Mencerahkan khazanah Islam

Advertisement

Jadwal Shalat
Tanggal
13/10/2024
Subuh
04:17
Terbit
05:29
Dhuha
05:56
Dhuhur
11:42
Ashar
14:46
Maghrib
17:49
Isya
18:58

الانسان

76. Al-Insan

Terdapat 31 ayat dan diturunkan di Madinah

Surat Al Insaan terdiri atas 31 ayat, termasuk golongan surat-surat Madaniyyah, diturunkan sesudah surat Ar Rahmaan. Dinamai al Insaan (manusia) diambil dari perkataan Al Insaan yang terdapat pada ayat pertama surat ini.

Ayat 1

هَلْ اَتٰى عَلَى الْاِنْسَانِ حِيْنٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْـًٔا مَّذْكُوْرًا

hal atāka ‘alal-insāni ḥīnum minad-dahri lam yakun syai'am mażkūrā(n).

Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?

Ayat pertama ini menegaskan tentang proses kejadian manusia dari tidak ada menjadi ada, pada saat manusia belum berwujud sama sekali. Disebutkan bahwa manusia berasal dari tanah yang tidak dikenal dan tidak disebut-sebut sebelumnya. Apa dan bagaimana jenis tanah itu tidak dikenal sama sekali. Kemudian Allah meniupkan roh kepadanya, sehingga jadilah dia makhluk yang bernyawa.

Ayat di atas dapat diinterpretasikan sebagai salah satu bagian yang menceritakan evolusi manusia. Uraian sepenuhnya mengenai hal ini dapat dilihat di bawah ini.

Pada abad-19, Charles Darwin mengemukakan teori bahwa jenis manusia ada di muka bumi melalui suatu proses panjang evolusi. Mereka tidak langsung ada sebagaimana dinyatakan pada banyak kitab suci. Dia menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk proses evolusi, yang berujung pada terbentuknya manusia, kemungkinan besar memerlukan waktu jutaan tahun. Hal kedua yang dikemukakan oleh teori Darwin adalah bahwa manusia berkembang dari binatang.

Pada permulaan adanya kehidupan, demikian dinyatakan oleh teori ini, bentuk kehidupan yang ada adalah binatang-binatang tingkat rendah. Dengan berjalannya waktu, muncul binatang-binatang tingkat tinggi dan berukuran lebih besar. Dengan tidak sengaja, dari salah satu binatang berkembang menjadi manusia. Hal demikian ini dibuktikannya dengan adanya sederet bukti dari tengkorak hewan yang secara runut mengarah ke tengkorak manusia saat ini. Bukti lain juga dikemukakan dari perkembangan bentuk embrio. Dalam perkembangannya, embrio manusia berubah-ubah bentuk. Dimulai dari mirip bentuk embrio ikan, kelinci, dan jenis binatang lainnya, dan berakhir berbentuk manusia. Dari temuan terakhir ini, kemudian disimpulkan bahwa evolusi panjang manusia berasal dari bintang tingkat rendah.

Point kedua dari teori Darwin adalah bahwa manusia dan kera datang dari satu moyang yang sudah punah saat ini. Moyang yang punah ini disebutnya sebagai "missing link", rantai yang hilang. Haekel, seorang peneliti setelah masa Darwin, berpendapat bahwa binatang yang menjadi "missing link" adalah yang disebut Lypotilu. Apabila binatang ini atau sisa-sisa dari binatang ini dapat ditemukan, maka teka-teki mengenai evolusi manusia dapat dijelaskan dengan lebih baik. Para pemikir yang mempercayai teori ini menganggap bahwa gorila dan simpanse ada pada jalur evolusi manusia. Peneliti lain yang bernama Huxley mempunyai pemikiran yang sedikit berbeda. Ia menyimpulkan bahwa garis manusia dapat saja terjadi jauh sebelum munculnya jenis-jenis kera. Jadi, manusia dan kera tidak pernah berhubungan.

Penelitian yang lebih kemudian yang dilakukan oleh Prof. Jones dan Prof. Osborne, cenderung untuk menyimpulkan bahwa walaupun manusia ada melalui proses evolusi, namun prosesnya sudah terpisah dari binatang lainnya di masa yang lebih jauh. Dan dari saat itu, manusia berevolusi pada garisnya sendiri, tanpa bercampur dengan evolusi binatang lainnya. Dengan kata lain, manusia bukanlah cabang dari binatang lain, katakanlah kera, sebagaimana dipercaya oleh Darwin.

Para ahli arkeologi dan antropologi menemukan bahwa peradaban manusia terjadi melalui jalur yang terbagi secara jelas. Pada zaman batu, manusia pertama kali melangkah masuk ke daerah budaya dan kemasyarakatan. Sejak masa itu, manusia melakukan evolusi dalam mempertahankan hidup sebagai "binatang yang lemah". Karena tidak memiliki kekuatan, cakar, dan taring yang kuat sebagaimana binatang lain, manusia menggunakan batu sebagai alat mempertahankan diri dan kegunaan lainnya. Kemudian datang zaman perunggu, dimana manusia mulai menggunakan bahan metal untuk membuat peralatan. Zaman ini diikuti oleh zaman besi. Dari berbagai situs yang ditemukan para arkeologi disimpulkan bahwa berbagai zaman dari kehidupan manusia dilakukan dengan perubahan budaya dari satu masa ke masa lainnya.

Di dalam Al-Qur'an, ada satu ayat yang berkaitan erat dengan penciptaan manusia yang bertahap, yaitu:

Mengapa kamu tidak takut akan kebesaran Allah? Dan sungguh, Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan (kejadian). Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis? Dan di sana Dia menciptakan bulan yang bercahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita (yang cemerlang)? Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah, tumbuh (berangsur-angsur), kemudian Dia akan mengembalikan kamu ke dalamnya (tanah) dan mengeluarkan kamu (pada hari Kiamat) dengan pasti. Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, agar kamu dapat pergi kian kemari di jalan-jalan yang luas. (Nuh/71: 13-20)

Ayat di atas mencela manusia yang masih meragukan bahwa penciptaan tidak dilakukan berdasarkan perencanaan yang baik. Diperlihatkan bagaimana semuanya dilakukan melalui fase-fase atau masa-masa, yang teratur dan didasarkan pada perencanaan yang bijak. Penciptaan dilakukan bukan tanpa tujuan, dan mengarah pada kesempurnaan.

Ternyata hukum evolusi yang dikembangkan para peneliti di Eropa telah dijelaskan secara sangat rinci oleh Al-Qur'an pada 1400 tahun sebelumnya. Dijelaskan oleh Al-Qur'an bahwa manusia tidak diciptakan secara mendadak dan dalam bentuk dan rupa sebagaimana kita saat ini. Allah tidak membuat model dari tanah liat dan "meniupkan" kehidupan ke dalamnya untuk menjadi manusia pertama di muka bumi. Manusia mencapai tahap seperti saat ini setelah melalui proses beberapa masa perubahan.

Hal kedua yang diungkapkan Al-Qur'an dalam kaitan penciptaan manusia adalah dari kondisi ketiadaan. Suatu subjek yang bertolak belakang dengan penjelasan sebelumnya.

Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, padahal (sebelumnya) dia belum berwujud sama sekali? (Maryam/19: 67)

Ayat di atas menunjuk pada ciptaan pertama dari jenis manusia. Sangat berbeda dengan apa yang terjadi sekarang. Reproduksi manusia pada saat ini terjadi dengan bibit yang diproduksi dari organ laki-laki dan perempuan.

Harus diperhatikan secara cermat bahwa dalam ayat tersebut, ada pernyataan bahwa sesuatu ada dari bukan sesuatu. Ayat tersebut menyatakan bahwa sebelum tahapan dimana material dan benda lain menjadi benda hidup, ada satu tahapan lain dimana tidak ada eksistensi apa pun. Kita dapat menyatakan bahwa kursi dibuat dari kayu; atau rantai dibuat dari besi. Di sini kita memiliki material yang dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat barang tertentu. Mereka yang tidak mempercayai agama seringkali menyatakan ayat di atas sebagai dongeng saja. Akan tetapi, ayat di atas tidak menyatakan hal yang demikian. Arti ayat di atas jelas memberitahukan bahwa sebelum adanya penciptaan, tidak ada apa-apa di alam semesta. Setelah ada penciptaan alam semesta, menyusul kemudian penciptaan-penciptaan lainnya, termasuk penciptaan manusia.

Tahap kedua perkembangan manusia tampaknya terjadi pada saat manusia ada secara fisik, namun otak belum berkembang baik. Dengan demikian, posisinya masih sama atau lebih rendah dari binatang. Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (al-Insan/76: 1).

Tahap ketiga evolusi manusia dicapai saat reproduksi antara manusia laki-laki dan perempuan mulai terjadi. Di dalam Al-Qur'an, Dinyatakan suatu masa dari evolusi manusia. Ketika itu manusia mempunyai karakter binatang tingkat tinggi. Karakter ini adalah adanya perbedaan didasarkan pada seks, terbagi menjadi jantan dan betina. Pada masa ini, perkembangbiakan sudah melalui sperma yang dihasilkan manusia laki-laki. Keadaan demikian ini menjadikan manusia sudah memiliki ciri yang sama dengan binatang tingkat tinggi. Dua penggalan ayat di bawah ini menunjukkan hal tersebut:

Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, (istrinya) mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian ketika dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhan mereka (seraya berkata), "Jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami akan selalu bersyukur." (al-A'raf/7: 189)

Dan firman Allah:

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak¦. (an-Nisa'/4: 1)

Lebih lanjut Al-Qur'an memperlihatkan perkembangan manusia ke tingkat yang lebih lanjut, yaitu menggunakan nalarnya, demikian:

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (al-Insan/76: 2)

Mulai dari masa ini, karena peran pentingnya di alam semesta, manusia mulai mempelajari alam. Untuk dapat mengelola dengan baik, manusia memerlukan penguasaan pengetahuan secara luas. Tahap keempat ini dicapai saat otak manusia telah mencapai kesempurnaannya. Diciri dari perkembangan kecerdasan dan kepedulian terhadap lingkungan yang sangat cepat. Dengan kemampuannya dalam mendengarkan dan melihat, sebagaimana juga dapat dilakukan oleh binatang, manusia kemudian mulai melatih kecerdasannya sampai pada tingkat dapat melakukan penemuan-penemuan yang berguna untuk kehidupannya. Di sini manusia telah menempatkan dirinya jauh di atas binatang. Ia menjadi jenis binatang yang dapat bertahan hidup melalui kemampuan berpikir dan berbicara.

Uraian evolusi manusia ini tidak dengan eksplisit disampaikan dalam Al-Qur'an . Mengapa? Karena kitab ini tidak dimaksudkan sebagai buku ilmiah. Al-Qur'an diciptakan untuk mengungkapkan kebenaran, dan meninggalkan beberapa gap atau rumpang yang akan diisi oleh kemajuan pengetahuan manusia.

Ayat 2

اِنَّا خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ نُّطْفَةٍ اَمْشَاجٍۖ نَّبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنٰهُ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

innā khalaqnal-insāna min nuṭfatin amsyājin nabtalīhi fa ja‘alnāhu samī‘am baṣīrā(n).

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.

Ayat ini menerangkan unsur-unsur penciptaan manusia, yaitu bahwa manusia diciptakan dari sperma (nuthfah) laki-laki dan ovum perempuan yang bercampur. Kedua unsur itu berasal dari sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan dan keluar secara berpancaran. Firman Allah:

Dia diciptakan dari air (mani) yang terpancar, yang keluar dari antara tulang punggung (sulbi) dan tulang dada. (ath-thariq/86: 6-7)

Perkataan amsyaj (bercampur) yang terdapat dalam ayat ini maksudnya ialah bercampurnya sperma laki-laki yang berwarna keputih-putihan dengan sel telur perempuan yang kekuning-kuningan. Campuran itulah yang menghasilkan segumpal darah ('alaqah), kemudian segumpal daging (mudgah), lalu tulang belulang yang dibungkus dengan daging, dan seterusnya, sehingga setelah 9 bulan dalam rahim ibu lahirlah bayi yang sempurna.

Maksud Allah menciptakan manusia adalah untuk mengujinya dengan perintah (taklif) dan larangan, dan untuk menjunjung tegaknya risalah Allah di atas bumi ini. Sebagai ujiannya, di antaranya adalah apakah mereka bisa bersyukur pada waktu senang dan gembira, dan sabar dan tabah ketika menghadapi musuh.

Karena kelahiran manusia pada akhirnya bertujuan sebagai penjunjung amanat Allah, kepadanya dianugerahkan pendengaran dan penglihatan yang memungkinkannya menyimak dan menyaksikan kebesaran, kekuasaan, dan besarnya nikmat Allah. Manusia dianugerahi pendengaran dan akal pikiran adalah sebagai bukti tentang kekuasaan Allah. Penyebutan secara khusus pendengaran dan penglihatan dalam ayat ini bermakna bahwa keduanya adalah indra yang paling berfungsi mengamati ciptaan Allah untuk membawa manusia mentauhidkan-Nya.

Dengan alat penglihatan dan pendengaran serta dilengkapi pula dengan pikiran (akal), tersedialah dua kemungkinan bagi manusia. Apakah ia cenderung kembali kepada sifat asalnya sebagai makhluk bumi sehingga ia sama dengan makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan, atau ia cenderung untuk menjadi makhluk yang Ilahiah, yang berpikir dan memperhatikan kebesaran-Nya?

Setelah menjadi manusia yang sempurna indranya sehingga memungkinkan dia untuk memikul beban (taklif) dari Allah, maka diberikanlah kepadanya dua alternatif jalan hidup seperti disebutkan dalam ayat berikutnya.

Ayat 3

اِنَّا هَدَيْنٰهُ السَّبِيْلَ اِمَّا شَاكِرًا وَّاِمَّا كَفُوْرًا

innā hadaināhus-sabīla immā syākiraw wa immā kafūrā(n).

Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.

Ayat ini menerangkan bahwa sesungguhnya Allah telah menunjukkan manusia ke jalan yang lurus. Di antara mereka ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Dengan bimbingan wahyu-Nya yang disampaikan lewat Nabi Muhammad, manusia telah ditunjuki jalan yang lurus dan jalan yang sesat. Allah menunjukkan kepadanya kebaikan dan kejahatan.

Dari perkataan sabil yang terdapat dalam ayat ini, tergambar keinginan Allah terhadap manusia yakni membimbing mereka kepada hidayah-Nya. Kata sabil lebih tepat diartikan sebagai petunjuk daripada jalan. Hidayah itu berupa dalil-dalil keesaan Allah dan kenabian yang disebutkan dalam kitab suci.

Sabil (hidayah) itu dapat ditangkap dengan pendengaran, penglihatan, dan pikiran. Tuhan hendak menunjukkan kepada manusia bukti-bukti wujud-Nya melalui penglihatan terhadap diri mereka sendiri dan alam semesta, sehingga pikirannya merasa puas untuk mengimani-Nya.

Akan tetapi, memang sudah merupakan kenyataan bahwa terhadap pemberian Allah itu, sebagian manusia ada yang bersyukur, tetapi ada pula yang ingkar (kafir). Tegasnya ada yang menjadi mukmin, dan ada pula yang kafir. Dengan sabil itu pula manusia bebas menentukan pilihannya antara dua alternatif yang tersedia. Pada ayat lain disebutkan:

Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun. (al-Mulk/67: 2)

Firman Allah:

Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu; dan akan Kami uji perihal kamu. (Muhammad/47: 31)

Bahwa manusia diciptakan atas fitrah dan hidayah-Nya terlebih dahulu, baru kemudian datang godaan untuk mengingkari Allah, disebutkan dalam suatu ayat:

¦(sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. (ar-Rum/30: 30)



Dalam suatu hadis disebutkan:

Tiada seorang pun yang keluar (rumah), kecuali di tangannya ada dua bendera: bendera (yang satu) di tangan malaikat dan bendera (yang lain) di tangan setan. Jika seseorang keluar karena mengharapkan apa yang dicintai atau disenangi Allah, niscaya ia diikuti oleh malaikat dengan benderanya. Ia senantiasa berada di bawah bendera malaikat sampai ia kembali ke rumahnya. Dan jika seseorang keluar karena mencari apa yang dimurkai Allah, niscaya ia diikuti oleh setan dengan benderanya. Ia senantiasa berada di bawah bendera setan sampai ia kembali ke rumahnya. (Riwayat Ahmad dari Abu Hurairah)

Ayat 4

اِنَّآ اَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ سَلٰسِلَا۟ وَاَغْلٰلًا وَّسَعِيْرًا

innā a‘tadnā lil-kāfirīna salāsila wa aglālaw wa sa‘īrā(n).

Sungguh, Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala.

Ayat ini menerangkan bahwa sesungguhnya Allah telah menyediakan rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala bagi orang-orang kafir, yaitu orang yang mengingkari dan bahkan membantah, nikmat dan pemberian yang telah dianugerahkan kepadanya. Rantai dipakai untuk mengikat kaki mereka supaya tidak lari, sedang belenggu untuk merantai tangan dan leher yang diikat ke neraka. Neraka Sa'ir (yang menyala-nyala) seperti disebutkan dalam surah yang lalu adalah neraka yang nyalanya tidak dapat dibandingkan dengan jenis api mana pun di atas dunia ini. Api di dunia hanya sepertujuh puluh dari api neraka.

Ayat lain menyebutkan:

Ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret. (Gafir/40: 71)

Ayat 5

اِنَّ الْاَبْرَارَ يَشْرَبُوْنَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُوْرًاۚ

innal-abrāra yasyrabūna min ka'sin kāna mizājuhā kāfūrā(n).

Sungguh, orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur,

Ayat ini menerangkan balasan Allah kepada orang yang berbuat kebajikan, yaitu berupa minuman dari gelas yang berisikan air yang campurannya adalah air kafur, yaitu nama suatu mata air di surga yang warnanya putih, baunya sedap, dan rasanya enak.

Ayat 6

عَيْنًا يَّشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللّٰهِ يُفَجِّرُوْنَهَا تَفْجِيْرًا

‘ainay yasyrabu bihā ‘ibādullāhi yufajjirūnahā tafjīrā(n).

(yaitu) mata air (dalam surga) yang diminum oleh hamba-hamba Allah dan mereka dapat memancarkannya dengan sebaik-baiknya.

Mata air di dalam surga itu adalah sebagai minuman lezat bagi hamba-hamba Allah. Mereka pun dapat mengalirkannya dengan sesukanya.

Jadi kafur itu berasal dari mata air yang airnya diminum oleh para hamba Allah yang muqarrabin (yang dekat kepada-Nya). Mereka dapat mengalirkan air sungai itu menurut kehendak hati tanpa ada yang menghalangi. Mereka bebas menikmati air itu sepuas-puasnya. Air itu akan mengalir ke tempat-tempat yang mereka kehendaki, ke dalam kamar, mahligai, atau ke dalam kebun-kebun yang mereka inginkan.

Ayat 7

يُوْفُوْنَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُوْنَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهٗ مُسْتَطِيْرًا

yūfūna bin-nażri wa yakhāfūna yauman kāna syarruhū mustaṭīrā(n).

Mereka memenuhi nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.

Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya menyebutkan beberapa sifat orang-orang abrar (berbuat kebaikan), yaitu: mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Menunaikan nazar adalah menepati suatu kewajiban yang datang dari pribadi sendiri dalam rangka menaati Allah. Berbeda dengan kewajiban syara (agama) yang datang dari Allah, maka nazar bersifat pembebanan yang timbul karena keinginan sendiri dengan niat mensyukuri nikmat Allah. Baik nazar maupun syarak, kedua-duanya hukumnya wajib dilaksanakan.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Malik, al-Bukhari, dan Muslim dari 'Aisyah, Rasulullah saw bersabda:

Barang siapa yang bernazar menaati Allah, hendaklah ia menepati nazar itu, (tetapi) janganlah dipenuhi jika nazar itu untuk mendurhakai-Nya. (Riwayat al-Bukhari, Malik, Abu Dawud, at-Tirmidhi, an-Nasa'i dan Ibnu Majah dari 'Aisyah)

Dalam beberapa hadis dijelaskan tentang ketentuan nazar, di antaranya adalah:

1.Hadis riwayat al-Bukhari dari 'Aisyah di atas menjelaskan bahwa nazar yang bermaksud hendak menaati Allah wajib dipenuhi, sedangkan nazar dengan niat mendurhakai Allah tidak boleh dipenuhi. Demikian pula hadis-hadis riwayat at-Tirmidhi, Abu Dawud, dan an Nasa'i.

2.Rasulullah saw memerintahkan kepada Sa'ad bin Ubadah agar membayar puasa nazar yang pernah diucapkan oleh ibunya yang telah meninggal. Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Sa'ad bin Ubadah.

Selain dari menyempurnakan janji, orang abrar juga mau meninggalkan segala perbuatan terlarang (muharramat) karena takut akan dahsyatnya siksa yang harus diterima di hari Kiamat akibat mengerjakannya. Sebab pada hari itu, segala kejahatan dan kedurhakaan yang pernah dikerjakan seseorang disebarluaskan. Hanya orang-orang yang dikasihi Allah saja yang selamat dari keadaan yang mengerikan itu.

Ayat 8

وَيُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلٰى حُبِّهٖ مِسْكِيْنًا وَّيَتِيْمًا وَّاَسِيْرًا

wa yuṭ‘imūnaṭ-ṭa‘āma ‘alā ḥubbihī miskīnaw wa yatīmaw wa asīrā(n).

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan,

Disebutkan bahwa latar belakang turunnya ayat ke 8 ini berkaitan dengan seorang laki-laki Ansar bernama Abu Dahdah yang pada suatu hari mengerjakan puasa. Ketika waktu berbuka datang, berkunjunglah ke rumahnya satu orang miskin, seorang anak yatim, dan seorang tawanan. Ketiganya dijamu oleh Abu Dahdah dengan tiga potong roti. Untuk keluarga dan anak-anaknya akhirnya hanya tersedia sepotong roti padahal dia hendak berbuka puasa. Maka Allah menurunkan ayat ini.

Riwayat lain mengatakan bahwa Ali bin Abi thalib mendapat upah bekerja dengan seorang Yahudi berupa sekarung gandum. Sepertiga gandum itu dimasak, ketika siap dihidangkan datanglah seorang miskin memintanya. Tanpa berpikir panjang, Ali langsung saja memberikannya. Kemudian dimasaknya sepertiga lagi. Setelah siap dimakan, datang pula seorang anak yatim meminta bubur gandum itu. Ali pun memberikannya. Kali ketiga sisa gandum itu dimasak semuanya, dan secara kebetulan datang pula seorang tawanan yang masih musyrik dan mohon dikasihani. Ali memberikan lagi sisa bubur gandum itu, sehingga untuk dia sendiri tidak ada lagi yang tersisa. Demikianlah untuk menghargai sikap sosial itulah Allah menurunkan ayat ke 8 ini.

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang abrar memberikan makanan yang sangat diperlukan dan disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Memberikan makan dalam hal ini dapat pula berarti memberikan bantuan dan sokongan kepada orang yang memerlukan. Makanan disebutkan di sini karena merupakan kebutuhan pokok hidup seseorang. Boleh jadi pula memberikan makanan berarti berbuat baik kepada orang yang sangat membutuhkannya dengan cara dan bentuk apa pun. Boleh jadi pula yang dimaksud dengan memberikan makanan berarti pula berbuat baik kepada makhluk yang sangat memerlukannya dengan cara dan bentuk apa pun. Disebutkan secara khusus memberikan makanan karena itulah bentuk ihsan (kebaikan) yang paling tinggi nilainya.

Bentuk ihsan lain yang juga tinggi nilainya disebutkan dalam ayat lain, yakni:

Dia mengatakan, "Aku telah menghabiskan harta yang banyak." Apakah dia mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang melihatnya? Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata, lidah, dan sepasang bibir? Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan), tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar? (al-Balad/90: 6-11)

Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa memberikan bantuan (pertolongan) diutamakan kepada orang yang kuat berusaha mencari keperluan hidupnya, namun penghasilannya tidak memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Miskin juga berarti orang yang tidak berharta sama sekali dan karena keadaan fisiknya tidak memungkinkan untuk berusaha mencari nafkah hidup.

Adapun orang yang ditawan, selain berarti tawanan perang, dapat pula berarti orang yang sedang dipenjarakan (karena melanggar ketentuan syara atau berbuat kesalahan), atau budak yang belum dapat memerdekakan dirinya dan yang patut dibantu. Dengan demikian, bantuan berupa makanan kepada orang yang memerlukan tidak terbatas kepada orang Islam saja, tetapi juga non muslim. Yang perlu diingat oleh seseorang yang hendak beramal sosial seperti itu adalah keikhlasan dalam mengerjakannya tanpa pamrih.

Ayat 9

اِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللّٰهِ لَا نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاۤءً وَّلَا شُكُوْرًا

innamā nuṭ‘imukum liwajhillāhi lā nurīdu minkum jazā'aw wa lā syukūrā(n).

(sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu.

Ayat ini menerangkan keikhlasan orang-orang abrar yang menyatakan bahwa mereka memberikan makanan kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan hanya untuk mengharapkan keridaan Allah semata, tidak menghendaki balasan dan tidak pula mengharapkan ucapan terima kasih. Jadi, di saat hendak memulai usaha sosial itu hendaklah hati dan lidah berniat ikhlas karena Allah, tanpa dicampuri oleh perasaan lain yang ingin menerima balasan yang setimpal atau mengharapkan pujian dan sanjungan orang lain.

Ayat 10

اِنَّا نَخَافُ مِنْ رَّبِّنَا يَوْمًا عَبُوْسًا قَمْطَرِيْرًا

innā nakhāfu mir rabbinā yauman ‘abūsan qamṭarīrā(n).

Sungguh, kami takut akan (azab) Tuhan pada hari (ketika) orang-orang berwajah masam penuh kesulitan.”

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang abrar adalah orang yang mengerjakan segala perbuatan kebaikan seperti tersebut di atas karena takut pada azab Allah yang ditimpakan pada suatu hari yang penuh kesulitan. Mereka berbuat sosial membantu orang lain seperti memberi makanan dan lain-lain, adalah dengan harapan agar Tuhan mengasihi dan memelihara mereka dengan kasih sayang-Nya dari siksaan hari Kiamat pada saat manusia datang menemui Tuhan dengan wajah masam karena berbagai macam kesulitan dan ketakutan.

Ayat 11

فَوَقٰىهُمُ اللّٰهُ شَرَّ ذٰلِكَ الْيَوْمِ وَلَقّٰىهُمْ نَضْرَةً وَّسُرُوْرًاۚ

fa waqāhumullāhu syarra żālikal-yaumi wa laqqāhum naḍrataw wa surūrā(n).

Maka Allah melindungi mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka keceriaan dan kegembiraan.

Dijelaskan juga bahwa sebagai balasan kepada orang-orang abrar, Allah memelihara mereka dari kesusahan hari itu dan memberikan kepada mereka keceriaan wajah dan kegembiraan hati. Tampak pada wajah mereka kegembiraan yang berseri-seri sebagai tanda kepuasan hati karena anugerah Allah yang telah mereka terima. Dalam ayat lain, Allah berfirman:

Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri, tertawa dan gembira ria. ('Abasa/80: 38-39)

Ayat 12

وَجَزٰىهُمْ بِمَا صَبَرُوْا جَنَّةً وَّحَرِيْرًاۙ

wa jazāhum bimā ṣabarū jannataw wa ḥarīrā(n).

Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabarannya (berupa) surga dan (pakaian) sutera.

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah memberi mereka ganjaran karena kesabaran mereka dengan surga dan pakaian sutra. Karena kesabaran mereka dalam berbuat kebaikan, ketabahan menahan diri dari godaan nafsu, dan terkadang-kadang harus menahan lapar dan kurang pakaian (karena berbuat sosial dalam keadaan miskin), maka Allah membalasi yang demikian itu dengan kenikmatan surga dalam bentuk yang lain berupa pakaian yang terbuat dari sutra. Ayat ini sama artinya dengan firman Allah:

(Mereka akan mendapat) surga 'Adn, mereka masuk ke dalamnya, di dalamnya mereka diberi perhiasan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutra. (Fathir/35: 33)

Ayat 13

مُّتَّكِـِٕيْنَ فِيْهَا عَلَى الْاَرَاۤىِٕكِۚ لَا يَرَوْنَ فِيْهَا شَمْسًا وَّلَا زَمْهَرِيْرًاۚ

muttaki'īna fīhā ‘alal-arā'ik(i), lā yarauna fīhā syamsaw wa lā zamharīrā(n).

Di sana mereka duduk bersandar di atas dipan, di sana mereka tidak melihat (merasakan teriknya) matahari dan tidak pula dingin yang berlebihan.

Dalam ayat ini, Allah menerangkan keadaan ahli surga bahwa mereka duduk bertelekan di atas dipan. Mereka tidak merasakan teriknya matahari dan tidak pula dinginnya udara. Dipan-dipan dalam surga itu dikatakan tidak pernah ditimpa terik matahari, tidak disentuh oleh udara dingin yang menusuk sumsum tulang seperti halnya di dunia ini, akan tetapi di sana hanya ada satu iklim sejuk yang tak pernah berubah. Tidak ada yang merasakan panas maupun dingin.

Tumbuhnya pohon yang sangat rindang dan menyejukkan itu melindungi orang-orang abrar sehingga makin bertambahlah kenikmatan yang mereka peroleh. Demikian pula buah-buahan yang lezat cita rasanya, dan mudah dipetik. Mereka menikmati sambil berbaring duduk atau berdiri sesuka hati mereka.

Ayat 14

وَدَانِيَةً عَلَيْهِمْ ظِلٰلُهَا وَذُلِّلَتْ قُطُوْفُهَا تَذْلِيْلًا

wa dāniyatan ‘alaihim ẓilāluhā wa żullilat quṭūfuhā tażlīlā(n).

Dan naungan (pepohonan)nya dekat di atas mereka dan dimudahkan semudah-mudahnya untuk memetik (buah)nya.

(13-14) Dalam ayat ini, Allah menerangkan keadaan ahli surga bahwa mereka duduk bertelekan di atas dipan. Mereka tidak merasakan teriknya matahari dan tidak pula dinginnya udara. Dipan-dipan dalam surga itu dikatakan tidak pernah ditimpa terik matahari, tidak disentuh oleh udara dingin yang menusuk sumsum tulang seperti halnya di dunia ini, akan tetapi di sana hanya ada satu iklim sejuk yang tak pernah berubah. Tidak ada yang merasakan panas maupun dingin.

Tumbuhnya pohon yang sangat rindang dan menyejukkan itu melindungi orang-orang abrar sehingga makin bertambahlah kenikmatan yang mereka peroleh. Demikian pula buah-buahan yang lezat cita rasanya, dan mudah dipetik. Mereka menikmati sambil berbaring duduk atau berdiri sesuka hati mereka.

Ayat 15

وَيُطَافُ عَلَيْهِمْ بِاٰنِيَةٍ مِّنْ فِضَّةٍ وَّاَكْوَابٍ كَانَتْ قَوَارِيْرَا۠

wa yuṭāfu ‘alaihim bi'āniyatim min fiḍḍatiw wa akwābin kānat qawārīrā.

Dan kepada mereka diedarkan bejana-bejana dari perak dan piala-piala yang bening laksana kristal,

Pada ayat-ayat berikut ini, Allah menerangkan pula makanan dan minuman yang dihidangkan kepada mereka berbagai bentuk, bejana yang terbuat dari perak juga sejumlah gelas yang sangat bening laksana kaca yang berkilauan. Bejana dan gelas-gelas itu bening sekali seolah-olah kaca yang sangat indah dan tinggi sekali nilainya.

Hadis riwayat Ibnu Abi hatim dari Ibnu 'Abbas menerangkan sebagai berikut:

Tidak ada sesuatu pun dalam surga, melainkan di dunia telah dianugerahkan Allah kepadamu sesuatu yang mirip dengan itu, kecuali botol-botol yang terbuat dari perak. (Riwayat Ibnu Abi hatim dari Ibnu 'Abbas).

Dalam sebuah ayat lain disebutkan pula:

Kepada mereka diedarkan piring-piring dan gelas-gelas dari emas, dan di dalam surga itu terdapat apa yang diingini oleh hati dan segala yang sedap (dipandang) mata. Dan kamu kekal di dalamnya. (az-Zukhruf/43: 71)

Ayat 16

قَوَارِيْرَا۟ مِنْ فِضَّةٍ قَدَّرُوْهَا تَقْدِيْرًا

qawārīra min fiḍḍatin qaddarūhā taqdīrā(n).

kristal yang jernih terbuat dari perak, mereka tentukan ukurannya yang sesuai (dengan kehendak mereka).

Pada ayat-ayat berikut ini, Allah menerangkan pula makanan dan minuman yang dihidangkan kepada mereka berbagai bentuk, bejana yang terbuat dari perak juga sejumlah gelas yang sangat bening laksana kaca yang berkilauan. Bejana dan gelas-gelas itu bening sekali seolah-olah kaca yang sangat indah dan tinggi sekali nilainya.

Hadis riwayat Ibnu Abi hatim dari Ibnu 'Abbas menerangkan sebagai berikut:

Tidak ada sesuatu pun dalam surga, melainkan di dunia telah dianugerahkan Allah kepadamu sesuatu yang mirip dengan itu, kecuali botol-botol yang terbuat dari perak. (Riwayat Ibnu Abi hatim dari Ibnu 'Abbas).

Dalam sebuah ayat lain disebutkan pula:

Kepada mereka diedarkan piring-piring dan gelas-gelas dari emas, dan di dalam surga itu terdapat apa yang diingini oleh hati dan segala yang sedap (dipandang) mata. Dan kamu kekal di dalamnya. (az-Zukhruf/43: 71)

Ayat 17

وَيُسْقَوْنَ فِيْهَا كَأْسًا كَانَ مِزَاجُهَا زَنْجَبِيْلًاۚ

wa yusqauna fīhā ka'san kāna mizājuhā zanjabīlā(n).

Dan di sana mereka diberi segelas minuman bercampur jahe.

Kemudian disebutkan jenis minuman yang dihidangkan di surga, yakni mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya jahe. Maksudnya penduduk surga disuguhi minuman yang terbuat dari zanjabil, yakni sejenis tumbuhan yang lezat cita-rasanya dan tumbuh di daerah Timur Tengah dahulu kala. Biasanya zanjabil digunakan untuk wangi-wangian dan orang-orang Arab menyukainya. Ada pula yang mengatakan nama dari Bait Ma'ruf.

Menurut Ibnu 'Abbas, minuman, makanan, mata air, buah-buahan, dan lain-lain dalam surga yang disebutkan Al-Qur'an, satu pun tidak ada tandingannya. Kesamaan hanya pada namanya, sedangkan rasanya jauh lebih lezat.

Ayat 18

عَيْنًا فِيْهَا تُسَمّٰى سَلْسَبِيْلًا

‘ainan fīhā tusammā salsabīlā(n).

(Yang didatangkan dari) sebuah mata air (di surga) yang dinamakan Salsabil.

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa minuman ini didatangkan dari sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil. Mereka minum campuran zanjabil yang berasal dari sebuah sungai yang bernama salsabil. Perkataan ini sendiri dalam bahasa Arab berarti 'minuman atau makanan yang lezat dan juga berarti 'mata air yang mengalir. Akan tetapi, mufasir Ibnu 'Arabi menegaskan, "Aku tidak mendengar satu perkataan pun seperti salsabil ini melainkan di dalam Al-Qur'an saja."

Dari keterangan di atas, kita hanya dapat menyimpulkan bahwa nama seperti salsabil, zanjabil, dan sebagainya diberikan keterangan sedemikian rupa yang tidak ada bandingannya dengan yang ada di dunia. Mengenai surga, kita telah yakin bahwa dia adalah sesuatu yang baik dan penuh nikmat yang mata belum pernah melihatnya, telinga belum pernah mendengarnya. Oleh karena itu, kita tak dapat memastikan apakah betul-betul demikian makna yang dikehendaki ayat di atas.

Ayat 19

۞ وَيَطُوْفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَانٌ مُّخَلَّدُوْنَۚ اِذَا رَاَيْتَهُمْ حَسِبْتَهُمْ لُؤْلُؤًا مَّنْثُوْرًا

wa yaṭūfu ‘alaihim wildānum mukhalladūn(a), iżā ra'aitahum ḥasibtahum lu'lu'am manṡūrā(n).

Dan mereka dikelilingi oleh para pemuda yang tetap muda. Apabila kamu melihatnya, akan kamu kira mereka, mutiara yang bertaburan.

Kemudian dilanjutkan lagi bahwa penduduk surga dikelilingi pelayan-pelayan surga yang muda belia untuk selamanya. Para pelayan itu datang dan berkeliling guna melayani segala keperluan sesuai dengan permintaan penduduk surga. Mereka tetap muda, cerah, dan berseri-seri dan tidak pernah jemu dan lelah melayani penghuni surga. Begitu menarik wajah pelayan itu, cerah dan gembira, sehingga yang memandangnya melihat bagaikan mutiara bertebaran.

Ayat 20

وَاِذَا رَاَيْتَ ثَمَّ رَاَيْتَ نَعِيْمًا وَّمُلْكًا كَبِيْرًا

wa iżā ra'aita ṡamma ra'aita na‘īmaw wa mulkan kabīrā(n).

Dan apabila engkau melihat (keadaan) di sana (surga), niscaya engkau akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.

Apabila penduduk surga melihat keadaan di surga, niscaya ia akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar. Kalau dilihat surga itu menurut penuturan ayat ini bagaikan sebuah kerajaan besar yang tiada taranya, sehingga banyak penafsiran yang saling berbeda tentang pengertian kerajaan besar itu. Yang terpenting bagi kita ialah beriman dan percaya tentang adanya surga yang tidak dapat dilukiskan.

Ayat 21

عٰلِيَهُمْ ثِيَابُ سُنْدُسٍ خُضْرٌ وَّاِسْتَبْرَقٌۖ وَّحُلُّوْٓا اَسَاوِرَ مِنْ فِضَّةٍۚ وَسَقٰىهُمْ رَبُّهُمْ شَرَابًا طَهُوْرًا

‘Āliyahum ṡiyābu sundusin khuḍruw wa istabraq(un), wa ḥullū asāwira min fiḍḍah(tin), wa saqāhum rabbuhum syarāban ṭahūrā(n).

Mereka berpakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal dan memakai gelang terbuat dari perak, dan Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih (dan suci).

Kemudian dalam ayat ini diterangkan pula bahwa pakaian mereka terbuat dari sutra halus berwarna hijau, dihiasi gelang yang terbuat dari perak dan emas. Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih dan lezat cita rasanya. Sutra dan emas disebutkan secara khusus di sini karena keduanya sangat disukai manusia dan dianggap sebagai barang berharga dan simbol kemewahan. Pada ayat lain, Allah berfirman:

¦Mereka diberi hiasan gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutra halus dan sutra tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. (Itulah) sebaik-baik pahala dan tempat istirahat yang indah. (al-Kahf/18: 31)

Dibandingkan dengan kebiasaan para raja-raja di dunia ini yang memakai pakaian kebesaran bertahtakan emas dan berlian, maka kesenangan yang dinikmati dalam surga itu jauh lebih sempurna, hebat, dan nikmat, serta sifatnya kekal abadi.

Demikianlah beberapa gambaran kebahagiaan yang akan diperoleh golongan abrar di surga kelak.

Ayat 22

اِنَّ هٰذَا كَانَ لَكُمْ جَزَاۤءً وَّكَانَ سَعْيُكُمْ مَّشْكُوْرًا ࣖ

inna hāżā kāna lakum jazā'aw wa kāna sa‘yukum masykūrā(n).

Inilah balasan untukmu, dan segala usahamu diterima dan diakui (Allah).

Ayat ini menegaskan lagi bahwa sesungguhnya kenikmatan yang dianugerahkan Allah itu merupakan ganjaran bagi orang-orang abrar, karena amal perbuatan mereka di dunia disyukuri, diterima, dan diridai Allah. Inilah pemberian Allah kepada mereka sebagai balasan atas apa yang sudah mereka lakukan di dunia. Pada ayat lain, Allah berfirman:

(Kepada mereka dikatakan), "Makan dan minumlah dengan nikmat karena amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu." (al-haqqah/69: 24)

Ayat 23

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ تَنْزِيْلًاۚ

innā naḥnu nazzalnā ‘alaikal-qur'āna tanzīlā(n).

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an kepadamu (Muhammad) secara berangsur-angsur.

Dalam ayat ini diterangkan bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad dengan berangsur-angsur. Al-Qur'an diturunkan selama 22 tahun lebih secara berangsur-angsur sedikit demi sedikit. Tujuannya agar mudah dipahami, dihafal, dan diajarkan kepada para sahabat. Terkadang ayat diturunkan dengan maksud untuk menjelaskan suatu peristiwa yang terjadi yang memerlukan bimbingan dari Allah. Dengan cara berangsur-angsur itu, Al-Qur'an menjadi mantap diimani dan menambah ketakwaan mereka. Ayat ini sekaligus membantah anggapan beberapa orang bahwa Al-Qur'an merupakan sihir atau barang renungan yang bisa dipelajari, atau sebagai perkataan manusia biasa.

Ayat 24

فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ اٰثِمًا اَوْ كَفُوْرًاۚ

faṣbir liḥukmi rabbika wa lā tuṭi‘ minhum āṡiman au kafūrā(n).

Maka bersabarlah untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah engkau ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.

Dalam ayat ini, Allah menganjurkan kepada Rasul-Nya agar menghadapi celaan dan sikap permusuhan orang musyrik itu dengan sabar, dan tidak mengikuti mereka. Ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad dan orang-orang mukmin agar bersikap sabar dan tahan uji menghadapi seribu satu gangguan dalam menegakkan agama Allah. Mereka diperintahkan untuk bersabar katika pertolongan belum dating dalam menghadapi orang-orang musyrik anti-Islam. Bersabar ketika menyampaikan kebenaran Allah dalam menghadapi tantangan penuh bahaya. Sebab tantangan itu suatu kewajaran dan sikap sabar menghadapinya adalah sikap yang terpuji.

Kemudian Allah memerintahkan pula agar umat Islam tidak terbawa arus mengikuti jalan pikiran orang yang sudah hanyut dalam lautan dosa, atau orang yang sudah sangat keterlaluan memusuhi agama. Orang yang seperti itu di antaranya adalah Abu Jahal. Ketika Rasulullah saw diperintahkan untuk pertama kali mengerjakan salat, Abu Jahal berusaha menghalangi orang Islam melaksanakan perintah itu. Ia berkata, "Kalau aku lihat Muhammad salat, pasti akan aku patahkan lehernya".

Contoh yang lain adalah 'Utbah bin Rabi'ah (sahabat karib Abu Jahal). Dialah yang membujuk Nabi agar berhenti berdakwah. Suatu kali dia bersama al-Walid datang menemui Nabi sambil membujuk, "Kalau engkau bermaksud dengan kegiatan dakwah itu hendak memperoleh wanita cantik atau harta yang banyak, berhentilah dan saya berjanji akan mengawinkan engkau dengan anakku sendiri dan aku berikan kepadamu tanpa mahar." Sementara itu, al-Walid menyeru pula, "Dan saya, hai Muhammad, akan memberikan kepadamu harta sebanyak-banyaknya sampai engkau puas, asal engkau berhenti melakukan kegiatan ini."

Allah mengingatkan kepada Nabi saw dan umatnya agar tidak tergiur dengan bujukan dan rayuan itu, sebab nilai akidah dan perjuangan tidak dapat ditukar dengan kekayaan dunia. Dalam artian lain, ayat ini melarang seorang mukmin, apalagi kalau ia sebagai pemimpin umat, tergiur dengan berbagai kesenangan duniawi yang ditawarkan oleh orang-orang yang penuh dosa dan maksiat, dengan tujuan hendak mematikan gerakan dakwah. Namun yang betul-betul seratus persen bebas dari bujukan dan rayuan itu hanyalah Nabi Muhammad saw saja, karena beliau dijamin suci dan maksum dari dosa. Akan tetapi, kepada umat Islam dianjurkan untuk mengikuti apa yang dicontohkan beliau. Jangan terlalu mudah mengikuti gejolak nafsu, agar selamat dari kebinasaan, dan menemui Allah di hari Kiamat dengan lembaran amal yang putih bersih, bebas dari cela dan aib.

Ayat 25

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَّاَصِيْلًاۚ

ważkurisma rabbika bukrataw wa aṣīlā(n).

Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang.

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad supaya menyebut nama Tuhan pada waktu pagi dan petang. Maksudnya hendaklah umat Islam selalu ingat kepada Allah dalam keadaan bagaimanapun, di mana dan kapan pun, baik dengan hati maupun dengan lidah. Ada yang mengatakan bahwa maksud mengingat Allah pada waktu pagi dan petang ialah mengerjakan salat pada saat-saat itu.

Ayat 26

وَمِنَ الَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهٗ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيْلًا

wa minal-laili fasjud lahū wa sabbiḥhu lailan ṭawīlā(n).

Dan pada sebagian dari malam, maka bersujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari.

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi supaya bersujud, salat malam, dan bertasbih kepada-Nya pada bagian yang panjang pada malam hari. Perintah mengerjakan salat pada sebagian waktu malam, yakni salat Magrib dan Isya, kemudian salat Tahajud pada malam hari disebutkan juga dalam ayat lain:

Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat Tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji. (al-Isra'/17: 79)

Ayat 27

اِنَّ هٰٓؤُلَاۤءِ يُحِبُّوْنَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُوْنَ وَرَاۤءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيْلًا

inna hā'ulā'i yuḥibbūnal-‘ājilata wa yażarūna warā'ahum yauman ṡaqīlā(n)

Sesungguhnya mereka (orang kafir) itu mencintai kehidupan (dunia) dan meninggalkan hari yang berat (hari akhirat) di belakangnya.

Dalam ayat ini, Allah mencela sikap orang kafir yang mabuk kesenangan duniawi dengan melupakan hari akhirat disebabkan mereka itu menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak mempedulikan hari berat, hari akhirat.

Memang watak orang kafir itu sebenarnya cinta dunia dan takut mati, melupakan hari akhirat dan tidak mempercayai sama sekali. Dikatakan bahwa hari akhirat itu sebagai "hari yang berat" karena begitu beratnya pertanggungjawaban manusia di hadapan Allah.

Ayat 28

نَحْنُ خَلَقْنٰهُمْ وَشَدَدْنَآ اَسْرَهُمْۚ وَاِذَا شِئْنَا بَدَّلْنَآ اَمْثَالَهُمْ تَبْدِيْلًا

naḥnu khalaqnāhum wa syadadnā asrahum, wa iżā syi'nā baddalnā amṡālahum tabdīlā(n).

Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka. Tetapi, jika Kami menghendaki, Kami dapat mengganti dengan yang serupa mereka.

Dalam ayat ini, seolah-olah Allah menegur manusia yang lalai itu kenapa mereka melupakan Allah, padahal Dialah yang menciptakan mereka, menyusun dan mengatur demikian rapi tubuh mereka sehingga tidak ada celanya. Apakah setelah menciptakan mereka dengan sebaik-baiknya itu, lalu Allah membiarkan saja mereka berbuat sekehendaknya?

Oleh karena itu, Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya yang Mahamutlak untuk sewaktu-waktu melenyapkan dan mengganti mereka dengan generasi manusia yang lain. Dalam ayat lain disebutkan:

Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Cukuplah Allah sebagai pemeliharanya. (an-Nisa'/4: 132)

Demikianlah sunatullah telah berlaku di alam semesta ini sejak dahulu. Allah menghancurkan manusia-manusia yang ingkar kepada-Nya kemudian segera menggantinya dengan generasi baru. Sunatullah ini pasti akan berlaku karena manusia yang ingkar kepadanya tetap akan bermunculan sepanjang masa.

Ayat 29

اِنَّ هٰذِهٖ تَذْكِرَةٌ ۚ فَمَنْ شَاۤءَ اتَّخَذَ اِلٰى رَبِّهٖ سَبِيْلًا

inna hāżihī tażkirah(tun), faman syā'attakhaża ilā rabbihī sabīlā(n).

Sungguh, (ayat-ayat) ini adalah peringatan, maka barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) tentu dia mengambil jalan menuju kepada Tuhannya.

Dalam ayat ini, Allah kembali mengingatkan bahwa semua yang disebutkan di atas merupakan peringatan (tadhkirah) dan pengajaran (mau'idhah) bagi siapa yang ingin mendengarnya. Segala peringatan yang terkandung dalam Surah al-Insan ini merupakan bahan renungan bagi siapa yang suka belajar kepada kenyataan yang pernah terjadi. Barang siapa yang ingin kebaikan bagi pribadinya untuk kehidupan dunia dan akhirat, hendaklah ia menjadikan ayat-ayat ini sebagai peringatan. Hendaklah ia mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan taat, mengikuti segala perintah, dan menjauhi segala larangan-Nya, agar dia memperoleh rida Allah, agar ia selamat dari segala kesulitan hidup di kampung akhirat kelak.

Ayat 30

وَمَا تَشَاۤءُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًاۖ

wa mā tasyā'ūna illā ay yasyā'allāh(u), innallāha kāna ‘alīman ḥakīmā(n).

Tetapi kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali apabila Allah kehendaki Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa manusia tidak akan mencapai keselamatan itu kecuali dengan kehendak-Nya, dan bila Ia memberikan taufik kepadanya. Usaha seseorang saja tanpa ada bimbingan Allah tidak akan mencapai kebaikan dan tidak dapat menolak kejahatan.

Ayat ini ditutup dengan suatu kepastian bahwa Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Allah Mahatahu siapa di antara hamba-Nya yang berhak menerima hidayat itu sehingga dimudahkan jalan baginya dan didatangkan sebab-sebab untuk mendapatkan hidayat itu. Sebaliknya yang sering terlibat dalam perbuatan memperturutkan hawa nafsu, hidayah itu dihilangkan Allah darinya. Allah Mahabijaksana dan Mahaadil.

Ayat 31

يُّدْخِلُ مَنْ يَّشَاۤءُ فِيْ رَحْمَتِهٖۗ وَالظّٰلِمِيْنَ اَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا ࣖ

yudkhilu may yasyā'u fī raḥmatih(ī), waẓ-ẓālimīna a‘adda lahum ‘ażāban alīmā(n).

Dia memasukkan siapa pun yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya (surga). Adapun bagi orang-orang zalim disediakan-Nya azab yang pedih.

Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dia memasukkan siapa saja yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya, yaitu surga. Bagi orang zalim disediakan azab yang pedih.

Allah menunjukkan manfaat perbuatan taat kepada orang tersebut sehingga dengan perbuatan itu, dia mempersiapkan dirinya memasuki rahmat Allah berupa surga. Bagi orang-orang yang merugikan diri mereka, dan mati dalam kekafiran, Allah telah menyediakan bagi mereka di akhirat azab yang paling hebat, yaitu neraka Jahanam.

Al-Insan (31 ayat)

Ads

#HaditsPilihan

Telah mengabarkan kepada kami Sa'id bin 'Amir dari `Asma` bin 'Ubaid ia berkata: "Ada dua orang (yang dikenal) memperturutkan hawa nafsu masuk menemui Ibnu Sirin kemudian keduanya berkata; 'Wahai Abu Bakar, bolehkah kami menceritakan kepadamu suatu hadits? ', ia menjawab: 'Tidak', keduanya berkata: 'Bagaimana kalau kami membacakan kepadamu sebuah ayat dari kitab Allah?, ia ... Selengkapnya

HR. Darimi