka berlaku hati-hati agar tidak terperosok dalam suatu kesalahan yang berakibat bencana besar, tetapi mereka membuat berhala berbentuk anak sapi yang mereka sembah bersama-sama. Padahal sudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata seperti tongkat Nabi Musa yang dapat membelah laut, jika tongkat itu dipukulkan pada batu, maka batu itu memancarkan air sebagai sumber air minum. Banyak lagi mukjizat lain yang membuktikan keesaan Allah.

Allah masih juga memberi ampun kepada mereka tatkala mereka bertobat dengan sungguh-sungguh. Kemudian Allah memberikan kekuasaan kepada Musa a.s. untuk dapat mendudukkan dan mengembalikan mereka kepada jalan yang benar.

Ayat 154

وَرَفَعْنَا فَوْقَهُمُ الطُّوْرَ بِمِيْثَاقِهِمْ وَقُلْنَا لَهُمُ ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَّقُلْنَا لَهُمْ لَا تَعْدُوْا فِى السَّبْتِ وَاَخَذْنَا مِنْهُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًا

wa rafa‘nā fauqahumuṭ ṭūra bimīṡāqihim wa qulnā lahumudkhulul-bāba sujjadaw wa qulnā lahum lā ta‘dū fis-sabti wa akhażnā minhum mīṡāqan galīẓā(n).

Dan Kami angkat gunung (Sinai) di atas mereka untuk (menguatkan) perjanjian mereka. Dan Kami perintahkan kepada mereka, “Masukilah pintu gerbang (Baitulmaqdis) itu sambil bersujud,” dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka, “Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabat.” Dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kukuh.

Ayat ini mengungkapkan keburukan perbuatan orang-orang Yahudi, yaitu ketika mereka telah mengingkari perjanjian dengan Allah agar patuh mengamalkan kitab Taurat, maka Allah mengangkat Gunung Sinai ke atas mereka sehingga kelihatan seperti awan hitam yang akan menimpa diri mereka. Semula mereka enggan menerima perjanjian itu dengan sepenuh hati. Kemudian Allah memerintahkan pula kepada mereka untuk memasuki pintu gerbang Baitulmakdis, sambil menundukkan kepala dan merendahkan diri sebagai rasa syukur akan nikmat pemberian Allah, serta memohon ampunan atas segala kesalahan mereka pada masa yang lampau.

Kemudian Allah memerintahkan pula kepada mereka supaya jangan melanggar peraturan mengenai hari Sabat seperti larangan menangkap ikan dan sebagainya. Larangan itu mereka langgar, sehingga mereka pada hari Sabat ramai-ramai pergi menangkap ikan dan tidak mau masuk Baitulmakdis. Akibat perbuatan buruk mereka itu, Allah menurunkan siksaan pada mereka seperti dalam firman Allah:

Dan sungguh, kamu telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabat, lalu Kami katakan kepada mereka, "Jadilah kamu kera yang hina!" (al-Baqarah/2:65).

Mereka melakukan helah untuk memasang perangkap pada hari Jumat, dan mengambilnya pada hari Minggu. Allah telah mengambil perjanjian dari mereka, yaitu akan mengamalkan isi kitab Taurat dengan bersungguh-sungguh dan menegakkan hukum-hukum Allah dan tidak akan melanggarnya sedikit pun, dan tidak akan menyembunyikan berita tentang kedatangan Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw. Jika setelah itu mereka masih melanggar janji, Allah akan menurunkan kepada mereka siksaan yang lebih hebat lagi.

Ayat 155

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِّيْثَاقَهُمْ وَكُفْرِهِمْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَقَتْلِهِمُ الْاَنْۢبِيَاۤءَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَّقَوْلِهِمْ قُلُوْبُنَا غُلْفٌ ۗ بَلْ طَبَعَ اللّٰهُ عَلَيْهَا بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوْنَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ

fabimā naqḍihim mīṡāqahum wa kufrihim bi'āyātillāhi wa qatlihimul-ambiyā'a bigairi ḥaqqiw wa qaulihim qulūbunā gulf(un), bal ṭaba‘allāhu ‘alaihā bikufrihim falā yu'minūna illā qalīlā(n).

Maka (Kami hukum mereka), karena mereka melanggar perjanjian itu, karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah, dan karena mereka telah membunuh nabi-nabi tanpa hak (alasan yang benar) dan karena mereka mengatakan, “Hati kami tertutup.” Sebenarnya Allah telah mengunci hati mereka karena kekafirannya, karena itu hanya sebagian kecil dari mereka yang beriman,

Ayat ini menerangkan bahwa sebab-sebab turunnya laknat dan kemurkaan Allah kepada orang-orang Yahudi karena mereka melanggar perjanjian yang telah mereka buat, menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah yang menerangkan kebenaran kenabian para nabi dan mereka telah membunuh beberapa orang nabi yang telah diutus untuk memimpin mereka, tanpa alasan yang benar seperti Nabi Zakaria dan Nabi Yahya, juga karena ucapan mereka yang mengatakan, kami tidak akan menerima kebenaran karena hati kami sudah tertutup. Sebenarnya bukan hanya tertutup, tetapi Allah telah mengunci mati hati mereka, sebab kekafirannya dan perbuatan mereka yang buruk. Akhirnya mereka tidak termasuk orang yang beriman, kecuali beberapa orang saja seperti Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya.

Ayat 156

وَّبِكُفْرِهِمْ وَقَوْلِهِمْ عَلٰى مَرْيَمَ بُهْتَانًا عَظِيْمًاۙ

wa bikufrihim wa qaulihim ‘alā maryama buhtānan ‘aẓīmā(n).

dan (Kami hukum juga) karena kekafiran mereka (terhadap Isa), dan tuduhan mereka yang sangat keji terhadap Maryam,

Ayat ini menerangkan bahwa di antara sebab orang Yahudi mendapat kutukan dan kemurkaan Allah, karena kekafiran mereka terhadap Nabi Isa dan Nabi Muhammad, karena tuduhan mereka terhadap Maryam merupakan kedustaan yang besar bahwa Maryam melakukan zina dengan seorang yang bernama Yusuf an-Najjar, sehingga melahirkan Isa putra Maryam. Tuduhan itu sama sekali tidak benar sebagaimana firman Allah:

Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah, seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka jadilah sesuatu itu. (Ali 'Imran/3:59).

Demikianlah Allah kuasa menciptakan Isa dari seorang ibu tanpa ayah, Allah membuktikan kekuasaan-Nya menciptakan manusia dengan empat cara:

1.Menciptakan Adam tanpa ayah dan ibu.

2.Menciptakan Hawa dari unsur yang sama dengan Adam.

3.Menciptakan Isa dari ibu tanpa ayah.

4.Menciptakan yang lain-lain melalui ayah dan ibu.

Ternyata apa yang dilontarkan orang Yahudi kepada Maryam bahwa Maryam melakukan perzinaan adalah dusta yang amat besar. "... Kedustaan yang besar bahwa Maryam melahirkan anak haram. Bibel membantah tuduhan itu: "... dan menurut anggapan orang, Ia adalah Yusuf, anak Eli..." (Lukas 3. 23), sebab menurut Matius 1. 1-25, bahwa kelahiran Yesus Kristus pada waktu Maria bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Rohulkudus, sebelum mereka hidup sebagai suami isteri. Yusuf suami seorang yang tulus hati, dan tidak mau mencemarkan nama isterinya, ia bermaksud diam-diam akan menceraikannya. Tetapi dalam mimpinya malaikat Tuhan tampak kepadanya, dan berkata, agar jangan takut "... mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah Rohulkudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, ..." (Matius 1. 18-21)

Ayat 157

وَّقَوْلِهِمْ اِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيْحَ عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُوْلَ اللّٰهِۚ وَمَا قَتَلُوْهُ وَمَا صَلَبُوْهُ وَلٰكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ ۗوَاِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوْا فِيْهِ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ ۗمَا لَهُمْ بِهٖ مِنْ عِلْمٍ اِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوْهُ يَقِيْنًاۢ ۙ

wa qaulihim innā qatalnal-masīḥa ‘īsabna maryama rasūlallāh(i), wa mā qatalūhu wa mā ṣalabūhu wa lākin syubbiha lahum, wa innal-lażīnakhtalafū fīhi lafī syakkim minh(u), mā lahum bihī min ‘ilmin illattibā‘aẓ-ẓanni wa mā qatalūhu yaqīnā(n).

dan (Kami hukum juga) karena ucapan mereka, “Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah,” padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh adalah) orang yang diserupakan dengan Isa. Sesungguhnya mereka yang berselisih pendapat tentang (pembunuhan) Isa, selalu dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka benar-benar tidak tahu (siapa sebenarnya yang dibunuh itu), melainkan mengikuti persangkaan belaka, jadi mereka tidak yakin telah membunuhnya.

Ayat ini menerangkan bahwa di antara sebab-sebab orang Yahudi mendapat kutukan dan kemurkaan Allah ialah karena ucapan mereka, bahwa mereka telah membunuh Almasih putra Maryam, Rasul Allah, padahal mereka sebenarnya tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi yang disalib dan yang dibunuh itu ialah orang yang diserupakan dengan Isa Almasih bernama Yudas Iskariot, salah seorang dari 12 orang muridnya.

Ayat 158

بَلْ رَّفَعَهُ اللّٰهُ اِلَيْهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا

bar rafa‘ahullāhu ilaih(i), wa kānallāhu ‘azīzan ḥakīmā(n).

Tetapi Allah telah mengangkat Isa ke hadirat-Nya. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa Isa itu diangkat atas perintah Allah dengan badan dan rohnya dan akan diturunkan kembali di akhir zaman sebagai pembela umat Islam dan penerus syariat Nabi Muhammad saw pada saat umat Islam berada dalam keadaan lemah setelah datangnya Dajjal. Kejadian ini menunjukkan kekuasaan Allah untuk menyelamatkan Nabi-Nya, sesuai dengan kebijaksanaan-Nya yang tercantum dalam firman Allah:

(Ingatlah), ketika Allah berfirman, "Wahai Isa! Aku mengambilmu dan mengangkatmu kepada-Ku, serta menyucikanmu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikutimu di atas orang-orang yang kafir¦" (Ali 'Imran/3:55).

Tentang diangkatnya Nabi Isa ke atas langit ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ahli tafsir, diangkat dengan jasmani dan rohaninya, dalam keadaan hidup sebagai suatu mukjizat. Maka Isa a.s. yang diangkat ke langit dengan jasmani dan rohani, sejak diangkat sampai turun kembali ke bumi, sepenuhnya di tangan Allah. Jika manusia biasa saja, seperti Ashhabul Kahfi, bisa tinggal dalam sebuah gua tanpa makan dan minum selama 309 tahun, kiranya tidak perlu dianggap aneh bagi seorang nabi seperti Nabi Isa, untuk tinggal di langit sekian lamanya, karena beliau diberi mukjizat oleh Allah. Pendapat lain mengatakan Nabi Isa diangkat ke langit sesudah wafat lebih dahulu.

Ayat 159

وَاِنْ مِّنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ اِلَّا لَيُؤْمِنَنَّ بِهٖ قَبْلَ مَوْتِهٖ ۚوَيَوْمَ الْقِيٰمَةِ يَكُوْنُ عَلَيْهِمْ شَهِيْدًاۚ

wa im min ahlil-kitābi illā layu'minanna bihī qabla mautih(ī), wa yaumal-qiyāmati yakūnu ‘alaihim syahīdā(n).

Tidak ada seorang pun di antara Ahli Kitab yang tidak beriman kepadanya (Isa) menjelang kematiannya. Dan pada hari Kiamat dia (Isa) akan menjadi saksi mereka.

Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani, melainkan akan beriman kepada Nabi Isa dengan iman yang sebenarnya sebelum mereka itu mati, yaitu ketika menghadapi sakaratul maut. Orang-orang Yahudi akan beriman, bahwa Nabi Isa itu utusan Allah dan roh yang ditiupkan kepada Maryam dan sebagai makhluk ciptaan Allah. Orang-orang Nasrani pun akan beriman bahwa Nabi Isa adalah hamba Allah dan kalimah-Nya, bukan Allah dan bukan pula anak Allah. Keimanan mereka yang sedemikian itu tidak berguna lagi, sebab dinyatakan setelah roh mereka sampai di tenggorokan, setelah mereka melihat tanda-tanda di alam akhirat. Tercantum dalam firman Allah:

¦Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu¦ (al-An'Am/6:158).

Ada pula sebagian ulama yang menafsirkan ayat ini demikian: tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, melainkan akan beriman kepada Nabi Isa dengan iman yang sebenarnya sebelum Nabi Isa wafat. Beliau akan diturunkan lagi ke dunia dari langit pada akhir zaman untuk memperbaiki nasib umat Islam setelah dirusak oleh Dajjal.

Berdasarkan beberapa hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim dan lain-lain: Nabi Isa akan turun ke dunia, nanti pada akhir zaman. Beliau akan memecahkan salib lambang umat Nasrani, akan memusnahkan babi dan segala kekejian. Setelah itu dunia akan mengalami kesuburan, keamanan dan kesejahteraan yang adil dan merata. Ketika itu Ahli Kitab dari Yahudi dan Nasrani akan beriman semuanya kepada Nabi Isa sebelum wafat, dan setelah wafat beliau dimakamkan di samping makam Nabi Muhammad di Medinah. Turunnya beliau ke dunia ini adalah untuk menegakkan syariat Muhammad sehingga Nabi Muhammad tetap menjadi saksi atas keimanan atau kekafiran Ahli Kitab, seperti dijelaskan dalam firman Allah:

Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), jika Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka. (an-Nisa/4:41)

Ayat 160

فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبٰتٍ اُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَثِيْرًاۙ

fa biẓulmim minal-lażīna hādū ḥarramnā ‘alaihim ṭayyibātin uḥillat lahum wa biṣaddihim ‘an sabīlillāhi kaṡīrā(n).

Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan; dan karena mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah,

Bilamana orang-orang Yahudi itu berbuat dosa atau pelanggaran yang berat seperti penyembahan terhadap patung anak sapi, lalu mereka bertobat, maka walaupun tobatnya diterima, namun sebagai akibat dari pelanggaran itu, Allah mengharamkan kepada mereka beberapa makanan yang baik yang dahulunya halal bagi mereka. Mereka tidak mengakui bahwa makanan-makanan yang baik itu diharamkan sebagai akibat dari dosa-dosanya, bahkan mereka mengatakan, bahwa makanan-makanan itu telah lebih dahulu diharamkan, yaitu sejak Nabi Nuh, Nabi Ibrahim dan nabi-nabi yang datang kemudian; Allah membantah pengakuan mereka dengan firman-Nya:

Semua makanan itu halal bagi Bani Israil, kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Yakub) atas dirinya sebelum Taurat diturunkan... (Ali 'Imran/3:93).

Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku¦ (al-An'am/6:146)

Diharamkan makanan yang baik itu kepada Bani Israil (Imamat vii.23; xi 4-6) karena mereka menghalangi manusia dari jalan Allah, dan karena mereka menganjurkan kejahatan dan kemungkaran dan melarang berbuat kebajikan dan menyembunyikan sifat-sifat Nabi Muhammad saw yang terdapat dalam kitab-kitab mereka.

Ayat 161

وَّاَخْذِهِمُ الرِّبٰوا وَقَدْ نُهُوْا عَنْهُ وَاَكْلِهِمْ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۗوَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ مِنْهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا

wa akhżihimur-ribā wa qad nuhū ‘anhu wa aklihim amwālan-nāsi bil-bāṭil(i), wa a‘tadnā lil-kāfirīna minhum ‘ażāban alīmā(n).

dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih.

Diharamkannya sebagian makanan yang baik kepada orang-orang Yahudi juga disebabkan oleh tindakan mereka memakan uang riba yang nyata-nyata telah dilarang Allah dan disebabkan pula oleh perbuatan mereka yang batil seperti memperoleh harta melalui sogokan, penipuan, perampasan dan sebagainya. Terhadap perbuatan-perbuatan yang jahat itu Allah menyediakan siksa yang pedih di akhirat.

Ayat 162

لٰكِنِ الرّٰسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ مِنْهُمْ وَالْمُؤْمِنُوْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَالْمُقِيْمِيْنَ الصَّلٰوةَ وَالْمُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَالْمُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ اُولٰۤىِٕكَ سَنُؤْتِيْهِمْ اَجْرًا عَظِيْمًا ࣖ

lākinir-rāsikhūna fil-‘ilmi minhum wal-mu'minūna yu'minūna bimā unzila ilaika wa mā unzila min qablika wal-muqīmīnaṣ-ṣalāta wal-mu'tūnaz-zakāta wal-mu'minūna billāhi wal-yaumil-ākhir(i), ulā'ika sanu'tīhim ajran ‘aẓīmā(n).

Tetapi orang-orang yang ilmunya mendalam di antara mereka, dan orang-orang yang beriman, mereka beriman kepada (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad), dan kepada (kitab-kitab) yang diturunkan sebelummu, begitu pula mereka yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat dan beriman kepada Allah dan hari kemudian. Kepada mereka akan Kami berikan pahala yang besar.

Tidak semua Ahli Kitab mengerjakan keburukan-keburukan tersebut. Ada pula di antara mereka orang yang mendalam ilmunya, dan orang yang sungguh-sungguh beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dan yang diturunkan kepada rasul-rasul sebelumnya. Di antara mereka ada pula yang dengan penuh keyakinan mengikuti ajaran Islam dengan tulus ikhlas.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwa ayat ini diturunkan terkait dengan orang-orang Yahudi yang dengan penuh kesadaran masuk Islam seperti Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya. Mereka rajin salat lima waktu dan menunaikan zakat, beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya tanpa membedakan di antara rasul yang satu dengan rasul yang lain. Mereka itu telah sampai kepada tingkat keimanan dan keislaman yang tinggi dan Allah menjanjikan kepada mereka pahala yang besar di akhirat.

Ayat 163

۞ اِنَّآ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ كَمَآ اَوْحَيْنَآ اِلٰى نُوْحٍ وَّالنَّبِيّٖنَ مِنْۢ بَعْدِهٖۚ وَاَوْحَيْنَآ اِلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطِ وَعِيْسٰى وَاَيُّوْبَ وَيُوْنُسَ وَهٰرُوْنَ وَسُلَيْمٰنَ ۚوَاٰتَيْنَا دَاوٗدَ زَبُوْرًاۚ

innā auḥainā ilaika kamā auḥainā ilā nūḥiw wan-nabiyyīna mim ba‘dih(ī), wa auḥainā ilā ibrāhīma wa ismā‘īla wa isḥāqa wa ya‘qūba wal-asbāṭi wa ‘īsā wa ayyūba wa yūnusa wa hārūna wa sulaimān(a), wa ātainā dāwūda zabūrā(n).

Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya; Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami telah memberikan Kitab Zabur kepada Dawud.

Sesungguhnya Allah telah memberi wahyu kepada Muhammad seperti memberi wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang diutus kemudian. Wahyu yang diberikan kepada para nabi berbeda dengan pengertian wahyu yang pernah diberikan kepada makhluk lain, karena wahyu itu mempunyai empat pengertian:

1.Isyarat, seperti dalam Firman Allah:

Maka dia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu dia memberi isyarat kepada mereka; bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang. (Maryam/19:11).

2. Ilham, seperti dalam firman Allah:

Dan Kami ilhamkan kepada ibunya Musa, "Susuilah dia (Musa), (al-Qashash/28:7).

3.Insting (naluri) seperti dalam firman Allah:

Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, "Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. (an-Nahl/16:68).

4. Bisikan halus, seperti dalam firman Allah:

Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan. (al-An'am/6:112).

Wahyu yang dimaksud dalam ayat ini ialah wahyu dalam pengertian yang dikenal dalam istilah agama, yaitu bisikan halus dan pengertian makrifat yang didapati oleh seorang nabi di dalam hatinya dengan penuh keyakinan bahwa pengertian itu datangnya dari Allah, baik langsung maupun memakai perantaraan. Allah telah mewahyukan Al-Qur'an ini kepada Muhammad sebagaimana Allah telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi yang datang kemudian. Allah tidak pernah menurunkan sebuah kitab dari langit secara terang-terangan disaksikan oleh pancaindra seperti yang dimintakan oleh orang-orang Yahudi kepada Muhammad, karena wahyu itu adalah semacam pemberitahuan yang datang dengan cepat dan tersembunyi. Di antara nabi-nabi yang menerima wahyu pertama sekali untuk umatnya ialah Nabi Nuh, karena beliau termasuk Nabi yang tertua setelah Adam, dan karena beliau dipandang sebagai Adam kedua, yang menurunkan umat manusia setelah terjadinya banjir besar (taufan).

Allah telah mewahyukan pula kepada Ibrahim yang diberi julukan Abul-Anbiya (bapak para nabi dari sisi tauhid) dan Ismail sebagai nenek moyang orang Arab dan Ishak dan Yakub sebagai nenek moyang Bani Israil (Yahudi). Yang dimaksud dengan Asbath ialah anak Nabi Yakub yang berjumlah 12 orang. Pemakaian kata Asbath di kalangan Bani Israil sama dengan pemakaian kata "kabilah" di kalangan orang-orang Arab turunan Ismail.

Allah telah mewahyukan pula kepada Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman dan telah memberikan Zabur kepada Daud. Menurut Imam Qurtubi, Zabur itu berisi 150 surah yang tidak mengandung hukum-hukum, hanya berisi nasihat-nasihat, hikmah, pujian dan sanjungan kepada Allah.

Ayat 164

وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنٰهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَّمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ ۗوَكَلَّمَ اللّٰهُ مُوْسٰى تَكْلِيْمًاۚ

wa rusulan qad qaṣaṣnāhum ‘alaika wa rusulal lam naqṣuṣhum ‘alaik(a), wa kallamallāhu mūsā taklīmā(n).

Dan ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya dan ada beberapa rasul (la-in) yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu. Dan kepada Musa, Allah berfirman langsung.

Ada beberapa rasul yang telah dikisahkan terdahulu oleh Allah kepada Muhammad saw, dan ada pula beberapa rasul yang sengaja tidak dikisahkan kepadanya, karena umat-umatnya kurang dikenal. Beberapa rasul telah dikisahkan dalam Al-Qur'an seperti firman Allah:

(84) Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yakub kepadanya. Kepada masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan sebelum itu Kami telah memberi petunjuk kepada Nuh, dan kepada sebagian dari keturunannya (Ibrahim) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, (85) dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh, (86) Dan Ismail, Alyasa, Yunus dan Lut. Masing-masing Kami lebihkan (derajatnya) di atas umat lain (pada masanya), (al-An'am/6: 84, 85 dan 86).

Kisah para nabi itu sebagian besar terdapat pada Surah Hud/11 dan Surah asy-Syu'ara/26. Rasul-rasul yang tidak dikisahkan itu kurang dikenal umatnya oleh orang Arab dan tidak dikenal pula oleh Ahli Kitab yang berdampingan masa hidupnya dengan mereka. Hikmah dari mengisahkan nabi-nabi itu ialah untuk mengambil iktibar dan pelajaran, untuk menambah ketabahan hati ketika menghadapi tantangan-tantangan dan permusuhan dan untuk memperkuat kenabian Muhammad, sebagaimana firman Allah:

Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman. (Hud/11: 120).

Orang Yahudi beranggapan, bahwa yang diberi wahyu dan pangkat kenabian itu hanya dari golongan mereka saja, padahal beberapa ayat menunjukkan bahwa Allah telah mengutus beberapa rasul untuk setiap umat sebagai realisasi dari rahmat Allah yang tersebar luas ke seluruh dunia. Firman Allah:

Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah, dan jauhilah Tagut" ¦ (an-Nahl/16: 36).

¦Dan tidak ada satu pun umat melainkan di sana telah datang seorang pemberi peringatan. (Fathir/35: 24).

Allah telah berbicara langsung kepada Musa meskipun Allah tidak menampakkan wujud-Nya kepada Nabi Musa ketika menurunkan wahyu kepadanya sebagaimana dijelaskan Allah di dalam firman-Nya:

Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. ¦ (asy-Syura/42: 51).

Pembicaraan Allah kepada Musa itu termasuk pembicaraan di belakang tabir, karena beliau hanya mendengar kalam Ilahi dan tidak dapat melihat-Nya.

Ayat 165

رُسُلًا مُّبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّٰهِ حُجَّةٌ ۢ بَعْدَ الرُّسُلِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا

rusulam mubasysyirīna wa munżirīna li'allā yakūna lin-nāsi ‘alallāhi ḥujjatum ba‘dar-rusul(i), wa kānallāhu ‘azīzan ḥakīmā(n).

Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.

Dan Allah telah mengutus para rasul yang sebagian telah dikisahkan dan sebagian lagi tidak, supaya mereka menyampaikan berita gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar di akhirat dan memberi peringatan kepada orang-orang kafir dan durhaka, bahwa mereka akan mendapat siksa dalam api neraka. Jika Allah tidak mengutus para rasul kepada manusia, niscaya orang kafir pada hari Kiamat nanti akan menyampaikan hujah atau alasan supaya mereka jangan dipersalahkan atau dituntut sebab belum pernah kedatangan seorang rasul yang memberi peringatan. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah:

Dan kalau mereka Kami binasakan dengan suatu siksaan sebelumnya (Al-Qur'an itu diturunkan), tentulah mereka berkata, "Ya Tuhan kami, mengapa tidak Engkau utus seorang rasul kepada kami, sehingga kami mengikuti ayat-ayat-Mu sebelum kami menjadi hina dan rendah?" (thaha/20:134).

Jadi jelas sekali, bahwa hikmah diutusnya para rasul itu ialah untuk membatalkan hujah atau alasan orang kafir nanti pada hari kiamat.

Katakanlah (Muhammad), "Alasan yang kuat hanya pada Allah. Maka kalau Dia menghendaki, niscaya kamu semua mendapat petunjuk." (al-An'am/6:149).

Allah Mahakuasa, tidak dapat dikalahkan dalam segala urusan yang dikehendaki-Nya, lagi Mahabijaksana dalam segala perbuatannya. Menurut kebijaksanaan-Nya tidak perlu melayani permintaan orang-orang kafir Yahudi untuk menurunkan sebuah kitab dari langit, sebab sudah ada pengalaman dengan Musa. Mereka pernah meminta yang aneh-aneh kepada Musa, dan setelah permintaannya dipenuhi, mereka semakin menampakkan keingkaran dan keserakahannya.

Ayat 166

لٰكِنِ اللّٰهُ يَشْهَدُ بِمَآ اَنْزَلَ اِلَيْكَ اَنْزَلَهٗ بِعِلْمِهٖ ۚوَالْمَلٰۤىِٕكَةُ يَشْهَدُوْنَ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ شَهِيْدًاۗ

lākinillāhu yasyhadu bimā anzala ilaika anzalahū bi‘ilmih(ī), wal-malā'ikatu yasyhadūn(a), wa kafā billāhi syahīdā(n).

Tetapi Allah menjadi saksi atas (Al-Qur'an) yang diturunkan-Nya kepadamu (Muhammad). Dia menurunkannya dengan ilmu-Nya, dan para malaikat pun menyaksikan. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi.

Walaupun orang Yahudi itu mengingkari kenabian Muhammad saw dan tidak mau menjadi saksi atas kebenarannya, namun Allah yang menjadi saksi atas kebenaran Al-Qur'an yang diturunkan kepada Muhammad. Allah memperkuat lagi kesaksian-Nya dengan menyatakan bahwa Allah telah menurunkan Al-Qur'an dengan ilmu-Nya, yang belum pernah diketahui oleh Nabi Muhammad dan kaum mukminin, dengan rangkaian dan susunan kata-katanya yang indah, bukan prosa, bukan puisi, berisi ilmu dan hikmah yang padat, tidak mungkin ditiru oleh siapa pun, sanggup menghadapi tantangan zaman, kapan saja dan di mana saja, mengandung aspek-aspek ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh masyarakat, sesuai dengan firman Allah:

...Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab¦. (al-An'am/6:38).

Maksudnya dalam Al-Qur'an telah ada pokok-pokok ajaran agama, norma-norma, hikmah-hikmah dan tuntunan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat dan kebahagiaan makhluk pada umumnya. Al-Qur'an mengandung berita-berita yang gaib tentang masa lampau, masa sekarang dan masa mendatang. Barang siapa dengan tekun mempelajari Al-Qur'an akan bertambah yakin atas kebenarannya dan sanggup pula menjadi saksi. Para malaikat pun terutama Jibril yang jadi perantara dalam turunnya Al-Qur'an itu, ikut menjadi saksi atas kebenarannya. Sebenarnya cukup dengan kesaksian dari Allah, sebab tidak ada yang lebih benar dan terpercaya daripada kesaksian Allah.

Ayat 167

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَصَدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ قَدْ ضَلُّوْا ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا

innal-lażīna kafarū wa ṣaddū ‘an sabīlillāhi qad ḍallū ḍalālam ba‘īdā(n).

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah, benar-benar telah sesat sejauh-jauhnya.

Sesungguhnya orang yang masih tetap dalam kekafiran setelah datang petunjuk yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan selalu menghalangi orang supaya jangan percaya kepadanya dan kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya seperti yang selalu dipraktekkan oleh orang-orang Yahudi Medinah dan orang-orang kafir Mekah, telah dinyatakan oleh Allah bahwa mereka itu sesat dari jalan yang benar dan sulit bagi mereka untuk kembali kepada kebenaran. Memang tepat apa yang diterangkan Allah mengenai orang-orang Yahudi itu, karena mereka sudah seharusnya percaya kepada seruan Nabi Muhammad, apalagi mereka telah mengenal beliau dalam kitab mereka sendiri, tetapi mereka tetap ingkar dan selalu mengadakan kebohongan dan tuduhan-tuduhan palsu terhadap beliau dan terhadap Al-Qur'an yang dibawanya agar manusia jangan beriman. Di antara tuduhan-tuduhan yang mereka kemukakan itu ialah "Kalau benar Muhammad itu seorang rasul mengapa tidak diturunkan kepadanya sebuah kitab yang lengkap sekaligus sebagaimana kitab Taurat yang diturunkan kepada Musa?." Dengan berbohong mereka berkata, "Allah telah menyebutkan dalam Taurat bahwa syariat Nabi Musa tidak akan diganti dan tidak akan dihapus sampai hari Kiamat."

Seribu satu alasan mereka kemukakan untuk menolak kebenaran kenabian Muhammad dan Al-Qur'an, tetapi semua alasan itu hanya dibuat-buat dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Oleh sebab itu amat tepatlah bila mereka dicap oleh Allah sebagai orang yang jauh sekali tersesat dari jalan yang lurus.

Ayat 168

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَظَلَمُوْا لَمْ يَكُنِ اللّٰهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ طَرِيْقًاۙ

innal-lażīna kafarū wa ẓalamū lam yakunillāhu liyagfira lahum wa lā liyahdiyahum ṭarīqā(n).

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah tidak akan mengampuni mereka, dan tidak (pula) akan menunjukkan kepada mereka jalan (yang lurus),

. Di samping orang Yahudi itu dicap sebagai orang kafir, mereka dicap pula sebagai orang yang zalim. Memang demikianlah halnya orang-orang kafir itu. Mereka zalim terhadap diri sendiri, zalim terhadap kebenaran dan zalim terhadap orang lain. Zalim terhadap diri sendiri karena mereka tetap tidak mau menerima kebenaran, meskipun bukti telah menunjukkan dengan jelas kesesatan mereka. Dan karena memperturutkan hawa nafsu dan keinginan untuk mempertahankan kedudukan dan menguasai harta kekayaan, akhirnya mereka sendirilah yang rugi. Zalim terhadap kebenaran karena mereka selalu berusaha menutupinya dan menyembunyikan agar tidak tersebar di kalangan manusia, dan agar mereka sajalah yang benar dan dipuja-puja. Zalim terhadap orang lain (masyarakat) karena dengan tindakan-tindakan mereka, orang yang seharusnya dapat menikmati kebenaran tetap dalam kesesatan dan terhalang dari merasakan nikmatnya, mereka berusaha mencegah orang yang ingin menyiarkannya kepada orang yang ingin memahami dan menganut agama yang membawa kebenaran. Orang yang demikian sifatnya dan demikian besar bahayanya bagi masyarakat, sudah sewajarnya mendapat kemurkaan Allah, dan wajar pula bila Allah tidak akan mengampuni mereka dan tidak akan menunjukkan kepada mereka, kecuali jalan ke neraka Jahanam tempat mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Demikianlah keadilan Tuhan dan amat mudah bagi-Nya melaksanakan keadilan itu.

Ayat 169

اِلَّا طَرِيْقَ جَهَنَّمَ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗوَكَانَ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرًا

illā ṭarīqa jahannama khālidīna fīhā abadā(n), wa kāna żālika ‘alallāhi yasīrā(n).

kecuali jalan ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan hal itu (sangat) mudah bagi Allah.

. Di samping orang Yahudi itu dicap sebagai orang kafir, mereka dicap pula sebagai orang yang zalim. Memang demikianlah halnya orang-orang kafir itu. Mereka zalim terhadap diri sendiri, zalim terhadap kebenaran dan zalim terhadap orang lain. Zalim terhadap diri sendiri karena mereka tetap tidak mau menerima kebenaran, meskipun bukti telah menunjukkan dengan jelas kesesatan mereka. Dan karena memperturutkan hawa nafsu dan keinginan untuk mempertahankan kedudukan dan menguasai harta kekayaan, akhirnya mereka sendirilah yang rugi. Zalim terhadap kebenaran karena mereka selalu berusaha menutupinya dan menyembunyikan agar tidak tersebar di kalangan manusia, dan agar mereka sajalah yang benar dan dipuja-puja. Zalim terhadap orang lain (masyarakat) karena dengan tindakan-tindakan mereka, orang yang seharusnya dapat menikmati kebenaran tetap dalam kesesatan dan terhalang dari merasakan nikmatnya, mereka berusaha mencegah orang yang ingin menyiarkannya kepada orang yang ingin memahami dan menganut agama yang membawa kebenaran. Orang yang demikian sifatnya dan demikian besar bahayanya bagi masyarakat, sudah sewajarnya mendapat kemurkaan Allah, dan wajar pula bila Allah tidak akan mengampuni mereka dan tidak akan menunjukkan kepada mereka, kecuali jalan ke neraka Jahanam tempat mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Demikianlah keadilan Tuhan dan amat mudah bagi-Nya melaksanakan keadilan itu.

Ayat 170

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَكُمُ الرَّسُوْلُ بِالْحَقِّ مِنْ رَّبِّكُمْ فَاٰمِنُوْا خَيْرًا لَّكُمْ ۗوَاِنْ تَكْفُرُوْا فَاِنَّ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

yā ayyuhan-nāsu qad jā'akumur-rasūlu bil-ḥaqqi mir rabbikum fa āminū khairal lakum, wa in takfurū fa inna lillāhi mā fis-samāwāti wal-arḍ(i), wa kānallāhu ‘alīman ḥakīmā(n).

Wahai manusia! Sungguh, telah datang Rasul (Muhammad) kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah (kepadanya), itu lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (itu tidak merugikan Allah sedikit pun) karena sesungguhnya milik Allah-lah apa yang di langit dan di bumi. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

Pada ayat ini Allah menunjukkan firman-Nya kepada manusia umumnya sesudah menjelaskan pada ayat-ayat yang lalu kebenaran dakwah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, dan kebatilan pendirian Ahli Kitab. Setelah menolak semua hujah dan alasan mereka yang menjelek-jelekkan Nabi dan Al-Qur'an yang dibawanya, tibalah saatnya untuk membenarkan yang dibawa oleh Rasul-Nya Muhammad saw, yang kerasulannya tidak saja dikuatkan dengan mukjizat, tetapi telah dibenarkan pula oleh Ahli Kitab, karena terdapat dalam kitab-kitab mereka sendiri bahwa akan datang seorang Rasul yang membenarkan rasul-rasul yang sebelumnya.

Allah memerintahkan supaya manusia beriman kepada-Nya karena itulah yang baik bagi mereka. Ajaran-ajaran yang dibawanyalah yang akan membawa manusia kepada keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (al-Anbiya/21:107).

Barang siapa yang mematuhi perintah ini dan menjadi seorang mukmin sejati, tentulah ia akan diridai Allah dan dilimpahkan rahmat-Nya dan tentulah ia akan menjadi orang yang beruntung di dunia dan di akhirat. Di dunia ia akan hidup dengan penuh kebahagiaan karena rongga dadanya telah dipenuhi oleh iman, takwa serta tawakal kepada Allah; ia akan dapat merasakan bagaimana manisnya iman. Di akhirat ia akan dimasukkan ke dalam surga Jannatun Na'im, ia kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Tetapi bila mereka tidak mematuhi seruan ini dan tetap dalam kekafiran, maka mereka sendirilah yang akan menderita kerugian, tidak dapat merasakan ketenteraman dan kebahagiaan, selalu terombang-ambingkan dalam badai kesesatan dan keraguan, karena tidak mempunyai pegangan dalam mengarungi lautan hidup yang tidak diketahuinya di mana ujung dan pangkalnya.

Bagi Allah sendiri kekafiran seseorang tidaklah merugikan-Nya dan tidak mengurangi keagungan dan kemuliaan-Nya, karena Dialah yang memiliki langit dan bumi, Dialah Yang Mahakuasa menyiksa orang-orang yang kafir, memberi rahmat dan nikmat kepada hamba-Nya. Dia Maha Mengetahui segala tindak tanduk hamba-Nya dan segala isi hati mereka. Dia Mahabijaksana dalam segala tindakan-Nya, Mahaadil dalam segala pembalasan-Nya. Hanya terserah kepada hamba-Nya, apakah ia akan memilih iman yang membawa kepada kebahagiaan yang abadi atau akan memilih kekafiran yang akan membawa kepada penderitaan dan siksaan yang abadi pula.

Ayat 171

يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ لَا تَغْلُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ وَلَا تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ اِلَّا الْحَقَّۗ اِنَّمَا الْمَسِيْحُ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُوْلُ اللّٰهِ وَكَلِمَتُهٗ ۚ اَلْقٰىهَآ اِلٰى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِّنْهُ ۖفَاٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرُسُلِهٖۗ وَلَا تَقُوْلُوْا ثَلٰثَةٌ ۗاِنْتَهُوْا خَيْرًا لَّكُمْ ۗ اِنَّمَا اللّٰهُ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ ۗ سُبْحٰنَهٗٓ اَنْ يَّكُوْنَ لَهٗ وَلَدٌ ۘ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ وَكِيْلًا ࣖ

yā ahlal-kitābi lā taglū fī dīnikum wa lā taqūlū ‘alallāhi illal-ḥaqq(a), innamal-masīḥu ‘īsabnu maryama rasūlullāhi wa kalimatuh(ū), alqāhā ilā maryama wa rūḥum minh(u), fa āminū billāhi wa rusulih(ī), wa lā taqūlū ṡalāṡah(tun), inntahū khairal lakum innamallāhu ilāhuw wāḥid(un), subḥānahū ay yakūna lahū walad(un), lahū mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ(i), wa kafā billāhi wakīlā(n).

Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sungguh, Al-Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan, “(Tuhan itu) tiga,” berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Mahasuci Dia dari (anggapan) mempunyai anak. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung.

Kaum Nasrani sudah melampaui batas dalam beragama dengan menambah-nambah hal-hal yang bukan dari agama, seperti memuja dan mengagung-agungkan nabi mereka, sampai melampaui batas-batas yang telah ditentukan Allah dengan mengada-adakan kebohongan terhadap-Nya dan dengan mengatakan bahwa Isa itu adalah putra Allah. (al-Ma'idah/5: 77)

Hal ini pulalah yang membawa kaum Nasrani kepada anggapan bahwa Tuhan itu salah satu dari Tuhan yang tiga atau Tuhan itu terdiri dari tiga oknum. Sebagai penolakan atas paham yang salah ini Allah menyatakan bahwa Isa anak Maryam hanyalah utusan Allah kepada hamba-Nya, bukan Tuhan yang disembah sebagai yang dianggap kaum Nasrani. Isa sendiri menyeru mereka supaya mengesakan Allah, tak ada yang disembah selain Allah, dan Nabi Isa telah melarang pula kaumnya mempersekutukan Allah dengan apa pun. Sebagai tambahan atas penegasan tersebut Allah berfirman lagi bahwa Isa itu diciptakan dengan kalimat berupa ucapan "jadilah" (kun), tanpa ada seorang laki-laki pun (bapak) yang menikahi ibunya, dan tanpa air mani yang masuk ke dalam rahim ibunya, seperti terciptanya manusia biasa.

Tatkala Allah mengutus malaikat Jibril kepada Maryam dan memberitahukan bahwa ia adalah utusan Allah yang diperintahkan untuk menyampaikan berita gembira kepadanya, yaitu dia akan memperoleh seorang anak laki-laki, Maryam merasa terkejut dan membantah dengan keras, karena ia masih perawan dan tidak pernah bersuami atau disentuh oleh seorang laki-laki. LaIu Jibril membacakan kepadanya firman Allah:

¦"Demikianlah Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka jadilah sesuatu itu. (Ali 'Imran/3:47).

Demikianlah dengan kata "kun" itu terciptalah Isa dalam kandungan ibunya. Inilah suatu bukti kekuasaan Allah. Bila Dia hendak menciptakan sesuatu cukup dengan ucapan "kun" saja. Hal serupa ini berlaku pula pada penciptaan Adam sebagaimana tersebut pada firman Allah:

Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia) maka jadilah dia (Ali 'Imran/3:59).

Lalu ditiuplah roh ciptaan Allah ke dalam rahim ibunya dan berkembanglah ia sampai datang masa melahirkan. Sebagaimana kaum Nasrani menduga bahwa yang ditiupkan ke dalam rahim ibunya itu adalah sebagian dari roh Allah dan atas dasar inilah mereka menganggap bahwa Isa adalah putra Allah, karena ia adalah sebagian dari roh-Nya, (Matius 1.18).

Sikap Ahli Kitab yang berlebihan dalam memahami agamanya tidak saja di kalangan Nasrani, tetapi juga tentunya di kalangan orang Yahudi. Sikapnya yang melampaui batas dalam memahami ketentuan agamanya sehingga mereka sering bersikap dan bertindak begitu ketat dengan menambah-nambahkan ketentuan sendiri, atau sebaliknya sering melanggar ketentuan Taurat dalam syariat Musa, seperti yang dapat kita baca di sana sini dalam Al-Qur'an, sampai-sampai mereka mengatakan "Uzair putra Allah" (at-Taubah/9: 30). Mereka menjadi bangsa yang rasialis, eksklusif, sangat fanatik, menolak semua nabi dan rasul utusan Allah yang bukan Yahudi (Gentile), mereka membunuh para nabi dan menuduh Isa dan ibunya Maryam dengan tuduhan yang keji. Mereka terpecah ke dalam beberapa sekte. Yang menonjol waktu itu adalah golongan konservatif Sadducee yang hanya mengakui lima kitab Musa (Pentateuch), atau golongan Pharisee yang sangat kaku dalam menjalankan hukum tertulis, tetapi mau menerima hukum lisan dan hukum adat Yahudi.

Begitu juga sikap umat Nasrani yang telah melampaui batas dengan mengangkat dan menempatkan Nabi Isa sebagai Yesus yang disamakan dengan Tuhan atau menisbahkannya sebagai putra Tuhan. Mereka telah menyentuh keimanan (akidah) yang pokok sampai melahirkan doktrin Trinitas. Doktrin ini sudah berkembang dan menjadi pangkal perdebatan para pendeta mereka pada masa lalu, dari abad ke-2 sampai abad ke-6 Masehi, seperti Marcionisme, Yakobit dan Nestori (Nestorian) yang masih bertahan di Suria atau Maronit yang banyak dianut di Libanon, Paulicianism dan yang lain. Mereka berdebat sekitar kodrat Kristus: Tuhan, anak Tuhan atau satu dari tiga oknum dari Roh Kudus, sampai juga melibatkan ibunya Maria sebagai pujaan.

Kaum Muslimin perlu sekali menyadari sekalipun dalam bentuk lain, jangan sampai terjerumus ke dalam sikap berlebihan dalam menerima ajaran Islam, yang umumnya berkisar dalam soal fikih, di satu pihak mau serba ketat atau di pihak lain yang sebaliknya, mau serba longgar.

Ada di antara mufasir menceritakan mengenai anggapan ini bahwa seorang tabib Nasrani yang mengobati Khalifah Harun ar-Rasyid berdiskusi dengan seorang ulama Islam yaitu Ali bin Husein al-Waqidi al-Marwazi. Tabib Nasrani itu berkata kepada al-Waqidi bahwa di dalam Kitab (Al-Qur'an) terdapat ayat yang membenarkan pendapat dan kepercayaan Nasrani bahwa Isa, adalah sebagian dari Allah, lalu dia membacakan bagian pertama dari ayat 171 ini. Sebagai jawaban atas perkataan tabib itu al-Waqidi membacakan ayat:

Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. (al-Jasiyah/45:13).

Kemudian al-Waqidi berkata "Kalau benar apa yang kamu katakan bahwa kata "min-hu" dalam ayat yang kamu baca itu berarti "sebagian daripada-Nya", sehingga kamu mengatakan bahwa Isa a.s. adalah sebagian dari Allah pula. Hal ini berarti bahwa apa yang ada di langit dan di bumi ini adalah sebagian pula dari Allah." Dengan jawaban ini terdiamlah tabib Nasrani itu lalu dia masuk Islam.173

Karena kaum Nasrani telah tersesat dari akidah tauhid yang dibawa oleh para rasul, maka Allah memerintahkan kepada mereka agar kembali kepada akidah yang benar dengan beriman kepada Allah Yang Maha Esa dan beriman kepada rasul-Nya yang selalu menyeru kepada akidah tauhid dan janganlah mereka mengatakan bahwa ada tiga Tuhan yaitu Bapak, Anak dan Roh Kudus (Rohulkudus), atau mengatakan bahwa Allah itu terdiri dari tiga oknum, masing-masing adalah Tuhan yang sempurna, dan kumpulan dari tiga oknum itulah Tuhan Yang Esa. Mereka diperintahkan meninggalkan paham yang sesat dan menyesatkan itu, karena meninggalkan paham yang sesat itulah yang baik bagi mereka. Mereka akan menjadi penganut agama tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim dan para nabi sebelum dan sesudahnya. Mereka akan menjadi orang yang benar dan tidak akan termasuk golongan orang-orang kafir. Dalam ayat lain Allah berfirman:

Sungguh telah kafir orang-orang yang mengatakan "Bahwa Allah salah satu dari yang tiga, padahal tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Maha Esa. (al-Maidah/5:73).

Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Kemudian ditegaskan lagi kepada mereka bahwa Allah sajalah Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Maha bersih dari sifat berbilang atau terbagi-bagi kepada beberapa bagian atau tersusun dari tiga oknum atau bersatu dengan makhluk-makhluk lainnya. Maha Suci Allah dari hal-hal tersebut dan mustahil Dia mempunyai anak sebagaimana anggapan mereka atau Isa itu adalah Tuhan sebagaimana dikatakan oleh segolongan lain di antara mereka. Allah adalah Maha Esa tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak beristri sebagaimana manusia. Dialah pemilik langit dan bumi serta semua yang ada pada keduanya termasuk Isa as. Allah berfirman:

"Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, melainkan akan datang kepada (Allah) Yang Maha Pengasih selaku seorang hamba" (Maryam/19:93).

Semua makhluk tanpa kecuali akan menghadap ke hadirat Tuhan Allah sebagai hamba, apapun pangkat dan derajatnya, baik dia malaikat, seorang nabi, seorang yang diciptakan-Nya tanpa bapak dan ibu seperti Nabi Adam atau yang diciptakan-Nya tanpa bapak saja seperti Isa a.s. maupun yang diciptakan dengan perantara bapak dan ibu; semuanya itu adalah hamba-Nya yang mengharapkan karunia dan rahmat-Nya, Allah-lah yang berkuasa sepenuhnya atas mereka dan Allah-lah yang memelihara dan kepada--Nyalah mereka harus menyembah, berdoa dan bertawakal. Akidah tauhid inilah yang dibawa dan disampaikan para nabi dan rasul kepada umatnya termasuk Nabi Isa, dan paham inilah yang dianut oleh para pengikutnya sesuai dengan dakwah dan ajarannya. Tetapi pengikutnya yang datang kemudian terutama pengikut-pengikut yang dahulunya telah menganut agama-agama yang bermacam-macam tidak dapat melepaskan dirinya dari paham lama yang sesat itu sehingga mereka mencoba dan berusaha dengan sekuat tenaga agar agama Masehi yang mereka anut mempunyai corak yang sama dengan agama-agama nenek moyang mereka dahulu.

Paham Trinitas (menganggap Tuhan adalah tiga) sudah berkembang di Mesir, semenjak lebih kurang 4.000 tahun sebelum Masehi. Di antara mereka ada yang menganggap bahwa tuhan itu ialah dewa Osiris, Isis dan Horus. Demikian pula di India ajaran Hinduisme mengatakan bahwa Tuhan itu adalah tri tunggal yang terdiri dari Brahma, Wisnu, dan Syiwa. Penganut Budisme pun ada yang mengatakan bahwa Budha itu adalah Tuhan yang terdiri dari tiga oknum. Juga di Persia terdapat paham Mazdaisme (Zoroaster) yang bercorak dualisme: baik dan jahat, terang dan gelap dengan dewa tertinggi Ahura Mazda (Ormuzd) dan dewa-dewa lain, lawan Ahriman. Akhirnya mereka terbawa hanyut oleh paham trinitas yang beraneka ragam coraknya dan jadilah mereka tersesat dari paham tauhid yang dibawa Nabi Isa dan amat sulitlah bagi mereka untuk meniggalkannya. Para intelektual dari penganut agama Masehi ini memang merasakan dan mengetahui bahwa paham taslis (trinitas) ini tidak dapat diterima akal, tetapi mereka tetap mencari-cari alasan untuk membenarkan paham ini. Di antara pendeta mereka ada yang mengatakan, "Dalam hal ini kita harus menyerahkan persoalan ini kepada hal-hal yang gaib yang belum diketahui oleh manusia dan tidak akan dapat diketahuinya, kecuali bila hijab telah berkata untuk itu dan jelaslah pada waktu itu semua yang ada di langit dan di bumi."

Pendeta Bother pengarang buku al-Ushul wal-Furu' dari salah seorang juru penerang agama Nasrani berkata mengenai hal ini: "Kita telah mencoba memahaminya dengan lebih jelas yaitu dikala telah terbuka bagi kita tabir rahasia semua apa yang ada di langit dan di bumi."

Dapat disimpulkan bahwa agama Nasrani benar-benar didasarkan kepada paham tauhid yang murni tetapi para pendetanya mencampurbaurkan dan mengubahnya menjadi agama trinitas yang tidak dapat dipahami oleh akal, karena terpengaruh oleh paham-paham taslis bangsa Yunani dan Romawi yang mereka ambil dari paham-paham keagamaan Mesir lama dan Brahma.

Ayat 172

لَنْ يَّسْتَنْكِفَ الْمَسِيْحُ اَنْ يَّكُوْنَ عَبْدًا لِّلّٰهِ وَلَا الْمَلٰۤىِٕكَةُ الْمُقَرَّبُوْنَۗ وَمَنْ يَّسْتَنْكِفْ عَنْ عِبَادَتِهٖ وَيَسْتَكْبِرْ فَسَيَحْشُرُهُمْ اِلَيْهِ جَمِيْعًا

lay yastankifal-masīḥu ay yakūna ‘abdal lillāhi wa lal-malā'ikatul-muqarrabūn(a), wa may yastankif ‘an ‘ibādatihī wa yastakbir fa sayaḥsyuruhum ilaihi jamī‘ā(n).

Al-Masih sama sekali tidak enggan menjadi hamba Allah, dan begitu pula para malaikat yang terdekat (kepada Allah). Dan barangsiapa enggan menyembah-Nya dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya.

Kemudian sebagai penolakan atas anggapan bahwa Isa a.s. itu adalah Tuhan, Allah menjelaskan bahwa Isa a.s. sendiri, begitu pula malaikat-malaikat tidak merasa enggan dikatakan hamba Allah dan tidak pernah menyombongkan diri, sehingga mengatakan aku ini adalah Tuhan, karena Isa a.s. dan malaikat--malaikat itu menyadari dan mengetahui dengan penuh keyakinan bahwa Allah Mahabesar, Mahakuasa dan Mahakaya. Dialah yang patut disembah, patut diagungkan dan patut diminta rahmat dan karunia-Nya. Sedangkan malaikat yang tinggi derajatnya dan amat dekat kepada Tuhan dan di antara mereka itu ada yang diutus Allah untuk meniupkan roh ciptaan-Nya ke dalam tubuh Maryam, ibu Isa a.s., Isa a.s., yang dimuliakan-Nya dan diangkat menjadi rasul, tentu tidak mungkin akan berkata aku ini adalah Tuhan yang harus disembah, dipuja, dan diagungkan. Orang yang enggan menyembah Allah dan menyombongkan diri termasuk orang-orang yang tiada mengakui adanya Tuhan, adalah orang durhaka, orang-orang yang tak tahu diri dan tak mempergunakan akal pikirannya. Allah akan mengumpulkan mereka di padang mahsyar kelak bersama-sama dengan orang-orang mukmin dan semua makhluk Allah lainnya dan mereka akan menerima siksaan yang pedih karena kesesatan dan kedurhakaannya.

Ayat 173

فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَيُوَفِّيْهِمْ اُجُوْرَهُمْ وَيَزِيْدُهُمْ مِّنْ فَضْلِهٖۚ وَاَمَّا الَّذِيْنَ اسْتَنْكَفُوْا وَاسْتَكْبَرُوْا فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًاۙ وَّلَا يَجِدُوْنَ لَهُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلِيًّا وَّلَا نَصِيْرًا

fa ammal-lażīna āmanū wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti fa yuwaffīhim ujūrahum wa yazīduhum min faḍlih(ī), wa ammal-lażīnastankafū wastakbarū fa yu‘ażżibuhum ‘ażāban alīmā(n), wa lā yajidūna lahum min dūnillāhi waliyyaw wa lā naṣīrā(n).

Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Allah akan menyempurnakan pahala bagi mereka dan menambah sebagian dari karunia-Nya. Sedangkan orang-orang yang enggan (menyembah Allah) dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih. Dan mereka tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah.

Adapun orang yang beriman dan mengerjakan amal yang baik mereka akan menerima pahala amalan mereka berlipat ganda dan akan dimasukkan ke dalam surga, selalu dilimpahi rahmat dan karunia Ilahi. Tetapi orang yang enggan dikatakan hamba Allah dan selalu menyombongkan diri dan orang yang mengingkari adanya Allah, mereka akan mendapat siksaan yang amat pedih sesuai dengan dosa dan keingkaran mereka. Mereka akan dimasukkan ke dalam neraka, tak ada yang akan membela mereka, dan tak ada yang akan menolong mereka supaya dapat keluar dari neraka, karena semua urusan ketika itu berada di tangan Allah sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

Ayat 174

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَكُمْ بُرْهَانٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكُمْ نُوْرًا مُّبِيْنًا

yā ayyuhan-nāsu qad jā'akum burhānum mir rabbikum wa anzalnā ilaikum nūram mubīnā(n).

Wahai manusia! Sesungguhnya telah sampai kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur'an).

Ayat ini menyerukan kepada semua manusia di dunia dan menyatakan bahwa telah datang kepada mereka berbagai keterangan yang jelas dari Tuhan, dikuatkan oleh dalil-dalil dan alasan-alasan yang nyata dan benar, yang dibawa oleh seorang nabi dan rasul-Nya, yang "ummi" yang tidak pandai tulis baca. Keadaan buta huruf itu saja sudah menjadi bukti yang kuat atas kenabian dan kerasulannya atas kebenaran agama yang dibawanya yang mempunyai peraturan-peraturan dan hukum-hukum untuk mengatur kehidupan manusia di dunia dan memberikan petunjuk berupa ibadah dan amal saleh untuk mencapai kebahagiaan di akhirat

Bagaimana seorang ummi yang tidak pernah belajar di sekolah apalagi untuk membaca buku-buku, dan tidak pernah di masa kanak-kanak dan di masa mudanya mengikuti langkah-langkah dan kebiasaan-kebiasaan anak dan pemuda-pemuda di masanya, tidak pernah menghadiri malam-malam senda gurau, malam-malam panjang biasa mereka berceritera dan bercengkerama mengenai adat istiadat, sejarah nenek moyang, dan kejadian-kejadian penting di kalangan mereka, seperti peperangan, permusuhan dan lain sebagainya dapat menceritakan sesuatu yang berharga dan tinggi nilainya? Bagaimana seorang ummi yang demikian keadaannya akan dapat membawa suatu kitab (Al-Qur'an) yang di dalamnya terdapat syariat yang mulia dan amat tinggi nilainya, dibawakan dengan gaya bahasa yang amat tinggi pula mutunya yang sepanjang zaman tidak dapat ditiru dan ditandingi (al-Baqarah/2:23, Yunus/10:38, Hud/11:13 dan al-Isra/17:88) oleh pujangga-pujangga bagaimanapun besarnya. Ini adalah suatu tanda dan bukti atas kebenaran agama yang dibawanya, bahkan tidak ada orang yang dapat membantah bahwa Al-Qur'an itu adalah suatu mukjizat yang abadi yang selalu dapat menguatkan dan membenarkan agama yang dibawanya itu. Maka Allah menamakan Al-Qur'an itu cahaya yang terang benderang yang memberi petunjuk kepada manusia, mengeluarkan mereka dari kegelapan syirik kepada cahaya iman (al-Baqarah/2:257) dan menegakkan dasar-dasar tauhid yang telah menjadi tugas para rasul sebelum Muhammad saw.

Para rasul sebelumnya telah menyeru umatnya dengan bersungguh-sungguh kepada agama tauhid dan telah banyak pula pengikut mereka. Tetapi ternyata sesudah mereka meninggal, para pengikut itu telah merusak dasar-dasar tauhid itu dengan mencampuradukkannya dengan beraneka ragam kemusyrikan seperti menyembah berhala, menyembah bintang dan matahari bahkan menyembah arwah-arwah dengan memujanya dan memanjatkan doa kepadanya. Akhirnya manusia terjerumus ke lembah syirik dan hanyut dibawa arus berbagai macam paham yang sesat dan menyesatkan sehingga mereka kehilangan pedoman dan tidak tahu lagi mana yang baik mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Dalam keadaan gelap gulita seperti inilah Al-Qur'an diturunkan sebagai cahaya yang menerangi mereka sehingga manusia dapat berpikir kembali dan menyadari bahwa jalan yang mereka tempuh selama ini adalah jalan salah yang membawa kepada kerusakan dan keruntuhan. Dalam ayat lain Allah berfirman:

"Dialah yang menurunkan ayat-ayat yang terang (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya untuk mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan sungguh Allah Maha Penyantun Maha Penyayang" (al-hadid/57:9).

Dengan demikian jelaslah bahwa Nabi Muhammad saw, yang ummi pembawa syariat yang sempurna untuk kebahagiaan dunia dan akhirat tidak mungkin bukan seorang nabi dan utusan Allah. Dan jelas pulalah bahwa Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya bukan buatannya, tetapi benar-benar wahyu dari Tuhan semesta alam.

Ayat 175

فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَاعْتَصَمُوْا بِهٖ فَسَيُدْخِلُهُمْ فِيْ رَحْمَةٍ مِّنْهُ وَفَضْلٍۙ وَّيَهْدِيْهِمْ اِلَيْهِ صِرَاطًا مُّسْتَقِيْمًاۗ

fa ammal-lażīna āmanū billāhi wa‘taṣamū bihī fa sayudkhiluhum fī raḥmatim minhu wa faḍl(in), wa yahdīhim ilaihi ṣirāṭam mustaqīmā(n).

Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya, maka Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat dan karunia dari-Nya (surga), dan menunjukkan mereka jalan yang lurus kepada-Nya.

Ayat ini memberikan ketegasan kepada manusia sesudah menyatakan bahwa Muhammad adalah rasul Allah dan Al-Qur'an adalah cahaya dan petunjuk yang diturunkan-Nya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada ajaran Al-Qur'an, akan dimasukkan ke dalam rahmat-Nya yaitu surga dan akan selalu berada dalam lindungan karunia-Nya, suatu rahmat dan karunia yang tak dapat dibayangkan oleh manusia bagaimana besar dan mulianya. Ibnu Abbas berkata yang dimaksud dengan rahmat-Nya di sini ialah surga dan yang dimaksud dengan karunia-Nya ialah karunia yang akan dinikmati oleh penghuninya yang belum pernah dilihat oleh mata dan belum pernah terdengar oleh telinga dan tak terbayangkan dalam pikiran betapa bahagia dan senangnya orang yang dapat menikmatinya. Selain dari itu Allah akan memberinya petunjuk dan hidayah serta taufik-Nya agar ia selalu berada di jalan yang lurus, jalan yang benar yang akan menyampaikan kepada rahmat-Nya yang besar dan lurus itu.

Ayat 176

يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ

yastaftūnak(a), qulillāhu yuftīkum fil-kalālah(ti), inimru'un halaka laisa lahū waladuw wa lahū ukhtun fa lahā niṣfu mā tarak(a), wa huwa yariṡuhā illam yakul lahā walad(un), fa in kānataṡnataini fa lahumaṡ-ṡuluṡāni mimmā tarak(a), wa in kānū ikhwatar rijālaw wa nisā'an fa liż-żakari miṡlu ḥaẓẓil-unṡayain(i), yubayyinullāhu lakum an taḍillū, wallāhu bikulli syai'in ‘alīm(un).

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Pada akhir ayat 12 surah ini, ada pula hukum waris kalalah, maka al-Khattabi berkata tentang kedua ayat kalalah ini: Allah telah menurunkan dua ayat kalalah pada permulaan Surah an-Nisa' namun ayat itu masih bersifat umum dan belum jelas, kalau dilihat dari bunyi ayat itu saja, maka Allah menurunkan lagi ayat kalalah di musim panas yaitu ayat terakhir dari Surah an-Nisa'.

Pada ayat ini terdapat tambahan keterangan mengenai apa yang belum dijelaskan pada ayat pertama, karena itu ketika Umar bin al-Khattab ditanya tentang ayat kalalah yang turun pertama kali, ia menyuruh penanya itu untuk memperhatikan ayat kalalah kedua.

Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw supaya menjawab pertanyaan yang dikemukakan orang kepadanya mengenai pusaka kalalah, seperti halnya Jabir bin Abdullah yang tidak lagi mempunyai bapak dan anak, sedang dia mempunyai saudara-saudara perempuan yang bukan saudara seibu. Karena saudara perempuan yang bukan seibu belum ada ditetapkan untuk mereka bagian tertentu dalam harta pusaka, sedang saudara seibu ditetapkan bagiannya yaitu seperenam jika saudara perempuan itu seorang saja, sepertiga bila lebih dari seorang. Pusaka yang sepertiga itu dibagi rata antara saudara-saudara perempuan seibu, berapa pun banyaknya mereka, karena pusaka itu adalah pusaka yang menjadi hak ibu mereka kalau ibunya masih hidup.

Jawaban yang diperintahkan Allah kepada Nabi-Nya tentang masalah ini ialah bahwa bila seseorang meninggal, sedang ia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan seibu sebapak atau sebapak saja maka saudara perempuan itu mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkannya, jika saudara itu seorang saja.

Bila saudara perempuannya itu mati lebih dahulu, dan tidak pula mempunyai bapak yang menghijab (menghalanginya) dia berhak mewarisi harta yang ditinggalkannya. Dia berhak mewarisi seluruh harta peninggalan saudara perempuannya bila tidak ada orang yang berhak atas pusaka itu yang telah ditentukan bagiannya (ashabul furudh). Tetapi bila ada orang yang berhak yang telah ditentukan bagiannya seperti suami, maka diberikan lebih dahulu hak suami itu dan selebihnya menjadi haknya sepenuhnya. Kalau saudara perempuan itu ada berdua, maka kedua saudaranya itu mendapat dua pertiga. Dan bila saudara-saudaranya yang perempuan itu lebih dari dua orang, maka yang dua pertiga itu dibagi rata (sama banyak) antara saudara-saudara itu. Kalau yang ditinggalkannya itu terdiri dari saudara-saudara (seibu sebapak atau sebapak saja) terdiri saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka harta pusaka yang ditinggalkan itu dibagi antara mereka dengan ketentuan bahwa bagian yang laki-laki dua kali bagian yang perempuan, kecuali bila yang ditinggalkannya itu saudara-saudara seibu, maka saudara-saudara seibu mendapat seperenam saja, karena hak itu pada asalnya adalah hak ibu mereka. Kalau tidak karena itu, tentulah mereka tidak berhak sama sekali karena bukan ahli-ahli waris yang berhak mewarisi seluruh harta pusaka.

Demikianlah yang ditetapkan Allah mengenai pusaka kalalah, maka wajiblah kaum Muslimin melaksanakan ketetapan-ketetapan itu dengan seksama, agar mereka jangan tersesat dan jangan melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah. Hukum-hukum yang ditetapkan Allah itu adalah untuk kebaikan hamba-Nya, dan ilmu-Nya amat luas meliputi segala sesuatu di dalam alam ini.

An-Nisa' (176 ayat)

Ads

#HaditsPilihan

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abu Bukair berkata, telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Muhammad dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil dari Sa'id Ibnul Musayyab dari Abu Sa'id Al Khudri bahwasanya ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "maukah aku tunju... Selengkapnya

HR. Ibnu Majah