Mencerahkan khazanah Islam

Advertisement

Jadwal Shalat
Tanggal
13/10/2024
Subuh
04:17
Terbit
05:29
Dhuha
05:56
Dhuhur
11:42
Ashar
14:46
Maghrib
17:49
Isya
18:58

الاعراف

7. Al-A'raf

Terdapat 206 ayat dan diturunkan di Mekah

Surat Al A'raaf yang berjumlah 206 ayat termasuk golongan surat Makkiyah, diturunkan sebelum turunnya surat Al An'aam dan termasuk golongan surat Assab 'uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Dinamakan Al A'raaf karena perkataan Al A'raaf terdapat dalam ayat 46 yang mengemukakan tentang keadaan orang-orang yang berada di atas Al A'raaf yaitu: tempat yang tertinggi di batas surga dan neraka.

Ayat 1

الۤمّۤصۤ ۚ

alif lām mīm ṣād.

Alif Lam Mim shad.

Mengenai tafsir ayat "Alif Lam Mim tsad", lihat jilid I Al-Qur'an dan Tafsirnya tentang tafsir permulaan surah dengan huruf-huruf hijaiyah.

Ayat 2

كِتٰبٌ اُنْزِلَ اِلَيْكَ فَلَا يَكُنْ فِيْ صَدْرِكَ حَرَجٌ مِّنْهُ لِتُنْذِرَ بِهٖ وَذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ

kitābun unzila ilaika falā yakun fī ṣadrika ḥarajum minhu litunżira bihī wa żikrā lil-mu'minīn(a).

(Inilah) Kitab yang diturunkan kepadamu (Muhammad); maka janganlah engkau sesak dada karenanya, agar engkau memberi peringatan dengan (Kitab) itu dan menjadi pelajaran bagi orang yang beriman.

Ayat ini menerangkan bahwa kitab yang diturunkan kepada Muhammad saw yang berisi bimbingan dan petunjuk, adalah untuk memberi peringatan kepada orang-orang mukmin. Muhammad janganlah sekali-kali merasa sedih menghadapi tantangan, perlawanan, ejekan dan hal-hal yng lain dari kaum musyrikin, dalam menyampaikan risalah yang telah ditugaskan kepadanya. Hendaklah dia bersabar menghadapinya. Adanya tantangan dari kaum musyrikin sehingga dada Muhammad saw akan menjadi sesak karenanya telah diketahui oleh Allah sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan. (al-hijr/15: 97)

Tetapi ia diperintahkan agar bersabar, tetap teguh hati menghadapi mereka sebagaimana halnya rasul-rasul sebelumnya.

Firman Allah:

Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati¦ (al-Ahqaf/46: 35)

Kitab tersebut harus dijadikan pelajaran dan peringatan bagi orang-orang mukmin, karena peringatan itu akan membawa manfaat dan pengaruh kepada mereka.

Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin. (Adz-dzariyat/51: 55)

Ayat 3

اِتَّبِعُوْا مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَۗ قَلِيْلًا مَّا تَذَكَّرُوْنَ

ittabi‘ū mā unzila ilaikum mir rabbikum wa lā tattabi‘ū min dūnihī auliyā'(a), qalīlam mā tażakkarūn(a).

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.

Pada ayat ini ada perintah agar orang-orang mukmin mengikuti apa yang telah diturunkan kepada Muhammad oleh Allah yang menguasai dan mengatur segala gerak-gerik mereka, baik perintah itu menyuruh untuk mengerjakan sesuatu, maupun melarang mengerjakan sesuatu, karena apa yang telah diperintahkan-Nya mengandung kebaikan, kebenaran, kesejahteraan dan kebahagiaan. Dan, janganlah sekali-kali mereka mengikuti ajaran-ajaran selain dari ajaran Allah, begitu pula ajakan-ajakan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan-Nya, karena yang demikian itu membahayakan mereka dan akan membawa pengikut-pengikutnya ke jalan yang sesat dan merusak akidah/akhlaknya dan sebagainya. Sekalipun hal-hal tersebut di atas telah menjadi kenyataan, dan disaksikan oleh mata kepala sendiri, tidaklah banyak orang yang menyadarinya, mengambil pelajaran dan iktibar daripadanya, bahkan ia tetap mengikuti keinginan nafsunya, dan ajakan setan yang dipertuannya.

Ayat 4

وَكَمْ مِّنْ قَرْيَةٍ اَهْلَكْنٰهَا فَجَاۤءَهَا بَأْسُنَا بَيَاتًا اَوْ هُمْ قَاۤىِٕلُوْنَ

wa kam min qaryatin ahlaknāhā fa jā'ahā ba'sunā bayātan au hum qā'ilūn(a).

Betapa banyak negeri yang telah Kami binasakan, siksaan Kami datang (menimpa penduduk)nya pada malam hari, atau pada saat mereka beristirahat pada siang hari.

Ayat ini menerangkan bahwa tidak sedikit negeri yang telah dimusnahkan dan penduduknya dibinasakan karena kedurhakaannya. Mereka menentang, membangkang dan mendustakan para rasul Allah yang diutus kepadanya untuk memberi kabar gembira dan peringatan. firman Allah:

Maka betapa banyak negeri yang telah Kami binasakan karena (penduduk)nya dalam keadaan zalim, sehingga runtuh bangunan-bangunannya dan (betapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi (tidak ada penghuninya). (al-hajj/22: 45)

Dan betapa banyak (penduduk) negeri yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya yang telah Kami binasakan, maka itulah tempat kediaman mereka yang tidak didiami (lagi) setelah mereka, kecuali sebagian kecil. Dan Kamilah yang mewarisinya. (al-Qashash/28: 58)

Apabila suatu negeri akan dimusnahkan, maka datanglah azab dan siksaan Allah kepada penduduk negeri itu dalam keadaan mereka sedang lengah dan tidak menduga sama sekali, karena tidak ada tanda-tanda sebelumnya. Adakalanya siksaan itu datang di waktu malam, di waktu mereka bersenang-senang, merasa aman sebagaimana halnya kaum Nabi Luth. Adakalanya datang di waktu siang, di kala mereka istirahat tidur sebagaimana halnya kaum Nabi Syu'aib.

Allah berfirman:

¦ Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan berhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya azab Kami pada waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman)nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepada orang yang berpikir. (Yunus/10: 24)

Firman-Nya:

Maka apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang malam hari ketika mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang pada pagi hari ketika mereka sedang bermain? (al-A'raf/7: 97-98)

Ayat 5

فَمَا كَانَ دَعْوٰىهُمْ اِذْ جَاۤءَهُمْ بَأْسُنَآ اِلَّآ اَنْ قَالُوْٓا اِنَّا كُنَّا ظٰلِمِيْنَ

famā kāna da‘wāhum iż jā'ahum ba'sunā illā an qālū innā kunnā ẓālimīn(a).

Maka ketika siksaan Kami datang menimpa mereka, keluhan mereka tidak lain, hanya mengucap, “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.”

Ayat ini menerangkan bahwa umat yang telah ditimpa siksa itu, tidak lain keluhannya kecuali mereka mengakui kezaliman, kesalahan dan kedurhakaan yang telah mereka perbuat. Ketika itulah baru mereka sadar dan menyesal, serta mengharapkan sesuatu jalan yang dapat mengeluarkan mereka dari bencana yang telah menimpa itu. Kesadaran dan penyesalan mereka tentunya tidak akan bermanfaat dan tidak ada gunanya lagi; sebagaimana firman Allah:

Dan berapa banyak (penduduk) negeri yang zalim yang telah Kami binasakan, dan Kami jadikan generasi yang lain setelah mereka itu (sebagai penggantinya). Maka ketika mereka merasakan azab Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri dari (negerinya) itu. Janganlah kamu lari tergesa-gesa; kembalilah kamu kepada kesenangan hidupmu dan tempat-tempat kediamanmu (yang baik), agar kamu dapat ditanya. Mereka berkata, "Betapa celaka kami, sungguh, kami orang-orang yang zalim." Maka demikianlah keluhan mereka berkepanjangan, sehingga mereka Kami jadikan sebagai tanaman yang telah dituai, yang tidak dapat hidup lagi. (al-Anbiya'/21: 11-15)

Ayat 6

فَلَنَسْـَٔلَنَّ الَّذِيْنَ اُرْسِلَ اِلَيْهِمْ وَلَنَسْـَٔلَنَّ الْمُرْسَلِيْنَۙ

fa lanas'alannal-lażīna ursila ilaihim wa lanas'alannal-mursalīn(a).

Maka pasti akan Kami tanyakan kepada umat yang telah mendapat seruan (dari rasul-rasul) dan Kami akan tanyai (pula) para rasul,

Ayat ini menerangkan bahwa di akhirat nanti, semua umat yang telah diutus seorang rasul kepada mereka akan ditanya, sebagaimana firman Allah:

Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu. (al-hijr/15: 92-93)

Lebih dahulu ditanyakan tentang rasul-rasul yang telah diutus kepada mereka, kemudian disusul dengan pertanyaan sampai di mana mereka telah merespon dan melaksanakan seruan para rasul itu. Firman Allah:

Wahai golongan jin dan manusia! Bukankah sudah datang kepadamu rasul-rasul dari kalanganmu sendiri, mereka menyampaikan ayat-ayat-Ku kepadamu dan memperingatkanmu tentang pertemuan pada hari ini? Mereka menjawab, "(Ya), kami menjadi saksi atas diri kami sendiri." Tetapi mereka tertipu oleh kehidupan dunia dan mereka telah menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang kafir. (al-An'am/6: 130)

Firman-Nya:

(Ingatlah), pada hari ketika Allah mengumpulkan para rasul, lalu Dia bertanya (kepada mereka), "Apa jawaban (kaummu) terhadap (seruan)mu?" (al-Ma'idah/5: 109)

Pertanyaan itu diajukan kepada orang-orang yang durhaka, dan pembuat maksiat bukan karena Allah tidak tahu atau belum tahu keadaannya, tetapi semua itu dilakukan semata-mata untuk mendapatkan pengakuan mereka atas adanya rasul yang telah diutus kepada mereka dan untuk menampakkan cela dan aib mereka, sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak disiksa atau dimasukkan ke dalam neraka.

Imam ar-Razi berkata, sebenarnya mereka ditanya bukanlah mengenai amal yang telah diperbuatnya di dunia, karena semua itu telah diketahui melalui catatan malaikat yang ditugaskan untuk itu, sehingga tidak ada suatu perbuatan manusia dari yang sebesar-besarnya sampai yang sekecil-kecilnya yang luput dari catatannya, tetapi yang ditanyakan ialah sebab yang mengakibatkan mereka meninggalkan perintah Allah. Ayat ini tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang menerangkan bahwa tidak akan ditanyakan dosa manusia dan jin dan dosa orang-orang yang berbuat maksiat, seperti dalam firman Allah:

Maka pada hari itu manusia dan jin tidak ditanya tentang dosanya. (ar-Rahman/55: 39)

dan firman-Nya:

Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka. (al-Qashash/28: 78)

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa bukan saja umat yang telah diutus Rasul kepada mereka yang ditanya sampai di mana mereka melaksanakan seruan rasul itu, tetapi juga rasul-rasul yang telah diutus kepada suatu umat akan ditanya sampai di mana seruan mereka disambut baik dan dilaksanakan oleh umatnya sebagaimana firman Allah:

(Ingatlah), pada hari ketika Allah mengumpulkan para rasul, lalu Dia bertanya (kepada mereka), "Apa jawaban (kaummu) terhadap (seruan)mu?" (al-Ma'idah/5: 109)

Pertanyaan yang ditujukan kepada rasul di akhirat nanti, adalah pertanyaan yang jawabannya merupakan pengakuan dan kesaksian atas seruan yang telah disampaikan kepada umatnya, dan pembangkangan umat atas isi seruan ini.

Ayat 7

فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَّمَا كُنَّا غَاۤىِٕبِيْنَ

fa lanaquṣṣanna ‘alaihim bi‘ilmiw wa mā kunnā gā'ibīn(a).

dan pasti akan Kami beritakan kepada mereka dengan ilmu (Kami) dan Kami tidak jauh (dari mereka).

Ayat ini menerangkan bahwa kepada mereka, baik kepada rasul-rasul maupun kepada umat yang telah menerima seruan rasul, akan diceritakan kelak hal-hal yang telah mereka perbuat karena semua itu telah diketahui Allah, dan semuanya telah dicatat di dalam buku catatan malaikat pencatat. Tidak ada sesuatu pun yang luput dari pencatatan malaikat, sebagaimana firman Allah:

¦ dan mereka berkata, "Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya," dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang jua pun. (al-Kahf/18: 49)

Allah selalu menyaksikan gerak-gerik dan segala perbuatan mereka pada setiap waktu. Allah mendengar apa yang mereka katakan, melihat apa yang mereka lakukan, mengetahui semua perbuatan mereka, baik yang mereka lakukan secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Allah berfirman:

¦ karena Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak diridai-Nya. Dan Allah Maha Meliputi terhadap apa yang mereka kerjakan. (an-Nisa'/4: 108)

Pertanyaan ini bukanlah untuk meminta penjelasan tentang sesuatu yang tidak diketahui Allah, tetapi semata-mata untuk mencela perbuatan dan kelakuan mereka.

Ayat 8

وَالْوَزْنُ يَوْمَىِٕذِ ِۨالْحَقُّۚ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِيْنُهٗ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

wal-waznu yauma'iżinil-ḥaqq(u), faman ṡaqulat mawāzīnuhū fa ulā'ika humul-mufliḥūn(a).

Timbangan pada hari itu (menjadi ukuran) kebenaran. Maka barangsiapa berat timbangan (kebaikan)nya, mereka itulah orang yang beruntung,

Ayat ini menerangkan adanya timbangan di akhirat nanti. Timbangan ini wajib kita percayai karena dengan timbangan itulah akan diketahui besar kecilnya, berat ringannya amal seseorang. Timbangan di akhirat nanti adalah timbangan yang seadil-adilnya dan tak mungkin terjadi kecurangan dalam timbangan itu.

Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit. (al-Anbiya'/21: 47)

Barang siapa berat timbangan amalnya, karena iman yang dimilikinya adalah iman yang sebenarnya. Ibadahnya kepada Allah dilakukan sebanyak mungkin penuh dengan khusuk dan ikhlas, dan hubungannya dengan sesama manusia baik sekali. Dia banyak menolong orang yang memerlukan pertolongan, membantu pembangunan masjid, madrasah, pesantren dan bangunan-bangunan lain yang digunakan memperbaiki dan meningkatkan akhlak umat, memelihara anak yatim, dan lain sebagainya. Manusia yang demikian inilah yang akan beruntung di akhirat nanti, merasa puas menerima semua balasan amalnya di dunia sebagaimana firman Allah:

Artinya:

Maka adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (senang). (al-Qari'ah/101: 6-7)

Ayat 9

وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِيْنُهٗ فَاُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ خَسِرُوْٓا اَنْفُسَهُمْ بِمَا كَانُوْا بِاٰيٰتِنَا يَظْلِمُوْنَ

wa man khaffat mawāzīnuhū fa ulā'ikal-lażīna khasirū anfusahum bimā kānū bi'āyātinā yaẓlimūn(a).

dan barangsiapa ringan timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang yang telah merugikan dirinya sendiri, karena mereka mengingkari ayat-ayat Kami.

Barang siapa yang ringan timbangan amalnya, karena keingkarannya, imannya lemah sehingga ia banyak melakukan pelanggaran agama; ibadah ditinggalkan; amal-amal kebaikan disia-siakan, dan yang digemarinya adalah larangan-larangan agama, banyak menipu, menyakiti hati sesama manusia, memusuhi tetangganya, menyia-nyiakan anak yatim, membiarkan orang-orang sekelilingnya lapar dan menderita, asal dia kenyang dan senang. Manusia yang seperti ini akan merugi di akhirat nanti, dan akan dimasukkan ke dalam api neraka yang membara, seperti firman Allah:

Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas. (al-Qari'ah/101: 8-11)

Yang ditimbang ialah amal perbuatan, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Ishak az-Zajjaj, "Telah sepakat ahlu sunnah tentang adanya timbangan itu, dan amal perbuatan hamba itulah yang ditimbang di akhirat nanti. Timbangan itu mempunyai lidah dan dua daun neraca timbangan." Pernyataan Abu Ishak ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad saw:

"Diletakkanlah timbangan-timbangan itu di Hari Kiamat, maka ditimbanglah amal kebaikan dan amal kejahatan. Barang siapa lebih berat timbangan kebaikannya dari timbangan kejahatannya, sekali pun seberat butir biji, maka masuklah ia ke dalam surga, dan barang siapa timbangan kejahatannya lebih berat dari timbangan kebaikannya, sekalipun seberat butir biji masuklah ia ke dalam neraka." (Riwayat Abu Daud dan at-Tirmidzi dari Jabir r.a.)

Ayat 10

وَلَقَدْ مَكَّنّٰكُمْ فِى الْاَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيْهَا مَعَايِشَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ ࣖ

wa laqad makkannākum fil-arḍi wa ja‘alnā lakum fīhā ma‘āyisy(a), qalīlam mā tasykurūn(a).

Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi dan di sana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.

Pada ayat ini Allah menegaskan sebagian dari sekian banyak karunia yang telah dianugerahkan kepada hamba-Nya yaitu bahwa Dia telah menyediakan bumi ini untuk manusia tinggal dan berdiam di atasnya, bebas berusaha dalam batas-batas yang telah digariskan, diberi perlengkapan kehidupan. Kemudian disempurnakan-Nya dengan bermacam-macam perlengkapan lain agar mereka dapat hidup di bumi dengan senang dan tenang, seperti tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam macamnya, binatang-binatang, baik yang boleh dimakan maupun yang tidak, burung baik di udara atupun di darat, ikan baik di laut, di danau maupun di tempat-tempat pemeliharan ikan lainnya, air tawar untuk diminum, dipergunakan mencuci pakaian dan keperluan lainnya, minuman dan makanan yang bermacam rasa dan aromanya untuk memenuhi selera masing-masing. Bahkan semua yang ada di bumi ini adalah diperuntukkan bagi manusia, sebagaimana firman Allah:

Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu. (al-Baqarah/2: 29)

Untuk memenuhi keperluan hidup seseorang tentu tidak akan bisa terus menetap di satu tempat, tetapi ia berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, untuk itu disediakan bagi mereka alat pengangkutan dan perhubungan yang bermacam-macam yang berkembang dan maju sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk dipergunakan mereka seperti mobil dengan segala macam bentuk dan keindahannya, kapal terbang, kapal laut, dan kapal selam, kereta api dan lain sebagainya yang tak terhitung banyaknya. Tidak seorang pun manusia yang dapat memberi angka pasti tentang banyaknya karunia itu sekalipun dengan komputer. Allah berfirman:

Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. (Ibrahim/14: 34)

Semua karunia dan nikmat tersebut di atas adalah untuk memenuhi keperluan hidup jasmani baik secara perorangan maupun secara berkelompok yang akan dijadikan batu loncatan untuk memenuhi dan menjaga kesejahteraan hidup rohani guna kesucian diri dan mempersiapkan diri untuk hidup kekal di akhirat nanti serta memperoleh nikmat dan kebahagian abadi yang tak berkesudahan. Atas semua karunia dan nikmat yang tak terhitung banyaknya itu maka wajiblah manusia bersyukur, mensyukuri penciptanya, yaitu Allah swt, dan janganlah sekali-kali dia mengingkarinya, sebagaimana firman Allah:

Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku. (al-Baqarah/2: 152)

Alangkah sedikitnya manusia yang dapat menyadari dan menginsyafi hal tersebut. Pada umumnya manusia menganggap bahwa yang dicapai dan diperolehnya itu adalah hasil dari kecerdasan otaknya, kesungguhan usahanya, bukan dari Allah dan sedikit dari mereka yang bersyukur:

Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur. (Saba'/34: 13)

Bersyukur kepada Allah tidak cukup dengan hanya mengucapkan Alhamdulillah wasysyukru lillah; tetapi harus diiringi dengan amal perbuatan yaitu dengan cara mendayagunakan nikmat tersebut dalam hal-hal yang diridai dan disukai Allah, bermanfaat bagi sesama manusia serta menaati segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.

Ayat 11

وَلَقَدْ خَلَقْنٰكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنٰكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ لَمْ يَكُنْ مِّنَ السّٰجِدِيْنَ

wa laqad khalaqnākum ṡumma ṣawwarnākum ṡumma qulnā lil-malā'ikatisjudū li'ādama fa sajadū illā iblīs(a), lam yakum minas-sājidīn(a).

Dan sungguh, Kami telah menciptakan kamu, kemudian membentuk (tubuh)mu, kemudian Kami berfirman kepada para malaikat, “Bersujudlah kamu kepada Adam,” maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia (Iblis) tidak termasuk mereka yang bersujud.

Pada ayat ini diterangkan bahwa Allah telah menciptakan Adam a.s. yang akan disusul oleh keturunannya. Tentang penciptaan manusia, Al-Qur'an telah menceritakan secara rinci, baik penciptaan manusia pertama, yaitu Adam, maupun penciptaan keturunannya. Tentang penciptaan Adam, Al-Qur'an telah menginformasikan bahwa Nabi Adam diciptakan melalui empat tahapan sebelum tahapan penghembusan roh. Keempat tahapan tersebut ialah: a. Fase Turab, b. Fase thin, c. Fase hama' Masnun, dan d. Fase shalshal. Berikut penjelasannya.

Fase Pertama: Fase Tanah yang belum bercampur air (turab)

Ada beberapa ayat yang menjelaskan tentang fase ini sebagaimana yang terdapat pada Surah al-Kahf/18: 37, al-hajj/22: 5, ar-Rum/30: 20, Fajir/35: 11, Gafir/40: 67, dan Ali 'Imran/3: 59. Dua dari enam tempat tersebut berada pada surah Madaniyah, yaitu Ali 'Imran/3 dan al-hajj/22, selebihnya adalah pada surah-surah Makiyah.

Salah satu di antara ayat-ayat tersebut adalah:

Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah, seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka jadilah sesuatu itu. (Ali 'Imran/3: 59).

Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan dari Abu Daud dan at-Tirmidzi disebutkan bahwa tanah yang menjadi bahan pokok untuk menciptakan Adam adalah diambil dari berbagai macam dan warna tanah yang terdapat pada seluruh lapisan tanah.

Dalam hadis tersebut disebutkan:

Allah menciptakan Adam dari satu genggaman (tanah) yang diambil dari seluruh penjuru bumi. Oleh karena itu, keturunan Adam sesuai dengan (warna) bumi. Di antara mereka ada yang berwarna merah, putih dan hitam (al-Khazin II: 118). Watak manusia juga berbeda, ada yang lemah lembut dan adapula yang keras.

Bermacam warna kulit manusia ditegaskan pada Surah ar-Rum/30: 22 yang berbunyi:

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (ar-Rum/30: 22)

Fase Kedua: Fase Tanah yang bercampur air (thin)

Fase kedua ini terdapat pada 8 tempat di 7 surah, yaitu: al-An'am/6: 2, al-A'raf/7: 12, al-Mu'minun/23: 12, as-Sajdah/32: 7, ash-shaffat/37: 11, shad/38: 71, 76, dan al-Isra'/17: 61. Seluruhnya adalah surah-surah Makiyah.

Salah satu di antara ayat-ayat tersebut ialah:

Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian Dia menetapkan ajal (kematianmu)¦ (al-An'am/6: 2)

Fase thin atau tanah liat adalah fase dimana setelah tanah dicampur dengan air. Karena air adalah prasyarat bagi semua makhluk yang hidup.

Fase Ketiga: Fase Lumpur hitam (hama' Masnun)

Fase ini terjadi setelah fase kedua berlangsung lama sehingga menjadi Lumpur hitam yang berbau dan berubah bentuk.

Fase ini disebutkan tiga kali dalam Surah al-hijr/15, yaitu pada ayat 26, 28 dan 33. Ayat 26 berbunyi:

Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk. (al-hijr/15: 26)

Fase Keempat: Fase Tembikar (shalshal kal Fakhkhar)

Fase ini diceritakan oleh Al-Qur'an pada empat tempat. Tiga tempat pada Surah al-hijr yang bersamaan dengan fase ketiga. Sedangkan yang keempat terdapat pada Surah ar-Rahman/55: 14.

Dalam surah ini, Allah berfirman:

Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar. (ar-Rahman/55: 14)

Lumpur hitam (hama' masnun) seperti pada fase ketiga, lalu diberi bentuk sebagaimana manusia dalam keadaan berlubang atau kosong.

Bentuk manusia yang diciptakan Allah adalah bentuk yang terbaik dari hewan-hewan yang ada. Dalam Surah At-Tin/95: 4, Allah berfirman:

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.(at-Tin/95: 4)

Keadaan ini (calon manusia yang sudah dibentuk) jika kering karena panas matahari misalnya, dinamakan shalshal. Dinamakan demikian karena benda ini jika tertiup angin akan bersuara (shalshalah).

Setelah fase ini, barulah masuk fase berikutnya, yaitu fase penghembusan roh dimana "orang-orangan" dari tanah liat itu, atas izin Allah, akhirnya menjadi manusia yang hidup dan bisa bergerak yang disebut dengan "basyar" (al-Khazin III: 64, al-Maragi XIV: 21).

Ayat 12

قَالَ مَا مَنَعَكَ اَلَّا تَسْجُدَ اِذْ اَمَرْتُكَ ۗقَالَ اَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُۚ خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَّارٍ وَّخَلَقْتَهٗ مِنْ طِيْنٍ

qāla mā mana‘aka allā tasjuda iż amartuk(a), qāla ana khairum minh(u), khalaqtanī min nāriw wa khalaqtahū min ṭīn(in).

(Allah) berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud (kepada Adam) ketika Aku menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”

Allah bertanya kepada Iblis, "Apakah gerangan yang menyebabkan kamu membangkang perintah kami, enggan sujud kepada Adam ketika Kami memerintahkan yang demikian itu? Dengan penuh kesombongan setan menjawab, "Saya tidak akan sujud kepada Adam untuk menghormatinya, karena saya lebih tinggi dan lebih mulia dari Adam, saya Engkau ciptakan dari api sedang Adam Engkau ciptakan dari tanah". Iblis menganggap api itu lebih mulia dari tanah.

Ayat 13

قَالَ فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُوْنُ لَكَ اَنْ تَتَكَبَّرَ فِيْهَا فَاخْرُجْ اِنَّكَ مِنَ الصّٰغِرِيْنَ

qāla fahbiṭ minhā famā yakūnu laka an tatakabbara fīhā fakhruj innaka minaṣ-ṣāgirīn(a).

(Allah) berfirman, “Maka turunlah kamu darinya (surga); karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya. Keluarlah! Sesungguhnya kamu termasuk makhluk yang hina.”

Setelah Allah melihat tingkah laku Iblis yang menyombongkan diri, karena menganggap bahwa dia lebih mulia dari Adam a.s. yang menyebabkan dia durhaka dan membangkang dan tidak taat pada perintah-Nya, maka ia diperintahkan oleh Allah agar turun dari surga, tempat dia berada waktu itu, karena tempat itu adalah diperuntukkan bagi hamba-Nya yang ikhlas dan rendah hati dan bukanlah tempat untuk memperlihatkan keangkuhan dan kesombongan. Kemudian disusul dengan perintah agar dia keluar dari tempat itu, karena dia telah termasuk makhluk yang hina tidak sesuai dengan tempat yang mulia dan terhormat itu.

Ayat 14

قَالَ اَنْظِرْنِيْٓ اِلٰى يَوْمِ يُبْعَثُوْنَ

qāla anẓirnī ilā yaumi yub‘aṡūn(a).

(Iblis) menjawab, “Berilah aku penangguhan waktu, sampai hari mereka dibangkitkan.”

Ketika Iblis mendengar perintah Allah itu agar ia turun dan keluar dari surga, maka Iblis minta dipanjangkan umurnya dan jangan dimatikan dahulu, begitu juga keturunannya sampai hari kebangkitan di hari kemudian, agar waktu yang cukup lama dan panjang itu dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk menggoda dan menyesatkan Adam dan anak-cucunya selama hidup di dunia.

Ayat 15

قَالَ اِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِيْنَ

qāla innaka minal-munẓarīn(a).

(Allah) berfirman, “Benar, kamu termasuk yang diberi penangguhan waktu.”

Permintaan Iblis agar tetap hidup bersama keturunannya selama anak-cucu Adam masih ada di dunia diperkenankan Allah sampai pada tiupan sangkakala pertama saja, ketika semua penghuni bumi ini mati sekaligus, termasuk Iblis dan keturunannya, dan isinya hancur musnah. Pada tiupan sangkakala kedua, semua manusia akan hidup kembali dan bangkit dari kematian.

Firman Allah:

(Iblis) berkata, "Ya Tuhanku, tangguhkanlah aku sampai pada hari mereka dibangkitkan." (Allah) berfirman, "Maka sesungguhnya kamu termasuk golongan yang diberi penangguhan, sampai pada hari yang telah ditentukan waktunya (hari Kiamat)." (shad/38: 79-81)

Firman-Nya lagi:

Dan sangkakala pun ditiup, maka matilah semua (makhluk) yang di langit dan di bumi kecuali mereka yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sekali lagi (sangkakala itu) maka seketika itu mereka bangun (dari kuburnya) menunggu (keputusan Allah). (az-Zumar/39: 68)

Ayat 16

قَالَ فَبِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَۙ

qāla fabimā agwaitanī la'aq‘udanna lahum ṣirāṭakal-mustaqīm(a).

(Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus,

Ayat ini menerangkan ancaman Iblis kepada Adam dan anak-cucunya. Karena Allah telah menghukum Iblis akibat keangkuhan dan kesombongannya sendiri, maka ia bersumpah akan berusaha sekuat tenaga menghalangi anak-cucu Adam dari jalan yang lurus untuk menyesatkan mereka sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

(Iblis) menjawab, "Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya". (shad/38: 82)

Iblis akan berusaha mencegah dan menghalang-halangi anak cucu Adam a.s. menempuh jalan yang lurus, jalan yang hak, jalan yang diridai Allah, jalan yang akan menyampaikan mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ayat 17

ثُمَّ لَاٰتِيَنَّهُمْ مِّنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ اَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَاۤىِٕلِهِمْۗ وَلَا تَجِدُ اَكْثَرَهُمْ شٰكِرِيْنَ

Ṡumma la'ātiyannahum mim baini aidīhim wa min khalfihim wa ‘an aimānihim wa ‘an syamā'ilihim, wa lā tajidu akṡarahum syākirīn(a).

kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”

Iblis melihat bahwa sekedar menghalang-halangi anak-cucu Adam a.s. menempuh jalan yang lurus tidaklah cukup, karena itu dia akan mendatangi dan menyerbunya dari segala penjuru; dari depan dan dari belakang; dari arah kanan dan kiri, yang menurutnya ada kelemahan anak cucu Adam. Iblis yakin dengan strategi seperti itu banyak dari mereka yang akan tergoda, terpengaruh dan teperdaya sehingga iman yang ada di dada mereka menjadi lemah dan luntur, ajaran agama berangsur-angsur diragukan dan didustakan, hari Kiamat dan segala peristiwanya diingkari, amal-amal kebaikan ditinggalkan. Mereka tidak sanggup menguasai hawa nafsu, sebaliknya merekalah yang dikuasai oleh hawa nafsu, Allah memperingatkan dengan firman-Nya:

"Sungguh, Aku akan memenuhi neraka Jahanam dengan kamu dan dengan orang-orang yang mengikutimu di antara mereka semuanya." (shad/38: 85)

Rencana dan target Iblis seperti tersebut di atas, benar-benar berhasil:

Dan sungguh, Iblis telah dapat meyakinkan terhadap mereka kebenaran sangkaannya mereka, lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian dari orang-orang mukmin. (Saba'/34: 20)

Ayat 18

قَالَ اخْرُجْ مِنْهَا مَذْءُوْمًا مَّدْحُوْرًا ۗ لَمَنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ لَاَمْلَـَٔنَّ جَهَنَّمَ مِنْكُمْ اَجْمَعِيْنَ

qālakhruj minhā maż'ūmam madḥūrā(n), laman tabi‘aka minhum la'amla'anna jahannama minkum ajma‘īn(a).

(Allah) berfirman, “Keluarlah kamu dari sana (surga) dalam keadaan terhina dan terusir! Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka ada yang mengikutimu, pasti akan Aku isi neraka Jahanam dengan kamu semua.”

Ayat ini menerangkan sekali lagi, tentang laknat Allah terhadap Iblis dan mengusirnya keluar dari surga dalam keadaan hina dan terkutuk. Barang siapa dari anak cucu Adam terpengaruh oleh Iblis dan mereka mengikuti kemauannya, menempuh jalan sesat, menyeleweng dari akidah tauhid kepada kepercayaan syirik, mereka akan dimasukkan-Nya bersama Iblis ke dalam neraka. Firman Allah:

(Iblis) menjawab, "Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka." (shad/38: 82-83)

Ayat 19

وَيٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ فَكُلَا مِنْ حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظّٰلِمِيْنَ

wa yā ādamuskun anta wa zaujukal-jannata fa kulā min ḥaiṡu syi'tumā wa lā taqrabā hāżihisy-syajarata fa takūnā minaẓ-ẓālimīn(a).

Dan (Allah berfirman), “Wahai Adam! Tinggallah engkau bersama istrimu dalam surga dan makanlah apa saja yang kamu berdua sukai. Tetapi janganlah kamu berdua dekati pohon yang satu ini. (Apabila didekati) kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim.”

Ayat ini menerangkan bahwa setelah Allah memerintahkan Iblis keluar dari surga karena keangkuhan dan kesombongannya, maka Dia menyuruh Adam agar menempati surga bersama istrinya Siti Hawa, dan membolehkan mereka makan segala yang ada di dalamnya dengan sepuas-puasnya kecuali satu pohon tertentu di dalamnya. Apabila mereka melanggar larangan itu, maka mereka berarti zalim karena telah melakukan pelanggaran.

Ayat 20

فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطٰنُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وٗرِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْءٰتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهٰىكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هٰذِهِ الشَّجَرَةِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَا مَلَكَيْنِ اَوْ تَكُوْنَا مِنَ الْخٰلِدِيْنَ

fa waswasa lahumasy-syaiṭānu liyubdiya lahumā mā wūriya ‘anhumā min sau'ātihimā wa qāla mā nahākumā rabbukumā ‘an hāżihisy-syajarati illā an takūnā malakaini au takūnā minal-khālidīn(a).

Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepada mereka agar menampakkan aurat mereka (yang selama ini) tertutup. Dan (setan) berkata, “Tuhanmu hanya melarang kamu berdua mendekati pohon ini, agar kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).”

Ketika Iblis mengetahui dan melihat kebebasan yang diberikan kepada Adam dan istrinya begitu luas di dalam surga, dan kesenangan yang begitu banyak ia merasa tidak senang dan timbul rasa dengki dan bencinya. Mulailah dia berupaya untuk menipu Adam dan isterinya, agar kebebasan dan kesenangan yang diberikan Allah kepada Adam dan istrinya di dalam surga hilang dan lepas dari padanya. Akhirnya dia menemukan suatu cara, lalu dibisikkannya ke telinga keduanya: "Wahai Adam, tahukah kamu kenapa Allah melarang kamu bedua mendekati pohon itu dan makan buahnya? Sebenarnya larangan itu dimaksudkan agar kamu berdua tidak seperti malaikat yang mempunyai kelebihan dibanding dengan makhluk yang lain seperti kekuatan hidup sepanjang masa, tidak mati dan sebagainya, dan agar kamu tidak tetap dan tinggal di surga secara bebas dan bersenang-senang dengan sepuas hatimu. Jadi kalau kamu berdua ingin menjadi seperti malaikat dan tetap diam di surga ini dengan senang dan tenang disertai dengan kebebasan yang penuh, maka makanlah buah pohon yang dilarang kamu mendekatinya itu".

Ayat 21

وَقَاسَمَهُمَآ اِنِّيْ لَكُمَا لَمِنَ النّٰصِحِيْنَۙ

wa qāsamahumā innī lakumā laminan-nāṣiḥīn(a).

Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, “Sesungguhnya aku ini benar-benar termasuk para penasihatmu,”

Untuk menguatkan bisikan jahat dan tipu dayanya itu dia bersumpah kepada Adam dan Hawa, bahwa dia sebenarnya adalah pemberi nasihat yang benar-benar menginginkan kebahagiaan keduanya dan apa yang dinasihatkannya itu adalah benar. Perlu diingat bahwa Al-Qur'an tidak menyebut nama istri Adam itu.

Ayat 22

فَدَلّٰىهُمَا بِغُرُوْرٍۚ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْءٰتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفٰنِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَّرَقِ الْجَنَّةِۗ وَنَادٰىهُمَا رَبُّهُمَآ اَلَمْ اَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَاَقُلْ لَّكُمَآ اِنَّ الشَّيْطٰنَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

fa dallāhumā bigurūr(in), falammā żāqasy-syajarata badat lahumā sau'ātuhumā wa ṭafiqā yakhṣifāni ‘alaihimā miw waraqil-jannah(ti), wa nādāhumā rabbuhumā alam anhakumā ‘an tilkumasy-syajarati wa aqul lakumā innasy-syaiṭāna lakumā ‘aduwwum mubīn(un).

dia (setan) membujuk mereka dengan tipu daya. Ketika mereka mencicipi (buah) pohon itu, tampaklah oleh mereka auratnya, maka mulailah mereka menutupinya dengan daun-daun surga. Tuhan menyeru mereka, “Bukankah Aku telah melarang kamu dari pohon itu dan Aku telah mengatakan bahwa sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”

Iblis menunjukkan kesungguhannya, sehingga Adam tidak melihat sedikit pun sesuatu yang mencurigakan. Apa yang dikemukakan Iblis dan dianjurkannya itu adalah bohong atau tipu daya belaka, maka keduanya terpengaruh dengan bujukan Iblis penipu itu, lalu mereka makan buah pohon yang dilarang oleh Allah untuk mendekatinya. Lalu keduanya lupa sama sekali akan kedudukan mereka dan larangan Allah kepada mereka, sebagaimana firman Allah:

Dan sungguh telah Kami pesankan kepada Adam dahulu, tetapi dia lupa, dan Kami tidak dapati kemauan yang kuat padanya. (thaha/20: 115)

Al-Qur'an tidak menyebutkan siapa yang terlebih dahulu makan buah larangan itu, apakah Adam atau Hawa. Untuk itu pencarian informasi tentang hal ini tidaklah penting.

Setelah kejadian tersebut, Allah mencela Adam karena tidak mengindahkan larangan-Nya dan tidak mematuhi-Nya, sehingga ia teperdaya dan menuruti bujukan Iblis penipu itu. Lalu Allah memperingatkannya, "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua mendekati pohon itu dan makan buahnya, dan Aku telah menandaskan kepadamu bahwa setan itu adalah musuhmu yang nyata, apabila kamu menuruti kemauan dan kehendaknya, Aku akan mengeluarkan kamu dari kehidupan yang lapang, senang dan bahagia kepada kehidupan yang penuh kesulitan, penderitaan dan kesusahan." Sejalan dengan hal tersebut, Allah berfirman:

Kemudian Kami berfirman, "Wahai Adam! Sungguh ini (Iblis) musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai dia mengeluarkan kamu berdua dari surga, nanti kamu celaka." (thaha/20: 117)

Ayat 23

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَآ اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

qālā rabbanā ẓalamnā anfusanā wa illam tagfir lanā wa tarḥamnā lanakūnanna minal-khāsirīn(a).

Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.”

Setelah Adam dan istrinya menyadari kesalahan yang diperbuatnya, yaitu menuruti ajakan setan dan meninggalkan perintah Allah, dia segera bertobat, menyesali perbuatannya. Allah mengajarkan kepada keduanya doa untuk memohon ampun. Kemudian dengan segala kerendahan hati dan penuh khusyuk, mereka pun berdoa.

Keduanya berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi." (al-A'raf/7: 23)

Berkat ucapan doa yang benar-benar keluar dari lubuk hatinya dengan penuh kesadaran disertai keikhlasan, maka Allah memperkenankan doanya, mengampuni dosanya dan melimpahkan rahmat kepadanya. Firman Allah:

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (al-Baqarah/2: 37)

Ayat 24

قَالَ اهْبِطُوْا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۚوَلَكُمْ فِى الْاَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَّمَتَاعٌ اِلٰى حِيْنٍ

qālahbiṭū ba‘ḍukum liba‘ḍin ‘aduww(un), wa lakum fil-arḍi mustaqarruw wa matā‘un ilā ḥīn(in).

(Allah) berfirman, “Turunlah kamu! Kamu akan saling bermusuhan satu sama lain. Bumi adalah tempat kediaman dan kesenanganmu sampai waktu yang telah ditentukan.”

Allah kemudian menerima tobat Adam dan istrinya, dan memerintahkan keduanya keluar dari surga dan turun ke bumi. Allah memperkuat imannya dan menerima tobatnya karena nabi itu ma'shum (terpelihara dari dosa), bisa salah tetapi tidak bisa terjadi kesalahan karena dikoreksi Allah. Setelah tobatnya diterima, ia menjadi orang pilihan kembali dan mendapatkan bimbingan dari Allah, seperti dalam firman-Nya:

¦ dan telah durhakalah Adam kepada Tuhannya, dan sesatlah dia. Kemudian Tuhannya memilih dia, maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk. Dia (Allah) berfirman, "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama¦" (thaha/20: 121-123)

Telah menjadi sunatullah bahwa setiap perbuatan buruk akan mempunyai akibat yang buruk pula. Di bumi ini akan terjadi permusuhan, sebagian akan menjadi musuh dari sebagian yang lain. Iblis dan kawan-kawannya akan selalu memusuhi anak-cucu Adam. Sebaliknya anak-cucu Adam harus selalu waspada dan tetap memandang dan menjadikan Iblis itu musuh yang sangat berbahaya, karena kalau tidak mereka akan dijebloskan ke dalam neraka. Allah berfirman:

Sungguh, setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. (Fathir/35: 6)

Mereka akan tinggal dan menetap di bumi dilengkapi dengan sumber penghidupan yang menjadi kesenangannya sampai kepada waktu yang telah ditentukan oleh Allah, yaitu pada waktu berakhirnya ajal dan tibanya hari Kiamat sesuai dengan firman Allah:

Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi dan di sana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu... (al-A'raf/7: 10)

Ayat 25

قَالَ فِيْهَا تَحْيَوْنَ وَفِيْهَا تَمُوْتُوْنَ وَمِنْهَا تُخْرَجُوْنَ ࣖ

qāla fīhā taḥyauna wa fīhā tamūtūna wa minhā tukhrajūn(a).

(Allah) berfirman, “Di sana kamu hidup, di sana kamu mati, dan dari sana (pula) kamu akan dibangkitkan.”

Ayat ini menerangkan bahwa di bumi inilah mereka akan hidup sepanjang umur yang telah ditakdirkan bagi mereka dan di bumi ini pula mereka akan mati apabila sampai ajal mereka, suatu ketentuan yang tidak dapat diubah lagi, tidak bisa dimajukan dan tidak bisa pula ditangguhkan sebagaimana firman Allah:

Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun. (al-A'raf/7: 34)

Juga firman-Nya:

Dan Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. (al-Munafiqun/63: 11)

Selanjutnya di bumi ini pulalah mereka akan dibangkitkan dan ayat 25 ini sejalan dengan firman Allah:

Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu dan dari sanalah Kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain. (Thaha/20: 55)

Ayat 26

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ قَدْ اَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُّوَارِيْ سَوْءٰتِكُمْ وَرِيْشًاۗ وَلِبَاسُ التَّقْوٰى ذٰلِكَ خَيْرٌۗ ذٰلِكَ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ

yā banī ādama qad anzalnā ‘alaikum libāsay yuwārī sau'ātikum wa rīsyā(n), wa libāsut-taqwā żālika khair(un), żālika min āyātillāhi la‘allahum yażżakkarūn(a).

Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat.

Pada ayat ini, Allah menyeru kepada anak-cucu Adam dan memperingatkan nikmat yang begitu banyak yang telah dianugerahkan-Nya agar mereka tidak melakukan maksiat, tetapi hendaklah mereka bertakwa kepada-Nya, dimana saja mereka berada, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw:

"Bertaqwalah kepada Allah di mana pun engkau berada." (Riwayat at-Tirmidzi dari Mu'adz bin Jabal)

Allah yang menurunkan hujan dari langit, yang menyebabkan tumbuhnya kapas, rami, wool dan sebagainya yang kesemuanya itu dapat dijadikan bahan pakaian sesudah diolah untuk dipakai menutupi aurat kita, tubuh kita dan untuk menahan panas dan dingin dan dipakai dalam peperangan untuk menahan senjata (baju besi) pakaian juga bisa dijadikan keindahan sebagai perhiasan, satu hal yang disukai oleh Allah sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw

"Sesungguhnya Allah itu sangat indah, menyenangi keindahan." (Riwayat Muslim dan at-Tirmidzi dari Ibnu Mas'ud)

Ini semua merupakan pakaian dan keindahan lahiriah. Di samping itu ada lagi macam pakaian yang sifatnya rohaniah yang jauh lebih baik dari pakaian lahiriah tadi, karena ia dapat menghimpun segala macam kebaikan, yaitu takwa kepada Allah.

Sabda Nabi Muhammad saw:

"Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, karena sesungguhnya takwa itu menghimpun segala kebaikan". (Riwayat Abu Ya'la dari Abu Sa'id)

Dengan takwa itu, Allah senantiasa memberikan kepada kita petunjuk untuk dapat mengatasi dan keluar dari kesulitan yang dihadapi. Dia akan memberikan kepada kita rezeki dari arah yang tidak terduga-duga sebelumnya dan selalu dimudahkan urusan kita, sebagaimana firman Allah:

Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. (ath-thalaq/65: 2-3)

Firman Allah:

Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya. (Ath-thalaq/65: 4)

Segala nikmat yang telah dianugerahkan Allah seperti memberikan pakaian adalah tanda bagi kekuasaan Allah dan membuktikan kebaikan-Nya kepada anak cucu Adam a.s. maka pada tempatnyalah kalau kita selalu mengingat Allah, mensyukuri nikmat-Nya, menjauhi ajakan setan dan tidak berlebihan dalam ucapan dan lain sebagainya.

Ayat 27

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ

yā banī ādama lā yaftinannakumusy-syaiṭānu kamā akhraja abawaikum minal-jannati yanzi‘u ‘anhumā libāsahumā liyuriyahumā sau'ātihimā, innahū yarākum huwa wa qabīluhū min ḥaiṡu lā taraunahum, innā ja‘alnasy-syayāṭīna auliyā'a lil-lażīna lā yu'minūn(a).

Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

Ayat ini menyerukan kepada anak cucu Adam agar mereka jangan sampai lalai dan lengah, melupakan dan menyia-nyiakan dirinya, tidak menyucikan dan agar membentengi dirinya dengan takwa. Hendaknya mereka selalu mengingat Allah, karena kalau tidak, hatinya akan berkarat sebagaimana berkaratnya besi. Dengan demikian, mereka akan mempunyai kekuatan yang membaja untuk menghadapi bujukan dan rayuan setan dan selamatlah mereka dari tipu dayanya dan tidak akan mengalami nasib buruk seperti yang telah dialami ibu bapak manusia, yaitu Adam a.s. dengan istrinya, sehingga keduanya dikeluarkan dari surga, pakaiannya tanggal sehingga auratnya kelihatan. Setan dan pengikutnya turun temurun memusuhi terus menerus anak-cucu Adam. Dia senantiasa mengintip dan memperhatikan, di mana ada kelemahan mereka, di sanalah dia memasukkan jarumnya sebagai godaan dan tipuan. Dialah musuh yang sangat berbahaya, karena dia melihat mereka, sedang mereka tidak melihatnya. Dia lebih berbahaya dari musuh biasa yang dapat dilihat karena musuh-musuh lahiriah itu dapat diketahui di mana adanya dan ke mana arah tujuannya, malah lebih berbahaya lagi dari musuh dalam selimut. Dia mengalir dalam tubuh manusia seperti mengalirnya darah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw

"Sesungguhnya setan itu mengalir pada tubuh anak-cucu Adam sebagaimana mengalirnya darah dalam tubuh". (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas)

Setan itu tidak ubahnya dengan bahaya penyakit yang tidak kelihatan kecuali dengan mikroskop yang biasanya ditularkan oleh lalat atau nyamuk yang dimasukkan ke dalam makanan dan minuman atau ke dalam tubuh manusia melalui darah. Ia menembus masuk ke dalam tubuh tanpa diketahui yang akibatnya menyedihkan sekali, karena sukar akan dapat sembuh dalam waktu singkat dan ada kemungkinan tidak dapat sembuh sama sekali. Berbeda dengan penyakit yang dapat dilihat dengan mata kepala seperti kudis dan sebagainya, dengan cepat dapat diobati dan dalam waktu singkat dapat sembuh. Kekhawatiran yang berakibat buruk seperti tersebut di atas itu dapat terjadi hanya pada manusia yang kurang atau sama sekali tidak beriman, karena mereka itulah yang akan menjadi mangsanya dan kepada merekalah, Allah telah menjadikan setan sebagai pemiliknya.

Ayat 28

وَاِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً قَالُوْا وَجَدْنَا عَلَيْهَآ اٰبَاۤءَنَا وَاللّٰهُ اَمَرَنَا بِهَاۗ قُلْ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاۤءِۗ اَتَقُوْلُوْنَ عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

wa iżā fa‘alū fāḥisyatan qālū wajadnā ‘alaihā ābā'anā wallāhu amaranā bihā, qul innallāha lā ya'muru bil-faḥsyā'(i), ataqūlūna ‘alallāhi mā lā ta‘lamūn(a).

Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, “Kami mendapati nenek moyang kami melakukan yang demikian, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah, “Sesungguhnya Allah tidak pernah menyuruh berbuat keji. Mengapa kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui?”

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, dan orang-orang yang telah menjadikan setan sebagai pemimpinnya, apabila berbuat kejahatan, seperti mengingkari Allah dan menyekutukan-Nya, mereka mengemukakan alasan dan uzur, "Begitulah yang kami ketahui dan kami dapati dari nenek moyang kami. Kami hanya mengikuti apa yang telah dikerjakan mereka, bahkan Allah telah memerintahkan kepada kami yang demikian, dan kami hanya menuruti perintah-Nya." Pengakuan mereka jelas tidak dapat dibenarkan, karena Allah mempunyai sifat kesempurnaan, tidak mungkin dan tidak masuk akal akan menyuruh dan memerintahkan mereka berbuat jahat dan keji seperti perbuatan tersebut di atas. Sebenarnya yang memerintahkan mereka berbuat jahat dan keji tentunya tiada lain melainkan setan sebagaimana firman Allah:

Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir)... (al-Baqarah/2: 268)

Mereka mengeluarkan perkataan yang dialamatkan kepada Allah, bahwa Dialah yang menyuruh berbuat jahat dan keji. Itu adalah ucapan yang tidak beralasan yang tidak didasarkan atas pengetahuan, padahal yang demikian itu akan mereka pertanggungjawabkan nanti di akhirat sebagaimana firman Allah:

Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (al-Isra'/17: 36)

Ayat 29

قُلْ اَمَرَ رَبِّيْ بِالْقِسْطِۗ وَاَقِيْمُوْا وُجُوْهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّادْعُوْهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۗ كَمَا بَدَاَكُمْ تَعُوْدُوْنَۗ

qul amara rabbī bil-qisṭ(i), wa aqīmū wujūhakum ‘inda kulli masjidiw wad‘ūhu mukhliṣīna lahud-dīn(a), kamā bada'akum ta‘ūdūn(a).

Katakanlah, “Tuhanku menyuruhku berlaku adil. Hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) pada setiap salat, dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya. Kamu akan dikembalikan kepada-Nya sebagaimana kamu diciptakan semula.

Ayat ini memperbaiki kekeliruan mereka, terbukti Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengatakan kepada mereka, "Bahwasanya Allah hanya memerintahkan kepada-ku agar berlaku adil, salat setiap waktu, istiqamah, ikhlas dan baik di dalam semua hal," sebagaimana firman Allah:

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. (an-Nahl/16: 90)

Allah menyuruh agar mereka mengarahkan mukanya ke Ka'bah yang telah ditetapkan menjadi kiblat bagi setiap orang yang salat, baik di mesjid maupun di tempat lain, penuh dengan keikhlasan, karena suatu amal tanpa disertai keikhlasan tidak akan diterima oleh Allah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad:

"Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal kecuali dikerjakan dengan ikhlas untuk (memperoleh rida)-Nya." (Riwayat an-Nasa'i dari Abu Umamah)

Untuk mendorong mereka agar tetap ingat dan patuh kepada Allah, tidak terpengaruh kepada ajakan dan bujukan setan, mereka harus selalu ingat kepada Allah. Hal itu karena Allah telah menciptakan mereka pada mulanya dan kapada-Nya pulalah mereka akan kembali kelak. Pada hari pembalasan, mereka akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah mereka kerjakan di dunia.

Dan kamu benar-benar datang sendiri-sendiri kepada Kami sebagaimana Kami ciptakan kamu pada mulanya, dan apa yang telah Kami karuniakan kepadamu, kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia). (al-An'am/6: 94)

Ayat 30

فَرِيْقًا هَدٰى وَفَرِيْقًا حَقَّ عَلَيْهِمُ الضَّلٰلَةُ ۗاِنَّهُمُ اتَّخَذُوا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَيَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ مُّهْتَدُوْنَ

farīqan hadā wa farīqan ḥaqqa ‘alaihimuḍ-ḍalālah(tu), innahumuttakhażusy-syayāṭīna auliyā'a min dūnillāhi wa yaḥsabūna annahum muhtadūn(a).

Sebagian diberi-Nya petunjuk dan sebagian lagi sepantasnya menjadi sesat. Mereka menjadikan setan-setan sebagai pelindung selain Allah. Mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.

Manusia terbagi atas dua golongan. Golongan pertama adalah golongan yang telah diberi petunjuk oleh Allah di dunia ini untuk mengerjakan salat, menyembah-Nya dengan ikhlas dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain. Sedang golongan kedua, adalah golongan yang telah sesat karena mengikuti ajakan setan dan meninggalkan perintah Allah Penciptanya. Setan itulah yang dijadikan pelindungnya, bukan Allah. Anehnya mereka sudah sesat dengan menempuh jalan yang dilarang oleh Allah mengerjakan perbuatan yang tidak diridai-Nya, tetapi masih menyangka bahwa mereka memperoleh petunjuk. Orang yang demikian adalah orang yang paling merugi, sebagaimana firman Allah:

Katakanlah (Muhammad), "Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?" (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya. (al-Kahf/18: 103-104)

Ayat 31

۞ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ

yā banī ādama khużū zīnatakum ‘inda kulli masjidiw wa kulū wasyrabū wa lā tusrifū, innahū lā yuḥibbul-musrifīn(a).

Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.

Dalam ayat ini Allah memerintahkan agar manusia memakai zinah (pakaian bersih yang indah) ketika memasuki masjid dan mengerjakan ibadat, seperti salat, thawaf dan lain-lainnya.

Yang dimaksud dengan memakai zinah ialah memakai pakaian yang dapat menutupi aurat dengan memenuhi syarat-syarat hijab. Lebih sopan lagi kalau pakaian itu selain bersih dan baik, juga indah yang dapat menambah keindahan seseorang dalam beribadah menyembah Allah, sebagaimana kebiasaan seseorang berdandan dengan memakai pakaian yang indah di kala akan pergi ke tempat-tempat undangan dan lain-lain. Maka untuk pergi ke tempat-tempat beribadah untuk menyembah Allah tentu lebih pantas lagi, bahkan lebih utama. Hal ini bergantung pada kemauan dan kesanggupan seseorang, juga bergantung pada kesadaran. Kalau seseorang hanya mempunyai pakaian selembar saja, cukup untuk menutupi aurat dalam beribadah, itu pun memadai. Tetapi kalau seseorang mempunyai pakaian yang agak banyak, maka lebih utama kalau ia memakai yang bagus. Rasulullah telah bersabda

"Apabila salah seorang di antaramu mengerjakan salat hendaklah memakai dua kain, karena untuk Allah yang lebih pantas seseorang berdandan. Jika tidak ada dua helai kain, maka cukuplah sehelai saja untuk dipakai salat. Janganlah berkelumun dalam salat, seperti berkelumunnya orang-orang Yahudi". (Riwayat ath-thabrani dan al-Baihaqi dari Ibnu 'Umar)

Diriwayatkan dari Hasan, cucu Rasulullah, bahwa apabila ia akan mengerjakan salat, ia memakai pakaian yang sebagus-bagusnya. Ketika ia ditanya orang dalam hal itu, ia menjawab, "Allah itu indah, suka kepada keindahan, maka saya memakai pakaian yang bagus."

Dalam ayat ini, Allah mengatur urusan makan dan minum. Kalau pada masa Jahiliyah, manusia yang mengerjakan haji hanya makan makanan yang mengenyangkan saja, tidak makan makanan yang baik dan sehat yang dapat menambah gizi dan vitamin yang diperlukan oleh badan, maka dengan turunnya ayat ini, makanan dan minuman itu harus disempurnakan gizinya dan diatur waktu menyantapnya dengan terpelihara kesehatannya. Dengan begitu manusia lebih kuat mengerjakan ibadat. Dalam ayat ini diterangkan bahwa memakai pakaian yang bagus, makan makanan yang baik dan minum minuman yang bermanfaat adalah dalam rangka mengatur dan memelihara kesehatan untuk dapat beribadah kepada Allah dengan baik. Karena kesehatan badan banyak hubungannya dengan makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang berlebihan berakibat terganggunya kesehatan. Karena itu, Allah melarang berlebihan dalam makan dan minum.

Larangan berlebihan itu mengandung beberapa arti, di antaranya:

1.Jangan berlebihan dalam porsi makan dan minum itu sendiri. Sebab, makan dan minum dengan porsi yang berlebihan dan melampaui batas akan mendatangkan penyakit. Makan kalau sudah merasa lapar, dan kalau sudah makan, janganlah sampai terlalu kenyang. Begitu juga dengan minuman, minumlah kalau merasa haus dan bila rasa haus hilang, berhentilah minum, walaupun nafsu makan atau minum masih ada.

2.Jangan berlebihan dalam berbelanja untuk membeli makanan atau minuman, karena akan mendatangkan kerugian. Kalau pengeluaran lebih besar dari pendapatan, akan menyebabkan hutang yang banyak. Oleh sebab itu, setiap orang harus berusaha agar jangan besar pasak dari tiang.

3.Termasuk berlebihan juga adalah makan dan minum yang diharamkan Allah. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda:

"Makanlah, minumlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah dengan cara yang tidak sombong dan tidak berlebihan. Sesungguhnya Allah suka melihat penggunaan nikmat-Nya kepada hamba-Nya." (Riwayat Ahmad, at-Tirmidzi dan al-hakim dari Abu Hurairah)

Perbuatan berlebihan yang melampaui batas selain merusak dan merugikan, juga Allah tidak menyukainya. Setiap pekerjaan yang tidak disukai Allah, kalau dikerjakan juga, tentu akan mendatangkan bahaya.

Ayat 32

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللّٰهِ الَّتِيْٓ اَخْرَجَ لِعِبَادِهٖ وَالطَّيِّبٰتِ مِنَ الرِّزْقِۗ قُلْ هِيَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَّوْمَ الْقِيٰمَةِۗ كَذٰلِكَ نُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ

qul man ḥarrama zīnatallāhil-latī akhraja li‘ibādihī waṭ-ṭayyibāti minar-rizq(i), qul hiya lil-lażīna āmanū fil-ḥayātid-dun-yā khāliṣatay yaumal-qiyāmah(ti), każālika nufaṣṣilul-āyāti liqaumiy ya‘lamūn(a).

Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik? Katakanlah, “Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari Kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui.

Orang-orang Arab pada masa jahiliah, terutama dari kabilah Bani Amir telah mengharamkan memakai pakaian ketika tawaf sekeliling Ka'bah, telah mengharamkan sebagian makanan ketika mengerjakan haji seperti makan daging, makan yang berlemak dan lain-lain. Orang-orang Nasrani dan Yahudi pun, sebagian mereka juga mengharamkan makan yang baik-baik seperti halnya perbuatan orang Arab pada masa jahiliah itu. Maka ayat ini dengan tegas memerintahkan kepada Nabi Muhammad, untuk menanyakan kepada mereka, siapa yang mengharamkan semuanya itu? Jelaslah bahwa yang mengharamkan itu mereka sendiri, bukan merupakan wahyu yang disampaikan Allah kepada Rasul-Nya.

Pakaian dan perhiasan memang sudah disediakan Allah untuk mereka dan Allah tidak mengharamkan makanan yang baik-baik, yang lezat-lezat seperti rezeki yang halal dari Allah. Memakai pakaian yang indah, berdandan dan berhias, serta makan makanan yang lezat-lezat yang dihalalkan Allah adalah merupakan kesenangan dan kegemaran manusia. Agama Islam membolehkannya, selama tidak bertentangan dengan hukum Allah.

Meninggalkan kesenangan dan kegemaran seperti itu tidaklah termasuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Kegemaran berpakaian yang bagus dan kegemaran makan makanan yang baik lagi halal, akan mendorong manusia untuk berpikir dinamis dan kreatif meningkatkan pertanian, membuat irigasi, serta meningkatkan kemajuan dalam bidang industri, seperti pabrik benang, pabrik kain, meningkatkan pemeliharaan binatang-binatang, seperti biri-biri, ulat sutera, binatang-binatang ternak dan lain-lain.

Selanjutnya dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada Rasulullah agar menyampaikan kepada umat-Nya, bahwa berhias dan berdandan dengan pakaian yang bagus dan indah, begitu juga makan makanan yang baik-baik dan lezat-lezat adalah diperbolehkan menikmatinya bagi orang-orang yang beriman dalam hidup mereka di dunia, juga dibolehkan untuk orang-orang yang bukan mukmin. Tetapi pada hari Kiamat, kenikmatan yang seperti itu hanyalah khusus bagi orang-orang yang beriman saja. Orang-orang kafir tidak berhak untuk menikmatinya. Semua manusia berhak untuk mendapatkan hidup bahagia, menikmati segala macam pemberian Allah yang baik dan halal selama hidup di dunia ini.

Sabda Rasulullah:

"Orang (mukmin) yang makan makanan yang baik lagi pandai bersyukur, sama derajatnya dengan orang puasa yang sabar menahan lapar." (Riwayat Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan al-Hakim dari Abu Hurairah).

Firman Allah:

Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (thaha/20: 124)

Pada penutup ayat ini diterangkan bahwa Allah sudah menjelaskan ayat-ayat-Nya bagi kaum yang mengetahui. Di antaranya dalam ayat ini dijelaskan perkara adab berpakaian dan makanan yang sebagian manusia belum mengetahuinya, malahan dianggapnya masalah kecil saja. Padahal makan dan minum yang tidak berlebihan itu merupakan pokok pangkal kesehatan. Bila badan tidak kuat dan tidak sehat, semua pekerjaan tidak akan terlaksana, baik untuk mencari kehidupan, ataupun untuk beribadah kepada Allah. Begitu juga berdandan dan berpakaian, merupakan tanda kebahagiaan dan kesejahteraan dan erat juga hubungannya dengan kesehatan. Orang-orang yang berdandan dan berpakaian bagus, adalah terhormat dan terpuji, asal berdandan dan berpakaian bagus dengan niat yang baik, bukan untuk menyombongkan diri.

Sabda Rasulullah:

Saya datang kepada Rasulullah, dengan pakaian yang buruk, maka Rasulullah bertanya, "Adakah engkau mempunyai harta?" Saya jawab, "Ya," Rasulullah bertanya pula, "Harta apa saja?" Saya jawab, "Allah memberikan karunia kepada saya unta, kambing, kuda dan budak." Berkata Rasulullah, "Kalau Allah sudah mengaruniaimu harta, maka hendaklah dapat dilihat bekas nikmat Allah itu dan kemuliaan-Nya kepadamu." (Riwayat Abu Daud dari Abu al-Ahwash dari ayahnya).

Ayat 33

قُلْ اِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْاِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَاَنْ تُشْرِكُوْا بِاللّٰهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهٖ سُلْطٰنًا وَّاَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

qul innamā ḥarrama rabbiyal-fawāḥisya mā ẓahara minhā wa mā baṭana wal-iṡma wal-bagya bigairil-ḥaqqi wa an tusyrikū billāhi mā lam yunazzil bihī sulṭānaw wa an taqūlū ‘alallāhi mā lā ta‘lamūn(a).

Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.”

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk menyampaikan kepada orang-orang yang musyrik dan kafir apa yang telah diharamkan Allah. Yang diharamkan Allah itu bukanlah seperti yang telah diharamkan oleh orang-orang musyrik yang tiada ada dalilnya atau tidak ada wahyu yang turun untuk mengharamkannya, tetapi mereka buat-buat saja, seperti mengharamkan memakai pakaian ketika tawaf atau mengharamkan makan daging ketika mengerjakan haji. Sesungguhnya yang diharamkan Allah tersebut dalam ayat ini harus dijauhi benar-benar, karena bahayanya sangat besar, baik terhadap yang mengerjakannya maupun terhadap umat manusia semuanya, larangan-larangan Allah itu adalah sebagai berikut:

1.Mengerjakan perbuatan yang keji secara lahir atau tersembunyi, termasuk ke dalam perbuatan yang keji seperti berzina, homoseksual, perbuatan jijik dan kotor yang menimbulkan dosa yang besar.

2.Perbuatan yang menimbulkan dosa, seperti minum khamar, berjudi dan lain-lain.

3.Perbuatan yang melampaui batas, berlaku aniaya sesama manusia, dan memperkosa hak pribadi atau hak bersama.

4.Mempersekutukan Allah, ini adalah perbuatan yang paling keji dan merupakan dosa yang besar yang tidak akan mendapat ampunan dari Allah. Mempersekutukan sesuatu dengan Allah, seperti dengan berhala, batu kuburan, pohon kayu dan lain-lain, menunjukkan suatu perbuatan bodoh tanpa mempergunakan akal dan pikiran.

5.Membuat-buat hukum yang tidak diperintahkan Allah atau memutar balikkan hukum, yang halal dikatakan haram dan yang haram dikatakan halal. Perbuatan seperti ini sangat dilarang Allah, sebab bisa menimbulkan pemahaman agama yang salah atau bisa menjadikan keyakinan agama yang benar jadi agama yang bathil.

Dari perbuatan seperti inilah timbul perpecahan dalam agama, mereka mengaku tahu dalam persoalan agama, tapi yang sebenarnya mereka tidak mempunyai pengetahuan, malahan mereka membodohi orang lain. Disengaja atau tidak disengaja, pekerjaan mengada-ada seperti ini dilarang Allah, apalagi untuk menentukan suatu hukum dalam Islam. Untuk menentukan hukum itu, harus ada dalil yang nyata, baik dari Al-Qur'an ataupun sunah yang mu'tabarah, tidak dapat diterka-terka atau main sangka-sangka saja. Main terka atau sangka-sangka itu, tidaklah termasuk ilmu. Ilmu itu menumbuhkan keyakinan. Firman Allah:

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram," untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. (an-Nahl/16: 116)

Ayat 34

وَلِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ

wa likulli ummatin ajal(un), fa iżā jā'a ajaluhum lā yasta'khirūna sā‘ataw wa lā yastaqdimūn(a).

Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.

Ayat ini menjelaskan kenyataan sejarah, bahwa tiap-tiap umat atau bangsa itu ada ketentuan yang disebut ajalnya, yaitu batas waktu tertentu untuk maju atau mundur, jaya atau hancur. Yang menentukan ialah Allah sesuai dengan sunah-Nya dan kehendak-Nya. Ketentuan ajal maksudnya ialah ketentuan waktu turunnya azab bagi umat atau bangsa yang telah durhaka, tidak mau menerima kebenaran, berlaku sewenang-wenang sekehendak nafsunya, dan tidak segan-segan mengerjakan yang keji dan mungkar.

Maka ketentuan turunnya azab itu ada dua macam, yaitu yang pertama: umat itu hancur musnah sampai hilang dari permukaan bumi. Seperti malapetaka yang telah diturunkan Allah kepada kaum Nuh, 'Ad, tsamud, Fir'aun, Luth dan yang lainnya. Umat itu telah hilang dari permukaan bumi sebab kedurhakaan dan keingkaran mereka tidak menerima ajaran-ajaran yang dibawa oleh masing-masing rasul. Sudah diberi peringatan berkali-kali, namun mereka tidak percaya, bahkan semakin membangkang dan sombong. Maka tibalah ajal mereka dengan kehancuran dan kebinasaan sampai musnah.

Firman Allah:

Dan begitulah siksa Tuhanmu apabila Dia menyiksa (penduduk) negeri-negeri yang berbuat zalim. Sungguh, siksa-Nya sangat pedih, sangat berat. (Hud/11: 102)

Azab yang merupakan kehancuran seperti ini, hanya khusus berlaku bagi umat-umat terdahulu yang tidak akan terjadi lagi pada umat Nabi Muhammad, sebab kedatangan Nabi Muhammad adalah rahmat bagi semua penghuni alam ini. Allah berfirman:

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (al-Anbiya'/21: 107)

Ketentuan kedua: umat itu menjadi hina, miskin, bodoh, dijajah, dan lain-lain. Allah menurunkan azab bukan untuk menghancurkannya, tapi umat itu hilang kebesarannya dan kemuliaannya, jatuh menjadi umat yang hina-dina, tidak ada harga dan kemuliaan lagi.

Kenyataan sejarah sudah banyak menunjukkan bahwa umat yang pada mulanya jaya dan terhormat, tapi akhirnya menjadi hina dan melarat, sebab mereka berfoya-foya menghamburkan harta kekayaan untuk maksiat. Berlaku sewenang-wenang berbuat aniaya sesama manusia, menghabiskan harta umat dengan cara yang tidak benar, baik dengan korupsi, menipu dan lain-lain. Penyakit syirik merebak dengan suburnya, di samping menyembah Allah, mereka juga menyembah makhluk-Nya. Maka datanglah ajal umat atau bangsa itu, mereka menjadi umat yang lemah dan hina di mata manusia. Kedatangan azab tidak dapat ditangguhkan walaupun sesaat dan tidak pula dapat dimajukan. Tidak seorang pun yang tahu saat datangnya azab itu, apakah di waktu malam, atau di waktu siang, kadang-kadang datangnya dengan tiba-tiba, di saat umat itu sedang lengah, sedang lupa daratan, sedang bersenang-senang, turunlah azab Allah dengan sekonyong-konyong. Seandainya diketahui kapan ajal itu akan datang, tentu mereka minta ditangguhkan, dan mereka segera memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka, dan meninggalkan perbuatan keji dan dosa dan lain-lain.

Datangnya ajal secara tiba-tiba itu, memberikan pengertian bahwa Allah Mahakuasa dan tidak bisa dihalangi dan ditandingi oleh kekuasaan manusia. Akhirnya umat itu menyesal, namun penyesalan itu tidak berguna.

Ayat 35

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ اِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ رُسُلٌ مِّنْكُمْ يَقُصُّوْنَ عَلَيْكُمْ اٰيٰتِيْۙ فَمَنِ اتَّقٰى وَاَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ

yā banī ādama immā ya'tiyannakum rusulum minkum yaquṣṣūna ‘alaikum āyātī, famanittaqā wa aṣlaḥa falā khaufun ‘alaihim wa lā hum yaḥzanūn(a).

Wahai anak cucu Adam! Jika datang kepadamu rasul-rasul dari kalanganmu sendiri, yang menceritakan ayat-ayat-Ku kepadamu, maka barangsiapa bertakwa dan mengadakan perbaikan, maka tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.

Ayat ini mengingatkan manusia tentang kedatangan para rasul yang diutus kepada tiap-tiap umat pada masa yang telah ditentukan. Mereka adalah manusia, bukan makhluk lain, yang diberi tugas menyampaikan ayat-ayat Allah yang menjelaskan mana yang halal dan mana yang haram, mana yang hak dan mana yang bathil, agar manusia tidak sesat, dan tidak menyimpang dari jalan yang benar. Dibacakannya ayat-ayat Allah, agar jelas mana yang diperintahkan untuk dikerjakan dan diamalkan, dan mana yang dilarang untuk dijauhi dan dihindarkan. Maka orang-orang yang patuh dan taat terhadap ajaran yang dibawa para rasul itu, bertakwa kepada Allah dan senantiasa memperbaiki dirinya serta mengerjakan amal-amal saleh, orang-orang itu akan berbahagia dan gembira. Tidak ada baginya rasa takut dan sedih, baik ketika hidup di dunia ataupun di akhirat kelak. Hidup berbahagia dan gembira adalah merupakan karunia Allah yang sangat berharga. Lebih berharga dari harta dan kekayaan yang berlimpah.

Ayat 36

وَالَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَاسْتَكْبَرُوْا عَنْهَآ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

wal-lażīna każżabū bi'āyātinā wastakbarū ‘anhā ulā'ika aṣḥābun-nār(i), hum fīhā khālidūn(a).

Tetapi orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Ayat ini menerangkan bahwa ada manusia yang tidak mau percaya kepada ayat-ayat Allah. Bukan saja tidak percaya, tetapi ditantangnya setiap Rasul yang datang membawa ayat-ayat Allah dengan sombong dan angkuh. Mereka merasa tidak pantas dipimpin oleh seorang Rasul yang mereka anggap kurang kemuliaannya (status sosialnya), kurang kekayaannya dan kurang umurnya dari mereka. Seperti halnya pemuka-pemuka suku Quraisy yang menantang Nabi Muhammad dengan sombong dan takabur, tidak mau percaya kepadanya dan tidak mau mengikutinya. Sebab mereka menganggap merekalah yang lebih berhak jadi pemimpin, seperti Abu Jahal, Abu Sufyan dan lain-lain. Mereka itu menganggap dirinya lebih mulia dari Nabi Muhammad. Begitu pula pemimpin-pemimpin Yahudi tidak mau percaya atas kerasulan Nabi Muhammad, karena bukan dari golongan Bani Israil, tetapi dari golongan bangsa Arab. Raja-raja dan pemimpin-pemimpin Majusi juga begitu, tidak mau menerima kerasulan Nabi Muhammad pada permulaannya, karena mereka memandang hina terhadap orang Arab. Tetapi akhirnya banyak juga di antara mereka yang masuk agama Islam di samping banyak pula yang membangkang, ingkar dan menolak sama sekali kerasulan Nabi saw. Mereka itulah yang akan menjadi penghuni neraka untuk selama-lamanya.

Ayat 37

فَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرٰى عَلَى اللّٰهِ كَذِبًا اَوْ كَذَّبَ بِاٰيٰتِهٖۗ اُولٰۤىِٕكَ يَنَالُهُمْ نَصِيْبُهُمْ مِّنَ الْكِتٰبِۗ حَتّٰٓى اِذَا جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا يَتَوَفَّوْنَهُمْۙ قَالُوْٓا اَيْنَ مَا كُنْتُمْ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗقَالُوْا ضَلُّوْا عَنَّا وَشَهِدُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ اَنَّهُمْ كَانُوْا كٰفِرِيْنَ

faman aẓlamu mimmaniftarā ‘alallāhi każiban au każżaba bi'āyātih(ī), ulā'ika yanāluhum naṣībuhum minal-kitāb(i), ḥattā iżā jā'athum rusulunā yatawaffaunahum, qālū aina mā kuntum tad‘ūna min dūnillāh(i), qālū ḍallū ‘annā wa syahidū ‘alā anfusihim annahum kānū kāfirīn(a).

Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah atau yang mendustakan ayat-ayat-Nya? Mereka itu akan memperoleh bagian yang telah ditentukan dalam Kitab sampai datang para utusan (malaikat) Kami kepada mereka untuk mencabut nyawanya. Mereka (para malaikat) berkata, “Manakah sembahan yang biasa kamu sembah selain Allah?” Mereka (orang musyrik) menjawab, “Semuanya telah lenyap dari kami.” Dan mereka memberikan kesaksian terhadap diri mereka sendiri bahwa mereka adalah orang-orang kafir.

Ayat ini menjelaskan bahwa berdusta kepada Allah dan ayat-ayat-Nya, adalah pekerjaan yang paling zalim. Mengada-adakan dusta dan kebohongan terhadap Allah ialah mewajibkan yang tidak diwajibkan Allah, memutar-balikkan hukum-hukum, yang halal dikatakan haram, yang haram dikatakan halal, yang hak dikatakan batil, yang batil dikatakan hak, atau berani mengatakan bahwa Allah beranak dan bersekutu. Mendustakan ayat-ayat Allah berarti menolak, mempermainkan dan mengejeknya, perbuatan mereka dianggap sebagai perbuatan yang paling zalim, mereka akan menikmati kesenangan di dunia untuk sementara, namun di akhirat mereka akan diazab dengan azab yang sangat pedih. Itulah ketentuan Allah yang tertulis dalam kitab suci-Nya. Firman Allah:

Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam azab yang keras. (Luqman/31: 24)

Ketika orang yang zalim itu menikmati kesenangan di dunia, tiba-tiba hal itu berakhir, karena ajalnya sudah tiba ketika malaikat maut datang mencabut nyawanya. Barulah timbul penyesalan, ketika malaikat mengajukan pertanyaan kepadanya, manakah orang-orang yang kamu seru selama ini, kamu sembah, minta tolong dan tidak mau menyembah dan minta tolong kepada Allah? Panggillah mereka untuk menolong kamu agar terhindar dari bahaya api neraka yang kamu hadapi ini. Tapi apa daya, dengan sangat menyesal mereka menjawab, "Orang-orang yang kami sembah dan kami minta tolong sudah hilang lenyap dari kami, kami tidak tahu ke mana pergi dan di mana tempatnya. Putuslah harapan kami untuk mendapat pertolongan darinya." Maka dengan terus terang mereka mengakui bahwa mereka telah mejadi kafir dan sesat karena menyembah dan minta tolong kepada berhala-berhala dan pemimpin-pemimpin yang mereka persekutukan dengan Allah.

Kejadian yang digambarkan ini adalah peringatan dan ancaman Allah terhadap orang kafir, agar berhati-hati jangan mengikuti propaganda dan tipu daya seseorang yang akibatnya akan membawa kepada kekafiran dan kesesatan.

Ayat 38

قَالَ ادْخُلُوْا فِيْٓ اُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ فِى النَّارِۙ كُلَّمَا دَخَلَتْ اُمَّةٌ لَّعَنَتْ اُخْتَهَا ۗحَتّٰٓى اِذَا ادَّارَكُوْا فِيْهَا جَمِيْعًا ۙقَالَتْ اُخْرٰىهُمْ لِاُوْلٰىهُمْ رَبَّنَا هٰٓؤُلَاۤءِ اَضَلُّوْنَا فَاٰتِهِمْ عَذَابًا ضِعْفًا مِّنَ النَّارِ ەۗ قَالَ لِكُلٍّ ضِعْفٌ وَّلٰكِنْ لَّا تَعْلَمُوْنَ

qāladkhulū fī umamin qad khalat min qablikum minal-jinni wal-insi fin-nār(i), kullamā dakhalat ummatul la‘anat ukhtahā, ḥattā iżaddārakū fīhā jamī‘ā(n), qālat ukhrāhum li'ūlāhum rabbanā hā'ulā'i aḍallūnā fa ātihim ‘ażāban ḍi‘fam minan-nār(i), qāla likullin ḍi‘fuw wa lākil lā ta‘lamūn(a).

Allah berfirman, “Masuklah kamu ke dalam api neraka bersama golongan jin dan manusia yang telah lebih dahulu dari kamu. Setiap kali suatu umat masuk, dia melaknat saudaranya, sehingga apabila mereka telah masuk semuanya, berkatalah orang yang (masuk) belakangan (kepada) orang yang (masuk) terlebih dahulu, “Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami. Datangkanlah siksaan api neraka yang berlipat ganda kepada mereka” Allah berfirman, “Masing-masing mendapatkan (siksaan) yang berlipat ganda, tapi kamu tidak mengetahui.”

Pada hari Kiamat, Allah memerintahkan kepada orang-orang kafir agar masuk ke dalam neraka, bersama-sama umat-umat yang terdahulu, dari jin dan manusia. Mereka sudah lebih dahulu masuk ke dalam neraka, karena kekafiran dan kedurhakaan mereka. Setan dari jin dan manusia selalu menggoda kaumnya dan menggoda manusia agar tersesat dari jalan yang benar. Mereka sudah lebih dahulu berada dalam neraka. Allah berfirman: Tinggalah kamu bersama-sama mereka dalam neraka dan jadikanlah mereka sebagai penolong-penolongmu, sebagaimana kamu hidup di dunia menjadikan mereka tempat minta tolong. Dari ayat ini jelaslah bahwa orang-orang kafir itu tidak sekaligus serempak masuk neraka semuanya, tetapi bergelombang. Gelombang pertama masuk, kemudian menyusul gelombang berikutnya, maka terjadilah kutuk-mengutuk sesama orang kafir itu dalam neraka. Setiap kali suatu umat masuk ke neraka, dan mereka melihat bagaimana hebatnya azab neraka itu, mereka mengutuk kawan-kawan yang telah menyesatkan mereka, dimana mereka mengikuti dengan penuh setia kawan-kawan yang telah menyesatkannya selama hidup di dunia, yang sekarang telah sama-sama terjerumus ke dalam neraka. Firman Allah:

¦ Kemudian pada hari Kiamat sebagian kamu akan saling mengingkari dan saling mengutuk¦ (al-'Ankabut/29: 25)

Orang-orang musyrik mengutuk pemimpin-pemimpin yang telah menyesatkannya, begitu juga orang-orang Yahudi dan Nasrani mengutuk pemimpin-pemimpin yang telah menyesatkannya. Begitulah tiap-tiap umat atau golongan mengutuk kawan-kawannya yang jadi pemimpin yang telah menyesatkan selama hidup di dunia. Akhirnya kalau semuanya sudah masuk ke dalam neraka dan mereka sudah berkumpul di dalamnya, sudah sama-sama merasakan pedih azab neraka, maka berkatalah para pengikut kepada Allah, tentang pemimpin-pemimpin yang telah menyesatkan mereka, "Ya Tuhan, pemimpin inilah yang menyesatkan kami, dan kami bertaklid buta mengikuti perintah mereka. Ya Allah, berikanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dalam neraka ini, lebih berat dari siksaan kami ini, karena mereka sesat dan menyesatkan kami." Allah memberi jawaban terhadap permintaan pengikut-pengikut itu, firman-Nya, "Bagi masing-masing mereka sudah diberi azab yang berlipat ganda, tetapi kamu tidak tahu." Mereka di dalam neraka sama-sama menderita, tidak ada perbedaan antara pengikut dengan pemimpin yang menyesatkan, karena mereka telah sesat dan menyesatkan orang lain. Demikian pula yang dipimpin karena mereka telah sesat dan bertaklid buta menerima kesesatan. Masing-masing golongan tidak mengetahui macam siksaan yang ditimpakan kepada yang lain.

Ayat 39

وَقَالَتْ اُوْلٰىهُمْ لِاُخْرٰىهُمْ فَمَا كَانَ لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ فَذُوْقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْسِبُوْنَ ࣖ

wa qālat ūlāhum li'ukhrāhum famā kāna lakum ‘alainā min faḍlin fa żūqul-‘ażāba bimā kuntum taksibūn(a).

Dan orang yang (masuk) terlebih dahulu berkata kepada yang (masuk) belakangan, “Kamu tidak mempunyai kelebihan sedikit pun atas kami. Maka rasakanlah azab itu karena perbuatan yang telah kamu lakukan.”

Dalam ayat ini dijelaskan, bagaimana cara pemimpin-pemimpin mereka berlepas diri dan tanggungjawab dari tuntutan pengikut-pengikutnya. Pemimpin-pemimpin yang telah lebih dahulu masuk neraka mengatakan: "Kalau memang seperti yang kamu tuduhkan itu, bahwa kami menyesatkan kamu dan hendaklah azab kami dilipatgandakan dari azab yang kamu terima, maka sekarang kamu rasakan azab neraka ini karena kebodohanmu, mau disesatkan dari jalan yang benar. Kami tidak memaksamu untuk mengikuti kami tetapi kamu sendirilah yang memilih jalan yang sesat itu, berbuat dosa dan mendurhakai Allah. Begitulah akhirnya, mereka saling salah menyalahkan dan hal itu tidak ada gunanya lagi, karena mereka akan sama-sama berada dalam api neraka yang bergejolak itu.

Firman Allah:

Dan (harapanmu itu) sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu pada hari itu karena kamu telah menzalimi (dirimu sendiri). Sesungguhnya kamu pantas bersama-sama dalam azab itu. (az-Zukhruf/43: 39)

Ayat 40

اِنَّ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَاسْتَكْبَرُوْا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ اَبْوَابُ السَّمَاۤءِ وَلَا يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتّٰى يَلِجَ الْجَمَلُ فِيْ سَمِّ الْخِيَاطِ ۗ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُجْرِمِيْنَ

innal-lażīna każżabū bi'āyātinā wastakbarū ‘anhā lā tufattaḥu lahum abwābus-samā'i wa lā yadkhulūnal-jannata ḥattā yalijal-jamalu fī sammil-khiyāṭ(i), wa każālika najzil-mujrimīn(a).

Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka, dan mereka tidak akan masuk surga, sebelum unta masuk ke dalam lubang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat.

Yang dimaksud dengan mendustakan ayat-ayat Allah dalam ayat ini, ialah mendustakan hal-hal yang terkait dengan ketauhidan, seperti yang berhubungan dengan adanya Allah dan keesaan-Nya, yang berhubungan dengan kenabian, hari Kiamat, hari kebangkitan dan lain-lainnya. Mereka mendustakan, tidak mau menerima dan menolak ayat-ayat seperti ini dengan sombong dan congkak, maka mereka tidak akan dibukakan pintu langit.

Ada dua pengertian tentang tidak dibukakan pintu langit, di antaranya tidak akan diterima amal mereka dan tidak akan sampai kepada Allah, walaupun bagaimana besar amal dan usaha mereka. Bukan saja amal dan usaha mereka tidak sampai kepada Allah, juga doa dan permintaan mereka tidak akan sampai. Dalam pengertian lain menurut Ibnu 'Abbas roh mereka tidak langsung diterima Allah, karena Allah hanya menerima perkataan yang baik dan amal yang saleh, sebagaimana firman-Nya:

Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal kebajikan, Dia akan mengangkatnya. (Fathir/35: 10)

Selain dari itu mereka tidak akan masuk ke dalam surga buat selama-lamanya. Dalam ayat ini Allah memberikan perumpamaan bagi mereka, bahwa mereka tidak akan masuk surga, kecuali bila unta dapat masuk ke dalam lubang jarum. Maksudnya, mereka mustahil akan masuk surga buat selama-lamanya. Demikianlah balasan yang diberikan Allah terhadap mereka yang berdosa seperti itu, yaitu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan tidak mau menerimanya dengan cara menyombongkan diri.

Ayat 41

لَهُمْ مِّنْ جَهَنَّمَ مِهَادٌ وَّمِنْ فَوْقِهِمْ غَوَاشٍۗ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى الظّٰلِمِيْنَ

lahum min jahannama mihāduw wa min fauqihim gawāsy(in), wa każālika najziẓ-ẓālimīn(a).

Bagi mereka tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang zalim.

Ayat ini menjelaskan lagi bahwa tempat mereka dalam neraka. Mereka mendapat tikar dan selimut dari api. Firman Allah:

Dan sungguh, Jahanam meliputi orang-orang yang kafir. (at-Taubah/9: 49)

Itulah balasan yang diberikan Allah terhadap orang-orang yang aniaya terhadap dirinya sendiri dan aniaya terhadap orang lain. Setiap orang kafir itu dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang aniaya.

Ayat 42

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَآ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

wal-lażīna āmanū wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti lā nukallifu nafsan illā wus‘ahā, ulā'ika aṣḥābul-jannah(ti), hum fīhā khālidūn(a).

Dan orang-orang yang beriman serta mengerjakan kebajikan, Kami tidak akan membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Mereka itulah penghuni surga; mereka kekal di dalamnya,

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang beriman dan beramal saleh sesuai dengan kesanggupannya akan menjadi penghuni surga. Hal ini sebagai balasan mereka mengimani Allah dan membenarkan kerasulan Nabi Muhammad, yang telah menyampaikan wahyu dan ajaran agama, dengan penuh ketaatan mengerjakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, mereka tidak akan dikeluarkan dari surga dan segala kenikmatan yang ada tidak akan dicabut untuk selama-lamanya.

Allah tidak akan memikulkan kewajiban kepada seseorang melainkan sesuai kesanggupannya. Semua perintah dan larangan Allah, tidak berat dan tidak pula memberatkan. Amal saleh yang akan menjadikan seseorang sebagai penghuni surga adalah mudah, tidak sulit dan tidak susah. Agama Islam adalah agama yang mudah dikerjakan, bukan agama yang berat. Mudah dikerjakan oleh laki-laki - perempuan, tua - muda, dan orang sehat - orang sakit, bahkan mudah dikerjakan oleh semua lapisan masyarakat, kapanpun di mana pun mereka berada.

Ayat 43

وَنَزَعْنَا مَا فِيْ صُدُوْرِهِمْ مِّنْ غِلٍّ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهِمُ الْاَنْهٰرُۚ وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ هَدٰىنَا لِهٰذَاۗ وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَآ اَنْ هَدٰىنَا اللّٰهُ ۚ لَقَدْ جَاۤءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّۗ وَنُوْدُوْٓا اَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ اُوْرِثْتُمُوْهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

wa naza‘nā mā fī ṣudūrihim min gillin tajrī min taḥtihimul-anhār(u), wa qālul-ḥamdu lillāhil-lażī hadānā lihāżā, wa mā kunnā linahtadiya lau lā an hadānallāh(u), laqad jā'at rusulu rabbinā bil-ḥaqq(i), wa nūdū an tilkumul-jannatu ūriṡtumūhā bimā kuntum ta‘malūn(a).

dan Kami mencabut rasa dendam dari dalam dada mereka, di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kami ke (surga) ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak menunjukkan kami. Sesungguhnya rasul-rasul Tuhan kami telah datang membawa kebenaran.” Diserukan kepada mereka, “Itulah surga yang telah diwariskan kepadamu, karena apa yang telah kamu kerjakan.”

Ayat ini menerangkan bagaimana keadaan penghuni surga yang jauh berbeda dari keadaan penghuni neraka, seperti siang dan malam. Penghuni surga tidak mempunyai rasa dendam dan benci. Allah membuang rasa dendam dan dengki itu dari dalam dada mereka. Allah menumbuhkan rasa kasih sayang, santun, menghormati, dan bergembira. Kebalikan dari penghuni neraka, mereka bermusuhan satu dengan yang lain, tuntut-menuntut, tuduh-menuduh dan hina-menghinakan. Penghuni surga bersenang-senang dan bergembira dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, tetapi penghuni neraka dalam keadaan susah dan bermuram durja, mereka diliputi oleh api yang bernyala-nyala. Penghuni surga senantiasa bersyukur dan berterimakasih, menunjukkan kebahagiaan dan kegembiraan mereka.

Mereka memuji Allah yang telah memberinya petunjuk selama hidup di dunia sehingga mereka menjadi orang yang beriman dan beramal saleh yang menyebabkan mereka menjadi penghuni surga. Kalau bukan karena petunjuk Allah, tentu mereka tidak mempercayai Rasul Allah, atau mereka akan menjadi orang yang zalim dan durhaka. Karena Rasul diutus untuk membawa ajaran-ajaran yang benar, menuntun umatnya mempercayai Allah Yang Maha Esa dan Maha Berkuasa dan mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Kemudian penghuni surga mendengar seruan dari malaikat, suatu seruan yang sangat menyenangkan dan menggembirakan, seruan yang merupakan penghormatan dan kemuliaan, yaitu inilah tempatmu yang bernama surga yang sudah diwariskan Allah untukmu sebagai balasan dari amal salehmu yang kamu kerjakan selama hidup di dunia.

Masuk surga adalah balasan dari amal saleh yang dilandasi iman kepada Allah. Juga karena adanya rahmat dari Allah. Kalau rahmat dari Allah tidak ada, seseorang belum tentu akan masuk surga, yaitu suatu tempat kesenangan yang disediakan Allah bagi hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh, tetapi bila tidak ada rahmat Allah, tentu seseorang tidak akan masuk surga. Sebab tidaklah sebanding amal saleh dengan nikmat surga itu.

Dari kata-kata "Kami wariskan" terkandung di dalamnya rahmat Allah. Tidak mungkin seseorang masuk surga, walaupun besar amal salehnya tanpa adanya rahmat Allah baginya. Sabda Rasulullah:

Amal perbuatan (seseorang) tidak akan memasukkannya ke dalam surga. Mereka (para sahabat) bertanya, "Apakah engkau juga begitu ya Rasulullah?" Rasul menjawab, "Juga saya begitu, kecuali kalau Allah memberikan kepada saya rahmat dan karunia-Nya." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Ayat 44

وَنَادٰٓى اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ اَصْحٰبَ النَّارِ اَنْ قَدْ وَجَدْنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقًّا فَهَلْ وَجَدْتُّمْ مَّا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا ۗقَالُوْا نَعَمْۚ فَاَذَّنَ مُؤَذِّنٌۢ بَيْنَهُمْ اَنْ لَّعْنَةُ اللّٰهِ عَلَى الظّٰلِمِيْنَ

wa nādā aṣḥābul-jannati aṣḥāban-nāri an qad wajadnā mā wa‘adanā rabbunā ḥaqqan fahal wajattum mā wa‘ada rabbukum ḥaqqā(n), qālū na‘am, fa ażżana mu'ażżinum bainahum al la‘natullāhi ‘alaẓ-ẓālimīn(a).

Dan para penghuni surga menyeru penghuni-penghuni neraka, “Sungguh, kami telah memperoleh apa yang dijanjikan Tuhan kepada kami itu benar. Apakah kamu telah memperoleh apa yang dijanjikan Tuhan kepadamu itu benar?” Mereka menjawab, “Benar.” Kemudian penyeru (malaikat) mengumumkan di antara mereka, “Laknat Allah bagi orang-orang zalim,

Ayat ini menerangkan bahwa kelak di akhirat akan terjadi dialog antara penghuni surga dan penghuni neraka. Hal ini terjadi, setelah penghuni surga menetap dalam surga dan penghuni neraka sudah menetap dalam neraka. Penghuni surga dengan segala kenikmatan dan kesenangan yang diperoleh, dan dengan wajah berseri-seri menghadapkan mukanya ke arah penghuni neraka yang sedang menderita karena kedurhakaan dan kekafirannya kepada Allah dan kepada Rasulullah, seraya berkata, "Sesungguhnya kami telah memperoleh apa yang dijanjikan Allah kepada kami yang disampaikan Rasul-Nya. Kami telah memperoleh kesenangan, kemuliaan yang abadi yang tidak dapat kami ceritakan bagaimana nikmatnya dalam surga. Apakah kamu sudah memperoleh azab dan siksaan?" Mereka menjawab, "Benar, kami sedang menerima azab, sebagaimana yang telah diancamkan kepada kami dengan perantaraan Rasul-Nya." Di tengah-tengah percakapan yang seperti itu, terdengarlah satu seruan dari malaikat yang mengatakan, "Kutukan Allah terhadap orang zalim yang menganiaya dirinya sendiri yang tidak mau menerima kasih sayang Allah semasa di dunia, yaitu memasuki surga yang sudah dijanjikan Allah."

Ayat 45

اَلَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَيَبْغُوْنَهَا عِوَجًاۚ وَهُمْ بِالْاٰخِرَةِ كٰفِرُوْنَۘ

al-lażīna yaṣuddūna ‘an sabīlillāhi wa yabgūnahā ‘iwajā(n), wa hum bil-ākhirati kāfirūn(a).

(yaitu) orang-orang yang menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah dan ingin membelokkannya. Mereka itulah yang mengingkari kehidupan akhirat.”

Ayat ini menjelaskan, siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim. Yaitu orang-orang yang selalu berusaha melarang diri mereka sendiri ataupun orang lain untuk menuruti jalan Allah sebagaimana yang telah disampaikan Rasul Allah. Melarang mengikuti ajaran-ajaran agama yang benar, untuk mencari keridaan Allah. Berusaha menyesatkan orang lain dari jalan yang benar.

Selain dari itu termasuk orang yang zalim, ialah orang-orang yang berusaha menyelewengkan ajaran agama, tidak menurut ajaran yang sebenarnya. Cara yang mereka pakai untuk tujuan tersebut bermacam-macam. Di antara yang paling besar dosanya ialah menumbuhkan penyakit syirik. Tauhid diubah menjadi syirik dengan mencampuradukkan ajaran tauhid dengan ajaran agama lain dalam beribadah dan berdoa. Mempersekutukan Allah dengan berhala dan lain-lain atau dengan menjadikan berhala itu sebagai washilah kepada Allah, perbuatan itu adalah termasuk syirik dan jelas dilarang. Firman Allah:

Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar). (al-Bayyinah/98: 5)

Cara yang lain lagi ialah dengan menimbulkan segala macam keraguan dalam agama, mereka mempersulit cara yang berlebih-lebihan untuk mengerjakan berbagai perintah agama. Sehingga orang lambat-laun akan lari dari agama. Sebenarnya orang-orang yang zalim itu termasuk orang-orang yang tak percaya kepada akhirat. Mereka tidak percaya datangnya hari Kiamat, tidak percaya dengan hari pembalasan dan lain-lain yang berhubungan dengan hari Kiamat.

Ayat 46

وَبَيْنَهُمَا حِجَابٌۚ وَعَلَى الْاَعْرَافِ رِجَالٌ يَّعْرِفُوْنَ كُلًّا ۢ بِسِيْمٰىهُمْۚ وَنَادَوْا اَصْحٰبَ الْجَنَّةِ اَنْ سَلٰمٌ عَلَيْكُمْۗ لَمْ يَدْخُلُوْهَا وَهُمْ يَطْمَعُوْنَ

wa bainahumā ḥijāb(un), wa ‘alal-a‘rāfi rijāluy ya‘rifūna kullam bisīmāhum, wa nādau aṣḥābal-jannati an salāmun ‘alaikum, lam yadkhulūhā wa hum yaṭma‘ūn(a).

Dan di antara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada tabir dan di atas A‘raf (tempat yang tertinggi) ada orang-orang yang saling mengenal, masing-masing dengan tanda-tandanya. Mereka menyeru penghuni surga, “Salamun ‘alaikum” (salam sejahtera bagimu). Mereka belum dapat masuk, tetapi mereka ingin segera (masuk).

Ayat ini menerangkan bahwa antara penghuni surga dan penghuni neraka ada batas yang sangat kokoh. Batas itu berupa pagar tembok yang tidak memungkinkan masing-masing mereka untuk keluar dan untuk berpindah tempat. Di atas pagar tembok itu ada suatu tempat yang tertinggi, tempat orang-orang yang belum dimasukkan ke dalam surga. Mereka bertahan di sana menunggu keputusan dari Allah. Dari tempat yang tinggi itu mereka bisa melihat penghuni surga dan melihat penghuni neraka. Kedua penghuni itu kenal dengan tanda yang ada pada mereka masing-masing. Seperti mengenal mukanya yang telah disifatkan Allah dalam Al-Qur'an. Firman Allah:

Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan pada hari itu ada (pula) wajah-wajah yang tertutup debu (suram), tertutup oleh kegelapan (ditimpa kehinaan dan kesusahan). Mereka itulah orang-orang kafir yang durhaka. ('Abasa/80: 38-42)

Mereka yang tinggal di tempat yang tinggi di atas pagar batas itu mempunyai kebaikan yang seimbang dengan kejahatannya, belum bisa dimasukkan ke dalam surga, tetapi tidak menjadi penghuni neraka. Mereka untuk sementara ditempatkan di sana, sambil menunggu rahmat dan karunia Allah untuk dapat masuk ke dalam surga.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, bahwa Rasulullah bersabda:

"Diletakkan timbangan pada hari Kiamat lalu ditimbanglah semua kebaikan dan kejahatan. Maka orang-orang yang lebih berat timbangan kebaikannya dari pada timbangan kejahatannya meskipun sebesar biji sawi/atom dia akan masuk surga". Dan orang yang lebih berat timbangan kejahatannya dari pada timbangan kebaikannya meskipun sebesar biji sawi/atom, ia akan masuk neraka. Dikatakan kepada Rasulullah, bagaimana orang yang sama timbangan kebaikannya dengan timbangan kejahatannya? Rasulullah menjawab: mereka itulah penghuni A'raf, mereka itu belum memasuki surga tetapi mereka sangat ingin memasukinya." (Riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu Mas'ud)

Sesudah itu Ibnu Mas'ud berkata, "sesungguhnya timbangan itu bisa berat dan bisa ringan oleh sebuah biji yang kecil saja. Siapa yang timbangan kebaikan dan kejahatannya sama-sama berat, mereka penghuni A'raf, mereka berdiri menunggu di atas jembatan.

Kemudian mereka dipalingkan melihat penghuni surga dan neraka. Apabila mereka melihat penghuni surga, mereka mengucapkan: "Keselamatan dan kesejahteraaan bagimu. Apabila pandangan mereka dipalingkan ke kiri, mereka melihat penghuni neraka, seraya berkata, "Ya Tuhan kami janganlah Engkau tempatkan kami bersama dengan orang-orang zalim". Mereka sama-sama berlindung diri kepada Allah dari tempat mereka. Ibnu Mas'ud berkata, "Orang yang mempunyai kebaikan, mereka diberi cahaya yang menerangi bagian depan dan kanan mereka. Tiap-tiap orang dan tiap-tiap umat diberi cahaya setibanya mereka di atas jembatan, Allah padamkan cahaya orang-orang munafik laki-laki dan munafik perempuan. Tatkala penghuni surga melihat apa yang di hadapan orang-orang munafik, mereka berkata, "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah cahaya kami." Adapun penghuni A'raf, cahaya mereka ada di tangan mereka, tidak akan tanggal. Pada waktu itu Allah berfirman :

Mereka belum dapat masuk, tetapi mereka ingin segera (masuk). (al-A'raf/7: 46)

Yang dimaksud dalam ayat ini, bahwa penghuni A'raf itu menyeru penghuni surga, mengucapkan selamat sejahtera, karena kerinduan mereka atas nikmat yang telah diberikan Allah kepada penghuni surga. Mereka belum juga dapat masuk ke dalamnya, sedang hati mereka sudah sangat rindu untuk masuk.

Ayat 47

۞ وَاِذَا صُرِفَتْ اَبْصَارُهُمْ تِلْقَاۤءَ اَصْحٰبِ النَّارِۙ قَالُوْا رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا مَعَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

wa iżā ṣurifat abṣāruhum tilqā'a aṣḥābin-nāri qālū rabbanā lā taj‘alnā ma‘al-qaumiẓ-ẓālimīn(a).

Dan apabila pandangan mereka dialihkan ke arah penghuni neraka, mereka berkata, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau tempatkan kami bersama-sama orang-orang zalim itu.”

Ayat ini menerangkan, bila penghuni A'raf ini mengalihkan pandangannya ke arah penghuni neraka, timbullah ketakutan mereka, lalu memohon kepada Allah agar mereka jangan dimasukkan bersama orang-orang yang zalim itu ke dalam neraka. Sedangkan melihat penghuni surga adalah kesenangan dan kesukaan mereka. Karena itu ketika mereka melihat surga mengucapkan salam sejahtera, karena kerinduan hati mereka melihat kesenangan yang ada di dalamnya. Jadi maksud ayat ini adalah menumbuhkan rasa takut dan gentar kepada penghuni A'raf itu, agar dapat dijadikan pelajaran bagi manusia untuk berhati-hati agar jangan mengerjakan pekerjaan yang dapat mendatangkan dosa.

Ayat 48

وَنَادٰٓى اَصْحٰبُ الْاَعْرَافِ رِجَالًا يَّعْرِفُوْنَهُمْ بِسِيْمٰىهُمْ قَالُوْا مَآ اَغْنٰى عَنْكُمْ جَمْعُكُمْ وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُوْنَ

wa nādā aṣḥābul-a‘rāfi rijālay ya‘rifūnahum bisīmāhum qālū mā agnā ‘ankum jam‘ukum wa mā kuntum tastakbirūn(a).

Dan orang-orang di atas A‘raf (tempat yang tertinggi) menyeru orang-orang yang mereka kenal dengan tanda-tandanya sambil berkata, “Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang kamu sombongkan, (ternyata) tidak ada manfaatnya buat kamu.

Ayat ini menerangkan dialog penghuni A'raf dengan penghuni neraka yang terdiri dari orang-orang yang sombong dan takabur pada masa hidup di dunia. Orang-orang yang merasa mulia karena kekayaan dan hartanya yang banyak, merasa bangga hidup di dunia, memandang hina terhadap orang-orang mukmin yang miskin dan lemah, yaitu lemah kekuatan dan lemah kedudukan, dan sedikit pengikutnya. Mereka selalu membanggakan, bahwa siapa yang hidup kaya dan mulia, serta berkuasa di dunia, itulah orang-orang yang akan berbahagia di akhirat dan terhindar dari azab Allah. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya:

Dan setiap Kami mengutus seorang pemberi peringatan kepada suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) berkata, "Kami benar-benar mengingkari apa yang kamu sampaikan sebagai utusan." Dan mereka berkata, "Kami memiliki lebih banyak harta dan anak-anak (dari pada kamu) dan kami tidak akan diazab." (Saba/34: 34-35)

Penghuni A'raf mengenali mereka dengan tanda-tanda yang ada pada mereka, seperti yang bermuka hitam dan berdebu serta tanda-tanda yang dapat dikenal semasa hidup di dunia, seperti pemimpin Quraisy dan golongan-golongannya yang menjadi musuh Islam, dan selalu menindas dan menganiaya orang-orang Islam, di antaranya Abu Jahal, Walid bin Mugirah, Ash bin Wail dan lain-lain. Penghuni A'raf mengatakan kepada mereka, "Tidakkah dapat menolongmu dari siksaan api neraka harta kekayaanmu yang banyak, kesombonganmu terhadap orang-orang mukmin yang kamu anggap lemah. Tidak adakah faedah dan pahala yang kamu harapkan, sehingga kamu terlepas dari siksa yang pedih."

Ayat 49

اَهٰٓؤُلَاۤءِ الَّذِيْنَ اَقْسَمْتُمْ لَا يَنَالُهُمُ اللّٰهُ بِرَحْمَةٍۗ اُدْخُلُوا الْجَنَّةَ لَا خَوْفٌ عَلَيْكُمْ وَلَآ اَنْتُمْ تَحْزَنُوْنَ

ahā'ulā'il-lażīna aqsamtum lā yanāluhumullāhu biraḥmah(tin), udkhulul-jannata lā khaufun ‘alaikum wa lā antum taḥzanūn(a).

Itukah orang-orang yang kamu telah bersumpah, bahwa mereka tidak akan mendapat rahmat Allah?” (Allah berfirman), “Masuklah kamu ke dalam surga! Tidak ada rasa takut padamu dan kamu tidak pula akan bersedih hati.”

Ayat ini menerangkan kelanjutan pembicaraan penghuni A'raf dengan mereka yang tersebut di atas. Ketika pembicaraan ditujukan kepada golongan orang mukmin yang mereka anggap lemah, miskin dan hina dan yang pernah mereka siksa dulu seperti shuhaib, Bilal dan Keluarga Yasir. Lalu diajukan pertanyaan kepada mereka dengan nada mencela dan menghina, "Inikah orang-orang yang kamu katakan dulu, bahwa mereka tidak akan mendapat rahmat dari Allah, sampai kamu berani bersumpah dan berlagak sombong sambil menghina mereka? Bagaimana kenyataannya sekarang, merekalah yang beruntung dan mendapat rahmat dari Allah, sedang kamu meringkuk dalam neraka menerima segala macam azab dan siksaan Allah.

Kemudian sesudah percakapan itu, Allah mempersilahkan penghuni A'raf masuk ke dalam surga, sesudah tertahan sementara di tempat yang bernama A'raf itu. Allah mempersilahkan, "Masuklah ke dalam surga, kamu tidak usah merasa takut dan sedih di dalamnya. Begitulah keadaan orang-orang yang durhaka dan sombong semasa hidup di dunia, mereka di akhirat akan dihina dan dicela bukan saja oleh penghuni surga, tetapi juga oleh penghuni A'raf yang menunggu keputusan dari Allah untuk masuk ke dalam surga.

Ayat 50

وَنَادٰٓى اَصْحٰبُ النَّارِ اَصْحٰبَ الْجَنَّةِ اَنْ اَفِيْضُوْا عَلَيْنَا مِنَ الْمَاۤءِ اَوْ مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ ۗقَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ حَرَّمَهُمَا عَلَى الْكٰفِرِيْنَۙ

wa nādā aṣḥābun-nāri aṣḥābal-jannati an afīḍū ‘alainā minal-mā'i au mimmā razaqakumullāh(u), qālū innallāha ḥarramahumā ‘alal-kāfirīn(a).

Para penghuni neraka menyeru para penghuni surga, “Tuangkanlah (sedikit) air kepada kami atau rezeki apa saja yang telah dikaruniakan Allah kepadamu.” Mereka menjawab, “Sungguh, Allah telah mengharamkan keduanya bagi orang-orang kafir,”

Ayat ini menerangkan, bahwa penghuni neraka meminta tolong kepada penghuni surga agar diberikan sedikit air atau makanan kepada mereka sebagai rezeki dan pemberian Allah kepada penghuni surga. Penghuni neraka sudah sangat haus dan lapar, karena panasnya api neraka. Maka dengan tidak malu-malu mereka minta tolong kepada penghuni surga agar diberi air dan makanan, sebenarnya mereka sudah tahu, bahwa permintaan mereka tidak akan berhasil, bahkan hanya untuk menambah siksaan saja kepada mereka. Maka permintaan mereka mendapat jawaban yang cukup menyedihkan perasaan mereka, menambah haus dan lapar mereka. Penghuni surga menjawab, "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan air dan makanan bagi orang-orang kafir, sebagaimana Allah mengharamkan mereka masuk surga dan menambah pedih siksaan neraka bagi mereka. Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas:

"Bahwa seorang penghuni neraka memanggil kawannya,"Wahai saudaraku, tolonglah aku, sesungguhnya aku telah terbakar, maka berikanlah sedikit air kepadaku. Maka dikatakanlah kepada saudaranya (yang diminta pertolongan) itu. Jawablah permintaan itu. Maka saudaranya membacakan ayat ini, "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya bagi orang-orang kafir." (Riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu 'Abbas)

Ayat 51

الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا دِيْنَهُمْ لَهْوًا وَّلَعِبًا وَّغَرَّتْهُمُ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَاۚ فَالْيَوْمَ نَنْسٰىهُمْ كَمَا نَسُوْا لِقَاۤءَ يَوْمِهِمْ هٰذَاۙ وَمَا كَانُوْا بِاٰيٰتِنَا يَجْحَدُوْنَ

al-lażīnattakhażū dīnahum lahwaw wa la‘ibaw wa garrathumul-ḥayātud-dun-yā, fal-yauma nansāhum kamā nasū liqā'a yaumihim hāżā, wa mā kānū bi'āyātinā yajḥadūn(a).

(yaitu) orang-orang yang menjadikan agamanya sebagai permainan dan senda gurau, dan mereka telah tertipu oleh kehidupan dunia. Maka pada hari ini (Kiamat), Kami melupakan mereka sebagaimana mereka dahulu melupakan pertemuan hari ini, dan karena mereka mengingkari ayat-ayat Kami.

Ayat ini menerangkan, siapakah orang kafir yang telah diharamkan Allah minum dan makan makanan yang diberikan kepada penghuni surga. Mereka itulah orang-orang yang semasa hidup di dunia, mengaku beragama tapi hanya sekadar berolok-olok dan bermain-main saja. Mereka tidak beragama dengan maksud untuk mensucikan jiwanya dan untuk mendapatkan pahala di sisi Allah di akhirat nanti. Mereka beragama hanya sekadar nama saja, tetapi amal perbuatan mereka bertentangan dengan ajaran agama. Malahan kadang-kadang mereka menjadi penghalang berlakunya ajaran agama dalam masyarakat.

Mereka sudah tenggelam dalam buaian kenikmatan hidup di dunia. Mereka hanya mengikuti hawa nafsu, bersenang-senang dan bergembira dengan tidak memperdulikan halal haram, yang hak dan yang batil. Mereka tidak seperti orang-orang beriman, menjadikan dunia ibarat kebun untuk dapat ditanami dengan kebaikan-kebaikan yang hasilnya dapat dipetik nanti di akhirat. Karena sudah terbenam dalam gelombang keduniawian, dibuai dan diayun oleh kesenangan sementara, sedang kesenangan yang selama-lamanya mereka lupakan. Pantas kalau pada hari Kiamat Allah melupakan mereka, tidak menolong mereka, karena semasa hidup di dunia mereka lupa kepada Allah, seolah-olah mereka tidak akan pulang ke kampung yang abadi. Maka pada hari Kiamat Allah membiarkan mereka dalam api neraka yang menyala-nyala, karena mereka tidak mau berbuat amal saleh semasa hidup di dunia, tidak percaya akan hari akhirat dan mereka selalu membantah dan mendustakan ayat-ayat Allah yang disampaikan oleh Rasul-rasul-Nya bahkan mereka menentang Rasul-rasul Allah itu.

Ayat 52

وَلَقَدْ جِئْنٰهُمْ بِكِتٰبٍ فَصَّلْنٰهُ عَلٰى عِلْمٍ هُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ

wa laqad ji'nāhum bikitābin faṣṣalnāhu ‘alā ‘ilmin hudaw wa raḥmatal liqaumiy yu'minūn(a).

Sungguh, Kami telah mendatangkan Kitab (Al-Qur'an) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.

Ayat ini menjelaskan tentang kitab yang telah diturunkan kepada manusia, yaitu Al-Qur'an kitab samawi yang mengandung penjelasan-penjelasan dan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam ayat-ayat yang cukup jelas dan terang karena telah dijelaskan oleh Allah kepada manusia dengan perantaraan Rasul-Nya Muhammad saw. Al-Qur'an itu menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman yang mempercayai bahwa Al-Qur'an adalah wahyu dari Allah. Bila seseorang mau mempelajarinya, dan mau mengamalkan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya, dia akan mendapatkan kebahagiaan dan rahmat Allah. Al-Qur'an berisi pokok-pokok dasar agama secara umum, baik yang berhubungan dengan akidah dan ibadah, maupun yang berhubungan dengan muamalah, pergaulan yang luas antar bangsa di dunia ini.

Dengan adanya Al-Qur'an sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia, maka diharapkan penyakit taklid buta dengan mengikuti cara-cara nenek moyang yang tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur'an, syirik, menyembah selain Allah, seperti berhala, kubur yang dianggap keramat, dan lainnya dapat dihilangkan. Al-Qur'an mengajarkan tauhid, hanya kepada Allah manusia beribadah dan meminta pertolongan. Dengan demikian, ungkapan seperti yang terdapat dalam firman Allah di bawah ini tidak terdengar lagi, yaitu:

"Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekedar pengikut jejak-jejak mereka." (az-Zukhuf/43: 23)

Ayat 53

هَلْ يَنْظُرُوْنَ اِلَّا تَأْوِيْلَهٗۗ يَوْمَ يَأْتِيْ تَأْوِيْلُهٗ يَقُوْلُ الَّذِيْنَ نَسُوْهُ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَاۤءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّۚ فَهَلْ لَّنَا مِنْ شُفَعَاۤءَ فَيَشْفَعُوْا لَنَآ اَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِيْ كُنَّا نَعْمَلُۗ قَدْ خَسِرُوْٓا اَنْفُسَهُمْ وَضَلَّ عَنْهُمْ مَّا كَانُوْا يَفْتَرُوْنَ ࣖ

hal yanẓurūna illā ta'wīlah(ū), yauma ya'tī ta'wīluhū yaqūlul-lażīna nasūhu min qablu qad jā'at rusulu rabbinā bil-ḥaqq(i), fahal lanā min syufa‘ā'a fa yasyfa‘ū lanā au nuraddu fa na‘mala gairal-lażī kunnā na‘mal(u), qad khasirū anfusahum wa ḍalla ‘anhum mā kānū yaftarūn(a).

Tidakkah mereka hanya menanti-nanti bukti kebenaran (Al-Qur'an) itu. Pada hari bukti kebenaran itu tiba, orang-orang yang sebelum itu mengabaikannya berkata, “Sungguh, rasul-rasul Tuhan kami telah datang membawa kebenaran. Maka adakah pemberi syafaat bagi kami yang akan memberikan pertolongan kepada kami atau agar kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami akan beramal tidak seperti perbuatan yang pernah kami lakukan dahulu?” Mereka sebenarnya telah merugikan dirinya sendiri dan apa yang mereka ada-adakan dahulu telah hilang lenyap dari mereka.

Ayat ini menerangkan bagaimana keadaan orang-orang yang tidak mau menjadikan Al-Qur'an sebagai petunjuk dan pedoman dalam hidupnya untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Mereka lebih mempercayai ajaran nenek moyang yang sesat dari pada ajaran Al-Qur'an yang disampaikan Rasulullah saw dengan benar. Dengan perbuatan seperti ini berarti mereka menunggu datangnya hukuman Allah yang mengakibatkan penyesalan. Pada hari Kiamat, apa yang mereka tunggu itu menjadi kenyataan.

Janji dan ancaman yang disampaikan para rasul akan terbukti pada hari Kiamat, yaitu orang yang beriman dan berbuat baik akan mendapat kebahagiaan, dan orang yang kafir akan menerima hukuman dan berada dalam kesengsaraan. Pada hari itu, orang-orang yang lupa kepada Allah dan tidak percaya kepada para rasul yang telah membawa petunjuk dan kebenaran, bahkan mereka juga yang ragu dan menentangnya. Karena itu, bila mereka mendapat hukuman, maka hal itu merupakan suatu yang wajar.

Pada hari itu mereka tidak punya daya untuk menghindar dari hukuman. Yang dapat mereka lakukan hanya berangan-angan kalau saja ada pertolongan dari orang atau sesuatu yang pernah diagungkan atau disembah, seperti nenek moyang yang dijadikan rujukan taklid atau berhala yang dijadikan sembahan. Mereka juga berangan-angan untuk dikembalikan hidup ke dunia, agar mereka dapat bekerja dan beramal baik sesuai dengan ajaran Allah. Angan-angan seperti ini tidak mungkin terjadi. Mereka tidak dapat kembali ke dunia, karena alam dan isinya telah hancur. Karena itu, pada akhir ayat ini disebutkan bahwa mereka telah merugi. Di dunia mereka merugi karena telah mengotori dirinya dengan syirik dan maksiat, dan di akhirat mereka juga merugi karena mendapat hukuman.

Mereka merugi karena semua yang mereka kerjakan di dunia tidak membawa keuntungan sedikit pun. Hilang dan lenyap dari pandangan mereka apa yang mereka ada-adakan selama ini. Mereka mengharapkan syafa'at dari sesuatu yang mereka sembah. Syafa'at yang diharap-harapkan itu tak kunjung datang. Akhirnya timbul penyesalan dan kerugian.

Ayat 54

اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهٗ حَثِيْثًاۙ وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمَ مُسَخَّرٰتٍۢ بِاَمْرِهٖٓ ۙاَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْاَمْرُۗ تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ

inna rabbakumullāhul-lażī khalaqas-samāwāti wal-arḍa fī sittati ayyāmin ṡummastawā ‘alal-‘arsy(i), yugsyil-lailan-nahāra yaṭlubuhū ḥaṡīṡā(n), wasy-syamsa wal-qamara wan-nujūma musakhkharātim bi'amrih(ī), alā lahul-khalqu wal-amr(u), tabārakallāhu rabbul-‘ālamīn(a).

Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam.

Pada permulaan ayat ini Allah menegaskan bahwa Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari (masa). Dialah Pemilik, Penguasa dan Pengaturnya, Dialah Tuhan yang berhak disembah dan kepada-Nya manusia harus meminta pertolongan.

Walaupun yang disebutkan dalam ayat ini hanya langit dan bumi saja, tetapi yang dimaksud ialah semua yang ada di alam ini, karena yang dimaksud dengan langit ialah semua alam yang di atas, dan yang dimaksud dengan bumi ialah semua alam di bawah, dan termasuk pula alam yang ada di antara langit dan bumi sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. (al-Furqan/25: 59)

Adapun yang dimaksud dengan enam hari ialah enam masa yang telah ditentukan Allah, bukan enam hari yang kita kenal ini yaitu hari sesudah terciptanya langit dan bumi, sedang hari dalam ayat ini adalah sebelum itu. Berikut ini penjelasan arti enam hari dalam ayat ini menurut para ilmuwan:

Menurut Marconi (2003) penjelaskan keenam masa tersebut sebagai berikut: Masa Pertama, yakni masa sejak 'Dentuman Besar (Big Bang) dari Singularity, sampai terpisahnya Gaya Gravitasi dari Gaya Tunggal (Superforce), ruang-waktu mulai memisah. Namun Kontinuum Ruang-Waktu yang lahir masih berujud samar-samar, dimana energi-materi dan ruang-waktu tidak jelas bedanya. Masa Kedua, masa terbentuknya inflasi Jagad Raya, namun Jagad Raya ini masih belum jelas bentuknya, dan disebut sebagai Cosmic Soup (Sup Kosmos). Gaya Nuklir-Kuat memisahkan diri dari Gaya Elektro-Lemah, serta mulai terbentuknya materi-materi fundamental: quarks, antiquarks, dan sebagainya. Jagad Raya mulai mengembang. Masa Ketiga, masa terbentuknya inti-inti atom di Jagad Raya ini. Gaya Nuklir-Lemah mulai terpisah dengan Gaya Elektromagnetik. Inti-inti atom seperti proton, netron, dan meson tersusun dari quark-quark ini. Masa ini dikenal sebagai masa pembentukan inti-inti atom (Nucleosyntheses). Ruang, waktu serta materi dan energi, mulai terlihat terpisah. Masa Keempat, elektron-elektron mulai terbentuk, namun masih dalam keadaan bebas, belum terikat oleh inti-atom untuk membentuk atom yang stabil. Masa Kelima, terbentuknya atom-atom yang stabil, memisahnya materi dan radiasi, dan Jagad Raya, terus mengembang dan mulai nampak transparan. Masa Keenam, Jagad raya terus mengembang, atom-atom mulai membentuk aggregat menjadi molekul-molekul, makro-molekul, kemudian membentuk proto-galaksi, galaksi-galaksi, bintang-bintang, tata-surya tata surya, dan planet-planet.

Adapun mengenai lamanya sehari menurut agama hanya Allah yang mengetahui, sebab dalam Al-Qur'an sendiri ada yang diterangkan bahwa sehari di sisi Allah sama dengan seribu tahun, dalam firman-Nya yang disebutkan:

Dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu. (al-hajj/22: 47)

Dan ada pula yang diterangkan lima puluh ribu tahun seperti dalam firman-Nya:

Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun. (al-Ma'arij/70: 4)

Ada beberapa hadis yang menunjukkan bahwa hari yang enam itu ialah hari-hari kita sekarang di antaranya yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah. Abu Hurairah berkata:

"Rasulullah memegang tanganku lalu bersabda, "Allah menciptakan tanah pada hari Sabtu, menciptakan bukit-bukit pada hari Ahad, menciptakan pohon pada hari Senin, menciptakan hal-hal yang tak baik pada hari Selasa, menciptakan cahaya pada hari Rabu, menciptakan gunung-gunung pada hari Kamis, dan menciptakan Adam pada hari Jum'at sesudah Asar, merupakan ciptaan terakhir, pada saat terakhir itu antara waktu asar dan permulaan malam". (Riwayat Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah)

Hadis ini ditolak oleh para ahli hadis karena bertentangan dengan nash Al-Qur'an. Dari segi sanadnya pun hadis ini adalah lemah karena dirawikan oleh Hajjad bin Muhammad al-Ajwar dari Juraij yang sudah tidak waras di akhir hayatnya. Menurut al-Manar hadis ini termasuk hadis-hadis Israiliyat yang dibikin oleh kaum Yahudi dan Nasrani dan dikatakan dari Rasulullah saw. Pada ayat-ayat yang lain diterangkan lebih terperinci lagi tentang masa-masa penciptaan langit dan bumi seperti terdapat dalam firman Allah:

Katakanlah, "Pantaskah kamu ingkar kepada Tuhan yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan pula sekutu-sekutu bagi-Nya? Itulah Tuhan seluruh alam." (Fushshilat/41: 9)

Allah menciptakan gunung-gunung yang kokoh di atas bumi. Dia memberkahi dan menentukan kadar makanan penghuninya dalam empat masa yang sama (cukup) sesuai bagi siapa yang memerlukannya. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan bumi itu masih merupakan asap, Allah berkata kepadanya dan kepada bumi, "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka atau terpaksa. Keduanya menjawab, "Kami datang dengan suka." Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan kepada tiap-tiap langit urusannya. Dan kami hiasi langit yang terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.

Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.Penciptaan bumi yang berasal dari gumpalan-gumpalan yang kelihatan seperti asap adalah dua masa dan penciptaan tanah, bukit-bukit, gunung-gunung serta bermacam-macam tumbuh-tumbuhan dan bintang dalam dua masa pula. Dengan demikian sempurnalah penciptaan bumi dan segala isinya dalam empat masa.

2.Penciptaan langit yang berasal dari gumpalan-gumpalan kabut itu dengan segala isinya dalam dua masa pula. Adapun bagaimana prosesnya kejadian langit dan bumi. Al-Qur'an tidak menjelaskannya secara terperinci dan kewajiban para ahli untuk menyelidikinya dan mengetahui waktu atau masa yang diperlukan untuk masing-masing tahap dari tahap-tahap kejadiannya.

Kemudian setelah selesai penciptaan langit dan bumi, Allah bersemayam di atas Arsy mengurus dan mengatur semua urusan yang berhubungan dengan langit dan bumi sesuai dengan ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Tentang bagaimana Allah bersemayam di atas Arsy-Nya dan bagaimana Dia mengatur semesta alam ini tidaklah dapat disamakan atau digambarkan seperti bersemayamnya seorang raja di atas singgasananya karena Allah tidak boleh dimisalkan atau disamakan dengan makhluk-Nya. Namun hal ini harus dipercayai dan diimani dan hanya Allah sendiri Yang Mengetahui bagaimana hakikatnya. Para sahabat Nabi tidak ada yang merasa ragu dalam hatinya mengenai bersemayam-Nya Allah di atas Arsy. Mereka meyakini hal itu dan beriman kepada-Nya tanpa mengetahui bagaimana gambarannya. Demikianlah Imam Malik berkata ketika ditanyakan kepadanya masalah bersemayamnya Allah di atas Arsy sebagai berikut, "Bersemayamnya Allah adalah suatu hal yang tidak asing lagi, tetapi bagaimana caranya tidak dapat dipikirkan."

Kerasulan itu adalah dari Allah dan kewajiban Rasul ialah menyampaikan, maka kewajiban manusia ialah membenarkannya. Demikianlah pendapat dan pendirian ulama-ulama dari dahulu sampai sekarang, maka tidak wajar manusia memberanikan diri untuk menggambarkan bersemayam-Nya Allah di atas Arsy-Nya. Na'im bin Ahmad guru Imam al-Bukhari berkata tantang hal itu, "Orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya adalah kafir, orang yang mengingkari sifat Allah sebagaimana diterangkan-Nya (dalam kitab-Nya) adalah kafir, dan tiadalah dalam sifat Allah yang diterangkan-Nya atau diterangkan Rasul-Nya sesuatu penyerupaan. Maka barang siapa yang menetapkan hal-hal yang diterima dari hadis yang sahih sesuai dengan keagungan Allah dan meniadakan sifat-sifat kekurangan bagi-Nya, maka sesungguhnya dia telah menempuh jalan yang benar. Selanjutnya Allah menerangkan bahwa Dialah yang menutupi siang dan malam sehingga hilanglah cahaya matahari di permukaan bumi dan hal ini berlaku sangat cepat. Maksudnya malam itu selalu mengejar cahaya matahari telah tertutup terjadilah malam dan di tempat yang belum terkejar oleh malam, matahari tetap meneranginya dan di sana tetaplah siang. Demikianlah seterusnya pergantian siang dengan malam atau pergantian malam dengan siang. Dalam ayat lain Allah berfirman:

Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia memasukkan malam atas siang dan memasukkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah! Dialah Yang Mahamulia, Maha Pengampun. (az-Zumar/39: 5)

Hal ini terjadi karena bumi yang berbentuk bulat selalu berputar pada sumbunya di bawah matahari. Dengan demikian, pada permukaan bumi yang kena cahaya matahari terjadilah siang dan pada muka bumi yang tidak terkena cahayanya terjadilah malam. Kemudian Allah menerangkan pula bahwa matahari, bulan dan bintang semuanya tunduk di bawah perintah-Nya dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Semuanya bergerak sesuai dengan aturan yang telah ditentukan dan di antaranya tidak ada yang menyimpang dari aturan-aturan yang telah ditentukan itu. Dengan demikian terjadilah suatu keharmonisan dan keserasian dalam perjalanan masing-masing sehingga tidak akan terjadi perbenturan atau tabrakan antara satu dengan yang lainnya, meskipun di langit terdapat bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya yang jumlahnya tak terhingga. Semua itu adalah karena Dia Maha Pencipta, Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Mahasuci Allah Tuhan semesta alam. Hanya Allah yang patut disembah, kepada-Nya setiap hamba harus memanjatkan doa memohon karunia dan rahmat-Nya dan kepada-Nya pula setiap hamba harus bersyukur dan berterima kasih atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya. Sungguh amat jauh kesesatan orang yang mempersekutukan-Nya dengan makhluk-Nya dan memohonkan doa kepada sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat atau mudarat.

Ayat 55

اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَۚ

ud‘ū rabbakum taḍarru‘aw wa khufūyah(tan), innahū lā yuḥibbul-mu‘tadīn(a).

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Ayat ini mengandung etika dalam berdoa kepada Allah. Berdoa adalah munajat antara hamba dengan Tuhannya untuk menyampaikan suatu permintaan agar Allah berkenan mengabulkannya. Maka berdoa kepada Allah hendaklah dengan penuh kerendahan hati, dengan betul-betul khusyuk dan berserah diri. Kemudian berdoa itu disampaikan dengan suara lunak dan lembut yang keluar dari hati sanubari yang bersih. Berdoa dengan suara yang keras, menghilangkan kekhusyukan dan mungkin menjurus kepada ria dan pengaruh-pengaruh lainnya dan dapat mengakibatkan doa itu tidak dikabulkan Allah. Doa tidak harus dengan suara yang keras, sebab Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.

Diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy'ari, ia berkata, "Ketika kami bersama-sama Rasulullah saw dalam perjalanan, terdengarlah orang-orang membaca takbir dengan suara yang keras. Maka Rasulullah bersabda:

"Sayangilah dirimu jangan bersuara keras, karena kamu tidak menyeru kepada yang pekak dan yang jauh. Sesungguhnya kamu menyeru Allah Yang Maha Mendengar lagi Dekat dan Dia selalu beserta kamu". (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asy'ari)

Bersuara keras dalam berdoa, bisa mengganggu orang, lebih-lebih orang yang sedang beribadah, baik dalam masjid atau di tempat-tempat ibadah yang lain, kecuali yang dibolehkan dengan suara keras, seperti talbiyah dalam musim haji dan membaca takbir pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Allah memuji Nabi Zakaria a.s. yang berdoa dengan suara lembut:

(Yaitu) ketika dia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. (Maryam/19: 3)

Kemudian ayat ini ditutup dengan peringatan, "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampau batas." Maksudnya, dilarang melampaui batas dalam segala hal, termasuk berdoa. Tiap-tiap sesuatu sudah ditentukan batasnya yang harus diperhatikan, jangan sampai dilampaui.

Bersuara keras dan berlebih-lebihan dalam berdoa termasuk melampaui batas, Allah tidak menyukainya. Termasuk juga melampaui batas dalam berdoa, meminta sesuatu yang mustahil adanya menurut syara' ataupun akal, seperti seseorang meminta agar dia menjadi kaya, tetapi tidak mau berusaha atau seseorang menginginkan agar dosanya diampuni, tetapi dia masih terus bergelimang berbuat dosa dan lain-lainnya. Berdoa seperti itu, namanya ingin mengubah sunatullah yang mustahil terjadinya. Firman Allah:

Maka kamu tidak akan mendapatkan perubahan bagi ketentuan Allah, dan tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi ketentuan Allah itu. (Fathir/35: 43)

Berdoa dihadapkan kepada selain Allah atau dengan memakai perantara (washilah) orang yang sudah mati adalah melampaui batas yang sangat tercela. Berdoa itu hanya dihadapkan kepada Allah, tidak boleh menyimpang kepada yang lain. Allah berfirman:

Katakanlah (Muhammad), "Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, mereka tidak kuasa untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak (pula) mampu mengubahnya." Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah). Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sungguh, azab Tuhanmu itu sesuatu yang (harus) ditakuti." (al-Isra'/17: 56-57)

Hadis Nabi saw:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dia berkata, "Telah bersabda Rasulullah saw, "Mintalah kepada Allah washilah untukku. Mereka bertanya: Ya Rasulullah, apakah washilah itu? Rasulullah menjawab: "Dekat dengan Allah azza Wa Jalla, kemudian Rasulullah membaca ayat; (mereka sendiri) mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat kepada Allah." (Riwayat at-Tirmidzi dari Ibnu Mardawaih)

Ayat 56

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

wa lā tufsidū fil-arḍi ba‘da iṣlāḥihā wad‘ūhu khaufaw wa ṭama‘ā(n), inna raḥmatallāhi qarībum minal-muḥsinīn(a).

Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.

Dalam ayat ini Allah melarang manusia agar tidak membuat kerusakan di muka bumi. Larangan membuat kerusakan ini mencakup semua bidang, seperti merusak pergaulan, jasmani dan rohani orang lain, kehidupan dan sumber-sumber penghidupan (pertanian, perdagangan, dan lain-lain), merusak lingkungan dan lain sebagainya. Bumi ini sudah diciptakan Allah dengan segala kelengkapannya, seperti gunung, lembah, sungai, lautan, daratan, hutan dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk keperluan manusia, agar dapat diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, manusia dilarang membuat kerusakan di muka bumi.

Selain itu, Allah juga menurunkan agama dan mengutus para rasul untuk memberi petunjuk agar manusia dapat hidup dalam kebahagiaan, keamanan dan kedamaian. Sebagai penutup kenabian, Allah mengutus Rasulullah saw yang membawa ajaran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Bila manusia mengikuti ajaran Islam dengan benar, maka seluruhnya akan menjadi baik, manusia menjadi baik, bangsa menjadi baik, dan negara menjadi baik pula.

Sesudah Allah melarang manusia membuat kerusakan, maka di akhir ayat ini diungkap lagi tentang etika berdoa. Ketika berdoa untuk urusan duniawi atau ukhrawi, selain dengan sepenuh hati, khusuk dan suara yang lembut, hendaknya disertai pula dengan perasaan takut dan penuh harapan. Cara berdoa semacam ini akan mempertebal keyakinan dan akan menjauhkan diri dari keputusasaan, karena langsung memohon kepada Allah yang Mahakuasa dan Mahakaya. Rahmat Allah akan tercurah kepada orang yang berbuat baik, dan berdoa merupakan perbuatan baik. Oleh karenanya, rahmat Allah tentu dekat dan akan tercurah kepadanya. Anjuran untuk berbuat baik banyak diungkap dalam Al-Qur'an, seperti berbuat baik terhadap tetangga, kepada sesama manusia, kepada kawan, kepada lingkungan dan lainnya. Karena itu, bila seseorang akan menyembelih binatang, hendaknya ia melakukan dengan cara yang baik, yaitu dengan pisau yang tajam agar tidak menyebabkan penderitaan bagi binatang itu.

Ayat 57

وَهُوَ الَّذِيْ يُرْسِلُ الرِّيٰحَ بُشْرًاۢ بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهٖۗ حَتّٰٓى اِذَآ اَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنٰهُ لِبَلَدٍ مَّيِّتٍ فَاَنْزَلْنَا بِهِ الْمَاۤءَ فَاَخْرَجْنَا بِهٖ مِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِۗ كَذٰلِكَ نُخْرِجُ الْمَوْتٰى لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

wa huwal-lażī yursilur-riyāḥa busyram baina yadai raḥmatih(ī), ḥattā iżā aqallat saḥāban ṡiqālan suqnāhu libaladim mayyitin fa anzalnā bihil-mā'a fa akhrajnā bihī min kulliṡ-ṡamarāt(i), każālika nukhrijul-mautā la‘allakum tażakkarūn(a).

Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.

Dengan kedua ayat ini Allah menegaskan bahwa salah satu karunia besar yang dilimpahkan kepada hamba-Nya ialah menggerakkan angin sebagai tanda bagi kedatangan nikmat-Nya yaitu angin yang membawa awan tebal yang dihalaunya ke negeri yang kering yang telah rusak tanamannya karena ketiadaan air, kering sumurnya karena tak ada hujan dan penduduknya menderita karena haus dan lapar. Lalu Dia menurunkan di negeri itu hujan yang lebat sehingga negeri yang hampir mati itu menjadi subur kembali dan sumur-sumurnya penuh berisi air dengan demikian hiduplah penduduknya dengan serba kecukupan dari hasil tanaman-tanaman itu yang berlimpah-ruah.

Mengenai peran hujan yang "menghidupkan" lahan yang "mati" yang disebutkan dalam Al-Qur'an sudah dianalisa oleh para pakar ilmu pengetahuan karena hujan, di samping membawa butiran air, suatu materi yang penting untuk kehidupan semua mahluk hidup di dunia, ternyata butiran air hujan juga membawa serta material yang berfungsi sebagai pupuk. Saat air laut yang menguap dan mencapai awan, ia mengandung sesuatu yang dapat merevitalisasi daratan yang mati. Butiran air hujan yang mengandung bahan-bahan revitalisasi tersebut biasa dikenal dengan nama "surface tension droplets". Bahan-bahan ini diperoleh dari lapisan permukaan laut yang ikut menguap. Pada lapisan tipis dengan ketebalan kurang dari seper-sepuluh milimeter dan biasa disebut "lapisan mikro" oleh para ahli biologi ini, ditemukan banyak serasah organik yang berasal dari dekomposisi algae renik dan zooplankton. Beberapa serasah ini mengumpulkan dan menyerap beberapa elemen, seperti fosfor, magnesium dan potasium, yang jarang diperoleh di dalam air laut. Serasah ini juga menyerap logam berat seperti tembaga, zink, cobalt dan lead. Tanaman di daratan akan memperoleh sebagian besar garam-garam mineral dan elemen lainnya yang diperlukan untuk pertumbuhannya bersamaan dengan datangnya air hujan.

Garam-garam yang turun bersama air hujan, merupakan suatu miniatur dari pupuk yang biasa digunakan dalam pertanian (Natrium, Potasium, Kalium dan sebagainya). Logam berat di udara akan membentuk elemen yang akan meningkatkan produktivitas pada saat pertumbuhan dan pembuahan tanaman. Dengan demikian, hujan adalah sumber pupuk yang sangat penting. Dengan pupuk yang dikandung pada butiran hujan saja, dalam waktu 100 tahun, tanah yang miskin hara dapat mengumpulkan semua elemen yang diperlukan untuk tumbuhnya tanaman. Hutan juga tumbuh dan memperoleh keperluan hidupnya dari semua bahan kimia yang berasal dari laut.

Dengan cara demikian, setiap tahun sekitar 150 ton pupuk jatuh ke bumi. Tanpa mekanisme ini, maka mungkin jumlah jenis tanaman tidak akan sebanyak yang kita ketahui saat ini dan kemungkinan ketidak seimbangan ekologi dapat juga terjadi.

Memang tidak semua negeri yang mendapat limpahan rahmat itu, tetapi ada pula beberapa tempat di muka bumi yang tidak dicurahi hujan yang banyak, bahkan ada pula beberapa daerah dicurahi hujan tetapi tanah di daerah itu hilang sia-sia tidak ada manfaatnya sedikit pun. Mengenai tanah-tanah yang tidak dicurahi hujan itu Allah berfirman:

Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menjadikan awan bergerak perlahan, kemudian mengumpulkannya, lalu Dia menjadikannya bertumpuk-tumpuk, lalu engkau lihat hujan keluar dari celah-celahnya dan Dia (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran es) itu kepada siapa yang Dia kehendaki dan dihindarkan-Nya dari siapa yang Dia kehendaki. Kilauan kilatnya hampir-hampir menghilangkan penglihatan. (an-Nur/24: 43)

Menurut ayat ini hujan lebat yang disertai hujan es itu tidak tercurah ke seluruh pelosok di muka bumi, hanya Allah-lah yang menentukan di mana hujan akan turun dan di mana pula awan tebal itu sekadar lewat saja sehingga daerah itu tetap tandus dan kering.

Ayat 58

وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهٗ بِاِذْنِ رَبِّهٖۚ وَالَّذِيْ خَبُثَ لَا يَخْرُجُ اِلَّا نَكِدًاۗ كَذٰلِكَ نُصَرِّفُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّشْكُرُوْنَ ࣖ

wal-baladuṭ-ṭayyibu yakhruju nabātuhū bi'iżni rabbih(ī), wal-lażī khabuṡa lā yakhruju illā nakidā(n), każālika nuṣarriful-āyāti liqaumiy yasykurūn(a).

Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Tuhan; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya yang tumbuh merana. Demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.

Ayat ini menjelaskan jenis-jenis tanah di muka bumi ini ada yang baik dan subur, bila dicurahi hujan sedikit saja, dapat menumbuhkan berbagai macam tanaman dan menghasilkan makanan yang berlimpah ruah dan ada pula yang tidak baik, meskipun telah dicurahi hujan yang lebat, namun tumbuh-tumbuhannya tetap hidup merana dan tidak dapat menghasilkan apa-apa. Kemudian Allah memberikan perumpamaan dengan hidupnya kembali tanah-tanah yang mati, untuk menetapkan kebenaran terjadinya Yaumal Mahsyar: Yaitu di mana orang-orang mati dihidupkan kembali dikumpulkan di Padang Mahsyar untuk menerima ganjaran bagi segala perbuatannya, yang baik dibalasi berlipat ganda dan yang buruk dibalasi dengan yang setimpal.

Kalau tanah kering dan mati dapat dihidupkan Allah kembali dengan menurunkan hujan padanya sedang tanah itu lekang tidak ada lagi unsur kehidupan padanya, tentulah Allah dapat pula menghidupkan orang-orang yang telah mati meskipun yang tinggal hanya tulang-belulang ataupun telah menjadi tanah semuanya. Tentang menghidupkan orang-orang yang telah mati itu kembali Allah berfirman:

Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal kejadiannya; dia berkata, "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?" Katakanlah (Muhammad), "Yang akan menghidupkannya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk. (Yasin/36: 78-79)

Selanjutnya Allah memberikan perumpamaan pula dengan tanah yang baik dan subur serta tanah yang buruk dan tidak subur untuk menjelaskan sifat dan tabiat manusia dalam menerima dan menempatkan petunjuk Allah. Orang-orang yang baik sifat dan tabiatnya, dapat menerima kebenaran dan memanfaatkannya untuk kemaslahatan dirinya dan untuk kemaslahatan masyarakat. Orang-orang yang buruk sifat dan tabiatnya tidak mau menerima kebenaran bahkan selalu mengingkarinya sehingga tidak mendapat faedah sedikit pun untuk dirinya dari kebenaran itu apalagi untuk masyarakatnya.

Ibnu 'Abbas berkata: Ayat ini adalah suatu perumpamaan yang diberikan Allah bagi orang mukmin dan orang kafir, bagi orang baik dan orang jahat. Allah menyerupakan orang-orang itu dengan tanah yang baik dan yang buruk, dan Allah mengumpamakan turunnya Al-Qur'an dengan turunnya hujan. Maka bumi yang baik dengan turunnya hujan dapat menghasilkan bunga-bunga dan buah-buahan, sedang tanah yang buruk, bila dicurahi hujan tidak dapat menumbuhkan kecuali sedikit sekali. Demikian pula jiwa yang baik dan bersih dari penyakit-penyakit kebodohan dan kemerosotan akhlak, apabila disinari cahaya Al-Qur'an jadilah dia jiwa yang patuh dan taat serta berbudi pekerti yang mulia.

Adapun jiwa yang jahat dan kotor apabila disinari Al-Qur'an jarang sekali yang menjadi baik dan berbudi mulia. Rasulullah bersabda:

"Perumpamaan ilmu dan petunjuk yang aku diutus untuk menyampaikannya adalah seperti hujan lebat yang menimpa bumi. Maka ada di antara tanah itu yang bersih (subur) dan dapat menerima hujan itu, lalu menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput yang banyak. Tetapi ada pula di antaranya tanah yang lekang (keras) yang tidak meresapi air hujan dan tidak menumbuhkan sesuatu apapun. Tanah itu dapat menahan air (mengumpulkannya) maka Allah menjadikan manusia dapat mengambil manfaat dari air itu, mereka dapat minum, mengairi tanaman. Ada pula sebagian tanah yang datar tidak dapat menahan air dan tidak pula menumbuhkan tanaman. Maka tanah-tanah yang beraneka ragam itu adalah perumpamaan bagi orang yang dapat memahami agama Allah. Lalu ia mendapat manfaat dari petunjuk-petunjuk itu dan mengajarkannya kepada manusia, dan perumpamaan pula bagi orang-orang yang tidak memperdulikannya dan tidak mau menerima petunjuk itu." (Riwayat Ahmad, al-Bukhari, Muslim dan an-Nasai)

Nabi Muhammad memberikan predikat (julukan) al-Hadi dan al-Muhtadi kepada golongan pertama yang mendapat manfaat untuk dirinya dan memberikan manfaat kepada orang lain, dan memberikan predikat al-Jahid kepada golongan ketiga yang tiada mendapat manfaat untuk dirinya dan tidak dapat memberikan manfaat untuk orang lain. Tetapi Nabi Muhammad tidak memberi komentar terhadap golongan kedua yaitu orang yang tidak dapat memberikan manfaat kepada orang lain, karena orang-orang dari golongan ini banyak macam ragamnya, di antaranya mereka ada orang-orang munafik dan termasuk pula orang-orang yang tidak mengamalkan ajaran agamanya meskipun ia mengetahui dan menyiarkan ajaran Allah kepada orang lain. Demikianlah Allah memberikan perumpamaan dengan nikmat dan karunia-Nya agar disyukuri oleh orang yang merasakan nikmat itu.

Ayat 59

لَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖ فَقَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ اِنِّيْٓ اَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ

laqad arsalnā nūḥan ilā qaumihī fa qāla yā qaumi‘budullāha mā lakum min ilāhin gairuh(ū), innī akhāfu ‘alaikum ‘ażāba yaumin ‘aẓīm(in).

Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang dahsyat (kiamat).

Pada ayat ini Allah menceritakan tentang kisah Nabi Nuh dan kerasulannya. Pada masa antara Nabi Adam dan Nabi Nuh dunia mulai membangun peradabannya. Manusia mula-mula masih menyembah Allah menurut agama yang dibawa oleh Nabi Adam. Tetapi lama-kelamaan karena kesibukan dalam kehidupan duniawi mereka mulai menjauhkan diri dari agama sehingga semangat beragama mulai menurun. Ajaran tauhid yang bersemi di hati sanubari mereka mulai pudar. Patung-patung dari pemimpin-pemimpin mereka yang semula dibuat untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa mereka, mereka jadikan sembahan atau sekutu Allah, karena menurut paham mereka patung-patung itu dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah. Akhirnya mereka lupa kepada Allah, dan memandang bahwa patung-patung itulah tuhan yang diharapkan kebaikannya, dan dimohon nikmat anugerah dan ditakuti siksaannya.

Setelah kepercayaan manusia kepada Allah memudar di masa itu maka Allah tidak membiarkan mereka terus-menerus dalam kesesatan. Oleh karena itu, Allah mengutus Nabi Nuh kepada kaumnya. Kisah tentang kerasulan Nabi Nuh ini ditujukan kepada orang-orang Arab yang berada di Mekah dan sekitarnya yang mengingkari kerasulan Nabi Muhammad. Pengetahuan mereka tentang sejarah para rasul dan umat-umat pada masa dahulu sangat sedikit sekali karena mereka sekadar mendengar dari orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berada di sekitar mereka.

Allah dalam ayat ini meyakinkan mereka bahwa sebenarnya Allah telah mengutus Nabi Nuh kepada kaumnya untuk memperingatkan mereka akan kemurkaan Allah disebabkan kekufuran mereka. Setelah Nuh diutus menjadi Rasul dia menyeru kaumnya yang kafir agar meninggalkan berhala dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan Pencipta segala sesuatu Dialah Tuhan yang sebenarnya. Manusia wajib menyembah-Nya dengan penuh khusyuk dan tawadhu'. Nabi Nuh mengemukakan kepada kaumnya tentang kekhawatirannya bahwa mereka akan memperoleh siksaan yang sangat pada hari pembalasan nanti jika mereka tidak mengindahkan seruannya.

Sebagian mufassirin memandang bahwa hari pembalasan yang dimaksud pada ayat ini adalah hari terjadinya taufan. Selanjutnya kekhawatiran yang dikemukakan oleh Nabi Nuh kepada kaumnya menunjukkan bahwa Nabi Nuh telah berputus-asa setelah menjalankan dakwah dalam masa yang cukup lama, namun tidak ada tanggapan dari kaumnya, sebagaimana diketahui dari ayat-ayat berikut:

Dia (Nuh) berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam, tetapi seruanku itu tidak menambah (iman) mereka, justru mereka lari (dari kebenaran). (Nuh/71: 5-6)

Ayat 60

قَالَ الْمَلَاُ مِنْ قَوْمِهٖٓ اِنَّا لَنَرٰىكَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

qālal mala'u min qaumihī innā lanarāka fī ḍalālim mubīn(in).

Pemuka-pemuka kaumnya berkata, “Sesungguhnya kami memandang kamu benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata.”

Allah dalam ayat ini menerangkan bahwa para pemimpin kaum Nuh berpendapat sesungguhnya Nabi Nuh, itulah yang berada dalam kesesatan, disebabkan Nabi Nuh melarang mereka menyembah berhala, yang mereka anggap sebagai penolong mereka di hadapan Allah dan sebagai perantara untuk mendekatkan mereka kepada-Nya. Demikianlah tingkah laku orang-orang kafir itu, bahkan mereka sering menuduh bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah itu adalah orang yang sesat, sebagaimana tersebut dalam firman Allah yaitu:

Dan apabila mereka melihat (orang-orang mukmin), mereka mengatakan, "Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang sesat". (al-Muthaffifin/83: 32)

Firman Allah:

Dan orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, "Sekiranya Al-Qur'an itu sesuatu yang baik, tentu mereka tidak pantas mendahului kami (beriman) kepadanya." Tetapi karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka mereka akan berkata, "Ini adalah dusta yang lama." (al-Ahqaf/46: 11)

Ayat 61

قَالَ يٰقَوْمِ لَيْسَ بِيْ ضَلٰلَةٌ وَّلٰكِنِّيْ رَسُوْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعٰلَمِيْنَ

qāla yā qaumi laisa bī ḍalālatuw wa lākinnī rasūlum mir rabbil-‘ālamīn(a).

Dia (Nuh) menjawab, “Wahai kaumku! Aku tidak sesat; tetapi aku ini seorang Rasul dari Tuhan seluruh alam.

Ayat ini menerangkan penolakan Nabi Nuh terhadap tuduhan kaumnya dengan menegaskan bahwa dia sekali-kali tidak berada dalam kesesatan, karena ia sebenarnya adalah utusan Allah dan yang diserukannya itu bukanlah timbul dari pikirannya semata yang mungkin didorong oleh kepentingan pribadi. Tetapi apa yang dikemukakan itu adalah wahyu Allah yang pasti kebenaranya, karena itu harus disampaikan kepada mereka agar mereka dapat mencapai kebahagiaan dan terhindar dari kebinasaan akibat mempersekutukan Allah.

Ayat 62

اُبَلِّغُكُمْ رِسٰلٰتِ رَبِّيْ وَاَنْصَحُ لَكُمْ وَاَعْلَمُ مِنَ اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

uballigukum risālāti rabbī wa anṣaḥu lakum wa a‘lamu minallāhi mā lā ta‘lamūn(a).

Aku menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, memberi nasihat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.”

Ayat ini menerangkan bahwa Nabi Nuh menegaskan kepada kaumnya bahwa dia mendapat tugas dari Allah untuk menyampaikan perintah-perintah Tuhannya agar manusia beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada hari kemudian, kepada Rasul-rasul yang diutus Allah, kepada malaikat-malaikat Allah dan menyampaikan juga hukum-hukum yang Allah tentukan baik yang berkenaan dengan ibadat maupun yang berkenan dengan muamalat. Nabi Nuh dalam menyampaikan tugasnya disertai dengan ancaman halus berupa nasihat-nasihat kepada kaumnya agar takut kepada siksaan Allah sebagai balasan terhadap orang-orang yang tidak beriman kepadanya, serta mendustakan Rasul-rasul-Nya. Nabi Nuh menegaskan pula bahwa ia benar-benar mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh kaumnya, semuanya itu diketahuinya dari Allah. Demikian gigihnya Nabi Nuh dalam meyakinkan kaumnya.

Ayat 63

اَوَعَجِبْتُمْ اَنْ جَاۤءَكُمْ ذِكْرٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ عَلٰى رَجُلٍ مِّنْكُمْ لِيُنْذِرَكُمْ وَلِتَتَّقُوْا وَلَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

awa‘ajibtum an jā'akum żikrum mir rabbikum ‘alā rajulim minkum liyunżirakum wa litattaqū wa la‘allakum turḥamūn(a).

Dan herankah kamu bahwa ada peringatan yang datang dari Tuhanmu melalui seorang laki-laki dari kalanganmu sendiri, untuk memberi peringatan kepadamu dan agar kamu bertakwa, sehingga kamu mendapat rahmat?

Dalam ayat ini Allah menerangkan tentang kecaman Nabi Nuh kepada kaumnya, bahwa tidaklah patut mereka itu merasa heran atau ragu-ragu terhadap kedatangan peringatan dari Tuhan yang dibawa oleh seorang laki-laki di antara mereka sendiri. Dia memperingatkan mereka tentang azab yang akan menimpa mereka, bilamana mereka tetap dalam kekafiran. Dengan peringatan itu, mereka akan dapat memelihara diri dari perbuatan syirik dan munkar sehingga mereka memperoleh rahmat Allah.

Adapun yang menyebabkan keraguan dan keheranan kaumnya tentang kerasulannya, karena Nabi Nuh tidak mempunyai kelebihan yang istimewa. Tetapi jika mereka menggunakan pikiran yang sehat bahwa kelebihan antara manusia itu di samping diperoleh dengan usaha manusia itu sendiri, juga didapat dari karunia Allah, karena Allah Yang Mahakuasa.

Dalam kenyataan hidup manusia, nampak perbedaan di antara masing-masing manusia itu, baik perbedaan jasmaniah, maupun rohaniah. Oleh karena itu semestinya mereka menyambut seruan dari salah seorang yang memiliki kelebihan dan keistimewaan sebagai rasul untuk menyelamatkan mereka dari siksa Allah akibat kekufuran dan membawa mereka kepada kebenaran dan ketakwaan kepada Allah untuk memperoleh keridaan dan rahmat-Nya.

Ayat 64

فَكَذَّبُوْهُ فَاَنْجَيْنٰهُ وَالَّذِيْنَ مَعَهٗ فِى الْفُلْكِ وَاَغْرَقْنَا الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَاۗ اِنَّهُمْ كَانُوْا قَوْمًا عَمِيْنَ ࣖ

fa każżabūhu fa anjaināhu wal-lażīna ma‘ahū fil-fulki wa agraqnal-lażīna każżabū bi'āyātinā, innahum kānū qauman ‘amīn(a).

Maka mereka mendustakannya (Nuh). Lalu Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam kapal. Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).

Ayat ini menerangkan bahwa kebanyakan kaum Nabi Nuh masih tetap mengejek dan mendustakannya, mereka tetap menentang perintah Tuhan dan bertambah hanyut dalam kedurhakaan. Hati nurani mereka tertutup sehingga mereka tidak dapat mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran Allah dan mereka tidak dapat mengambil hikmat manfaat dari pengutusan para Rasul. Telinga mereka pun menjadi tuli sehingga mereka tidak dapat membenarkan adanya hari kemudian, hari pembalasan yang disampaikan oleh Nabi Nuh yang semestinya diketahui oleh manusia bahwa seorang yang hidup di dunia ini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada Allah sebagai Pencipta-Nya, Nabi menunjukkan kepada adanya kehidupan pada hari kemudian. Tetapi manusia yang tidak menggunakan pikirannya menduga bahwa kehidupan manusia itu hanya di dunia saja tanpa ada pertanggungjawaban di akhirat.

Secara tidak sadar mereka telah menyamakan dirinya dengan hewan, karenanya timbullah berbagai perbuatan jahat seperti syirik di atas bumi ini. Karena keingkaran kaum Nuh inilah, azab Allah menimpa mereka, yaitu berupa angin dan banjir yang menenggelamkan mereka. Hanya sedikit dari pengikut kaum Nuh yang diselamatkan oleh Allah dari tenggelam di waktu terjadinya bencana tersebut karena mereka berada dalam perahu yang telah disiapkan jauh hari sebelumnya. Kebanyakan kaumnya tenggelam karena mereka hanyut dalam kekufuran dan kemaksiatan.

Ayat 65

۞ وَاِلٰى عَادٍ اَخَاهُمْ هُوْدًاۗ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ اَفَلَا تَتَّقُوْنَ

wa ilā ‘ādin akhāḥum hūdā(n), qāla yā qaumi‘budullāha mā lakum min ilāhin gairuh(ū), afalā tattaqūn(a).

Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) Hud, saudara mereka. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa?”

Ayat ini menerangkan bahwa Allah mengutus kepada kaum 'Ad Nabi Hud dari kalangan mereka sendiri dan memerintahkannya untuk menyeru kaumnya agar menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan segala sesuatu yang dituhankan mereka, karena selain Allah bukanlah Tuhan dan tidak patut disembah, segala ibadah hanya diperuntukkan kepada Allah. Oleh sebab itu, Nabi Hud menganjurkan kepada mereka agar bertakwa kepada Allah dan meninggalkan segala sesuatu yang dimurkai-Nya untuk menghindarkan diri dari siksaan-Nya. Pada waktu dan kesempatan yang lain, beliau memerintahkan kepada kaumnya agar mereka menggunakan akal pikirannya. Firman Allah:

Dan kepada kaum 'Ad (Kami utus) saudara mereka, Hud. Dia berkata, "Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. (Selama ini) kamu hanyalah mengada-ada. Wahai kaumku! Aku tidak meminta imbalan kepadamu atas (seruanku) ini. Imbalanku hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Tidakkah kamu mengerti?" (Hud/11: 50-51)

'Ad adalah anak Iram bin Aus bin Sam bin Nuh. Demikian diterangkan oleh Muhammad bin Ishak. Menurut Ibnu Ishak, bahwa al-Kalby berkata: kaum 'Ad adalah penyembah berhala sebagaimana halnya kaum Nabi Nuh yang mematungkan orang-orang yang dipandang keramat setelah mati. Kemudian patung-patung itu dianggap sebagai Tuhan. Kaum 'Ad pun membuat patung-patung, mereka namakan tsamud dan yang lain lagi mereka namakan al-Hatar. Mereka tinggal di Yaman di daerah Ahqaf antara Oman dan Hadramaut. Mereka adalah kaum yang berbuat kerusakan di bumi ini karena mereka bangga dengan kekuatan fisik yang tidak dimiliki oleh kaum yang lain.

Karena mereka memperlakukan penduduk bumi ini sekehendak mereka secara zalim, Allah mengutus Nabi Hud dari kalangan mereka sebab sudah menjadi ketetapan Allah bahwa rasul-rasul yang diutus itu diambil dari kaumnya sendiri yang lebih mengerti tentang kaumnya dan lebih dapat diterima seruannya karena mengetahui kepribadiannya. Akan tetapi ketika Nabi Hud menyampaikan risalahnya yaitu menyeru kaumnya agar menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan perbuatan yang zalim, seruan Nabi Hud tersebut mereka dustakan dan malahan mereka menentangnya, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah yaitu:

Maka adapun kaum 'Ad, mereka menyombongkan diri di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran dan mereka berkata, "Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kami?" Tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan mereka. Dia lebih hebat kekuatan-Nya dari mereka? Dan mereka telah mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami. (Fushshilat/41: 15)

Ayat 66

قَالَ الْمَلَاُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَوْمِهٖٓ اِنَّا لَنَرٰىكَ فِيْ سَفَاهَةٍ وَّاِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ الْكٰذِبِيْنَ

qālal-mala'ul-lażīna kafarū min qaumihī innā lanarāka fī safāhatiw wa innā lanaẓunnuka minal-kāżibīn(a).

Pemuka-pemuka orang-orang yang kafir dari kaumnya berkata, “Sesungguhnya kami memandang kamu benar-benar kurang waras dan kami kira kamu termasuk orang-orang yang berdusta.”

Ayat ini menerangkan bahwa para pemuka kaum Hud yang tetap dalam kekufuran dan tetap menentang kerasulan Hud bukan saja menolak seruannya, malahan mereka menegaskan bahwa mereka berada dalam agama yang benar dan mereka memandang bahwa Nabi Hud itulah yang berada dalam kesesatan, disebabkan ia meninggalkan agama mereka dan menghina orang-orang yang terkemuka di kalangan kaumnya yang mereka anggap suci. Orang-orang yang dianggap suci itu setelah mati mereka keramatkan dalam bentuk patung guna mendapatkan syafaat dan berkahnya dari mereka. Nabi Hud menentang paham mereka. Karena itu mereka menuduh bahwa Nabi Hud adalah pendusta yang berada dalam kesesatan sebagaimana halnya rasul-rasul dahulu, juga didustakan oleh kaumnya, disebabkan mereka berlawanan paham dengan kaumnya.

Ayat 67

قَالَ يٰقَوْمِ لَيْسَ بِيْ سَفَاهَةٌ وَّلٰكِنِّيْ رَسُوْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعٰلَمِيْنَ

qāla yā qaumi laisa bī safāhatuw wa lākinnī rasūlum mir rabbil-‘ālamīn(a).

Dia (Hud) menjawab, “Wahai kaumku! Bukan aku kurang waras, tetapi aku ini adalah Rasul dari Tuhan seluruh alam.

Ayat ini menerangkan bantahan bahwa Nabi Hud tidak sekali-kali berada dalam kesesatan sebagai yang mereka tuduhkan karena dia adalah utusan Allah, diutus kepada mereka untuk menyampaikan perintah-perintah-Nya. Tuhan semesta alam Yang Maha Mengetahui siapa yang sesat atau lemah akal pikirannya dan siapa yang berada dalam kebenaran atau yang sempurna akal pikirannya.

Ayat 68

اُبَلِّغُكُمْ رِسٰلٰتِ رَبِّيْ وَاَنَا۠ لَكُمْ نَاصِحٌ اَمِيْنٌ

uballigukum risālāti rabbī wa ana lakum nāṣiḥun amīn(un).

Aku menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku dan pemberi nasihat yang terpercaya kepada kamu.

Ayat ini menerangkan penegasan Nabi Hud kepada kaumnya, bahwa dia hanya menyampaikan perintah-perintah Tuhannya agar mereka beriman kepada-Nya, kepada hari kemudian, kepada Rasul-rasul, kepada malaikat-malaikat Allah, kepada adanya surga dan neraka dan agar mereka melaksanakan perintah-perintah Tuhan, baik yang berhubungan dengan ibadat maupun muamalat. Nabi Hud menegaskan bahwa dia adalah benar-benar seorang yang ikhlas dan orang yang dipercaya. Dengan kata-kata ini seolah-olah Nabi Hud mengemukakan kepada kaumnya, "tidak wajar bagiku berdusta kepada Tuhanku yang mengutusku sebagai rasul."

Demikianlah gambaran budi pekerti para rasul pilihan Allah ketika menghadapi pembangkangan kaum yang bukan saja menentang malahan secara tidak sopan menuduh para rasul dengan berbagai tuduhan yang rendah sekali. Namun demikian, para rasul itu menghadapi mereka dengan tenang dan dengan hati yang penuh kesabaran.

Ayat 69

اَوَعَجِبْتُمْ اَنْ جَاۤءَكُمْ ذِكْرٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ عَلٰى رَجُلٍ مِّنْكُمْ لِيُنْذِرَكُمْۗ وَاذْكُرُوْٓا اِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاۤءَ مِنْۢ بَعْدِ قَوْمِ نُوْحٍ وَّزَادَكُمْ فِى الْخَلْقِ بَصْۣطَةً ۚفَاذْكُرُوْٓا اٰلَاۤءَ اللّٰهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

awa‘ajibtum an jā'akum żikrum mir rabbikum ‘alā rajulim minkum liyunżirakum, ważkurū iż ja‘alakum khulafā'a mim ba‘di qaumi nūḥiw wa zādakum fil-khalqi basṭah(tan), fażkurū ālā'allāhi la‘allakum tufliḥūn(a).

Dan herankah kamu bahwa ada peringatan yang datang dari Tuhanmu melalui seorang laki-laki dari kalanganmu sendiri, untuk memberi peringatan kepadamu? Ingatlah ketika Dia menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah setelah kaum Nuh, dan Dia lebihkan kamu dalam kekuatan tubuh dan perawakan. Maka ingatlah akan nikmat-nikmat Allah agar kamu beruntung. ”

Dalam ayat ini, Allah menerangkan kecaman Nabi Hud kepada pemuka-pemuka kaumnya, bahwa tidak patut mereka merasa heran dan ragu-ragu terhadap kedatangan peringatan dan pengajaran dari Tuhan yang dibawa oleh seorang laki-laki di antara mereka. Pengajaran Allah itu datang kepada mereka justru pada saat mereka berada dalam kesesatan. Semestinya mereka tidak perlu ragu kepada pribadi orang yang membawa seruan. Hendaknya mereka mempergunakan akal pikiran untuk memperhatikan seruan yang dibawa kepada mereka itu yaitu seruan yang benar, seruan yang menyelamatkan diri mereka dari azab Allah. Ia juga mengingatkan mereka akan nikmat dan rahmat Allah, bahwa mereka bukan saja sebagai ahli waris kaum Nuh yang diselamatkan Allah dari topan karena keimanan mereka kepada-Nya, tetapi juga Allah melebihkan mereka dengan kekuatan fisik serta tubuh yang besar. Oleh sebab itu hendaklah mereka bersyukur kepada Allah dengan bertakwa kepada-Nya. Kalau mereka tidak bersyukur, Allah akan menjatuhkan azab-Nya sebagaimana Allah menjatuhkan azab kepada kaum Nuh yang ingkar dan menggantikan kedudukannya dengan bangsa lain. Mereka diingatkan kepada nikmat Allah itu agar mereka bersyukur dengan menyembah-Nya seikhlas-ikhlasnya sehingga mereka menjauhi kemusyrikan dengan meninggalkan penyembahan berhala. Dengan demikian mereka harus meninggalkan penyembahan berhala untuk mencapai kebahagiaan pada hari kemudian dan mendapat tempat pada sisi Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya yang bersyukur kepada nikmat-Nya.

Ayat 70

قَالُوْٓا اَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللّٰهَ وَحْدَهٗ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ اٰبَاۤؤُنَاۚ فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَآ اِنْ كُنْتَ مِنَ الصّٰدِقِيْنَ

qālū aji'tanā lina‘budallāha waḥdahū wa nażara mā kāna ya‘budu ābā'unā, fa'tinā bimā ta‘idunā in kunta minaṣ ṣādiqīn(a).

Mereka berkata, “Apakah kedatanganmu kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh nenek moyang kami? Maka buktikanlah ancamanmu kepada kami, jika kamu benar!”

Ternyata kaum Hud adalah kaum yang sangat keras kepala dan pembangkang. Mereka, masih juga menjawab dan mengejek seruan Nabi Hud itu seraya mengatakan, "Rupanya engkau datang kepada kami ini, hai Hud, agar kami menyembah Allah dengan meninggalkan apa yang disembah oleh nenek-moyang kami. Tidakkah ini suatu yang menggelikan hati kami. Apakah engkau tidak mengetahui bahwa sembahan peninggalan orang-orang tua kita itu adalah mendekatkan kita kepada Tuhan sebagai perantara karena kita belum menjadi orang suci; tidakkah kita perlu kepada tuhan-tuhan yang disembah oleh orang-orang tua kita itu, jika sekiranya engkau memang sebenarnya utusan Allah dan memang benar apa yang engkau sampaikan kepada kami, cobalah datangkan kepada kami azab yang engkau janjikan itu."

Ayat 71

قَالَ قَدْ وَقَعَ عَلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ رِجْسٌ وَّغَضَبٌۗ اَتُجَادِلُوْنَنِيْ فِيْٓ اَسْمَاۤءٍ سَمَّيْتُمُوْهَآ اَنْتُمْ وَاٰبَاۤؤُكُمْ مَّا نَزَّلَ اللّٰهُ بِهَا مِنْ سُلْطٰنٍۗ فَانْتَظِرُوْٓا اِنِّيْ مَعَكُمْ مِّنَ الْمُنْتَظِرِيْنَ

qāla qad waqa‘a ‘alaikum mir rabbikum rijsuw wa gaḍab(un), atujādilūnanī fī asmā'in sammaitumūhā antum wa ābā'ukum mā nazzalallāhu bihā min sulṭān(in), fantaẓirū innī ma‘akum minal-muntaẓirīn(a).

Dia (Hud) menjawab, “Sungguh, kebencian dan kemurkaan dari Tuhan akan menimpa kamu. Apakah kamu hendak berbantah denganku tentang nama-nama (berhala) yang kamu dan nenek moyangmu buat sendiri, padahal Allah tidak menurunkan keterangan untuk itu? Jika demikian, tunggulah! Sesungguhnya aku pun bersamamu termasuk yang menunggu.”

Setelah kaum Hud menentangnya dan menolak seruan agar mereka meninggalkan penyembahan patung-patung, bahkan mereka minta agar segera didatangkan kepada mereka azab, maka Nabi Hud berkata kepada kaumnya, bahwa Allah telah menentukan azab yang akan ditimpakan kepada mereka dan mereka akan mengalami kemurkaan Allah yakni mereka akan dijauhkan dari rahmat-Nya. Azab yang akan menimpa itu ialah angin yang sangat kencang dengan suara yang sangat gemuruh yang menghempaskan mereka hingga mati tersungkur. Firman Allah:

Kaum 'Ad pun telah mendustakan. Maka betapa dahsyatnya azab-Ku dan peringatan-Ku! Sesungguhnya Kami telah menghembuskan angin yang sangat kencang kepada mereka pada hari nahas yang terus menerus, yang membuat manusia bergelimpangan, mereka bagaikan pohon-pohon kurma yang tumbang dengan akar-akarnya. Maka betapa dahsyatnya azab-Ku dan peringatan-Ku! (al-Qamar/54: 18-21)

Nabi Hud menyatakan kepada kaumnya bahwa nama-nama berhala, baik yang mereka namakan maupun yang dinamakan oleh nenek moyang mereka tidak patut mereka jadikan pokok perdebatan dengan beliau. Karena pemberian nama dengan nama-nama Tuhan kepada berhala dan patung-patung itu sangat tidak masuk akal. Demikian pula menamakannya dengan perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau pemberi syafa'at dan lain-lain dari sifat-sifat ketuhanan. Nama-nama itu tidak ada dasarnya. Allah tidak ada menurunkan keterangan dan bukti nama-nama itu. Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, hanya kepada-Nya saja manusia secara langsung menyembah; tidak ada sesuatu pun yang dibenarkan menjadi sekutu-Nya. Jika dibenarkan tentu Allah memberi keterangan dengan wahyu-Nya. Nabi Hud berseru kepada mereka untuk menunggu turunnya azab dari Allah yang mereka minta itu dan dia sendiri termasuk orang-orang yang menunggu untuk menyaksikan kedatangan azab yang akan menimpa kaumnya yang kafir itu.

Ayat 72

فَاَنْجَيْنٰهُ وَالَّذِيْنَ مَعَهٗ بِرَحْمَةٍ مِّنَّا وَقَطَعْنَا دَابِرَ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَمَا كَانُوْا مُؤْمِنِيْنَ ࣖ

fa anjaināhu wal-lażīna ma‘ahū biraḥmatim minnā wa qaṭa‘nā dābiral-lażīna każżabū bi'āyātinā wa mā kānū mu'minīn(a).

Maka Kami selamatkan dia (Hud) dan orang-orang yang bersamanya dengan rahmat Kami dan Kami musnahkan sampai ke akar-akarnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Mereka bukanlah orang-orang beriman.

Setelah kaum Hud menentang dan menuntut azab yang dijanjikan maka datanglah azab Allah menimpa mereka dan Allah menyelamatkan Hud beserta orang-orang yang beriman dari pada azab tersebut.

Azab itu berupa angin dahsyat yang sangat dingin yang membinasakan kaum 'Ad, karena mereka mendustakan kebesaran Allah bahkan mengingkari utusan-utusan-Nya. Mereka dilenyapkan dari muka bumi ini dengan angin yang menghancurkan segala sesuatu, sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, sehingga mereka (kaum 'Ad) menjadi tidak tampak lagi (di bumi) kecuali hanya (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa. (al-Ahqaf/46: 25)

Ayat 73

وَاِلٰى ثَمُوْدَ اَخَاهُمْ صٰلِحًاۘ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْۗ هٰذِهٖ نَاقَةُ اللّٰهِ لَكُمْ اٰيَةً فَذَرُوْهَا تَأْكُلْ فِيْٓ اَرْضِ اللّٰهِ وَلَا تَمَسُّوْهَا بِسُوْۤءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

wa ilā ṡamūda akhāhum ṣāliḥā(n), qāla yā qaumi‘budullāha mā lakum min ilāhin gairuh(ū), qad jā'atkum bayyinatum mir rabbikum, hāżihī nāqatullāhi lakum āyatan fa żarūhā ta'kul fī arḍillāhi wa lā tamassūhā bisū'in fa ya'khużakum ‘ażābun alīm(un).

Dan kepada kaum Samud (Kami utus) saudara mereka Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Ini (seekor) unta betina dari Allah sebagai tanda untukmu. Biarkanlah ia makan di bumi Allah, janganlah disakiti, nanti akibatnya kamu akan mendapatkan siksaan yang pedih.”

Ayat ini menerangkan bahwa Allah mengutus Nabi Saleh kepada kaumnya yaitu kaum tsamud. tsamud adalah nama suatu kabilah dari bangsa Arab yang telah dimusnahkan yang terkenal dengan istilah "Arab Ba'idah" yang mendiami Hijir yaitu daerah 'Ula di sebelah utara Medinah, Saudi Arabia. tsamud adalah nama nenek moyang mereka yaitu anak dari 'Atsir bin Iram bin Sam bin Nuh. Munculnya kaum tsamud itu sesudah kaum 'Ad dibinasakan Allah. Menurut suatu riwayat ketika Rasulullah dalam perang Tabuk pada tahun 9 Hijri ia melewati daerah peninggalan kaum tsamud itu. Rasulullah melarang para sahabat memasuki daerah tersebut dengan sabdanya yaitu:

"Jangan kamu memasuki tempat-tempat mereka yang ditimpa azab Allah itu kecuali kamu dalam keadaan menangis. Jika kamu tidak menangis, janganlah kamu memasuki tempat itu agar kamu tidak ditimpa musibah seperti musibah yang telah menimpa mereka." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Demikianlah anjuran Nabi kepada para sahabat untuk menghindari tempat yang pernah ditimpa bencana.

Saleh a.s. adalah Nabi yang diutus oleh Allah kepada kaum tsamud. Dia berasal dari kaum tsamud yang terbaik keturunannya, kedudukannya dan keadaan rumah tangganya demikian juga akhlaknya. Mukjizat kenabiannya adalah "unta Allah". Nabi Saleh menjalankan tugasnya dengan menyampaikan perintah-perintah Tuhannya yang ditujukan kepada kaumnya. Nabi Saleh menyeru mereka agar menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa dengan menegaskan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, karenanya hendaklah mereka bertakwa kepada-Nya. Nabi Saleh mengajak mereka menerima seruannya dan janganlah mereka mengikuti orang-orang yang hanyut di dalam kemusyrikan, yang membawa mereka ke dalam neraka Jahanam, akibat mereka meninggalkan ajaran agama yang benar. Nabi Saleh mengatakan kepada kaumnya bahwa bukti kebenaran dari kenabiannya, adalah seekor unta yang dinamakannya "Unta Allah", yang diciptakan Allah tidak menurut kebiasaan. Menurut sebagian ahli tafsir, unta ini keluar dari batu besar atas permintaan kaum tsamud sebagai suatu mukjizat yang harus diperhatikan oleh mereka.

Allah memberikan mukjizat kepada Nabi Saleh berupa seekor unta sebagai bukti kerasulannya, karena kaum tsamud meminta bukti kerasulannya. Nabi Saleh meminta kepada kaumnya agar membiarkan unta itu makan apa saja yang ada di bumi Allah ini, karena bumi ini kepunyaan Allah dan unta ini adalah unta Allah dan tidak wajar mereka menghalang-halangi unta itu, apalagi menyakitinya dan menyembelihnya. Nabi Saleh mengancam mereka bahwa mereka akan mendapat azab yang pedih dari Allah jika mereka mengganggu atau membunuh unta itu.

Agar tidak menimbulkan kesulitan antara mereka dan unta itu, maka diaturlah hari-hari minum ke telaga untuk mereka dan untuk unta itu, karena sedikitnya persediaan air sebagaimana diutarakan oleh firman Allah:

Dan beritahukanlah kepada mereka bahwa air itu dibagi di antara mereka (dengan unta betina itu); setiap orang berhak mendapat giliran minum. (al-Qamar/54: 28)

Juga firman Allah pada ayat yang lain yaitu:

Dia (Saleh) menjawab, "Ini seekor unta betina, yang berhak mendapatkan (giliran) minum, dan kamu juga berhak mendapatkan minum pada hari yang ditentukan. (asy-Syu'ara'/26: 155)

Ayat 74

وَاذْكُرُوْٓا اِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاۤءَ مِنْۢ بَعْدِ عَادٍ وَّبَوَّاَكُمْ فِى الْاَرْضِ تَتَّخِذُوْنَ مِنْ سُهُوْلِهَا قُصُوْرًا وَّتَنْحِتُوْنَ الْجِبَالَ بُيُوْتًا ۚفَاذْكُرُوْٓا اٰلَاۤءَ اللّٰهِ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ

ważkurū iż ja‘alakum khulafā'a mim ba‘di ‘ādiw wa bawwa'akum fil-arḍi tattakhiżūna min suhūlihā quṣūraw wa tanḥitūnal-jibāla buyūtā(n), fażkurū ālā'allāhi wa lā ta‘ṡau fil-arḍi mufsidīn(a).

Dan ingatlah ketika Dia menjadikan kamu khalifah-khalifah setelah kaum ‘Ad dan menempatkan kamu di bumi. Di tempat yang datar kamu dirikan istana-istana dan di bukit-bukit kamu pahat menjadi rumah-rumah. Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi.

Sesudah Nabi Saleh mengajak kaumnya menyembah Allah dan menasihati mereka agar berbuat baik kepada unta itu, mulailah Nabi Saleh mengingatkan mereka kepada nikmat-nikmat Allah yang mereka peroleh antara lain mereka diberi kekuasaan dan kekuatan untuk memakmurkan bumi ini sebagai pengganti kaum 'Ad. Mereka diberi oleh Allah kecakapan dan kesanggupan membuat istana-istana dan pengetahuan membuat bahan-bahan bangunan seperti batu bata, kapur, genteng dan keahlian serta ketabahan dalam memahat bukit-bukit dan gunung-gunung, untuk dijadikan rumah kediaman dan tempat tinggal mereka pada musim dingin. Menjadikan bukit dan gunung sebagai bungalow untuk menghindarkan bahaya hujan dan dingin. Mereka baru keluar dari bukit itu pada musim-musim lain untuk bertani dan pekerjaan-pekerjaan yang lain. Nabi Saleh menyeru mereka agar mengingat nikmat-nikmat Allah tersebut agar mereka bersyukur kepada-Nya, dengan hanya menyembah kepada-Nya dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang merusak di atas bumi ini antara lain perbuatan yang tidak diridai oleh Allah berupa kekufuran, kemusyrikan dan kezaliman.

Ayat 75

قَالَ الْمَلَاُ الَّذِيْنَ اسْتَكْبَرُوْا مِنْ قَوْمِهٖ لِلَّذِيْنَ اسْتُضْعِفُوْا لِمَنْ اٰمَنَ مِنْهُمْ اَتَعْلَمُوْنَ اَنَّ صٰلِحًا مُّرْسَلٌ مِّنْ رَّبِّهٖۗ قَالُوْٓا اِنَّا بِمَآ اُرْسِلَ بِهٖ مُؤْمِنُوْنَ

qālal-mala'ul-lażīnastakbarū min qaumihī lil-lażīnastuḍ‘ifū liman āmana minhum ata‘lamūna anna ṣāliḥam mursalum mir rabbih(ī), qālū innā bimā ursila bihī mu'minūn(a).

Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah, yaitu orang-orang yang telah beriman di antara kaumnya, “Tahukah kamu bahwa Saleh adalah seorang rasul dari Tuhannya?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami percaya kepada apa yang disampaikannya.”

Ayat ini menerangkan bahwa pemuka yang sombong dari kaum tsamud itu mengatakan kepada orang-orang yang lemah dan beriman kepada Nabi Saleh dengan cara mengejek seolah-olah mereka itu berada dalam kekeliruan karena beriman kepada kerasulan Nabi Saleh. Mereka menyatakan bahwa orang-orang yang lemah itu tidak putus asa, mungkin karena percaya akan kerasulan Saleh. Memang menurut kebiasaan bahwa golongan yang lemah tidak mempunyai kepentingan, mereka masih berpegang kepada hati nurani mereka, karena itulah mereka segera menerima seruan Nabi atau nasihat orang-orang yang saleh.

Adapun orang-orang yang terkemuka dan orang-orang yang kaya, sangat berat untuk mengikuti orang lain, apalagi untuk menerima nasihat-nasihat yang menghalangi mereka mengikuti keinginan hawa nafsu, meskipun bertentangan dengan hati nurani mereka sendiri. Demikianlah tingkah laku orang-orang yang mempunyai kedudukan karena pangkatnya atau karena kekayaannya, sebagaimana diutarakan dalam firman Allah yaitu:

Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan. (an-Naml/27: 14)

Orang-orang yang lemah dari kaum tsamud yang beriman itu tidak langsung menjawab pertanyaan mereka, tetapi dengan bijaksana menjawab bahwa mereka beriman kepada apa yang dibawa oleh Nabi Saleh, karena petunjuk-petunjuk itu benar dan datangnya dari Allah.

Ayat 76

قَالَ الَّذِيْنَ اسْتَكْبَرُوْٓا اِنَّا بِالَّذِيْٓ اٰمَنْتُمْ بِهٖ كٰفِرُوْنَ

qālal-lażīnastakbarū innā bil-lażī āmantum bihī kāfirūn(a).

Orang-orang yang menyombongkan diri berkata, “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu percayai.”

Setelah golongan lemah yang beriman itu menjawab dengan jawaban yang bijaksana bahwa mereka beriman kepada Allah, dan apa yang dibawa oleh Nabi Saleh, maka ayat ini menerangkan ucapan pemuka-pemuka kaum tsamud yang sombong sebagai jawaban kembali terhadap ucapan orang-orang yang lemah ini. Mereka mengatakan bahwa mereka mengingkari apa-apa yang diimani oleh orang yang lemah itu. Mereka menghindari untuk mengatakan ingkar kepada apa yang dibawa oleh Nabi Saleh, karena khawatir terhadap adanya kesan seolah-olah mereka mengakui atas kerasulan Saleh as.

Ayat 77

فَعَقَرُوا النَّاقَةَ وَعَتَوْا عَنْ اَمْرِ رَبِّهِمْ وَقَالُوْا يٰصٰلِحُ ائْتِنَا بِمَا تَعِدُنَآ اِنْ كُنْتَ مِنَ الْمُرْسَلِيْنَ

fa ‘aqarun-nāqata wa ‘atau ‘an amri rabbihim wa qālū yā ṣāliḥu'tinā bimā ta‘idunā in kunta minal-mursalīn(a).

Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan berlaku angkuh terhadap perintah Tuhannya. Mereka berkata, “Wahai Saleh! Buktikanlah ancaman kamu kepada kami, jika benar engkau salah seorang rasul.”

Setelah itu mereka berbuat durhaka dengan menyembelih unta dan menentang perintah-perintah Allah yang disampaikan kepada mereka oleh Nabi Saleh. Mereka memanggil seorang sesamanya untuk membunuh unta itu, seperti dijelaskan oleh firman Allah:

Maka mereka memanggil kawannya, lalu dia menangkap (unta itu) dan memotongnya. (al-Qamar/54: 29)

Tetapi dalam ayat 77 dikatakan, bahwa yang membunuh unta itu adalah orang banyak di kalangan mereka. Hal mana menunjukkan perbuatan kejahatan (tindak pidana) seseorang, dipandang perbuatan pidana orang banyak apabila orang yang melakukan pidana itu atas persetujuan orang banyak atau perintah mereka. Maka tanggung jawab atas tindak pidana itu dipikulkan kepadanya dan orang banyak secara bersama-sama, dan azab ditimpakan kepada mereka. Mereka kemudian menantang Nabi Saleh agar mendatangkan azab yang dijanjikan kepada mereka, yaitu azab Allah, jika benar-benar Saleh utusan Allah yang menyampaikan ancaman dari Allah.

Ayat 78

فَاَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَاَصْبَحُوْا فِيْ دَارِهِمْ جٰثِمِيْنَ

fa akhażathumur-rajfatu fa aṣbaḥū fī dārihim jāṡimīn(a).

Lalu datanglah gempa menimpa mereka, dan mereka pun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka.

Setelah mereka menantang Nabi Saleh dengan menuntut azab Allah yang dijanjikan, maka Allah membela Rasul-Nya dan pengikutnya. Ayat ini menerangkan azab Allah yang diturunkan kepada mereka berupa gempa dan petir yang dahsyat yang menggetarkan jantung manusia, menggoncangkan bumi bagaikan gempa besar yang menghancurkan semua bangunan sehingga mereka semuanya binasa. Tentulah petir tersebut tidak seperti biasa tetapi petir yang luar biasa yang khusus ditimpakan kepada mereka sebagai azab atas kedurhakaan kaum tsamud.

Ayat 79

فَتَوَلّٰى عَنْهُمْ وَقَالَ يٰقَوْمِ لَقَدْ اَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَةَ رَبِّيْ وَنَصَحْتُ لَكُمْ وَلٰكِنْ لَّا تُحِبُّوْنَ النّٰصِحِيْنَ

fa tawallā ‘anhum wa qāla yā qaumi laqad ablagtukum risālata rabbī wa naṣaḥtu lakum wa lākil lā tuḥibbūnan-nāṣiḥīn(a).

Kemudian dia (Saleh) pergi meninggalkan mereka sambil berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku telah menyampaikan amanat Tuhanku kepadamu dan aku telah menasihati kamu. Tetapi kamu tidak menyukai orang yang memberi nasihat.”

Setelah kaum tsamud binasa akibat disambar petir, ayat ini menerangkan bahwa Nabi Saleh dengan rasa haru dan sedih berkata kepada mereka yang sudah mati, bahwa dia sesungguhnya telah menyampaikan amanat Tuhannya dan telah cukup memberi nasihat kepada mereka namun mereka tidak suka menerima nasihat. Seruan Nabi Saleh ini yang ditujukan kepada kaumnya yang telah mati itu menunjukkan betapa cintanya kepada kaumnya. Hal mana mengingatkan kita kepada seruan Nabi Muhammad terhadap sebagian orang-orang Quraisy yang telah mati dan sudah dikuburkan dalam Perang Badar. Rasulullah berkata:

"Wahai Abu Jahal bin Hisyam, wahai Utbah bin Rabi'ah. Wahai Syaibah bin Rabiah dan wahai Fulan anak Fulan, Adakah sekarang ini kamu menemukan apa-apa yang dijanjikan Allah itu benar? Karena aku telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku itu benar. Umar berkata, "Ya Rasulullah, apa guna berbicara dengan tubuh yang tidak bernyawa?" Rasulullah menjawab, "Demi Tuhan dimana diriku tergantung pada-Nya. Kamu tidaklah lebih mendengar dari mereka terhadap apa yang aku katakan. Tetapi mereka tidak dapat menjawab." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu thalhah al-Anshari).

Ayat 79 ini tidak mengutarakan bahwa Nabi Saleh menghindar dari kaumnya sebelum datang azab Allah, demikian juga tidak mengutarakan tentang nasib sebagian kaum tsamud yang beriman kepada Nabi Saleh. Namun ayat 79 ini jelas mengutarakan bahwa Nabi Saleh diselamatkan oleh Allah. Ibnu Katsir menerangkan bahwa Allah menyelamatkan Nabi Saleh dan pengikutnya dari azab tersebut kemudian pergi dan tinggal di Haran.

Ayat 80

وَلُوْطًا اِذْ قَالَ لِقَوْمِهٖٓ اَتَأْتُوْنَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ اَحَدٍ مِّنَ الْعٰلَمِيْنَ

wa lūṭan iż qāla liqaumihī ata'tūnal-fāḥisyata mā sabaqakum bihā min aḥadim minal-‘ālamīn(a).

Dan (Kami juga telah mengutus) Lut, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini).

Ayat ini menerangkan bahwa Allah mengutus Nabi Lut untuk menyampaikan agama kepada kaumnya agar mereka menyembah Allah, dan Nabi Lut bertanya kepada mereka dengan nada keras, "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu" dengan harapan mereka sadar untuk meninggalkan prilaku keji itu. Kaum Nabi Lut adalah orang yang pertama kali melakukan sodomi (homoseks) maka mereka mendapatkan dosa seperti dosa orang yang menirunya, sebagaimana diterangkan dalam hadis:

"Orang yang membuat suatu kebiasaan buruk dalam Islam, lalu kebiasaan buruk itu dikerjakan sesudahnya, maka ia akan menanggung seperti dosa orang yang melakukan kebiasaan buruk itu." (Riwayat Muslim)

Hadis lain menerangkan:

"Orang yang mengajak kepada jalan yang benar maka ia mendapat ganjaran sama banyaknya dengan ganjaran yang diberikan kepada pengikut-pengikutnya dan hal itu tidak sedikit pun mengurangi ganjaran mereka itu, dan orang yang mengajak berbuat kejahatan maka ia mendapat dosa sama banyaknya dengan dosa pengikut-pengikutnya dan hal itu tidak dikurangi sedikit pun dari dosa mereka itu." (Riwayat Muslim)

Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan tujuan mengembangkan keturunan manusia guna memakmurkan alam ini. Pada masing-masing jenis memiliki nafsu birahi yang mendorong terwujudnya kebutuhan bertemunya kedua jenis manusia ini sebagai sarana untuk mengembangbiakan manusia.

Perempuan dalam bentuk kejadiannya adalah indah, halus dan menarik. Antara laki-laki dan perempuan terjadi saling tarik-menarik laksana tarikan antara positif dan negatif. Jika manusia seperti itu, alangkah ganjilnya bila ada golongan manusia yang menyimpang dari ketentuan Allah itu. Alangkah besarnya pelanggaran terhadap kemanusiaan yang dilakukan seseorang laki-laki dengan menggauli laki-laki lain dengan tujuan bukan untuk mengembangkan keturunan.

Jika saling membunuh dinilai sebagai sesuatu yang buruk, maka perbuatan kaum Nabi Lut ini dapat dikatakan lebih buruk dan dapat menjatuhkan derajat manusia dan kemanusiaan sehingga lebih rendah dari hewan. Hal ini karena hewan jantan tidak ada yang berhubungan dengan jantan pula sebagaimana yang dilakukan umat Nabi Lut. Ketetapan Allah berkaitan dengan hal ini, adalah laki-laki untuk perempuan dan perempuan untuk laki-laki. Kaum Lut bukan saja ingkar kepada Allah dan tidak bersyukur atas nikmat-Nya, tetapi juga melakukan homoseksual yang akhirnya juga mendorong para wanita melakukan lesbian (saling berhubungan sesamanya). Allah mengutus Nabi Lut kepada kaum seperti ini untuk menyampaikan ajaran Allah agar mereka kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan kelakuan yang buruk dan bertentangan dengan sunatullah. Karena mereka menolak seruan Lut, maka Allah membinasakan kaum tersebut.

Nabi Lut adalah anak Haran bin Tarikh. Tarikh adalah saudara Nabi Ibrahim. Lut dilahirkan di daerah tepian timur dari selatan Irak yang dahulunya dinamakan Babilon. Atas kehendak Nabi Ibrahim, Lut berdiam di kota Sodom salah satu kota di daerah Yordania. Lut wafat di sekitar Yordan dahulu terkenal dengan nama Laut Lut.

Ayat 81

اِنَّكُمْ لَتَأْتُوْنَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِّنْ دُوْنِ النِّسَاۤءِۗ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُوْنَ

innakum lata'tūnar-rijāla syahwatam min dūnin-nisā'(i), bal antum qaumum musrifūn(a).

Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.”

Ayat ini kelanjutan dari ayat 80 menerangkan, bahwa Nabi Lut menegaskan kepada kaumnya bahwa sesungguhnya mereka melakukan homoseksual, perbuatan yang bukan saja bertentangan dengan fithrah manusia tetapi juga menghambat perkembangbiakan manusia. Perbuatan homoseksual hanya bertujuan pelepasan nafsu birahi semata karena pelakunya lebih rendah dari hewan. Hewan masih memerlukan jenis kelamin lain untuk memuaskan nafsu birahinya dan keinginan mempunyai keturunan. Misalnya binatang yang merayap dan yang terbang memulai kehidupannya dengan betina dan jantan untuk bersama-sama membuat sarang di atas pohon. Sedangkan kelakukan homoseks tidak mempunyai maksud demikian selain melampiaskan nafsu birahi semata.

Dengan bersemangat Nabi Luth mengutuk dan mencemoohkan tingkah laku mereka. Pada akhir ayat ini diutarakan bahwa Nabi Luth selalu mengakhiri ucapannya dengan kata-kata,

"Tetapi wahai kaumku, kamu adalah benar-benar golongan yang melampaui batas, karena kamu meninggalkan akal sehat dan menyimpang dari fitrah manusia, sehingga kamu tidak memikirkan akibat buruk dari tingkah lakumu, yaitu memutuskan keturunan, merusak kesehatan dan melanggar peradaban."

Jika kaum Lut tidak menyimpang dari fitrah, selalu berpikir sehat dan berakhlak mulia, tentu akan menjauhi perbuatan keji dan terkutuk itu. Kecaman atas perbuatan umat Nabi Lut berulang kali dikemukakan dengan ungkapan yang beragam, seperti firman Allah berikut:

Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) syahwat(mu), bukan (mendatangi) perempuan? Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu). (an-Naml/27: 55)

Juga firman Allah pada ayat yang lain yaitu:

Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?" (al-'Ankabut/29: 29)

Ayat 82

وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهٖٓ اِلَّآ اَنْ قَالُوْٓا اَخْرِجُوْهُمْ مِّنْ قَرْيَتِكُمْۚ اِنَّهُمْ اُنَاسٌ يَّتَطَهَّرُوْنَ

wa mā kāna jawāba qaumihī illā an qālū akhrijūhum min qaryatikum, innahum unāsuy yataṭahharūn(a).

Dan jawaban kaumnya tidak lain hanya berkata, “Usirlah mereka (Lut dan pengikutnya) dari negerimu ini, mereka adalah orang yang menganggap dirinya suci.”

Ayat ini menerangkan reaksi kaum Lut terhadap kecaman dan nasihat yang dikemukakan oleh Nabi Lut yang disertai dengan alasan-alasan yang logis dan tidak dapat dibantah. Namun demikian mereka tetap menolak kebenaran. Beberapa pemuka mereka mengeluarkan perintah agar Nabi Lut beserta orang-orang yang beriman kepadanya diusir dari kampung halaman mereka dengan alasan bahwa Nabi Lut dan orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang bersih dan tidak patut berkumpul dengan mereka, karena mereka adalah orang-orang yang rusak dan kotor. Oleh karena itu, sebaiknya Nabi Lut dan pengikutnya tidak sekampung dengan mereka, karena antara mereka dengan Nabi Lut terdapat perbedaan dalam budi pekerti. Mereka melakukan perbuatan yang keji dengan bangga, sedang Nabi Lut beserta orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang membersihkan diri dari perbuatan terkutuk itu. Sambil mengejek, mereka menghendaki agar Nabi Lut dengan pengikutnya diusir, dengan demikian mereka tetap dapat berbuat secara bebas tanpa ada yang mengganggu mereka.

Alangkah rendahnya akhlak kaum Lut itu, tanpa rasa malu mereka bangga melakukan perbuatan maksiat yang berbentuk kutukan seraya menghina orang-orang yang berbudi pekerti luhur. Hanya manusia yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudianlah yang dapat jatuh ke dalam martabat yang rendah ini.

Ayat 83

فَاَنْجَيْنٰهُ وَاَهْلَهٗٓ اِلَّا امْرَاَتَهٗ كَانَتْ مِنَ الْغٰبِرِيْنَ

fa anjaināhu wa ahlahū illamra'atahū kānat minal-gābirīn(a).

Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikutnya, kecuali istrinya. Dia (istrinya) termasuk orang-orang yang tertinggal.

Ayat ini menerangkan bahwa Allah menyelamatkan Nabi Lut beserta orang yang beriman kepada-Nya kecuali istrinya karena ia tidak beriman kepada Nabi Lut bahkan mengkhianatinya. Istrinya berpihak kepada kaum Lut yang kafir. Karena itu ia tergolong ke dalam kaum Lut yang mendapat azab pula di akhirat nanti. Ayat lain menerangkan bahwa sebelum azab diturunkan kepada kaum Lut, Allah memerintahkan Nabi Lut dan pengikutnya yang beriman agar meninggalkan negerinya, sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya:

Mereka (para malaikat) berkata, "Wahai Lut! Sesungguhnya kami adalah para utusan Tuhanmu, mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah beserta keluargamu pada akhir malam dan jangan ada seorang pun di antara kamu yang menoleh ke belakang, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia (juga) akan ditimpa (siksa) yang menimpa mereka. Sesungguhnya saat terjadinya siksa kepada mereka itu pada waktu subuh. Bukankah subuh itu sudah dekat?" (Hud/11: 81)

Firman-Nya yang lain:

"Maka pergilah kamu pada akhir malam beserta keluargamu, dan ikutilah mereka dari belakang. Jangan ada di antara kamu yang menoleh ke belakang dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang diperintahkan kepadamu." (al-hijr/15: 65)

Juga firman-Nya:

Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di dalamnya (negeri kaum Lut) itu. Maka Kami tidak mendapati di dalamnya (negeri itu), kecuali sebuah rumah dari orang-orang muslim (Lut). Dan Kami tinggalkan padanya (negeri itu) suatu tanda bagi orang-orang yang takut kepada azab yang pedih. (adz-dzariyat/51: 35-37)

Ayat 84

وَاَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَّطَرًاۗ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِيْنَ ࣖ

wa amṭarnā ‘alaihim maṭarā(n), fanẓur kaifa kāna ‘āqibatul-mujrimīn(a).

Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu). Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang berbuat dosa itu.

Ayat ini menerangkan bahwa Allah membinasakan kaum Luth dengan batu yang terkenal dengan "batu sijjil" diturunkan dari langit laksana hujan sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

Maka Kami jungkirbalikkan (negeri itu) dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras. (al-hijr/15: 74)

Firman Allah:

Maka ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkirbalikkannya negeri kaum Lut, dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar. (Hud/11: 82)

Tidak ada seorang ahli tafsir pun yang dapat menjelaskan cara-cara batu-batu itu terkumpul dari bumi diangkat ke atas atau lapisan bumi yang diangkat ke atas mereka, kemudian turun berjatuhan seperti hujan. Demikian juga bentuk batu tersebut apakah dari tanah keras semata atau bercampur dengan unsur-unsur zat pembakar atau batu-batu yang berasal dari pecahan bintang.

Pada ayat ini Allah menunjukkan kekuasaan-Nya kepada Muhammad dan umatnya agar mengambil pelajaran dari peristiwa dan perilaku orang-orang yang mendustakan Allah dan rasul-rasul-Nya. Jika Allah menghendaki kebinasaan mereka, hal ini dapat terjadi dengan sebab-sebab yang alami, umpamanya; gempa bumi, penyakit wabah, peperangan dan korban fitnahan dan dapat pula dengan sebab-sebab luar biasa seperti topan yang menenggelamkan kaum Nuh, angin yang menghempaskan kaum Hud, petir yang membinasakan kaum Saleh dan hujan batu yang menghabiskan kaum Lut.

Mengenai perbuatan homoseks yang dilakukan oleh kaum Lut itu terdapat perselisihan antara ulama Fiqh tentang hukumannya sebagai berikut:

1.Imam Abu Hanifah berpendirian bahwa pelakunya dijatuhkan dari tempat yang tinggi diiringi dengan lemparan batu. Tetapi menurut satu riwayat pelakunya hanya di-ta'zir diberi hukuman agar jera baik muhsan maupun tidak muhsan.

2.Imam Malik memandang bahwa pelakunya dirajam (baik muhsan pernah kawin ataupun tidak). Demikian juga terhadap pasangan jika telah dewasa. Tetapi menurut satu riwayat, terhadap yang belum muhsan dikenakan hukum ta'zir.

3.Imam Syafi'i menerangkan bahwa pelakunya dirajam baik muhsan atau tidak. Menurut suatu riwayat pelakunya dirajam jika ia muhsan. Jika tidak muhsan didera sebanyak seratus kali.

4.Imam Ahmad memandang bahwa kedua pelakunya dibunuh.

5.Pendapat sebagian sahabat Nabi, seperti Abu Bakar, Ali, Ibnu Zubair, pelakunya dibakar.

Ayat 85

وَاِلٰى مَدْيَنَ اَخَاهُمْ شُعَيْبًاۗ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ فَاَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَاۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَۚ

wa ilā madyana akhāhum syu‘aibā(n), qāla yā qaumi‘budullāha mā lakum min ilāhin gairuh(ū), qad jā'atkum bayyinatum mir rabbikum fa auful-kaila wal-mīzāna wa lā tabkhasun-nāsa asy-yā'ahum wa lā tufsidū fil-arḍi ba‘da iṣlāḥihā, żālikum khairul lakum in kuntum mu'minīn(a).

Dan kepada penduduk Madyan, Kami (utus) Syuaib, saudara mereka sendiri. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah. Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan jangan kamu merugikan orang sedikit pun. Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu orang beriman.”

Ayat ini menceritakan bahwa kaum Madyan yaitu kaum Nabi Syu'aib tidak bersyukur kepada Allah disamping mereka mempersekutukan-Nya. Akhlak mereka sangat buruk sehingga kehidupan mereka bergelimang dalam penipuan, sampai kepada urusan tukar-menukar, timbang-menimbang. Menurut suatu riwayat jika orang asing datang berkunjung, mereka sepakat menuduh bahwa uang yang dibawa orang asing itu palsu, dengan demikian mereka menukarnya dengan harga (kurs) yang rendah sekali. Kepada kaum ini Allah mengutus Nabi Syu'aib agar dia menunjukkan kepada mereka jalan yang benar dan meninggalkan kecurangan dalam takaran dan timbangan.

Sebagaimana biasanya bahwa Allah memperkuat kenabian setiap Nabi-Nya dengan mukjizat seperti diketahui dari hadis Abu Hurairah, yaitu:

"Tidak seorang Nabi pun dari kalangan nabi-nabi kecuali diberikan kepadanya tanda-tanda kenabiannya yang menjadikan manusia percaya kepadanya. Sesungguhnya yang diberikan kepadaku ialah wahyu yang disampaikan kepadaku yaitu (Al-Qur'an). Maka aku mengharap bahwa aku akan mempunyai pengikut yang lebih banyak dari pada pengikut-pengikut nabi-nabi pada hari Kiamat". (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Tidak terdapat satu ayat pun dalam Al-Qur'an yang menerangkan tentang mukjizat yang diberikan kepada Nabi Syu'aib. Fakhrur Razi dalam tafsirnya, mengutip az-Zamakhsyari dalam tafsirnya "Al-Kasysyaf" mengatakan bahwa di antara mukjizat Nabi Syu'aib, yaitu dia memberikan tongkatnya kepada Nabi Musa. Tongkat itulah membinasakan ular-ular besar milik tukang-tukang sihir Firaun. Juga dia berkata kepada Nabi Musa, bahwa kambing-kambing ini akan beranak semuanya berbulu hitam putih, kemudian ternyata benar sebagaimana yang diucapkannya itu.

Ayat 86

وَلَا تَقْعُدُوْا بِكُلِّ صِرَاطٍ تُوْعِدُوْنَ وَتَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ مَنْ اٰمَنَ بِهٖ وَتَبْغُوْنَهَا عِوَجًاۚ وَاذْكُرُوْٓا اِذْ كُنْتُمْ قَلِيْلًا فَكَثَّرَكُمْۖ وَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِيْنَ

wa lā taq‘udū bikulli ṣirāṭin tū‘idūna wa taṣuddūna ‘an sabīlillāhi man āmana bihī wa tabgūnahā ‘iwajā(n), ważkurū iż kuntum qalīlan fa kaṡṡarakum, wanẓurū kaifa kāna ‘āqibatul-mufsidīn(a).

Dan janganlah kamu duduk di setiap jalan dengan menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang-orang yang beriman dari jalan Allah dan ingin membelokkannya. Ingatlah ketika kamu dahulunya sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu. Dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.

Sesudah Nabi Syu'aib melarang kaumnya membuat kerusakan di bumi, maka ayat ini menerangkan bahwa Nabi Syu'aib juga melarang mereka duduk di jalan untuk mengganggu orang yang lewat. Terhadap orang yang beriman mereka ancam nyawanya dan terhadap orang yang belum beriman jika ia bermaksud mengunjungi Nabi Syu'aib mereka mengatakan bahwa Syu'aib itu seorang pendusta yang hendak menggoda orang agar meninggalkan agama nenek moyangnya.

Pada akhir ayat Nabi Syu'aib mengajak mereka mengenang masa-masa yang lalu ketika mereka masih sedikit jumlahnya, kemudian Allah mengembangbiakkan keturunan mereka dan memberi rezeki yang banyak. Karenanya hendaklah mereka bersyukur kepada Allah dengan meninggalkan kemusyrikan dan perbuatan kezaliman dan hendaklah mereka mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian pada kaum-kaum yang berbuat kezaliman, antara lain meninggalkan agama yang benar dari umat-umat sebelum mereka, seperti kaum Nuh, kaum 'Ad, dan kaum tsamud. Hendaklah mereka mengambil pelajaran dari apa yang menjadi sebab Allah membinasakan umat-umat sebelum mereka itu. Dengan demikian Nabi Syu'aib secara tidak langsung telah memperingatkan kaumnya agar mereka tidak mengalami nasib seperti mereka yang telah dibinasakan oleh Allah itu.

Ayat 87

وَاِنْ كَانَ طَاۤىِٕفَةٌ مِّنْكُمْ اٰمَنُوْا بِالَّذِيْٓ اُرْسِلْتُ بِهٖ وَطَاۤىِٕفَةٌ لَّمْ يُؤْمِنُوْا فَاصْبِرُوْا حَتّٰى يَحْكُمَ اللّٰهُ بَيْنَنَاۚ وَهُوَ خَيْرُ الْحٰكِمِيْنَ ۔

wa in kāna ṭā'ifatum minkum āmanū bil-lażī ursiltu bihī wa ṭā'ifatul lam tu'minū faṣbirū ḥattā yaḥkumallāhu bainanā, wa huwa khairul-ḥākimīn(a).

Jika ada segolongan di antara kamu yang beriman kepada (ajaran) yang aku diutus menyampaikannya, dan ada (pula) segolongan yang tidak beriman, maka bersabarlah sampai Allah menetapkan keputusan di antara kita. Dialah hakim yang terbaik.

Ayat ini mengutarakan keahlian Nabi Syu'aib dalam menyampaikan ajaran-ajaran Allah yang dikemukakan dengan kata-kata yang tegas, bijaksana dan mengesankan. Nabi Syu'aib berkata kepada mereka jika ada golongan di antara mereka yang membenarkan seruannya agar menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan perbuatan zalim seperti mengurangi hak manusia dalam menimbang dan menakar, maka mereka akan terhindar dari siksa Allah. Sebaliknya, sekiranya ada golongan di antara mereka yang masih belum menyambut seruannya dan masih tetap kufur dan zalim, maka Nabi Syu'aib mengancam mereka agar menunggu keputusan Tuhan yang seadil-adilnya, yaitu membela hamba-hamba-Nya yang beriman dan membinasakan golongan kafir yang berbuat kezaliman.

Ayat 88

۞ قَالَ الْمَلَاُ الَّذِيْنَ اسْتَكْبَرُوْا مِنْ قَوْمِهٖ لَنُخْرِجَنَّكَ يٰشُعَيْبُ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَكَ مِنْ قَرْيَتِنَآ اَوْ لَتَعُوْدُنَّ فِيْ مِلَّتِنَاۗ قَالَ اَوَلَوْ كُنَّا كٰرِهِيْنَ

qālal-mala'ul-lażīnastakbarū min qaumihī lanukhrijannaka yā syu‘aibu wal-lażīna āmanū ma‘aka min qaryatinā au lata‘ūdunna fī millatinā, qāla awalau kunnā kārihīn(a).

Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri dari kaum Syuaib berkata, “Wahai Syuaib! Pasti kami usir engkau bersama orang-orang yang beriman dari negeri kami, kecuali engkau kembali kepada agama kami.”Syuaib berkata, “Apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak suka?

Ayat ini menerangkan bahwa para pemimpin suku Madyan berkata kepada Nabi Syuaib, bahwa mereka akan mengusir Syuaib dan para pengikutnya dari negeri mereka, apabila Nabi Syuaib tidak mau kembali kepada agama nenek moyang mereka, serta menghentikan dakwahnya kepada kaumnya.

Dengan perkataan lain, mereka menyuruh Nabi Syuaib dan para pengikutnya untuk memilih apakah mereka akan tetap dalam agama baru dan melanjutkan dakwah tetapi diusir dari negeri mereka, ataukah bersedia kembali kepada agama nenek moyang dan menjadi anggota masyarakat dari kaumnya yang musyrik.

Perlu diketahui bahwa kata-kata "kembali kepada agama nenek moyang" memberi kesan, seolah-olah Nabi Syuaib pernah menjadi penganut agama kaumnya, dan tentu pernah juga turut menyembah sembahan yang mereka sembah. Hal ini tidak benar, karena para nabi dan rasul Allah senantiasa terhindar dari dosa-dosa besar, termasuk dosa yang disebabkan kemusyrikan kepada Allah.

Pada akhir ayat tersebut diterangkan, bahwa Nabi Syuaib menjawab tantangan mereka dengan mengajukan pertanyaan, apakah mereka akan tetap memaksa dirinya dan para pengikutnya untuk kembali kepada agama mereka atau mereka akan mengusir dirinya dan para pengikutnya dari negeri Madyan bila ia menolak anjuran itu.

Nabi Syuaib menegaskan kepada kaumnya, bahwa ia dan para pengikutnya tidak merasa gentar diusir dari negeri mereka, dan mereka akan tetap dalam agama Allah serta melanjutkan dakwah mereka. Kecintaan Nabi Syuaib kepada agama Allah lebih tinggi dari pada kecintaan kepada tanah air yang penduduknya ingkar kepada Allah. Ia dan para pengikutnya mengutamakan hidup dalam keridaan Allah, sehingga mereka benar-benar dapat memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Agama dan keimanan adalah urusan hati yang tidak dapat dipaksakan bagaimanapun juga. Ia dan para pengikutnya benci kepada kemusyrikan, karena kemusyrikan merupakan dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah.

Seorang rasul yang mengemban amanat menyiarkan agama Allah tidak keberatan meninggalkan tanah tumpah darahnya, apabila situasi dan keadaan di tempat itu tidak memungkinkan untuk melaksanakan tugas. Seperti diketahui, Nabi Ibrahim telah melaksanakan hijrah, meninggalkan tanah tumpah darahnya yaitu kota Ur di Kaldea, demi untuk menegakkan agama Allah. Demikian pula Nabi Muhammad telah hijrah dari Mekah ke Medinah karena kecintaannya kepada agama Allah melebihi kecintaan kepada tanah air dan lain-lainnya. Orang-orang yang enggan hijrah karena Allah, akan dimurkai Allah, sebagaimana firman Allah :

"Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri, mereka (para malaikat) bertanya: "bagaimana kamu ini?" Mereka menjawab: "Kami orang-orang yang tertindas di bumi (Mekah)". Mereka (para malaikat) bertanya: "Bukanlah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?" Maka Orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan (Jahanam) itu seburuk-buruknya tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan dan anak-anak yang tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah), maka mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun". (an-Nisa/4: 97-99)

Ayat 89

قَدِ افْتَرَيْنَا عَلَى اللّٰهِ كَذِبًا اِنْ عُدْنَا فِيْ مِلَّتِكُمْ بَعْدَ اِذْ نَجّٰىنَا اللّٰهُ مِنْهَاۗ وَمَا يَكُوْنُ لَنَآ اَنْ نَّعُوْدَ فِيْهَآ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ رَبُّنَاۗ وَسِعَ رَبُّنَا كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًاۗ عَلَى اللّٰهِ تَوَكَّلْنَاۗ رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَاَنْتَ خَيْرُ الْفٰتِحِيْنَ

qadiftarainā ‘alallāhi każiban in ‘udnā fī millatikum ba‘da iż najjānallāhu minhā, wa mā yakūnu lanā an na‘ūda fīhā illā ay yasyā'allāhu rabbunā, wasi‘a rabbunā kulla syai'in ‘ilmā(n), ‘alallāhi tawakkalnā, rabbanaftaḥ bainanā wa baina qauminā bil-ḥaqqi wa anta khairul-fātiḥīn(a).

Sungguh, kami telah mengada-adakan kebohongan yang besar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu, setelah Allah melepaskan kami darinya. Dan tidaklah pantas kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki. Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu. Hanya kepada Allah kami bertawakal. Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil). Engkaulah pemberi keputusan terbaik.”

Ayat ini menjelaskan ucapan Nabi Syuaib terhadap kaumnya yang telah mengancam untuk mengusir dari negerinya apabila ia tidak mau menghentikan dakwahnya. Nabi Syuaib berkata: "Alangkah besar dosa dan kebohongan kami terhadap Allah, apabila kami kembali kepada agama kamu, padahal Allah telah menyelamatkan kami dan telah menunjuki kami ke jalan yang lurus. Apabila seseorang mengikuti ajaran kamu tanpa pengetahuan, dianggap sebagai orang yang mengadakan kebohongan terhadap Allah, maka bagaimanakah halnya orang yang sengaja mengadakan kebohongan terhadap-Nya, dan sengaja menyimpang dari jalan yang telah ditunjukkan-Nya secara sadar, padahal ia mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Kekafiran semacam itu merupakan perbuatan yang amat keji, tidak akan diampuni. Oleh sebab itu kami tidak akan melakukannya".

Dari penegasan Nabi Syuaib ini dapat diambil kesimpulan bahwa Allah telah menyelamatkan para pengikutnya dan sahabat-sahabatnya, termasuk dirinya sendiri, dari agama syirik yang dianut kaumnya, atau dapat pula diartikan bahwa Allah telah menyelamatkan Nabi Syuaib dari kemusyrikan. Ia tidak pernah menganut kepercayaan yang dianut kaumnya dan tidak menyembah apa-apa yang disembah oleh mereka. Maka Allah telah menunjukinya kepada jalan yang benar. Ini sama halnya dengan apa yang dialami Nabi Muhammad sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk". (ad-dhuha/93: 7)

Firman-Nya yang lain :

"Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Al-Qur'an) dan apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur'an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus". (asy-Syura/42: 52)

Selanjutnya Nabi Syuaib menegaskan kepada kaumnya, bahwa tidak layak dan tidak masuk akal, jika dia dan para pengikutnya akan meninggalkan agama yang benar serta kembali kepada agama mereka, kecuali jika Allah menghendakinya. Maksudnya ialah bahwa Nabi Syuaib beserta para pengikutnya yakin, bahwa agama yang dianut kaumnya adalah agama yang tidak benar, sedangkan agama yang dianutnya beserta para pengikutnya adalah agama yang benar dapat menjamin keselamatan dan kebahagiaan manusia dunia dan akhirat.

Allah tidak menghendaki Nabi Syuaib dan para pengikutnya kembali kepada agama kaumnya yang penuh dengan kemusyrikan, sebab Allah sendiri yang telah membebaskannya dari kemusyrikan dan menunjukinya kepada agama yang benar. Oleh sebab itu Nabi Syuaib dan para pengikutnya tidak akan kembali kepada agama mereka.

Kemudian Nabi Syuaib mengingatkan bahwa Ilmu Allah Maha Luas, meliputi segala sesuatu. Ia mengetahui segala hikmah dan hal-hal yang akan mendatangkan kemasalahan bagi hamba-Nya. Kehendak-Nya senantiasa berlaku sesuai dengan hikmah tersebut. Maka segala sesuatu yang terjadi pada makhuk-Nya tidaklah terlepas dari hikmah tersebut. Oleh sebab itu, kepada Allah saja ia dan para pengikutnya bertawakal dan berserah diri, dan disertai ketaatan dalam menjalankan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka, yaitu menjaga syariat dan agama-Nya. Dialah yang akan melindungi Nabi Syuaib dan para pengikutnya dari segala ancaman dan gangguan kaumnya dan dari segala bahaya dimana Nabi Syuaib tidak mempunyai daya untuk menghindari dan melawannya.

Perlu diketahui salah satu syarat dari tawakal ialah keteguhan dalam melaksanakan syariat yang telah ditetapkan Allah, serta mematuhi peraturan umum yang ditetapkan-Nya, baik mengenai alam maupun masyarakat, terutama hubungan antara sebab dan akibat. Misalnya bila kita ingin memperoleh rezeki dari Allah maka kita harus berusaha, serta menjaga peraturan Allah dalam menjalankan usaha-usaha tersebut. Apabila usaha sudah dijalankan menurut cara-cara yang diperlukan, serta menjaga peraturan yang telah ditetapkan Allah dan syariat-Nya, barulah kita bertawakal. Tawakal yang dilakukan tanpa didahului dengan usaha yang benar dan sesuai dengan peraturan Allah adalah tawakal yang keliru. Itulah sebabnya Rasulullah saw pernah menegur seorang yang tidak menambatkan untanya ketika ia mau menghadap Rasulullah, karena katanya ia telah bertawakal kepada Allah lebih dahulu. Seharusnya ia menambatkan untanya terlebih dahulu sebelum ia meninggalkannya. Hal tersebut merupakan usaha untuk bertawakal. Menurut keadaan yang biasa berlaku, unta tidak akan lari, bila ia telah ditambatkan dengan baik. Nabi bersabda:

"Tambatkan kemudian bertawakal (kepada Allah)". (Riwayat at-Tirmidzi)

Setelah Nabi Syuaib menyatakan penyerahan dirinya kepada Allah swt, lalu mengakhiri dengan , semoga Allah memberikan keputusan yang adil antara dia dan kaumnya, maka ia menyatakan pengakuan dan keyakinannya bahwa Allah swt adalah pemberi keputusan yang sebaik-baiknya, karena Dia Mahaadil dan Maha Mengetahui.

Sebagaimana diketahui, sebelum lahirnya Nabi Syuaib di Madyan, telah banyak rasul yang diutus Allah untuk menyampaikan agama-Nya kepada umat manusia. Pada umumnya, para rasul itu mendapat tantangan dan dimusuhi oleh sebagian kaumnya, yang ingkar kepada Allah. Pada akhirnya, para rasul tersebut mendapat pertolongan dari Allah karena mereka adalah orang-orang yang menjalankan perintah Allah dan selalu bersikap jujur dan berbuat baik. Sebaliknya orang-orang kafir itulah yang menemui nasib buruk akibat kekafiran mereka.

Ayat 90

وَقَالَ الْمَلَاُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَوْمِهٖ لَىِٕنِ اتَّبَعْتُمْ شُعَيْبًا اِنَّكُمْ اِذًا لَّخٰسِرُوْنَ

wa qālal-mala'ul-lażīna kafarū min qaumihī la'inittaba‘tum syu‘aiban innakum iżal lakhāsirūn(a).

Dan pemuka-pemuka dari kaumnya (Syuaib) yang kafir berkata (kepada sesamanya), “Sesungguhnya jika kamu mengikuti Syuaib, tentu kamu menjadi orang-orang yang rugi.”

Orang-orang kafir di antara kaum Nabi Syuaib, yaitu pemuka-pemuka mereka yang mengingkari ayat-ayat Allah dan mendustakan rasul-Nya sudah berbuat kezaliman, antara lain dengan menghalang-halangi orang lain untuk beriman kepada Nabi Syuaib dan agama yang dibawanya, mereka berkata: "Jika kamu beriman dan mengikuti seruan Syuaib yang mengajak kepada agama tauhid, niscaya kamu akan merugi akibat perbuatan itu karena meninggalkan agama nenek moyang yang kamu anut selama ini. Kamu akan kehilangan kemuliaan dan kehormatan, karena dengan mengikuti Syuaib kamu akan menganggap bahwa nenek moyang kamu adalah orang-orang yang sesat dan akan diazab oleh Allah. Di samping itu, kamu juga akan kehilangan harta benda dan keuntungan yang berlipat ganda dalam perdagangan karena agama Syuaib tidak memperbolehkan melakukan penipuan dalam berjual beli, terutama mengenai takaran dan timbangan.

Pemuka-pemuka kaum Nabi Syuaib jelas bersikap angkuh dan kufur. Sikap angkuh ini timbul karena mereka berkuasa di negeri itu, sifat inilah yang mendorong mereka untuk mengeluarkan ancaman kepada Nabi Syuaib dan para pengikutnya untuk mengusir mereka dari Madyan. Sedang sifat kufur mereka telah menyebabkan mereka bertindak untuk menghalang-halangi orang lain menganut agama Allah yang dibawa oleh Nabi Syuaib. Mereka adalah orang-orang yang sesat, dan berusaha untuk menyesatkan orang lain.

Ayat 91

فَاَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَاَصْبَحُوْا فِيْ دَارِهِمْ جٰثِمِيْنَۙ

fa akhażathumur-rajfatu fa aṣbaḥū fī dārihim jāṡimīn(a).

Lalu datanglah gempa menimpa mereka, dan mereka pun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka.

Keingkaran kepada Allah serta perbuatan menghalangi orang lain untuk menganut agama Allah adalah kejahatan yang amat besar. Orang-orang semacam itu sudah selayaknya mendapat hukuman yang setimpal. Oleh sebab itu, Allah telah menimpakan kepada mereka azab yang berat berupa gempa dan petir yang dahsyat yang membinasakan mereka, sehingga mereka mati bergelimpangan di bawah reruntuhan rumah-rumah mereka, seolah-olah mereka tidak pernah ada di negeri itu.

Kisah Nabi Syuaib ini, selain ditemukan dalam surah al-Araf, juga ditemukan dalam surah Hud/11: 85-95). Akan tetapi ada perbedaan yang menyebutkan nama azab yang ditimpakan kepada kaumnya yang kafir. Dalam Surah al-Araf ayat 91 disebutkan, bahwa azab tersebut adalah berupa "ar rajfah", yaitu gempa yang dahsyat. Sedangkan dalam Surah Hud ayat 94 disebutkan, bahwa azab tersebut adalah berupa "Ash shaihatu", yaitu suara keras yang mengguntur. Namun kedua ayat itu tidaklah berlawanan, karena kedua macam azab ini dapat terjadi dalam satu rentetan dan menimbulkan akibat yang sama, suara kilat yang keras dan gempa telah membinasakan mereka, sehingga mereka mati bergelimpangan di bawah reruntuhan rumah-rumah mereka.

Kisah Nabi Syuaib juga terdapat dalam surah asy-Syuara, di sini disebutkan bahwa Nabi Syuaib diutus Allah kepada penduduk negeri Aikah (asy-Syuara/26: 176). Sedangkan dalam surah al-Araf disebutkan bahwa Nabi Syuaib adalah saudara sebangsa dari kaum Madyan, yaitu penduduk negeri Madyan.

Menurut keterangan Ishak Ibnu Basyar yang dikutip dari Ibnu Asakir, mengatakan bahwa Ibnu Abbas telah memberikan penjelasan sebagai berikut: "Penduduk Aikah adalah orang-orang yang mendiami daerah rawa-rawa yang terletak antara pantai Laut Merah dan negeri Madyan". Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa Nabi Syuaib telah diutus Allah kepada kaumnya yang telah mempunyai hubungan dengan mereka, sampai ke Laut Merah. Kedua kaum mempunyai kesamaan, baik mengenai kekafiran mereka, maupun mengenai berbagai perbuatan maksiat yang mereka lakukan, misalnya ketidakjujuran mereka dalam menimbang dan menakar ketika berjual beli. Nabi Syuaib menyiarkan agama kepada mereka semua. Azab Allah telah menimpa kedua golongan itu dalam waktu yang sama, atau dalam waktu yang berdekatan jaraknya, maka azab yang ditimpakan kepada penduduk Madyan adalah berupa "Ar rajfah", yaitu gempa yang amat dahsyat yang disertai suara gemuruh yang amat keras, sedang azab yang ditimpakan kepada penduduk Aikah adalah berwujud angin samum dan udara yang sangat panas, yang berakhir dengan datangnya gumpalan awan. Mereka lalu berkumpul di bawah awan yang menaungi mereka untuk mendapatkan udara yang sejuk, karena mereka menyangka awan itu akan menurunkan hujan akan tetapi gumpalan awan itu ternyata awan panas yang akan ditimpakan kepada mereka sehingga semuanya mati tertimpa awan panas. Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa azab yang ditimpakan kepada kedua golongan itu sama. (Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut ketika menafsirkan surah asy-Syuara)

Ayat 92

الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا شُعَيْبًا كَاَنْ لَّمْ يَغْنَوْا فِيْهَاۚ اَلَّذِيْنَ كَذَّبُوْا شُعَيْبًا كَانُوْا هُمُ الْخٰسِرِيْنَ

al-lażīna każżabū syu‘aiban ka'allam yagnau fīhā, al-lażīna każżabū syu‘aiban kānū humul-khāsirīn(a).

Orang-orang yang mendustakan Syuaib seakan-akan mereka belum pernah tinggal di (negeri) itu. Mereka yang mendustakan Syuaib, itulah orang-orang yang rugi.

Pada ayat-ayat yang terdahulu telah disebutkan bahwa pemuka-pemuka kaum Nabi Syuaib pernah mengeluarkan ancaman untuk mengusir Nabi Syuaib bersama para pengikutnya dari negeri Madyan apabila mereka tidak mau kembali kepada agama nenek moyang mereka. Maka dalam ayat ini Allah memberikan penjelasan sebagai jawabannya. Allah menegaskan bahwa akibat yang akan diderita oleh orang-orang yang telah mengancam untuk mengusir Nabi Syuaib dari Madyan, justru merekalah yang rusak binasa dan hilang lenyap, sehingga seakan-akan mereka tak pernah hidup dan mendiami negeri ini. Demikian juga orang-orang yang mendustakan Nabi Syuaib dan mengatakan bahwa siapa yang mengikuti agamanya pasti akan merugi, justru merekalah yang benar-benar merugi, sedang orang-orang yang beriman dan mengikuti agama yang dibawa oleh Nabi Syuaib mereka akan selamat dan memperoleh rida Allah.

Dari ayat ini dapat diambil pelajaran yang sangat berharga, yaitu bahwa orang yang sangat menginginkan tetap tinggal di negeri mereka dengan hidup senang dan berbuat sewenang-wenang terhadap pihak-pihak yang memegang teguh kebenaran, niscaya akan menemui akibat yang bertentangan dengan harapan mereka, yaitu kebinasaan. Demikian pula orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan jalan mengambil harta orang lain dengan cara yang batil seperti korupsi niscaya akan menemui nasib malang, yaitu: kehilangan harta benda dan harga diri untuk selama-lamanya.

Ayat 93

فَتَوَلّٰى عَنْهُمْ وَقَالَ يٰقَوْمِ لَقَدْ اَبْلَغْتُكُمْ رِسٰلٰتِ رَبِّيْ وَنَصَحْتُ لَكُمْۚ فَكَيْفَ اٰسٰى عَلٰى قَوْمٍ كٰفِرِيْنَ ࣖ

fa tawallā ‘anhum wa qāla yā qaumi laqad ablagtukum risālāti rabbī wa naṣaḥtu lakum, fa kaifa āsā ‘alā qaumin kāfirīn(a).

Maka Syuaib meninggalkan mereka seraya berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku telah menyampaikan amanat Tuhanku kepadamu dan aku telah menasihati kamu. Maka bagaimana aku akan bersedih hati terhadap orang-orang kafir?”

Ketika azab itu menimpa kaum Nabi Syuaib, lalu dia pergi meninggalkan mereka, dengan penuh kesedihan ia berkata: "Wahai kaumku, aku telah menyampaikan risalah Tuhanku kepadamu, dan aku telah melaksanakan tugasku terhadapmu, dan aku telah memberikan nasihat yang cukup kepadamu, namun kamu membelakangi kesemuanya itu, maka mengapa aku harus bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir?".

Nabi Syuaib diutus Allah untuk menuntun kaumnya kepada agama yang benar untuk mencapai rida Allah serta kebahagiaan dunia dan akhirat, untuk itu Nabi Syuaib telah mencurahkan segenap tenaganya, tetapi mereka telah memilih jalan kesesatan. Mereka bahkan mendustakannya, serta mengancam untuk mengusir dari tanah airnya. Mereka telah melemparkan diri mereka sendiri ke jurang kebinasaan, karena kekafiran mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya. Sungguh Allah tidak menzalimi mereka.

Ayat 94

وَمَآ اَرْسَلْنَا فِيْ قَرْيَةٍ مِّنْ نَّبِيٍّ اِلَّآ اَخَذْنَآ اَهْلَهَا بِالْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ لَعَلَّهُمْ يَضَّرَّعُوْنَ

wa mā arsalnā fī qaryatim min nabiyyin illā akhażnā ahlahā bil-ba'sā'i waḍ-ḍarrā'i la‘allahum yaḍḍarra‘ūn(a).

Dan Kami tidak mengutus seorang nabi pun kepada sesuatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan agar mereka (tunduk dengan) merendahkan diri.

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa salah satu dari ketetapan Allah yang berlaku ialah bahwa Dia mengutus rasul-Nya kepada suatu umat, kemudian apabila umat tersebut mendustakan rasul-Nya, maka Allah menimpakan cobaan kepada umat tersebut, berupa kesempitan rezeki dan penderitaan. Cobaan tersebut dimaksudkan untuk menyadarkan mereka sehingga menjadi umat yang tunduk dan rendah hati dengan ikhlas berdoa kehadirat Allah agar mereka dilepaskan dari azab tersebut.

Kemewahan dan kesenangan hidup menyebabkan manusia lupa kepada Tuhannya. Akan tetapi, bila suatu ketika ia ditimpa kesusahan dan kesempitan, maka hal itu akan menimbulkan kesadaran dalam hatinya, lalu kembali ke jalan yang ditunjukkan agamanya, dan berusaha untuk memperbaiki dirinya.

"Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahateliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat. (asy-Syura/42: 27)

Seseorang baru dapat merasakan nikmatnya kekayaan bila suatu ketika ia pernah kehilangan kekayaan itu. Seseorang baru mengerti nikmat kesehatan bila suatu ketika ia pernah sakit. Demikian pula halnya dengan nikmat-nikmat lainnya yang telah dikaruniakan Allah kepada manusia.

Dengan demikian jelaslah, apabila suatu ketika Allah mencabut nikmat-Nya dari seseorang atau satu bangsa, maka tujuannya agar mereka sadar dan mau beriman dan taat kepada Allah, yakin akan sifat-sifat kekuasaan, keadilan dan kasih sayang Allah kepada makhluk. Sehingga mereka akan kembali merendahkan diri kepada Allah dan tunduk kepada peraturan-Nya, serta mengharapkan ampunan-Nya, untuk melepaskan mereka dari kesusahan yang menimpanya.

Ayat 95

ثُمَّ بَدَّلْنَا مَكَانَ السَّيِّئَةِ الْحَسَنَةَ حَتّٰى عَفَوْا وَّقَالُوْا قَدْ مَسَّ اٰبَاۤءَنَا الضَّرَّاۤءُ وَالسَّرَّاۤءُ فَاَخَذْنٰهُمْ بَغْتَةً وَّهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ

Ṡumma baddalnā makānas-sayyi'atil-ḥasanata ḥattā ‘afau wa qālū qad massa ābā'anaḍ-ḍarrā'u was-sarrā'u fa akhażnāhum bagtataw wa hum lā yasy‘urūn(a).

Kemudian Kami ganti penderitaan itu dengan kesenangan (sehingga keturunan dan harta mereka) bertambah banyak, lalu mereka berkata, “Sungguh, nenek moyang kami telah merasakan penderitaan dan kesenangan,” maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan tiba-tiba tanpa mereka sadari.

Ayat ini menerangkan bahwa setelah mereka ditimpa kesusahan dan kesulitan hidup, dan mereka berusaha memperbaiki dan berdoa kepada Allah, maka Allah memberikan kepada mereka nikmat dan kelapangan hidup sehingga mereka memperoleh kemakmuran dan harta benda yang cukup. Kemakmuran dan kecukupan harta benda ini memungkinkan mereka mengembangkan keturunan. Harta benda yang cukup dan keturunan yang banyak, adalah merupakan puncak kenikmatan bagi manusia.

Orang-orang yang beriman, jika memperoleh nikmat dari Allah, baik berupa harta benda maupun keturunan, tentu akan bertambah keimanan dan rasa syukurnya, dan akan melakukan kebajikan lebih banyak lagi. Akan tetapi orang-orang yang lemah iman, bila memperoleh kemakmuran dan kenikmatan yang banyak, ia lupa kepada Allah Yang memberikan nikmat tersebut, dan timbullah rasa sombong dan angkuhnya. Mereka berkata: "Nenek moyang kami dahulu juga pernah merasakan kenikmatan dan kesusahan, demikian pula kami. Kesusahan yang pernah kami alami, dan kebahagiaan yang kami rasakan sekarang adalah sama saja dengan apa yang pernah dialami nenek moyang kami. Kesusahan yang menimpa kami bukanlah akibat dari dosa-dosa yang telah kami perbuat, dan kebahagiaan yang kami peroleh bukanlah hasil dari kebajikan yang kami lakukan. Pengakuan dan sikap ini jelas merupakan kezaliman yang bisa terjadi sepanjang masa.

Demikianlah, kekayaan dan kebahagiaan telah membuat mereka lupa kepada hubungan antara sebab-akibat, serta menyebabkan mereka lupa kepada kekuasaan, keadilan dan kasih sayang Allah. Hal ini disebabkan karena mereka tidak memahami Sunnah Allah yang berlaku di alam ini; mereka tidak memahami faktor-faktor yang menimbulkan kebahagiaan dan kesengsaraannya di bumi ini. Padahal Allah telah memberikan bimbingan dengan firman-Nya:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri." (ar-Rad/13: 11)

Oleh karena itu, keingkaran dan kesombongan mereka, timbul setelah memperoleh kemakmuran. Allah menimpakan kepada mereka azab yang datang secara tiba-tiba, sedang mereka tidak menyadari akan datangnya azab tersebut. Mereka tidak memenuhi Sunnatullah yang berlaku dalam urusan masyarakat, dan akal mereka tidak mampu memikirkan hal itu. Lagi pula mereka tidak mau mengikuti petunjuk dan nasihat serta peringatan rasul kepada mereka. Dalam hubungan ini Allah telah berfirman:

"Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa". (al-Anam/6: 44)

Sifat orang kafir adalah bila mereka memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan, mereka sombong dan takabur, tidak mensyukuri nikmat Allah. Sebaliknya bila mereka ditimpa musibah, mereka berputus asa dan berkeluh kesah, tidak memikirkan sebab-sebab yang ada pada diri mereka yang menimbulkan musibah itu. Firman Allah :

"Maka apabila manusia ditimpa bencana dia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan nikmat Kami kepadanya dia berkata, "Sesungguhnya aku diberi nikmat ini hanyalah karena kepintaranku." Sebenarnya, itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (az-Zumar/39: 49)

Kesenangan yang diperoleh sesudah kesusahan yang kemudian disusul dengan azab yang menyengsarakan, tidak hanya dialami oleh kaum Nabi Syuaib, bahkan umat nabi-nabi sebelumnya, yakni umat Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi shaleh. Nabi Hud telah memperingatkan kepada umatnya, yaitu kaum ad, sebagai berikut:

"Ingatlah ketika Dia menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah setelah kaum Nuh, dan Dia lebihkan kamu dalam kekuatan tubuh dan perawakan. Maka ingatlah akan nikmat-nikmat Allah agar kamu beruntung."(al-Araf/7: 69)

Selanjutnya Nabi shaleh telah memperingatkan pula kepada kaumnya, kaum shamud hal semacam itu:

"Dan ingatlah ketika Dia menjadikan kamu khalifah-khalifah setelah kaum ad, dan menempatkan kamu di bumi. Di tempat yang datar kamu dirikan istana-istana dan di bukit-bukit kamu pahat menjadi rumah-rumah. Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi". (al-Araf/7: 74)

Generasi yang hidup sekarang ini hendaklah betul-betuk menyadari, agar jangan mengalami nasib merana seperti yang dialami umat-umat terdahulu, karena keingkaran dan kesombongan mereka kepada Allah. Apabila umat sekarang ini dikarunia Allah nasib yang lebih baik, berupa kestabilan ekonomi dan kehidupan sosial, ilmu pengetahuan dan sebagainya, janganlah mereka lupa diri dan berbuat maksiat di bumi. Hendaklah semua nikmat yang dilimpahkan Allah disyukuri dan dimanfaatkan menurut cara yang diridai-Nya dan dijauhkan dari segala macam kemaksiatan. Semoga Allah selalu menambah karunia dan nikmat-Nya kepada semua orang yang bersyukur.

Ayat 96

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

wa lau anna ahlal-qurā āmanū wattaqau lafataḥnā ‘alaihim barakātim minas-samā'i wal ardḍi wa lākin każżabū fa akhażnāhum bimā kānū yaksibūn(a).

Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.

Dalam ayat ini diterangkan bahwa seandainya penduduk kota Mekah dan negeri-negeri yang berada di sekitarnya serta umat manusia seluruhnya, beriman kepada agama yang dibawa oleh nabi dan rasul terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw dan seandainya mereka bertakwa kepada Allah sehingga mereka menjauhkan diri dari segala yang dilarangnya, seperti kemusyrikan dan berbuat kerusakan di bumi, niscaya Allah akan melimpahkan kepada mereka kebaikan yang banyak, baik dari langit maupun dari bumi. Nikmat yang datang dari langit, misalnya hujan yang menyirami dan menyuburkan bumi, sehingga tumbuhlah tanam-tanaman dan berkembang-biaklah hewan ternak yang kesemuanya sangat diperlukan oleh manusia. Di samping itu, mereka akan memperoleh ilmu pengetahuan yang banyak, serta kemampuan untuk memahami Sunnatullah yang berlaku di alam ini, sehingga mereka mampu menghubungkan antara sebab dan akibat. Dengan demikian mereka akan dapat membina kehidupan yang baik, serta menghindarkan malapetaka yang biasa menimpa umat yang ingkar kepada Alllah dan tidak mensyukuri nikmat dan karunia-Nya.

Apabila penduduk Mekah dan sekitarnya tidak beriman, mendustakan Rasul dan menolak agama yang dibawanya, kemusyrikan dan kemaksiatan yang mereka lakukan, maka Allah menimpakan siksa kepada mereka, walaupun siksa itu tidak sama dengan siksa yang telah ditimpakan kepada umat yang dahulu yang bersifat memusnahkan. Kepastian azab tersebut adalah sesuai dengan Sunnatullah yang telah ditetapkannya dan tak dapat diubah oleh siapa pun juga, selain Allah.

Ayat 97

اَفَاَمِنَ اَهْلُ الْقُرٰٓى اَنْ يَّأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَّهُمْ نَاۤىِٕمُوْنَۗ

afa amina ahlul-qurā ay ya'tiyahum ba'sunā bayātaw wa hum nā'imūn(a).

Maka apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang malam hari ketika mereka sedang tidur?

Dalam ayat ini Allah memberi peringatan kepada orang-orang yang ingkar, dalam bentuk suatu pertanyaan, "Apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman ketika siksaan Kami kepada mereka datang di malam hari pada waktu mereka tidur?" Maksudnya ialah bahwa azab Allah itu ditimpakan kepada mereka yang telah mendapatkan seruan para rasul tetapi mereka ingkar dan tidak menggunakan akalnya. Sebab seandainya mereka itu mau berpikir dan mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang telah dialami oleh umat-umat yang terdahulu, akibat tenggelam dalam kenikmatan hidup sehingga mereka lupa kepada Allah yang memberikan nikmat, niscaya mereka akan merasa cemas tentang kemungkinan datangnya azab Allah kepada mereka. Kecemasan semacam itu, tentu akan mendorong mereka segera memperbaiki tingkah-laku, antara lain dengan menjauhkan diri dari segala macam kemusyrikan dan kemaksiatan, akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Mereka bahkan merasa aman dan tidak mempunyai kekhawatiran sedikitpun akan datangnya siksa Allah kepada mereka. Hal ini tampak dari tingkah-laku mereka, yang terus tenggelam dalam kenikmatan, serta tetap dalam kemusyrikan dan bermacam-macam kemaksiatan kepada Allah.

Ayat 98

اَوَاَمِنَ اَهْلُ الْقُرٰٓى اَنْ يَّأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَّهُمْ يَلْعَبُوْنَ

awa amina ahlul-qurā ay ya'tiyahum ba'sunā ḍuḥaw wa hum yal‘abūn(a).

Atau apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang pada pagi hari ketika mereka sedang bermain?

Dalam ayat ini, sekali lagi Allah mencela tingkah-laku orang-orang yang ingkar, yaitu mereka tampak tidak mempunyai kekhawatiran tentang kemungkinan datangnya azab Allah ketika mereka dalam keadaan lalai.

Dengan firman ini Allah memperingatkan mereka bahwa azab-Nya mungkin saja menimpa mereka ketika mereka sedang lalai baik pada waktu tidur pagi hari, maupun pada waktu mereka asyik berfoya-foya, sehingga mereka tidak akan sempat lagi mempersiapkan diri untuk keselamatan mereka. Oleh sebab itu, sebaiknya mereka insaf dan waspada terhadap azab Allah, apalagi mereka telah mendengar seruan rasul dan nasihat-nasihat yang diberikan kepada mereka untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ayat 99

اَفَاَمِنُوْا مَكْرَ اللّٰهِۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْخٰسِرُوْنَ ࣖ

afa aminū makrallāh(i), falā ya'manu makrallāhi illal-qaumul khāsirūn(a).

Atau apakah mereka merasa aman dari siksaan Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa aman dari siksaan Allah selain orang-orang yang rugi.

Dalam ayat ini sekali lagi Allah mengulangi celaan-Nya terhadap tingkah-laku orang-orang kafir, "Apakah mereka aman terhadap azab Allah yang tidak terduga-duga?" Kemudian Allah menjelaskan bahwa orang-orang seperti merekalah yang akan merugi.

Dengan firman-Nya ini Allah menegaskan bahwa orang yang berakal sehat dan memegang teguh fitrah yang dikaruniakan-Nya kepada manusia serta memperhatikan peristiwa dan kejadian sejarah serta memperhatikan ayat-ayat Allah, tentu tidak akan merasa aman dari kedatangan azab-Nya. Akan tetapi mereka yang ingkar ini benar-benar telah kehilangan akal sehat serta fitrah yang dikaruniakan Allah kepada mereka dan tidak pula mau memperhatikan peristiwa-peristiwa sejarah serta ayat-ayat Allah, sehingga mereka betul-betul telah menjadi orang yang merugi. Mereka sudah kehilangan kekhawatiran terhadap datangnya azab Allah padahal mereka senantiasa berbuat kemaksiatan dan kemusyrikan.

Bagi orang yang beriman, sikap yang tepat ialah yakin tentang sifat pemaaf dan pengasih yang ada pada Allah, namun demikian ia harus senantiasa takut kepada azab-Nya yang mungkin datang menimpa dirinya tanpa diduga sebelumnya, sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Oleh sebab itu, mereka senantiasa berhati-hati dan menghindarkan diri dari hal-hal yang akan menyebabkan datangnya azab tersebut pada dirinya.

Dalam Al-Quran orang-orang kafir biasa disebut "orang-orang merugi?" Maka orang-orang yang kehilangan rasa kekhawatiran terhadap azab Allah, sama halnya dengan orang-orang yang berputus-asa terhadap ampunan dan rahmat Allah, kedua sifat tersebut adalah termasuk sifat-sifat orang kafir, yang disebut juga orang-orang yang merugi.

Ayat 100

اَوَلَمْ يَهْدِ لِلَّذِيْنَ يَرِثُوْنَ الْاَرْضَ مِنْۢ بَعْدِ اَهْلِهَآ اَنْ لَّوْ نَشَاۤءُ اَصَبْنٰهُمْ بِذُنُوْبِهِمْۚ وَنَطْبَعُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُوْنَ

awalam yahdi lil-lażīna yariṡūnal-arḍa mim ba‘di ahlihā allau nasyā'u aṣabnāhum biżunūbihim, wa naṭba‘u ‘alā qulūbihim fahum lā yasma‘ūn(a).

Atau apakah belum jelas bagi orang-orang yang mewarisi suatu negeri setelah (lenyap) penduduknya? Bahwa kalau Kami menghendaki pasti Kami siksa mereka karena dosa-dosanya; dan Kami mengunci hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran).

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa umat yang mewarisi suatu negeri setelah lenyapnya penduduk negeri itu karena ditimpa siksaan Allah akibat keingkaran mereka kepada-Nya, memahami dan meyakini bahwa Allah kuasa untuk menimpakan azab tersebut kepada mereka karena dosa-dosa mereka apabila dikehendaki-Nya. Juga Allah kuasa untuk mengunci mati hati nurani mereka, sehingga mereka tak dapat lagi menerima pelajaran dan nasihat agama dan tidak mau beriman.

Sebagaimana telah disebutkan pada bagian terdahulu, Allah telah mengutus beberapa orang rasul kepada umat mereka sebelum diutusnya Nabi Syuaib kepada umatnya. Umat-umat terdahulu telah ditimpa azab Allah karena dosa-dosa dan keingkaran mereka kepada Allah. Azab yang menimpa mereka adalah sedemikian hebatnya, memusnahkan mereka sedemikian rupa, sehingga mereka seolah-olah tidak pernah hidup di muka bumi ini. Setelah mereka itu lenyap, Allah mendatangkan umat yang baru untuk menghuni negeri tersebut. Umat yang baru ini mengetahui sejarah umat terdahulu itu, karena buku-buku dan kitab-kitab suci mereka menyebutkan hal itu. Mereka mengetahui apa yang dialami umat tersebut, yaitu azab yang dahsyat. Dan mereka tahu hal-hal yang menyebabkan didatangkannya azab tersebut kepada mereka, yaitu lantaran dosa-dosa dari keingkaran mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.

Seharusnya mereka dapat mengambil pelajaran dari peristiwa sejarah, dapat memahami bahwa Allah kuasa untuk menimpakan azab yang serupa itu kepada diri mereka bila mereka berbuat dosa dan kemaksiatan seperti umat yang terdahulu itu.

Ayat tersebut tidak hanya merupakan peringatan bagi orang-orang kafir, melainkan juga bagi orang-orang muslim. Setelah mengetahui sebab-sebab ditimpakan azab kepada umat para Rasul yang terdahulu dan setelah mengetahui sunnatullah mengenai umat-umat yang berdosa, maka seharusnya kita menjauhkan diri dari kesalahan-kesalahan serupa itu, agar kita tidak ditimpa azab Allah yang akan menyebabkan kita kehilangan segala-galanya.

Ayat 101

تِلْكَ الْقُرٰى نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤىِٕهَاۚ وَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنٰتِۚ فَمَا كَانُوْا لِيُؤْمِنُوْا بِمَا كَذَّبُوْا مِنْ قَبْلُۗ كَذٰلِكَ يَطْبَعُ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِ الْكٰفِرِيْنَ

tilkal-qurā naquṣṣu ‘alaika min ambā'ihā, wa laqad jā'athum rusuluhum bil-bayyināt(i), famā kānū liyu'minū bimā każżabū min qabl(u), każālika yaṭba‘ullāhu ‘alā qulūbil-kāfirīn(a).

Itulah negeri-negeri (yang telah Kami binasakan) itu, Kami ceritakan sebagian kisahnya kepadamu. Rasul-rasul mereka benar-benar telah datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Tetapi mereka tidak beriman (juga) kepada apa yang telah mereka dustakan sebelumnya. Demikianlah Allah mengunci hati orang-orang kafir.

Dalam ayat ini Allah mengatakan kepada Nabi Muhammad bahwa Allah menceritakan kepadanya sebagian dari berita-berita mengenai negeri-negeri yang telah dibinasakan-Nya karena tingkah laku penduduknya yang ingkar dan suka berbuat kemaksiatan. Dengan mengetahui kisah tersebut maka Nabi Muhammad tidak akan merasa sedih melihat tingkah laku, keingkaran dan kesombongan umatnya, karena apa yang dialaminya itu telah dialami oleh pada rasul terdahulu. Pola tingkah laku orang-orang kafir dan musyrik itu sama sepanjang masa, dan Sunnatullah yang berlaku atas mereka juga tidak berubah.

Peristiwa yang menimpa negeri-negeri yang disebutkan itu terjadi pada masa silam, berabad-abad sebelum lahirnya Nabi Muhammad, sehingga baik beliau maupun umatnya tidak mengetahui peristiwa tersebut. Maka Allah mengungkapkan kembali peristiwa-peristiwa tersebut kepada Nabi Muhammad melalui Al-Quran agar dapat menjadi pelajaran bagi umatnya.

Selanjutnya dalam ayat ini Allah mengungkapkan bahwa para rasul telah diutus kepada umat-umat yang terdahulu, membawa keterangan-keterangan dan bukti-bukti yang nyata tentang kemahaesaan Allah namun mereka tidak juga mau beriman kepada Allah dan agama-Nya. Mereka tetap ingkar, dan senantiasa dalam kemusyrikan serta melakukan berbagai kemaksiatan.

Sebagian dari mereka mengetahui akan kebenaran yang dibawa oleh para rasul tersebut, namun mereka tetap ingkar. Keingkaran itu memang telah menjadi watak dan tabiat mereka, sedang sebagiannya lagi ingkar karena semata-mata taklid kepada apa yang mereka warisi dari nenek-moyang mereka, tanpa dipikirkan dan diteliti lebih dahulu.

Dalam ayat lain yang senada dengan ayat ini, Allah berfirman:

Kemudian setelah (Nuh), Kami utus beberapa rasul kepada kaum mereka (masing-masing), maka rasul-rasul itu datang kepada mereka dengan membawa keterangan yang jelas, tetapi mereka tidak mau beriman karena mereka dahulu telah (biasa) mendustakannya. Demikianlah Kami mengunci hati orang-orang yaang melampaui batas. (Yunus/10: 74)

Firman Allah selanjutnya menerangkan bahwa Allah mencap hati orang-orang kafir. Kata-kata "mencap" mengingatkan kita pada pembuatan mata uang dan bahan-bahan lainnya dari logam. Barang tersebut dibentuk dan diukir ketika logam sedang dipanaskan, kemudian setelah logam itu dingin dan membeku, tidak bisa lagi dibentuk dan diukir. Demikianlah perumpamaan hati nurani orang-orang kafir, sudah membeku dan tertutup mati, sehingga mereka tidak bisa lagi menerima pelajaran dan nasihat apa pun yang dikemukakan kepada mereka. Mereka tidak mau menerima agama yang dibawa para rasul, yang menyeru kepada akidah tauhid dan menyembah Allah semata-mata, betapa pun jelasnya keterangan dan bukti-bukti serta alasan dan dalil-dalil yang diberikan kepada mereka.

Ayat 102

وَمَا وَجَدْنَا لِاَكْثَرِهِمْ مِّنْ عَهْدٍۚ وَاِنْ وَّجَدْنَآ اَكْثَرَهُمْ لَفٰسِقِيْنَ

wa mā wajadnā li'akṡarihim min ‘ahd(in), wa iw wajadnā akṡarahum lafāsiqīn(a).

Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sebaliknya yang Kami dapati kebanyakan mereka adalah orang-orang yang benar-benar fasik.

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah mendapati kebanyakan umat-umat terdahulu tidak suka menepati janji, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.

Mengenai "janji" yang dimaksud dalam ayat ini, ada beberapa penafsiran para ulama. Di antaranya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan janji tersebut ialah fitrah asli yang diberikan Allah kepada setiap insan, yaitu kecenderungan yang mendorong manusia untuk kembali kepada Tuhannya pada waktu ia menghadapi kesulitan; atau bersyukur kepada-Nya pada waktu terhindar dari kesulitan atau memperoleh kesenangan hidup. Akan tetapi mereka tetap dalam keingkaran dan kemaksiatan. Sebaliknya, kenikmatan dan kelapangan hidup tidak pula mendorong mereka untuk bersyukur kepada Allah, bahkan mereka tidak mengakui nikmat tersebut sebagai karunia dan rahmat daripada-Nya.

Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "janji" dalam ayat tersebut ialah sifat yang asli atau fitrah yang diberikan Allah kepada setiap manusia, yaitu kecenderungan kepada kepercayaan tauhid, iman kepada kemahaesaan-Nya dan hanya menyembah kepada-Nya, serta tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun juga. Akan tetapi kenyataannya, mereka telah meninggalkan fitrah, dan melemparkan kepercayaan tauhid, bahkan mempersekutukan Allah, tanpa menghiraukan seruan-seruan para rasul serta keterangan-keterangan dan bukti-bukti yang dikemukakan. Mereka hanya menuruti kehendak hawa nafsu, serta bisikan setan belaka, bertentangan dengan fitrahnya yang suci. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda:

Allah swt berfirman: "Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku beragama tauhid; kemudian datanglah setan lalu memalingkan mereka dari agama semula, serta mengharamkan kepada mereka apa-apa yang telah dihalalkan bagi mereka". (Riwayat Muslim)

Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, Rasulullaah saw bersabda:

"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kemudian ibu-bapaknyalah yang menjadikan ia seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi". (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian jelas apabila manusia telah menyimpang dari kepercayaan tauhid, maka hal itu adalah disebabkan pengaruh dari luar, bukan fitrah yang dibawa dari kandungan ibunya, yang dikaruniakan Allah pada setiap insan.

Adapun sifat fasik yang disebut dalam ayat ini ialah seseorang melakukan berbagai maksiat secara berulang-ulang, tanpa menghiraukan nasihat dan ajaran agama serta hukum dan ancamannya.

Perlu diperhatikan bahwa firman Allah dalam ayat ini mengatakan bahwa kebanyakan mereka itu fasik. Ini memberi pengertian bahwa umat-umat yang terdahulu itu tidak semuanya fasik dan meninggalkan kepercayaan tauhid yang merupakan fitrah suci yang dikaruniakan Allah kepada setiap hamba-Nya. Bahkan sebagian dari mereka tetap dalam fitrah sucinya, sehingga kedatangan para rasul yang membawa agama tauhid segera mereka sambut dengan baik, dan mereka senantiasa menjauhkan diri dari segala macam kemaksiatan dan kemusyrikan. Mereka inilah yang senantiasa mendampingi para rasul dalam menghadapi ancaman dan gangguan dari orang-orang kafir, dan mereka pulalah yang selalu diselamatkan Allah bersama Rasul-Nya dari azab dan malapetaka yang ditimpakan kepada kaum yang fasik itu.

Ayat 103

ثُمَّ بَعَثْنَا مِنْۢ بَعْدِهِمْ مُّوْسٰى بِاٰيٰتِنَآ اِلٰى فِرْعَوْنَ وَمَلَا۟ىِٕهٖ فَظَلَمُوْا بِهَاۚ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِيْنَ

Ṡumma ba‘aṡnā mim ba‘dihim mūsā bi'āyātinā ilā fir‘auna wa mala'ihī fa ẓalamū bihā, fanẓur kaifa kāna ‘āqibatul-mufsidīn(a).

Setelah mereka, kemudian Kami utus Musa dengan membawa bukti-bukti Kami kepada Fir‘aun dan pemuka-pemuka kaumnya, lalu mereka mengingkari bukti-bukti itu. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.

Kisah Nabi Musa as dalam Al-Quran kebanyakan terdapat dalam surah Makiyah, baik Surah-Surah yang panjang maupun yang pendek, dimulai dari Surah al-Araf yang merupakan Surah Makiyah pertama menurut susunan surah-surah Al-Quran, dimana terdapat kisah Nabi Musa as. Kemudian terdapat pula Surah thaha, Asy-Syuara, An-Naml, Al-Qashas, Yunus, Hud dan Al-Muminun.

Nama Nabi Musa as seringkali disebut dalam Al-Quran lebih dari 130 kali, tidak ada seorang pun Nabi lainnya, ataupun raja-raja yang namanya disebut sebanyak itu dalam Al-Quran. Hal ini disebabkan antara lain karena kisah Nabi Musa sangat mirip dengan kisah Nabi Muhammad. Selain itu, kedua Nabi ini mempunyai umat yang besar jumlahnya, yang memiliki kekuasaan dan kemajuan peradaban yang tinggi.

Nabi Musa as adalah putera Imran. Ia berkebangsaan Israil, dilahirkan di Mesir, ketika Bani Israil menetap di negeri Mesir, dimasa kekuasaan raja-raja Firaun.

Dalam ayat ini, Allah menceritakan bahwa setelah mengutus rasul-rasul-Nya yang tersebut dalam ayat-ayat terdahulu, maka Dia mengutus Nabi Musa as dengan membawa ayat-ayat-Nya kepada Firaun dan pemuka-pemukanya. Firaun adalah gelar yang dipakai oleh raja-raja di Mesir, pada masa dahulu kala, sebagaimana gelar "Kisra" bagi raja-raja Persia dan gelar "Kaisar" bagi raja-raja Romawi. Firaun yang memerintah di Mesir pada masa Nabi Musa, bernama Minepthah Ramses II. Ia seorang penguasa dinasti kesembilan belas, sekitar tahun 1491 SM. Mumi (mayat) Minepthah masih ada sampai sekarang dan disimpan di Museum Nasional Mesir, Kairo.

Disebutkan dalam ayat ini, bahwa Firaun bersama pemuka-pemukanya telah kafir terhadap ayat-ayat Allah yang dibawa oleh Nabi Musa as kepada mereka. Ayat-ayat atau mukjizat yang dibawa Musa as kepada mereka, tetap mereka tolak dengan sikap angkuh dan sombong. Firaun dan para pemuka kaumnya telah memperbudak rakyatnya. Lebih-lebih terhadap Bani Israil yang merupakan orang asing yang tinggal di Mesir ketika itu, dibawah cengkeraman kekuasaan yang zalim dari Firaun dan para pemukanya.

Andaikata Firaun dan para pemukanya itu beriman kepada Nabi Musa dan agama yang dibawanya, niscaya seluruh penduduk negeri Mesir ketika itu tentulah beriman pula, sebab mereka itu semuanya berada dalam genggaman kekuasaan Firaun dan para pembesarnya.

Karena keingkaran Firaun dan para pembesarnya, maka pada akhir ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad beserta umatnya untuk memperhatikan bagaimana akibat orang-orang yang ingkar kepada rasul-rasul-Nya, serta berbuat kerusakan di bumi, yaitu dengan berbuat kezaliman serta memperbudak sesama manusia. Allah akan menceritakan dalam ayat selanjutnya bagaimana Nabi Musa sebagai salah seorang dari Bani Israil yang tertindas dan akhirnya dapat mengalahkan ahli-pesihir Firaun serta meyakinkan para ulamanya tentang kebenaran risalah yang dibawanya.

Bani Israil adalah keturunan Nabi Yaqub yang bernama Israil. Nabi Yaqub berasal dari Kanan (Palestina). Dia pindah ke Mesir bersama keluarga dan putera-puteranya setelah diajak oleh puteranya, yaitu Nabi Yusuf untuk pindah ke negeri Mesir. Nabi Yusuf pada waktu itu diangkat oleh Raja Mesir menjadi penguasa yang mengurus perbekalan negara. Keturunan Nabi Yaqub kemudian berkembang biak di Mesir, hingga akhirnya menjadi satu bangsa yang besar yang disebut Bani Israil.

Firaun berusaha agar Bani Israil itu tidak terus berkembang-biak, dengan membunuh setiap anak lelaki mereka yang lahir dan membiarkan hidup anak-anak perempuannya. Mereka diwajibkan membayar pajak yang sangat tinggi dan dijadikan sebagai pekerja-pekerja paksa dan berbagai bentuk penindasan dan perbudakan yang lain.

Oleh karena itu, Allah mengutus Nabi Musa untuk membebaskan mereka dari perbudakan Firaun dan membawa mereka keluar dari negeri Mesir. Pertolongan Allah kepada Nabi Musa as selanjutnya, ialah menimpakan azab kepada Firaun dan menyelamatkan kaum Nabi Musa, serta tenggelamnya Firaun dan para pengikutnya dan bala tentaranya di Laut Merah ketika mereka mengejar Nabi Musa dan kaumnya. Kisah ini mengandung pelajaran yang amat berharga, bahwa hanya dengan kekuatan materiil (kebendaan) tidak menjamin kemenangan bagi seseorang atau satu bangsa. Sebaliknya, umat yang mempunyai keimanan yang teguh kepada Allah, niscaya akan memperoleh pertolongan dari pada-Nya, sehingga umat tersebut akan dapat mengalahkan orang-orang yang hanya bersandar kepada kekuatan materiil saja.

Ayat 104

وَقَالَ مُوْسٰى يٰفِرْعَوْنُ اِنِّيْ رَسُوْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

wa qāla mūsa yā fir‘aunu innī rasūlum mir rabbil-‘ālamīn(a).

Dan Musa berkata, “Wahai Fir‘aun! Sungguh, aku adalah seorang utusan dari Tuhan seluruh alam,

Dalam ayat ini dikisahkan ucapan Musa yang pertama kali disampaikan kepada Firaun setelah Allah mengangkatnya sebagai Rasul. Nabi Musa memberitahukan kepada Firaun, bahwa dia adalah utusan Allah, Tuhan semesta alam. Pemberitahuan ini berarti bahwa: Musa telah menjalankan tugasnya sebagai nabi Allah, Pencipta dan Penguasa seluruh alam. Karena itu hendaknya Firaun menerima keterangan Nabi Musa tersebut dan tidak akan menghalang-halangi tugasnya sebagai Rasul.

Selanjutnya Nabi Musa menambahkan keterangannya, bahwa dia mengatakan yang hak mengenai Allah. Artinya: apa yang dikatakannya bahwa Allah adalah Tuhan Semesta Alam, dan bahwa Dia telah mengutusnya sebagai Rasul adalah hal yang sebenarnya. Ia tidak mengatakan sesuatu yang tidak benar, karena mustahil Allah mengutus orang yang suka berdusta.

Kemudian ditegaskan lagi, bahwa Musa membawa bukti-bukti yang dikaruniakan Allah kepadanya, untuk membuktikan kebenarannya dalam dakwahnya. Dalam ucapan itu, Nabi Musa memakai ungkapan: "Sesungguhnya aku datang kepadamu membawa bukti dari Tuhanmu". Ini adalah untuk menunjukkan bahwa Firaun bukanlah Tuhan, melainkan hanya sekedar hamba Tuhan. Sedang Tuhan yang sebenarnya adalah Allah swt.

Keterangan ini sangat penting artinya, karena Firaun yang angkuh itu telah mengaku sebagai Tuhan dan menyuruh rakyatnya menyembah kepadanya. Maka penegasan Nabi Musa ini telah menyangkal kebohongan dan kesombongan Firaun, yang telah memposisikan dirinya sebagai Tuhan. selain itu, ungkapan Nabi Musa, juga mengandung arti, bahwa bukti-bukti yang dibawanya adalah karunia Allah bukan dari dirinya sendiri.

Pada akhir ayat ini disebutkan, bahwa setelah mengemukakan keterangan-keterangan tersebut di atas, dan setelah melalui perjuangan yang melelahkan Musa as menuntut kepada Firaun agar ia membebaskan Bani Israil dari cengkeraman kekuasaan dan perbudakannya, dan membiarkan mereka pergi bersama Nabi Musa meninggalkan negeri Mesir, kembali ke tanah air mereka di Palestina, agar mereka bebas dan merdeka untuk menyembah Tuhan mereka dan melaksanakan ajarannya.

Tuntutan Nabi Musa tersebut mengandung arti bahwa perbudakan oleh manusia terhadap sesama manusia harus dilenyapkan dan seorang penguasa hendaklah memberikan kebebasan kepada orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya, untuk memeluk agama serta melakukan ibadah menurut kepercayaan masing-masing. Oleh sebab itu, kalau Firaun tidak mau beriman kepada Allah janganlah ia menghalangi orang lain untuk beriman dan beribadah menurut keyakinan mereka.

Adalah menarik untuk diperhatikan bahwa ucapan pertama kali dari Nabi Musa as dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai Rasul adalah berbeda dengan ucapan Nabi dan Rasul-rasul sebelumnya, ketika mereka mulai berdakwah, misalnya:

a. Ucapan pertama dari Nabi Nuh as kepada kaumnya adalah sebagai berikut:

"Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu dia berkata, "Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia". Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang dahsyat (kiamat). (al-Araf/7:59)

b. Ucapan Nabi Hud kepada kaum ad adalah :

"Dan kepada kaum Ad (Kami utus) Hud, saudara mereka. Dia berkata, "Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa?" (al-Araf/7: 65)

Dan ucapan Nabi Saleh kepada kaum samud adalah:

"Dan kepada kaum Samud (Kami utus) saudara mereka Saleh. Dia berkata, "Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Ini (seekor) unta betina dari Allah sebagai tanda untukmu. Biarkan ia makan di bumi Allah, janganlah disakiti, nanti akibatnya kamu akan mendapatkan siksaan yang pedih". ( al-Araf/7: 73)

c. ucapan Nabi Syuaib kepada kaumnya, penduduk Madyan, adalah:

"Dan kepada penduduk Madyan, (Kami utus) Syuaib, saudara mereka sendiri. Dia berkata," "Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah kamu merugikan sedikit pun. Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu orang beriman". ( al-Araf/7: 85)

Sedang ucapan pertama dari Nabi Musa yang ditujukan kepada Firaun adalah:

"Wahai Firaun! Sungguh, aku adalah seorang utusan dari Tuhan seluruh alam." (al-Araf/7: 104)

Bila kita bandingkan antara ayat-ayat tersebut nampak perbedaan diantaranya yaitu bahwa: ucapan pertama dari Rasul-rasul sebelum Nabi Musa as yang ditujukan kepada kaum mereka masing-masing adalah berisi seruan kepada agama tauhid, yaitu menyembah Allah semata, dengan alasan bahwa tidak ada tuhan bagi manusia selain Allah. Sedang ucapan pertama dari Nabi Musa yang ditujukan kepada Firaun adalah berisi pemberitahuan kepadanya bahwa Musa adalah utusan Allah. Dengan demikian, dalam ucapan itu tidak ada seruan yang nyata kepada Firaun agar ia menyembah Allah.

Dari sini, dapat diambil kesimpulan atau pengertian sebagai berikut:

a. Obyek (sasaran) yang utama dari dakwah Musa bukan hanya Firaun tetapi termasuk kaumnya sendiri, yaitu Bani Israil. Musa bertugas untuk melepaskan Bani Israil dari perbudakan Firaun dan membimbing kaumnya kepada agama yang benar.

b. Nabi Musa mengenal watak dan kelakuan Firaun, Firaun tidak saja ingkar kepada Allah, bahkan juga ia menganggap dirinya sebagai tuhan dan menyuruh orang lain untuk menyembahnya. Oleh sebab itu Firaun hanya diberi peringatan bahwa tuhan yang sebenarnya bukanlah dia, melainkan Allah Pencipta alam semesta. Karena tidak ada faedahnya untuk mengajak Firaun menyembah Allah, ajakan ini pasti tidak akan dihiraukan dan tidak akan diindahkannya.

Ayat 105

حَقِيْقٌ عَلٰٓى اَنْ لَّآ اَقُوْلَ عَلَى اللّٰهِ اِلَّا الْحَقَّۗ قَدْ جِئْتُكُمْ بِبَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ فَاَرْسِلْ مَعِيَ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ ۗ

Ḥaqīqun ‘alā allā aqūla ‘alallāhi illal-ḥaqq(a), qad ji'tukum bibayyinatim mir rabbikum fa arsil ma‘iya banī isrā'īl(a).

aku wajib mengatakan yang sebenarnya tentang Allah. Sungguh, aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil (pergi) bersamaku.”

Dalam ayat ini dikisahkan ucapan Musa yang pertama kali disampaikan kepada Firaun setelah Allah mengangkatnya sebagai Rasul. Nabi Musa memberitahukan kepada Firaun, bahwa dia adalah utusan Allah, Tuhan semesta alam. Pemberitahuan ini berarti bahwa: Musa telah menjalankan tugasnya sebagai nabi Allah, Pencipta dan Penguasa seluruh alam. Karena itu hendaknya Firaun menerima keterangan Nabi Musa tersebut dan tidak akan menghalang-halangi tugasnya sebagai Rasul.

Selanjutnya Nabi Musa menambahkan keterangannya, bahwa dia mengatakan yang hak mengenai Allah. Artinya: apa yang dikatakannya bahwa Allah adalah Tuhan Semesta Alam, dan bahwa Dia telah mengutusnya sebagai Rasul adalah hal yang sebenarnya. Ia tidak mengatakan sesuatu yang tidak benar, karena mustahil Allah mengutus orang yang suka berdusta.

Kemudian ditegaskan lagi, bahwa Musa membawa bukti-bukti yang dikaruniakan Allah kepadanya, untuk membuktikan kebenarannya dalam dakwahnya. Dalam ucapan itu, Nabi Musa memakai ungkapan: "Sesungguhnya aku datang kepadamu membawa bukti dari Tuhanmu". Ini adalah untuk menunjukkan bahwa Firaun bukanlah Tuhan, melainkan hanya sekedar hamba Tuhan. Sedang Tuhan yang sebenarnya adalah Allah swt.

Keterangan ini sangat penting artinya, karena Firaun yang angkuh itu telah mengaku sebagai Tuhan dan menyuruh rakyatnya menyembah kepadanya. Maka penegasan Nabi Musa ini telah menyangkal kebohongan dan kesombongan Firaun, yang telah memposisikan dirinya sebagai Tuhan. selain itu, ungkapan Nabi Musa, juga mengandung arti, bahwa bukti-bukti yang dibawanya adalah karunia Allah bukan dari dirinya sendiri.

Pada akhir ayat ini disebutkan, bahwa setelah mengemukakan keterangan-keterangan tersebut di atas, dan setelah melalui perjuangan yang melelahkan Musa as menuntut kepada Firaun agar ia membebaskan Bani Israil dari cengkeraman kekuasaan dan perbudakannya, dan membiarkan mereka pergi bersama Nabi Musa meninggalkan negeri Mesir, kembali ke tanah air mereka di Palestina, agar mereka bebas dan merdeka untuk menyembah Tuhan mereka dan melaksanakan ajarannya.

Tuntutan Nabi Musa tersebut mengandung arti bahwa perbudakan oleh manusia terhadap sesama manusia harus dilenyapkan dan seorang penguasa hendaklah memberikan kebebasan kepada orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya, untuk memeluk agama serta melakukan ibadah menurut kepercayaan masing-masing. Oleh sebab itu, kalau Firaun tidak mau beriman kepada Allah janganlah ia menghalangi orang lain untuk beriman dan beribadah menurut keyakinan mereka.

Adalah menarik untuk diperhatikan bahwa ucapan pertama kali dari Nabi Musa as dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai Rasul adalah berbeda dengan ucapan Nabi dan Rasul-rasul sebelumnya, ketika mereka mulai berdakwah, misalnya:

a. Ucapan pertama dari Nabi Nuh as kepada kaumnya adalah sebagai berikut:

"Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu dia berkata, "Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia". Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang dahsyat (kiamat). (al-Araf/7:59)

b. Ucapan Nabi Hud kepada kaum ad adalah :

"Dan kepada kaum Ad (Kami utus) Hud, saudara mereka. Dia berkata, "Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa?" (al-Araf/7: 65)

Dan ucapan Nabi Saleh kepada kaum samud adalah:

"Dan kepada kaum Samud (Kami utus) saudara mereka Saleh. Dia berkata, "Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Ini (seekor) unta betina dari Allah sebagai tanda untukmu. Biarkan ia makan di bumi Allah, janganlah disakiti, nanti akibatnya kamu akan mendapatkan siksaan yang pedih". ( al-Araf/7: 73)

c. ucapan Nabi Syuaib kepada kaumnya, penduduk Madyan, adalah:

"Dan kepada penduduk Madyan, (Kami utus) Syuaib, saudara mereka sendiri. Dia berkata," "Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah kamu merugikan sedikit pun. Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu orang beriman". ( al-Araf/7: 85)

Sedang ucapan pertama dari Nabi Musa yang ditujukan kepada Firaun adalah:

"Wahai Firaun! Sungguh, aku adalah seorang utusan dari Tuhan seluruh alam." (al-Araf/7: 104)

Bila kita bandingkan antara ayat-ayat tersebut nampak perbedaan diantaranya yaitu bahwa: ucapan pertama dari Rasul-rasul sebelum Nabi Musa as yang ditujukan kepada kaum mereka masing-masing adalah berisi seruan kepada agama tauhid, yaitu menyembah Allah semata, dengan alasan bahwa tidak ada tuhan bagi manusia selain Allah. Sedang ucapan pertama dari Nabi Musa yang ditujukan kepada Firaun adalah berisi pemberitahuan kepadanya bahwa Musa adalah utusan Allah. Dengan demikian, dalam ucapan itu tidak ada seruan yang nyata kepada Firaun agar ia menyembah Allah.

Dari sini, dapat diambil kesimpulan atau pengertian sebagai berikut:

a. Obyek (sasaran) yang utama dari dakwah Musa bukan hanya Firaun tetapi termasuk kaumnya sendiri, yaitu Bani Israil. Musa bertugas untuk melepaskan Bani Israil dari perbudakan Firaun dan membimbing kaumnya kepada agama yang benar.

b. Nabi Musa mengenal watak dan kelakuan Firaun, Firaun tidak saja ingkar kepada Allah, bahkan juga ia menganggap dirinya sebagai tuhan dan menyuruh orang lain untuk menyembahnya. Oleh sebab itu Firaun hanya diberi peringatan bahwa tuhan yang sebenarnya bukanlah dia, melainkan Allah Pencipta alam semesta. Karena tidak ada faedahnya untuk mengajak Firaun menyembah Allah, ajakan ini pasti tidak akan dihiraukan dan tidak akan diindahkannya.

Ayat 106

قَالَ اِنْ كُنْتَ جِئْتَ بِاٰيَةٍ فَأْتِ بِهَآ اِنْ كُنْتَ مِنَ الصّٰدِقِيْنَ

qāla in kunta ji'ta bi'āyatin fa'ti bihā in kunta minaṣ ṣādiqīn(a).

Dia (Fir‘aun) menjawab, “Jika benar engkau membawa sesuatu bukti, maka tunjukkanlah, kalau kamu termasuk orang-orang yang benar.”

Pada ayat ini disebutkan jawaban Firaun kepada Nabi Musa, bahwa jika benar Nabi Musa datang menunjukkan kerasulannya hendaklah ia membuktikan kebenaran ucapannya, bahwa ia adalah utusan Allah, dan ia memperoleh mukjizat dari pada-Nya. Semula Firaun menduga bahwa Musa hanya berbohong mengaku menjadi utusan Allah. Oleh karena itu, Firaun minta ditunjukkan bukti kerasulan dan mukjizat tersebut bukan hanya dihadapannya tetapi juga di depan umum agar banyak orang yang mengetahuinya.

Ayat 107

فَاَلْقٰى عَصَاهُ فَاِذَا هِيَ ثُعْبَانٌ مُّبِيْنٌ ۖ

fa alqā ‘aṣāhu fa iżā hiya ṡu‘bānum mubīn(un).

Lalu (Musa) melemparkan tongkatnya, tiba-tiba tongkat itu menjadi ular besar yang sebenarnya.

Tantangan Firaun itu segera dijawab oleh Nabi Musa dengan memperlihatkan dua macam mukjizatnya. Pertama Musa menjatuhkan tongkatnya ke tanah, tiba-tiba tongkat tersebut menjadi seekor ular besar yang mempunyai sifat-sifat ular secara biologis, dapat bergerak dan berjalan dengan sesungguhnya, berbeda dengan ular yang diciptakan para pesihir pada masa itu, yang hanya nampak seolah-olah seperti ular yang bergerak, padahal tidak demikian. Orang-orang melihat benda itu seperti bergerak, karena pikiran mereka telah dipengaruhi terlebih dahulu oleh para pesihir tersebut. Berbeda halnya ular yang menjelma dari tongkat Nabi Musa itu.

Ayat 108

وَّنَزَعَ يَدَهٗ فَاِذَا هِيَ بَيْضَاۤءُ لِلنّٰظِرِيْنَ ࣖ

wa naza‘a yadahū fa iżā hiya baiḍā'u lin-nāẓirīn(a).

Dan dia mengeluarkan tangannya, tiba-tiba tangan itu menjadi putih (bercahaya) bagi orang-orang yang melihatnya.

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Nabi Musa memperlihatkan mukjizat yang kedua, yaitu tangannya kelihatan bercahaya, memancarkan sinar yang terang.

Setelah ia melemparkan tongkatnya, dan orang-orang yang hadir menyaksikan ular yang menjelma dari tongkat tersebut, maka Nabi Musa memasukkan tangannya ke ketiaknya melalui leher bajunya, kemudian dikeluarkannya. Ternyata tangannya itu menjadi putih cemerlang dan berkilauan, dan dapat dilihat dengan nyata oleh yang menyaksikannya, termasuk Firaun dan pengikutnya.

Dalam kisah Nabi Musa yang terdapat dalam surah thaha, surah an-Naml dan surah al-Qashas ditegaskan bahwa warna putih berkilauan yang kelihatan pada tangan Nabi Musa ketika itu adalah warna putih yang sehat, bukan warna putih yang disebabkan oleh penyakit sopak dan sebagainya.

Perlu diingat, bahwa dalam kitab-kitab tafsir yang mendasarkan penafsirannya kepada riwayat-riwayat yang diterima dari orang-orang dahulu, sering terdapat kisah-kisah yang berlebih-lebihan dan sangat aneh, mengenai ular yang menjelma dari tongkat Nabi Musa tersebut. Kita harus waspada dan berhati-hati dalam menerima riwayat-riwayat semacam itu, karena tidak mempunyai dasar yang kuat. Bahkan sebagian berasal dari riwayat Israiliyat, yaitu dongeng-dongeng yang datang dari orang Yahudi, yang menyusup ke dalam kalangan kaum Muslimin yang bertujuan untuk merusak agama Islam dari dalam. Kenyataan sejarah menunjukkan, bahwa fitnah dan kekacauan yang terjadi dalam kalangan umat Islam, bahkan pembunuhan-pembunuhan terhadap khalifah-khalifah, biang keladinya adalah para penyusup itu, seperti Abdullah Ibnu Saba dari bangsa Yahudi yang berpura-pura masuk agama Islam. Lalu mengadakan pengacauan dalam bidang akidah, politik dan sebagainya, pada masa-masa permulaan Islam.

Syukurlah bahwa di kalangan ulama-ulama Islam telah muncul para cendekiawan yang waspada, lalu mengadakan penyelidikan mengenai riwayat-riwayat tersebut dan lebih memilih riwayat-riwayat yang mempunyai dasar yang kuat, yang tidak diragukan kebenarannya.

Ayat 109

قَالَ الْمَلَاُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ اِنَّ هٰذَا لَسٰحِرٌ عَلِيْمٌۙ

qālal-mala'u min qaumi fir‘auna inna hāżā lasāḥirum ‘alīm(un).

Pemuka-pemuka kaum Fir‘aun berkata, “Orang ini benar-benar pesihir yang pandai,

Dalam ayat ini diterangkan bahwa setelah para pembesar kaum Firaun menyaksikan mukjizat yang diperlihatkan Nabi Musa kepada mereka, hati nurani mereka tidak beriman, bahkan mereka menuduh Nabi Musa telah melakukan sihir. Mereka menganggap bahwa perubahan tongkat Nabi Musa menjadi ular besar yang mereka saksikan, sama halnya dengan apa yang dapat diperbuat oleh ahli-ahli sihir yang terkenal di masa itu.

Sihir dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. Sihir yang menggunakan benda-benda alam tertentu, yang diperlakukan sedemikian rupa dengan cara-cara tertentu pula, yang hanya diketahui oleh ahli-ahli sihir sendiri, sehingga menghasilkan efek (kesan) yang sangat menakjubkan bagi masyarakat yang alam pikirnya masih primitif (bersahaja).

2. Sihir yang didasarkan pada kecepatan tangan, dalam menyembunyikan dan menampakkan benda-benda tertentu, sehingga kelihatan lain bentuk dan rupanya dari keadaan yang sebenarnya. Hal ini sama dengan permainan sulap pada masa kita sekarang.

3. Sihir yang berdasarkan ilmu hipnotis, yaitu mempengaruhi jiwa yang lemah oleh orang-orang yang memiliki jiwa yang kuat. Dan kadang-kadang mereka mempergunakan pengaruh jin, sehingga membuahkan perbuatan yang manakutkan dan membuat orang histeris, seperti permainan jailangkung, dan sebagainya.

Ayat 110

يُّرِيْدُ اَنْ يُّخْرِجَكُمْ مِّنْ اَرْضِكُمْ ۚ فَمَاذَا تَأْمُرُوْنَ

yurīdu ay yukhrijakum min arḍikum, fa māżā ta'murūn(a).

yang hendak mengusir kamu dari negerimu.” (Fir‘aun berkata), “Maka apa saran kamu?”

Dalam ayat ini diterangkan bahwa para pembesar Firaun menghasut Firaun dengan menyatakan kepadanya, bahwa Musa adalah orang yang mempunyai pengetahuan dan bermaksud jahat, yaitu hendak merebut kekuasaan dari tangan Firaun dan mengusirnya bersama pengikutnya dari negeri Mesir. Hasutan ini berhasil, sehingga Firaun bertanya kepada mereka tentang apa yang akan mereka lakukan kepada Musa.

Di dalam kisah Nabi Musa yang terdapat dalam Surah Yunus diterangkan pula ucapan pemesar-pembesar Firaun kepada Nabi Musa sebagai berikut:

"Mereka berkata: "Apakah engkau datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa (kepercayaan) yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya (menyembah berhala), dan agar kamu berdua mempunyai kekuasaan di bumi (negeri Mesir)? Kami tidak akan mempercayai kamu berdua". (Yunus/10:78)

Ayat 111

قَالُوْآ اَرْجِهْ وَاَخَاهُ وَاَرْسِلْ فِى الْمَدَاۤىِٕنِ حٰشِرِيْنَۙ

qālū arjih wa akhāhu wa arsil fil-madā'ini ḥāsyirīn(a).

(Pemuka-pemuka) itu menjawab, “Tahanlah (untuk sementara) dia dan saudaranya dan utuslah ke kota-kota beberapa orang untuk mengumpulkan (para pesihir),

Oleh karena Firaun meminta saran kepada para pembesarnya, maka mereka mengajukan saran agar Musa dan saudaranya (yaitu Nabi Harun) ditahan, dan penyelesaian masalahnya ditangguhkan buat sementara. Di samping itu, Para pembesar Firaun itu mengatakan bahwa Firaun harus segera mengirim utusan, ke semua pelosok negeri, untuk mengumpulkan ahli-ahli sihir yang sangat mahir, yang diharapkan akan dapat mengalahkan mukjizat Nabi Musa yang telah diperlihatkan kepada mereka.

Adanya saran mereka untuk menangguhkan persoalan Nabi Musa, menunjukkan bahwa Firaun telah berniat untuk membunuh Nabi Musa dan saudaranya Harun. Lalu para pembesar menyarankan, agar Firaun tidak tergesa-gesa melaksanakan pembunuhan itu, sebelum diuji kebenarannya dengan dihadapkan kepada ahli-ahli sihir yang pandai, sehingga persoalan menjadi jelas bagi orang banyak.

Dari ayat ini dapat dipahami, bahwa adanya saran untuk mengumpulkan semua ahli sihir yang paling mahir yang ada di negeri Mesir pada masa itu, menunjukkan betapa hebatnya mukjizat yang dikaruniakan Allah kepada Nabi Musa, sehingga mereka merasa perlu untuk mengumpulkan semua ahli sihir yang pandai untuk melawannya. Di samping menunjukkan kebodohan Firaun dan para pengikutnya, yang tidak bisa memahami bahwa yang diperlihatkan oleh Nabi Musa kepada mereka adalah anugerah Allah Yang Mahakuasa. Karena ketidakfahaman mereka, maka mereka mengira sama dengan sihir. Selain itu peristiwa ini juga menunjukkan, bahwa salah satu dari sifat manusia ialah suka menentang meskipun ia melihat sesuatu yang benar. Sifat inilah yang mendorong Firaun dan para pengikutnya untuk mengumpulkan ahli-ahli sihirnya untuk menentang Nabi Musa as.

Bila diselidiki motif yang mendorong mereka untuk menentang rasul dan agama yang dibawanya, tak lain adalah kekhawatiran mereka akan kehilangan pengaruh, dan keinginan mereka untuk mempertahankan kedudukan, kekuasaan, kewibawaan, dan harta benda. Maka para pemuka Firaun itu menghasut Firaun dengan menyatakan, bahwa Musa bermaksud untuk merebut kekuasaan dari tangan Firaun, dan mengusirnya dari negerinya. Sikap menjilat semacam itu senantiasa dijumpai sepanjang masa.

Ayat 112

يَأْتُوْكَ بِكُلِّ سٰحِرٍ عَلِيْمٍ

ya'tūka bikulli sāḥirin ‘alīm(in).

agar mereka membawa semua pesihir yang pandai kepadamu.”

Oleh karena Firaun meminta saran kepada para pembesarnya, maka mereka mengajukan saran agar Musa dan saudaranya (yaitu Nabi Harun) ditahan, dan penyelesaian masalahnya ditangguhkan buat sementara. Di samping itu, Para pembesar Firaun itu mengatakan bahwa Firaun harus segera mengirim utusan, ke semua pelosok negeri, untuk mengumpulkan ahli-ahli sihir yang sangat mahir, yang diharapkan akan dapat mengalahkan mukjizat Nabi Musa yang telah diperlihatkan kepada mereka.

Adanya saran mereka untuk menangguhkan persoalan Nabi Musa, menunjukkan bahwa Firaun telah berniat untuk membunuh Nabi Musa dan saudaranya Harun. Lalu para pembesar menyarankan, agar Firaun tidak tergesa-gesa melaksanakan pembunuhan itu, sebelum diuji kebenarannya dengan dihadapkan kepada ahli-ahli sihir yang pandai, sehingga persoalan menjadi jelas bagi orang banyak.

Dari ayat ini dapat dipahami, bahwa adanya saran untuk mengumpulkan semua ahli sihir yang paling mahir yang ada di negeri Mesir pada masa itu, menunjukkan betapa hebatnya mukjizat yang dikaruniakan Allah kepada Nabi Musa, sehingga mereka merasa perlu untuk mengumpulkan semua ahli sihir yang pandai untuk melawannya. Di samping menunjukkan kebodohan Firaun dan para pengikutnya, yang tidak bisa memahami bahwa yang diperlihatkan oleh Nabi Musa kepada mereka adalah anugerah Allah Yang Mahakuasa. Karena ketidakfahaman mereka, maka mereka mengira sama dengan sihir. Selain itu peristiwa ini juga menunjukkan, bahwa salah satu dari sifat manusia ialah suka menentang meskipun ia melihat sesuatu yang benar. Sifat inilah yang mendorong Firaun dan para pengikutnya untuk mengumpulkan ahli-ahli sihirnya untuk menentang Nabi Musa as.

Bila diselidiki motif yang mendorong mereka untuk menentang rasul dan agama yang dibawanya, tak lain adalah kekhawatiran mereka akan kehilangan pengaruh, dan keinginan mereka untuk mempertahankan kedudukan, kekuasaan, kewibawaan, dan harta benda. Maka para pemuka Firaun itu menghasut Firaun dengan menyatakan, bahwa Musa bermaksud untuk merebut kekuasaan dari tangan Firaun, dan mengusirnya dari negerinya. Sikap menjilat semacam itu senantiasa dijumpai sepanjang masa.

Ayat 113

وَجَاۤءَ السَّحَرَةُ فِرْعَوْنَ قَالُوْٓا اِنَّ لَنَا لَاَجْرًا اِنْ كُنَّا نَحْنُ الْغٰلِبِيْنَ

wa jā'as-saḥaratu fir‘auna qālū inna lanā la'ajran in kunnā naḥnul-gālibīn(a).

Dan para pesihir datang kepada Fir‘aun. Mereka berkata, “(Apakah) kami akan mendapat imbalan, jika kami menang?”

Setelah Firaun mengerahkan orang-orangnya untuk mengumpulkan para ahli sihir yang pandai dari berbagai pelosok wilayah kekuasaannya, ketika para ahli sihir tersebut datang kepada Firaun, dan mereka pun berkata kepadanya, "Apakah kami akan mendapatkan imbalan jasa, atas tugas yang berat ini, bila kami berhasil mengalahkan Musa?" Demikian motivasi para ahli sihir sama dengan latar belakang perjuangan para pembesar Firaun yaitu materi, kedudukan dan uang, tidak ada sama sekali idealisme, spiritualisme maupun moralitas yang luhur. Tujuan hidupnya hanya untuk sesaat yaitu uang.

Ayat 114

قَالَ نَعَمْ وَاِنَّكُمْ لَمِنَ الْمُقَرَّبِيْنَ

qāla na‘am wa innakum laminal-muqarrabīn(a).

Dia (Fir‘aun) menjawab, “Ya, bahkan kamu pasti termasuk orang-orang yang dekat (kepadaku).”

Firaun menjawab pertanyaan mereka itu, "Ya kamu akan mendapat upah yang besar, dan di samping itu kamu akan menjadi orang-orang yang dekat dengan kami, sehingga kamu akan memperoleh pangkat dan harta benda yang akan memberikan kenikmatan dan kebahagiaan bagimu".

Jawaban Firaun kepada para ahli sihir tersebut menunjukkan bahwa ia sangat memerlukan tenaga dan keahlian mereka, karena ia sangat khawatir akan kehilangan kedudukan dan kerajaannya, menurut pendapatnya akan timbul malapetaka baginya apabila ia tidak memenuhi permintaan mereka itu. Oleh sebab itu, imbalan jasa yang dijanjikan kepada mereka tidak hanya sekedar upah yang berwujud uang dan benda, melainkan ditambah pula dengan pangkat dan kedudukan sebagai orang yang dekat kepada raja. Ini adalah merupakan satu impian dan kebanggaan yang didambakan oleh banyak orang.

Ayat 115

قَالُوْا يٰمُوْسٰٓى اِمَّآ اَنْ تُلْقِيَ وَاِمَّآ اَنْ نَّكُوْنَ نَحْنُ الْمُلْقِيْنَ

qālū yā mūsā immā an tulqiya wa immā an nakūna naḥnul-mulqīn(a).

Mereka (para pesihir) berkata, “Wahai Musa! Engkaukah yang akan melemparkan lebih dahulu, atau kami yang melemparkan?”

Setelah mendapat jawaban dan janji yang menggembirakan dari Firaun tersebut, maka ahli-hli sihir lalu menoleh kepada Nabi Musa dan mereka berkata kepadanya: "Siapakah yang akan memulai lebih dahulu, kamu atau kami?"

Tantangan mereka ini menunjukkan bahwa para ahli sihir Firaun sangat percaya diri dan sangat membanggakan keampuhan sihirnya. Mereka tidak memperdulikan akibat yang akan menimpa diri mereka, seandainya mereka tidak mampu membuktikan keampuhan sihirnya, kalau tidak karena percaya diri yang berlebihan ini pastilah mereka tidak akan memberikan kesempatan lebih dahulu kepada musuhnya.

Ayat 116

قَالَ اَلْقُوْاۚ فَلَمَّآ اَلْقَوْا سَحَرُوْٓا اَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوْهُمْ وَجَاۤءُوْ بِسِحْرٍ عَظِيْمٍ

qāla alqū, falammā alqau saḥarū a‘yunan-nāsi wastarhabūhum wa jā'ū bisiḥrin ‘aẓīm(in).

Dia (Musa) menjawab, “Lemparkanlah (lebih dahulu)!” Maka setelah mereka melemparkan, mereka menyihir mata orang banyak dan menjadikan orang banyak itu takut, karena mereka memperlihatkan sihir yang hebat (menakjubkan).

Nabi Musa mempersilakan mereka untuk mendahului, tanpa merasa khawatir terhadap kekuatan dan keampuhan sihir mereka, karena ia yakin akan pertolongan Allah, dan ia yakin bahwa mukjizat tidak akan terkalahkan oleh sihir manusia.

Ahli-ahli sihir itu lalu menjatuhkan tali-tali dan tongkat-tongkat mereka ke tanah, dan mereka menyihir penglihatan orang banyak yang menyaksikan peristiwa tersebut, termasuk Nabi Musa sendiri, orang banyak terpengaruh oleh sihir mereka melihat semua tali dan tongkat tersebut telah berubah menjadi ular sehingga mereka merasa takut, karena mereka menyangka itu ular sebenarnya. Firman Allah :

Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka terbayang olehnya (Musa) seakan-akan ia merayap cepat, karena sihir mereka. (thaha/20: 66)

Mereka itu tampaknya berhasil melakukan sihir yang dahsyat dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap orang-orang yang menyaksikannya. Bahkan Nabi Musa sendiri pun pada mulanya merasa gentar juga. Hal ini disebutkan Allah pada ayat-ayat lain dengan firman-Nya:

Dan firman-Nya dalam ayat berikut:

Maka Musa merasa takut dalam hatinya. Kami berfirman: Jangan takut! Sungguh engkaulah yang unggul (menang). (thaha/20: 67-68)

Ayat 117

۞ وَاَوْحَيْنَآ اِلٰى مُوْسٰٓى اَنْ اَلْقِ عَصَاكَۚ فَاِذَا هِيَ تَلْقَفُ مَا يَأْفِكُوْنَۚ

wa auḥainā ilā mūsā an alqi ‘aṣāk(a), fa iżā hiya talqafu mā ya'fikūn(a).

Dan Kami wahyukan kepada Musa, “Lemparkanlah tongkatmu!” Maka tiba-tiba ia menelan (habis) segala kepalsuan mereka.

Setelah Allah menenangkan Nabi Musa, Allah berfirman kepadanya, "Jatuhkanlah tongkatmu itu (ke tanah)." Maka sekonyong-konyong tongkat itu berubah menjadi ular yang sebenarnya, dan menelan semua ular hasil sihir mereka. Karena mukjizat tongkat Nabi Musa menjadi ular yang sebenarnya, dan kemudian makan tali dan tongkat kecil yang disihir menjadi ular, maka hal ini menjadi peristiwa luar biasa yang pantas menjadi mukjizat Nabi utusan Allah.

Ayat 118

فَوَقَعَ الْحَقُّ وَبَطَلَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَۚ

fa waqa‘al-ḥaqqu wa baṭala mā kānū ya‘malūn(a).

Maka terbuktilah kebenaran, dan segala yang mereka kerjakan jadi sia-sia.

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa dengan lenyapnya semua ular ciptaan ahli-ahli sihir Firaun dari pandangan orang-orang yang menyaksikannya, berarti kemenangan bagi mukjizat Nabi Musa atas perbuatan ahli-ahli sihir yang penuh kebathilan dan kepalsuan itu. Sihir mereka menjadi tidak berdaya menghadapi mukjizat utusan Allah.

Dalam kisah Nabi Musa yang terdapat dalam Surah thaha, sehubungan dengan masalah ini Allah berfirman:

Apa yang mereka buat itu hanyalah tipu daya pesihir (belaka). Dan tidak akan menang pesihir itu, dari mana pun ia datang. (thaha/20: 69)

Sedang dalam kisahnya yang terdapat dalam surah Yunus, Allah berfirman sebagai berikut:

Setelah mereka melemparkan, Musa berkata, "Apa yang kamu lakukan itu, itulah sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan kepalsuan sihir itu. Sungguh, Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang yang berbuat kerusakan." (Yunus/10: 81)

Ayat 119

فَغُلِبُوْا هُنَالِكَ وَانْقَلَبُوْا صٰغِرِيْنَۚ

fa gulibū hunālika wanqalabū ṣāgirīn(a).

Maka mereka dikalahkan di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang hina.

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa pesihir itu telah dikalahkan di tempat itu, dan jadilah mereka orang-orang yang hina dina. Artinya bila sebelum peristiwa itu, para pesihir merasa bangga percaya diri secara berlebihan, maka setelah kekalahan itu tersingkaplah kebohongan dan kepalsuan mereka, karena sihir mereka tidak mempunyai kekuatan sama sekali. Di samping itu, karena kekalahan tersebut, sirnalah sudah harapan mereka untuk mendapatkan harta benda, pangkat dan kekayaan yang tadinya telah dijanjikan Firaun kepada mereka.

Kekalahan para pesihir tersebut berarti kekalahan Firaun dan para pembesarnya. Pada mulanya mereka percaya bahwa para pesihir yang terpandai yang mereka kumpulkan dari berbagai tempat dalam wilayah kekuasaannya, dengan mudah dapat mengalahkan Nabi Musa. Karena itu ia mengobral janji, tetapi ternyata para pesihirnya itu mengalami kekalahan, dan Nabi Musa mendapat kemenangan, maka pudarlah harapan Firaun dan pemuka-pemukanya untuk dapat mempertahankan kebesaran dan kekuasaannya. Hilanglah kehebatan mereka di mata orang banyak, dan jadilah mereka orang-orang yang hina. Apalagi peristiwa tersebut terjadi pada salah satu hari raya mereka dan tidak disaksikan orang banyak. Mengenai ini Allah berfirman dalam ayat lain:

Dia (Musa) berkata, "(Perjanjian) waktu (untuk pertemuan kami dengan kamu itu) ialah pada hari raya dan hendaklah orang-orang dikumpulkan pada pagi hari (dhuha)." (thaha/20: 59)

Ayat 120

وَاُلْقِيَ السَّحَرَةُ سٰجِدِيْنَۙ

wa ulqiyas-saḥaratu sājidīn(a).

Dan para pesihir itu serta merta menjatuhkan diri dengan bersujud.

Dalam ayat ini diterangkan bahwa setelah melihat kehebatan mukjizat Nabi Musa, maka para pesihir, serta merta bersujud kepada Allah, karena mereka yakin tentang kebenaran seruan Nabi Musa, dan ia bukan pesihir seperti yang mereka duga sebelumnya, sesuai dengan tuduhan Firaun dan para pembesarnya. Selain itu, mereka menyadari bahwa sihir mereka yang dibangga-banggakan selama ini hanyalah kebatilan dan tidak berdaya bila berhadapan dengan kebenaran yang datang dari Allah Yang Maha Kuasa. Mereka sudah tidak mempunyai rasa hormat sedikit pun kepada Firaun dan para pembesarnya yang telah berusaha dengan segala daya upaya untuk mengingkari kekuasaan dan kebesaran Allah, Pencipta dan Penguasa alam semesta.

Mengenai bersujudnya para pesihir tersebut, Allah menerangkannya dalam ayat yang lain sebagai berikut:

Lalu para pesihir itu merunduk bersujud, seraya berkata, "Kami telah percaya kepada Tuhannya Harun dan Musa." (thaha/20:70)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

Maka menyungkurlah para pesihir itu, bersujud, mereka berkata, "Kami beriman kepada Tuhan seluruh alam". (asy-Syuara/26:46-47)

Ayat 121

قَالُوْٓا اٰمَنَّا بِرَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

qālū āmannā birabbil-‘ālamīn(a).

Mereka berkata, “Kami beriman kepada Tuhan seluruh alam,

Dalam ayat ini diterangkan bahwa setelah melihat kehebatan mukjizat Nabi Musa, maka para pesihir, serta merta bersujud kepada Allah, karena mereka yakin tentang kebenaran seruan Nabi Musa, dan ia bukan pesihir seperti yang mereka duga sebelumnya, sesuai dengan tuduhan Fir’aun dan para pembesarnya. Selain itu, mereka menyadari bahwa sihir mereka yang dibangga-banggakan selama ini hanyalah kebatilan dan tidak berdaya bila berhadapan dengan kebenaran yang datang dari Allah Yang Maha Kuasa. Mereka sudah tidak mempunyai rasa hormat sedikit pun kepada Fir’aun dan para pembesarnya yang telah berusaha dengan segala daya upaya untuk mengingkari kekuasaan dan kebesaran Allah, Pencipta dan Penguasa alam semesta.

Mengenai bersujudnya para pesihir tersebut, Allah menerangkannya dalam ayat yang lain sebagai berikut:

Lalu para pesihir itu merunduk bersujud, seraya berkata, “Kami telah percaya kepada Tuhannya Harun dan Musa.” (Taha/20:70)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

Maka menyungkurlah para pesihir itu, bersujud, mereka berkata, “Kami beriman kepada Tuhan seluruh alam”. (asy-Syu’ara’/26:46-47)

Ayat 122

رَبِّ مُوْسٰى وَهٰرُوْنَ

rabbi mūsā wa hārūn(a).

(yaitu) Tuhannya Musa dan Harun.”

(120-122) Dalam ayat ini diterangkan bahwa setelah melihat kehebatan mukjizat Nabi Musa, maka para pesihir, serta merta bersujud kepada Allah, karena mereka yakin tentang kebenaran seruan Nabi Musa, dan ia bukan pesihir seperti yang mereka duga sebelumnya, sesuai dengan tuduhan Fir’aun dan para pembesarnya. Selain itu, mereka menyadari bahwa sihir mereka yang dibangga-banggakan selama ini hanyalah kebatilan dan tidak berdaya bila berhadapan dengan kebenaran yang datang dari Allah Yang Maha Kuasa. Mereka sudah tidak mempunyai rasa hormat sedikit pun kepada Fir’aun dan para pembesarnya yang telah berusaha dengan segala daya upaya untuk mengingkari kekuasaan dan kebesaran Allah, Pencipta dan Penguasa alam semesta.

Mengenai bersujudnya para pesihir tersebut, Allah menerangkannya dalam ayat yang lain sebagai berikut:

Lalu para pesihir itu merunduk bersujud, seraya berkata, “Kami telah percaya kepada Tuhannya Harun dan Musa.” (Taha/20:70)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

Maka menyungkurlah para pesihir itu, bersujud, mereka berkata, “Kami beriman kepada Tuhan seluruh alam”. (asy-Syu’ara’/26:46-47)

Ayat 123

قَالَ فِرْعَوْنُ اٰمَنْتُمْ بِهٖ قَبْلَ اَنْ اٰذَنَ لَكُمْۚ اِنَّ هٰذَا لَمَكْرٌ مَّكَرْتُمُوْهُ فِى الْمَدِيْنَةِ لِتُخْرِجُوْا مِنْهَآ اَهْلَهَاۚ فَسَوْفَ تَعْلَمُوْنَ

qāla fir‘aunu āmantum bihī qabla an āżana lakum, inna hāżā lamakrum makartumūhu fil-madīnati litukhrijū minhā ahlahā, fa saufa ta‘lamūn(a).

Fir‘aun berkata, “Mengapa kamu beriman kepadanya sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya ini benar-benar tipu muslihat yang telah kamu rencanakan di kota ini, untuk mengusir penduduknya. Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu ini).

Dalam ayat ini diceritakan bahwa Firaun dengan sangat murka berkata kepada pesihir yang telah menyatakan iman kepada Tuhan Nabi Musa, "Mengapa kamu beriman kepadanya sebelum aku izinkan?" Maksudnya mengapa mereka menyatakan iman kepada Musa dan kepada agama yang dibawanya yang berdasarkan kepercayaan tauhid kepada Allah, padahal ia belum memberi izin atau memerintahkan kepada mereka. Mengapa mereka tunduk menjadi pengikut Nabi Musa sebelum meminta izin kepada Firaun lebih dahulu.

Ucapan Firaun ini menunjukkan bahwa ia masih belum menyadari, bahwa apa yang diperlihatkan Nabi Musa di hadapannya adalah mukjizat pemberian Allah yang tidak akan dikalahkan oleh siapa pun. Dan ia belum menyadari bahwa orang-orang yang menyaksikan kemenangan Nabi Musa itu sudah tidak mempunyai rasa hormat lagi terhadap dirinya, dan bahwa dia tidak lagi merupakan orang yang dipertuan dan dipertuhan. Di samping itu, ia menuduh ahli-pesihir itu sudah berkomplot dengan Nabi Musa lebih dahulu, sehingga kekalahan mereka ketika berhadapan dengan Nabi Musa telah direncanakan sebelumnya. Sebab itu ia melanjutkan ancamannya terhadap mereka dengan ucapannya sebagai berikut: "Sesungguhnya perbuatan ini adalah suatu tipu muslihat yang telah kamu rencanakan di dalam kota ini, untuk mengusir penduduk aslinya dari Mesir; maka kelak kamu akan mengetahui akibat dari perbuatan ini".

Dalam ayat yang lain Allah menyebutkan bahwa Firaun menuduh Nabi Musa sebagai guru sihir yang telah mengajarkan sihirnya kepada para pesihir tersebut, untuk bersama-sama memperdayakan Firaun untuk dan para pengikutnya untuk mengusirnya dari negeri Mesir, agar mereka kemudian dapat memegang kekuasaan di negeri Mesir, dan Firaun pun mengatakan:

Sesungguhnya dia itu pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu. (thaha/20: 71)

Ayat 124

لَاُقَطِّعَنَّ اَيْدِيَكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ مِّنْ خِلَافٍ ثُمَّ لَاُصَلِّبَنَّكُمْ اَجْمَعِيْنَ

la'uqaṭṭi‘anna aidiyakum wa arjulakum min khilāfin ṡumma la'uṣallibannakum ajma‘īn(a).

Pasti akan aku potong tangan dan kakimu dengan bersilang (tangan kanan dan kaki kiri atau sebaliknya), kemudian aku akan menyalib kamu semua.”

Dalam ayat ini diceritakan bahwa Firaun melanjutkan ancamannya kepada mereka; Pasti aku akan memotong tangan dan kakimu secara bersilang, kemudian sungguh aku akan menyalib kamu semua.

Demikianlah Firaun memandang para pesihir itu bersalah, akibat mereka beriman kepada Allah tanpa meminta izinnya lebih dahulu. Oleh sebab itu, ia merasa berhak dan berkuasa untuk menjatuhkan hukuman yang berat kepada mereka, dengan memotong tangan kanan dan kaki kiri atau sebaliknya. Sesudah itu masing-masing mereka akan disalibnya. Hukuman tersebut dimaksudkan juga untuk menakut-nakuti orang-orang lain yang berniat pula untuk melakukan tipu daya semacam itu terhadapnya atau bermaksud untuk memberontak dan membebaskan diri dari kekuasaannya.

Firaun sangat khawatir kalau rakyatnya, bangsa Mesir mengikuti pula jejak para pesihir itu untuk beriman kepada Musa a.s, karena hal itu akan mengakibatkan keruntuhan bagi kerajaan dan kekuasaannya sebagai tuhan bagi rakyatnya yang selama ini telah dipaksa untuk menyembahnya sebagai Tuhan. Di samping itu, ia mencoba pula untuk berbuat seolah-olah ia membela kepentingan rakyatnya yaitu memelihara kemerdekaan mereka serta melindungi agama mereka. Oleh sebab itu ia mengatakan bahwa para pesihir telah berkomplot dengan Musa untuk merebut kekuasaan Mesir dari negeri mereka sendiri.

Demikianlah umumnya sikap penguasa yang zalim dan angkara murka. Ia sangat khawatir apabila rakyatnya memalingkan muka kepada pemimpin yang lain. Namun bangsa yang punya harga diri dan ingin memelihara hak-hak azasinya, pasti akan bersatu padu menentang kekuasaan yang zalim itu, betapa pun hebatnya sang penguasa.

Ayat 125

قَالُوْٓا اِنَّآ اِلٰى رَبِّنَا مُنْقَلِبُوْنَۙ

qālū innā ilā rabbinā munqalibūn(a).

Mereka (para pesihir) menjawab, “Sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.

Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa para pesihir sedikit pun tidak merasa gentar menghadapi ancaman Firaun kepada mereka. Bahkan dengan mantap dan penuh keyakinan, mereka berkata kepada Firaun, sesungguhnya hanya kepada Tuhan kami akan kembali.

Ucapan mereka ini menegaskan bahwa mereka sama sekali tidak peduli terhadap ancaman Firaun kepada mereka. Meskipun Firaun akan membunuh mereka, maka hal itu akan memberikan kemungkinan bagi mereka untuk segera bertemu dengan Tuhan, serta mendapatkan ampunan dan rahmat-Nya yang sangat mereka dambakan. Mereka yakin, Firaun dan mereka semua akan kembali kepada Tuhan. Andaikan Firaun membunuh mereka, Firaun tidak akan hidup selama-lamanya di dunia ini. Dia akhirnya akan kembali kepada Tuhan Semesta alam, sehingga Tuhan akan mengadili mereka dan Firaun.

Dengan pengertian yang terakhir ini, dapat dipahami, bahwa ucapan mereka mengandung sindiran yang tajam, bahwa Firaun bukan Tuhan seperti yang diakuinya selama ini; bahkan dibalik kekuasaannya, ada kekuasaan yang lebih tinggi. Dan mereka lebih mengutamakan rahmat dan rida Allah dari pada memuaskan hawa nafsu keduniawian di samping Firaun dan para pembesarnya.

Di dalam kisah yang terdapat dalam Surah asy-Syuara, Allah menyebutkan ucapan para pesihir tersebut sebagai berikut :

Mereka berkata, "Tidak ada yang kami takutkan, karena kami akan kembali kepada Tuhan kami. Sesungguhnya kami sangat menginginkan sekiranya Tuhan kami akan mengampuni kesalahan kami, karena kami menjadi orang-orang yang pertama-tama beriman." (asy-Syuara/26: 50-51)

Ayat 126

وَمَا تَنْقِمُ مِنَّآ اِلَّآ اَنْ اٰمَنَّا بِاٰيٰتِ رَبِّنَا لَمَّا جَاۤءَتْنَا ۗرَبَّنَآ اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَّتَوَفَّنَا مُسْلِمِيْنَ ࣖ

wa mā tanqimu minnā illā an āmannā bi'āyāti rabbinā lammā jā'atnā, rabanā afrig ‘alainā ṣabraw wa tawaffanā muslimīn(a).

Dan engkau tidak melakukan balas dendam kepada kami, melainkan karena kami beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami.” (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan matikanlah kami dalam keadaan muslim (berserah diri kepada-Mu).”

Dalam ayat ini Allah menceritakan ucapan selanjutnya dari para pesihir kepada Firaun. Mereka menyingkapkan kejahatan Firaun terhadap mereka, yaitu bahwa Firaun ingin membalas dendam kepada mereka dengan menyiksa mereka secara kejam. Dan semuanya itu hanyalah karena mereka telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan ketika ayat-ayat tersebut datang kepada mereka.

Ucapan mereka ini mengandung arti bahwa Firaun tidak akan mempengaruhi mereka, karena keimanan kepada Allah adalah suatu yang amat berharga dan sesuai dengan fitrah manusia yang asli, dan menjadi pokok bagi kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat kelak.

Firaun mencela para pesihir sebab mereka telah sujud dan beriman kepada Allah tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Firaun. Di samping itu, Firaun telah menuduh mereka berkomplot dengan Nabi Musa untuk merebut kekuasaan dari tangannya, dan untuk mengusir bangsa Mesir dari tanah air mereka. Akhirnya Firaun mengancam untuk memotong tangan dan kaki mereka. ditambah dengan siksaan berupa penyaliban. Semua itu pada hakikatnya merupakan kemurkaan Firaun terhadap mereka. Sesudah itu Firaun berusaha melakukan balas dendam dengan perbuatan mereka dan siapa saja yang beriman kepada Allah serta memenuhi seruan Nabi Musa. Usaha apapun yang dilakukan oleh Firaun tetap tidak mendatangkan hasil baginya. Bahkan sebaliknya, Firaun bersama para pembesarnya akan menemui nasib yang amat buruk.

Dalam ayat lain disebutkan firman Allah kepada Nabi Musa dan Harun sebagai berikut:

"Kamu berdua dan orang yang mengikuti kamu yang akan menang." (al-Qashas/28: 35)

Selanjutnya Allah menceritakan tentang para pesihir tersebut, bahwa setelah mereka memberikan jawaban yang tegas seperti di atas, mereka lalu berdoa kehadirat Allah, semoga mereka diberi kesabaran, dan apabila Allah mewafatkan mereka hendaklah dalam keadaan berserah diri kepada-Nya. Doa mereka kepada Allah agar diberi kesabaran menunjukkan betapa pentingnya kesabaran dalam setiap perjuangan, terutama perjuangan melawan kezaliman.

Kesabaran tidak hanya berarti kemampuan menahan diri mereka dari kemarahan, akan tetapi juga berarti mawas diri, mengendalikan hawa nafsu, serta tangguh menghadapi segala rintangan dan penderitaan.

Orang yang sabar, tidak akan membalas dendam, walaupun ia mampu untuk melakukannya. Orang yang sabar senantiasa dapat memelihara pertimbangan akal yang sehat, sehingga ia tidak akan terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang dapat merugikan dirinya dan perjuangan umatnya.

Jalan untuk mencapai kesabaran ialah iman yang kokoh kepada Allah dan hari akhirat. Hal ini telah dibuktikan oleh kenyataan sejarah umat manusia, yaitu bahwa umat yang kuat imannya adalah merupakan umat yang paling sabar dan tangguh dalam perjuangan dan mempunyai keberanian yang tinggi. Karena kesabaran serta keberanian itu, timbullah ide dan usaha-usaha pada sementara pimpinan angkatan perang pada beberapa negara, untuk menggalakkan pendidikan agama dan binaan rohani bagi para prajurit dan perwira angkatan perang, agar mereka memiliki iman yang kokoh yang akan membuahkan sifat kesabaran dan keberanian.

Dalam pada itu, Allah berulang kali dalam firman-Nya menjanjikan pertolongan-Nya bagi orang-orang yang sabar, dan ia memberikan petunjuk agar manusia senantiasa bersabar dan menganjurkan orang lain untuk bersabar. Allah berfirman:

(Yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal. (an-Nahl/16: 42)

Firman-Nya lagi:

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran, dan menasihati untuk kesabaran. (al-Ashr/103: 3)

Ajaran tentang kesabaran ini sangat dipentingkan agama Islam, sehingga dalam Al-Quran terdapat sekitar 100 kali disebutkan, baik berupa perintah tentang bersabar, maupun berupa pujian bagi orang-orang yang bersabar, ataupun janji kemenangan, keberuntungan dan pertolongan Allah bagi orang-orang yang bersabar. Dan seringkali kata-kata sabar itu digandengkan dengan kata-kata iman, takwa, tawakal, kebenaran, perjuangan, kekuatan tekad dan sebagainya.

Dalam hadis-hadis Rasulullah pun banyak terdapat ajaran tentang kesabaran. Mengenai hubungan antara kesabaran dan keberanian beliau bersabda:

"Orang yang kuat bukanlah orang yang dapat membanting orang, tetapi orang kuat adalah orang yang sanggup menguasai dirinya ketika dia sedang marah". (Riwayat Imam al-Bukhari, dari Abu Hurairah ra)

Orang yang sabar senantiasa tenang dan mempunyai pikiran terang, sehingga segala ucapan dan tindak tanduknya dapat dikendalikan dengan baik. Pendiriannya tidak tergoyahkan oleh ancaman dan bujukan bagaimana pun juga. Oleh sebab itu, dalam suatu hadis yang lain Rasulullah saw bersabda

"Kesabaran itu adalah sinar yang terang." (Riwayat Muslim, at-Tirmidzi, dan lain-lain)

Sebaliknya orang yang tidak sabar tentu akan kehilangan akal sehat, serta mudah dipengaruhi setan, sehingga ucapan dan tindakannya tidak dapat dikendalikannya. Hal ini akan membawa kepada akibat yang jelek dan akan menimbulkan kerugian dan penyesalan. Oleh sebab itu Rasulullah saw memperingatkan dengan sabdanya :

"Sifat tergesa-gesa itu perbuatan setan." (Riwayat at-Tirmidzi)

Karena pentingnya sifat kesabaran itu, maka tidaklah mengherankan mengapa orang-orang yang telah beriman kepada Nabi Musa as dalam kisah tersebut memohon kepada Allah agar dilimpahi kesabaran yang banyak, sehingga iman mereka tidak akan digoyahkan oleh ancaman Firaun dan pembesar-pembesarnya.

Ayat 127

وَقَالَ الْمَلَاُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ اَتَذَرُ مُوْسٰى وَقَوْمَهٗ لِيُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ وَيَذَرَكَ وَاٰلِهَتَكَۗ قَالَ سَنُقَتِّلُ اَبْنَاۤءَهُمْ وَنَسْتَحْيٖ نِسَاۤءَهُمْۚ وَاِنَّا فَوْقَهُمْ قٰهِرُوْنَ

wa qālal-mala'u min qaumi fir‘auna atażaru mūsā wa qaumahū liyufsidū fil-arḍi wa yażaraka wa ālihatak(a), qāla sanuqattilu abnā'ahum wa nastaḥyī nisā'ahum, wa innā fauqahum qāhirūn(a).

Dan para pemuka dari kaum Fir‘aun berkata, “Apakah engkau akan membiarkan Musa dan kaumnya untuk berbuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkanmu dan tuhan-tuhanmu?” (Fir‘aun) menjawab, “Akan kita bunuh anak-anak laki-laki mereka dan kita biarkan hidup anak-anak perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh atas mereka.”

Dalam ayat ini diceritakan bahwa orang-orang terkemuka dari kaum Firaun berkata kepadanya, "Hai Firaun apakah kamu akan membiarkan Musa dan kaumnya berbuat kerusakan di negeri ini? Serta meninggalkan kamu dan Tuhan-tuhanmu?"

Fitnahan ini untuk kesekian kalinya memperlihatkan kecemasan mereka akan kehilangan kekuasaan, pengaruh dan harta benda, karena mereka telah melihat gejala-gejala bahwa rakyat telah mulai memalingkan muka dari Firaun kepada Nabi Musa a.s, setelah menyaksikan kemenangan mukjizatnya. Apalagi setelah melihat para pesihir sudah bersujud menyatakan iman, dan tidak memperdulikan lagi ancaman Firaun terhadap mereka.

Dalam melancarkan fitnahan ini, para pembesar ini menggunakan unsur politik dan unsur agama. Mereka menuduh bahwa Musa akan meruntuhkan kedudukan Firaun sebagai penguasa tunggal di Mesir. Di samping itu, kedudukan Firaun sebagai orang yang dipertuhan selama ini dengan sendirinya akan lenyap pula. Lebih dari itu, tuhan-tuhan yang menjadi sesembahan bangsa Mesir pada masa itupun akan ditinggalkan pula, misalnya Tuhan "Osiris" yang menurut anggapan mereka rohnya menjelma pada seekor sapi yang mereka sebut "Apis", selain itu, mereka juga menyembah "segala macam hewan". Demikian pula mereka menyembah kegelapan, serta patung Akron yang mereka anggap sebagai pengusir lalat.

Pendek kata rakyat Firaun pada masa itu telah berada di puncak kesesatan, karena mereka menyembah matahari, bulan dan bintang-bintang, serta manusia dan hewan, baik hewan yang besar maupun serangga yang paling kecil.

Firaun sendiri adalah penganut kepercayaan penyembah binatang, kemudian ditinggalkannya kepercayaan tersebut, lalu ia mengaku menjadi tuhan dan menyuruh rakyatnya untuk menyembah kepadanya. Ini setelah ia melihat dirinya mempunyai kekuasaan yang begitu besar di kalangan rakyatnya. (Keterangan ini terdapat dalam buku Al-Milal wan-Nihal oleh asy-Syahrastany)

Fitnah para pembesar Firaun telah berhasil mengenai sasarannya, yaitu mempengaruhi Firaun yang telah kehilangan keseimbangannya, sehingga membangkitkan emosi dan amarahnya. Oleh sebab itu, ia menjawab: "Baiklah, akan kita bunuh anak-anak laki-laki mereka, dan kita biarkan hidup anak-anak perempuan mereka, dan kita berkuasa penuh di atas mereka.

Maksudnya, bahwa dalam rangka untuk mencegah berkuasanya Nabi Musa as di Mesir, maka Firaun akan melakukan berbagai tindakan, antara lain ialah membunuh setiap anak laki-laki yang dilahirkan oleh perempuan-perempuan Bani Israil, yaitu kaum yang sebangsa dengan Nabi Musa yang berdiam di Mesir waktu itu. Sedang anak-anak perempuan yang mereka lahirkan akan dibiarkan hidup untuk kemudian dapat dimanfaatkan oleh Firaun dan para pembesarnya sebagai budak. Dengan tindakan ini Firaun mengharapkan dapat membendung tumbuhnya kekuasaan Nabi Musa di Mesir, karena ia akan tetap mempunyai tenaga laki-laki yang lebih banyak dan kekuasaan yang lebih besar, sedang sebaliknya, Nabi Musa dan Bani Israil umumnya semakin kekurangan tenaga laki-laki, sehingga mereka tidak akan menentang kekuasaan Firaun, dan membebaskan diri dari rantai perbudakannya.

Rencana jahat ini benar-benar dilaksanakan oleh Firaun dan para pembesarnya, sehingga Bani Israil yang berdiam di Mesir pada masa itu sangat menderita, lahir dan batin.

Ayat 128

قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهِ اسْتَعِيْنُوْا بِاللّٰهِ وَاصْبِرُوْاۚ اِنَّ الْاَرْضَ لِلّٰهِ ۗيُوْرِثُهَا مَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ

qāla mūsā liqaumihista‘īnū billāhi waṣbirū, innal-arḍa lillāh(i), yūriṡuhā may yasyā'u min ‘ibādih(ī), wal-‘āqibatu lil-muttaqīn(a).

Musa berkata kepada kaumnya, “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi (ini) milik Allah; diwariskan-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”

Dapat dimengerti, mendengar ancaman Firaun ini Bani Israil yang berdiam di Mesir pada masa tersebut merasa takut dan amat gelisah, ancaman ini terbukti kemudian, mereka diperlakukan sebagai budak. Di samping itu, setiap anak lelaki yang mereka lahirkan dibunuh oleh kaki tangan Firaun. Oleh sebab itu Nabi Musa as berkata kepada mereka: "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, diwariskan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, dan kesudahan yang baik adalah untuk orang-orang yang bertakwa".

Nabi Musa menghibur dan menenteramkan kaumnya dengan mengingatkan kepada mereka kekuasaan Allah, bahwa Dialah yang memiliki dan menguasai bumi, dan segala apa yang terjadi di bumi ini adalah sesuai dengan Sunnah-Nya, yaitu setiap umat yang ingkar dan zalim pasti menemui kehancuran, dan setiap umat yang beriman dan bersabar tentu akan memperoleh pertolongan-Nya, sehingga memperoleh kemenangan dan kesudahan yang baik. Sebab itu hendaklah mereka memohon pertolongan kepada-Nya, disertai dengan kesabaran, keimanan, persatuan dan keberanian dalam membela kebenaran dan keadilan.

Ucapan Nabi Musa ini selain menimbulkan harapan tentang pertolongan Allah serta rahmat-Nya untuk membebaskan mereka dari kekejaman Firaun serta menjadikan Bani Israil sebagai penguasa di belakang hari di bagian bumi yang telah dijanjikan Tuhan kepada mereka, juga mengandung suatu peringatan yang sangat penting bagi kaumnya, yaitu apabila di belakang hari mereka menjadi penguasa, janganlah berbuat sewenang-wenang seperti Firaun dan para pembesarnya, karena Allah senantiasa mengawasi perbuatan dan tindak-tanduk dari setiap makhluk-Nya, oleh sebab itu, apabila mereka berkuasa dan melakukan kezaliman pula, pastilah Allah mendatangkan azab kepada mereka.

Ayat ini mengandung pelajaran yang sangat berharga, tentang sikap manusia pada waktu ia sedang menghadapi penderitaan tersebut, atau sebelum mereka memperoleh rahmat Allah, dan pada waktu setelah memperoleh rahmat tersebut. Sikap yang amat tercela ialah berkeluh kesah dan memohon pertolongan Allah pada waktu memperoleh kesusahan, dan kemudian mengingkari atau melupakan rahmat Allah setelah memperolehnya.

Sikap yang seharusnya dilakukan ialah sabar dan tawakal serta memohon pertolongan Allah pada waktu menghadapi kesukaran, dan mensyukuri rahmat Allah setelah memperoleh kebahagiaan. Mensyukuri rahmat Allah, tidak hanya dengan ucapan, melainkan yang terpenting ialah melaksanakan dengan perbuatan. Sebab itu, apabila seseorang memperoleh kekuasaan, kemudian kekuasaannya itu digunakan untuk berbuat kezaliman atau memperkaya diri sendiri atas kerugian orang lain, maka ini berarti bahwa ia tidak mensyukuri rahmat Allah yang diperolehnya, yaitu pangkat dan kekuasaan, dan karenanya telah sepatutnyalah bila Allah menimpakan azab kepadanya.

Ayat 129

قَالُوْٓا اُوْذِيْنَا مِنْ قَبْلِ اَنْ تَأْتِيَنَا وَمِنْۢ بَعْدِ مَا جِئْتَنَا ۗقَالَ عَسٰى رَبُّكُمْ اَنْ يُّهْلِكَ عَدُوَّكُمْ وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِى الْاَرْضِ فَيَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ ࣖ

qālū ūżīnā min qabli an ta'tiyanā wa mim ba‘di mā ji'tanā, qāla ‘asā rabbukum ay yuhlika ‘aduwwakum wa yastakhlifakum fil-arḍi fa yanẓura kaifa ta‘malūn(a).

Mereka (kaum Musa) berkata, ”Kami telah ditindas (oleh Fir‘aun) sebelum engkau datang kepada kami dan setelah engkau datang.” (Musa) menjawab, “Mudah-mudahan Tuhanmu membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi; maka Dia akan melihat bagaimana perbuatanmu.”

Bani Israil mengeluh kepada Musa a.s, bahwa nasib mereka sama saja, baik sebelum kedatangan Musa a.s, untuk menyeru mereka kepada agama Allah dan melepaskan mereka dari perbudakan Firaun maupun sesudahnya. Mereka merasa tidak mendapat faedah dari kedatangan Nabi Musa as itu. Dahulu mereka diazab dan diperbudak oleh Firaun, anak-anak mereka dibunuh, mereka disuruh kerja paksa, sekarang pun demikian. Keluhan ini menunjukkan kekerdilan jiwa dan kelemahan daya juang dan tidak adanya kesabaran pada mereka.

Mendengar keluhan ini, maka Nabi Musa berkata, "Mudah-mudahan Allah membinasakan musuh kamu dan menjadikan kamu khalifah di bumi, maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu," maksudnya: meskipun yang terjadi demikian akan tetapi harapan bahwa Allah akan membinasakan musuh-musuhmu, dan menjadikan kamu berkuasa di bagian bumi yang telah dijanjikan Tuhanmu harus tetap ada.

Di dalam ucapan kepada kaumnya, Nabi Musa as memakai ungkapan "mudah-mudahan." Ia memakai ungkapan tersebut untuk tidak memastikan datangnya pertolongan dan rahmat Allah kepada mereka. Sebab andaikata ia menggunakan ungkapan yang memastikan, boleh jadi umatnya akan mengabaikan kewajiban-kewajiban yang perlu mereka lakukan untuk memperoleh pertolongan Allah, karena pertolongan Allah kepada hamba-Nya tidaklah diberikan begitu saja, melainkan tergantung kepada usaha-usaha yang dilakukan umat yang bersangkutan, misalnya kesungguhan, disiplin, persatuan, dan sebagainya.

Ayat 130

وَلَقَدْ اَخَذْنَآ اٰلَ فِرْعَوْنَ بِالسِّنِيْنَ وَنَقْصٍ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ

wa laqad akhażnā āla fir‘auna bis-sinīna wa naqṣim minaṡ-ṡamarāti la‘allahum yażżakkarūn(a).

Dan sungguh, Kami telah menghukum Fir‘aun dan kaumnya dengan (mendatangkan musim kemarau) bertahun-tahun dan kekurangan buah-buahan, agar mereka mengambil pelajaran.

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa cobaan yang ditimpakan kepada Firaun berupa musim kemarau yang panjang, yang mengakibatkan timbulnya kesulitan hidup bagi mereka, cobaan ini seharusnya menimbulkan keinsafan dalam hati mereka, bahwa kekuatan dan kekuasaan yang mereka miliki selama ini bukanlah merupakan kekuatan dan kekuasaan tertinggi, masih ada kekuatan dan kekuasan Allah Yang Kuasa mendatangkan azab yang tidak dapat mereka atasi. Jika ada kesadaran semacam itu dalam hati mereka tentu mereka akan mengubah sikap dan perbuatan mereka, terutama kepada Bani Israil. Di samping itu, mereka menerima seruan Nabi Musa serta meninggalkan keingkaran mereka terhadap Allah.

Azab yang diturunkan Allah kepada hamba-Nya senantiasa mengandung pelajaran dan pendidikan. Sebab, pada saat manusia menghadapi kesulitan dan kesukaran hidup, hatinya akan menjadi lembut, akan menghadapkan wajahnya kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang untuk memohon pertolongan dan belas kasih-Nya. Di samping itu, ia juga akan berusaha memperbaiki tingkah lakunya dengan melakukan perbuatan yang diridai Allah. Akan tetapi, bila kesulitan dan kesukaran itu tidak mengubah sikap dan tingkah lakunya, dan tetap ingkar kepada Allah serta senantiasa berbuat kemaksiatan, maka mereka benar-benar orang yang merugi dan amat sesat karena kesulitan yang mereka hadapi tidak menimbulkan keinsafan dan kesadaran bagi mereka, bahkan sebaliknya menambah keingkaran dan kedurhakaan mereka terhadap Allah. Demikianlah keadaan Firaun dan para pengikutnya.

Ayat 131

فَاِذَا جَاۤءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوْا لَنَا هٰذِهٖ ۚوَاِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَّطَّيَّرُوْا بِمُوْسٰى وَمَنْ مَّعَهٗۗ اَلَآ اِنَّمَا طٰۤىِٕرُهُمْ عِنْدَ اللّٰهِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

fa iżā jā'athumul-ḥasanatu qālū lanā hāżihī, wa in tuṣibhum sayyi'atuy yaṭṭayyarū bimūsā wa mam ma‘ah(ū), alā innamā ṭā'iruhum ‘indallāhi wa lākinna aksṡarahum lā ya‘lamūn(a).

Kemudian apabila kebaikan (kemakmuran) datang kepada mereka, mereka berkata, “Ini adalah karena (usaha) kami.” Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan pengikutnya. Ketahuilah, sesungguhnya nasib mereka di tangan Allah, namun kebanyakan mereka tidak mengetahui.

Dalam ayat ini Allah menerangkan sifat dan tabiat Firaun dan pengikutnya, bahwa pada saat mereka mengalami kemakmuran hidup, mereka mengatakan bahwa hal itu sudah sewajarnya, karena negeri mereka subur dan mereka pun rajin bekerja. Tidak terbayang dalam hati mereka bahwa semuanya itu adalah rahmat dari Allah yang patut mereka syukuri. Sebaliknya, apabila mereka mengalami bahaya kekeringan, kelaparan, penyakit, mereka lalu melemparkan kesalahan dan umpatan kepada Nabi Musa. Mereka katakan bahwa semua malapetaka itu disebabkan kesalahan Nabi Musa dan kaumnya. Mereka lupa kepada kejahatan dan kezaliman yang mereka perbuat terhadap kaum Nabi Musa, karena mereka menganggap bahwa perbudakan dan perbuatan kejam yang mereka lakukan terhadap Bani Israil itu adalah wajar dan merupakan hak mereka sebagai bangsa yang berkuasa. Itu adalah gambaran yang paling jelas tentang sikap dan tabiat kaum imperialis sepanjang masa.

Pada akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa cobaan yang menimpa diri orang-orang kafir itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya. Maksudnya ialah bahwa semua kebaikan yang mereka peroleh, dan segala cobaan yang mereka hadapi, semua itu sudah merupakan qadha dan qadar yang telah ditetapkan Allah, sesuai dengan sunnah-Nya yang berlaku bagi semua makhluknya, yaitu sesuai dengan sebab dan akibat, sehingga apa-apa yang terjadi pada manusia adalah merupakan akibat belaka dari sikap, perbuatan dan tingkah lakunya. Akan tetapi, kebanyakan mereka tidak mau menginsafinya. Mereka tetap berada dalam kekufuran dan kezaliman.

Ayat 132

وَقَالُوْا مَهْمَا تَأْتِنَا بِهٖ مِنْ اٰيَةٍ لِّتَسْحَرَنَا بِهَاۙ فَمَا نَحْنُ لَكَ بِمُؤْمِنِيْنَ

wa qālū mahmā ta'tinā bihī min āyatil litasḥaranā bihā, famā naḥnu laka bimu'minīn(a).

Dan mereka berkata (kepada Musa), “Bukti apa pun yang engkau bawa kepada kami untuk menyihir kami, kami tidak akan beriman kepadamu.”

Pada ayat ini dijelaskan keingkaran mereka walaupun Nabi Musa telah memberikan berbagai keterangan dan bukti yang jelas tentang kerasulannya. Mereka berkata kepada Nabi Musa: "Bagaimana pun kamu telah mendatangkan berbagai keterangan itu, namun kami sekali-kali tidak akan beriman kepada kamu."

Semua keterangan-keterangan yang telah dikemukakan Nabi Musa kepada mereka yang membuktikan kerasulannya, mereka anggap sebagai sihir untuk mempengaruhi mereka, agar meninggalkan agama nenek moyang mereka. Kemudian mereka menegaskan bahwa mereka sekali-kali tidak akan membenarkan semua keterangan dan bukti-bukti tersebut. Ini berarti bahwa mereka tidak akan menerima agama Allah yang disampaikan kepada Nabi Musa untuk mereka semuanya. Tetapi mereka tetap melakukan kezaliman terhadap Bani Israil dan Nabi Musa.

Ayat 133

فَاَرْسَلْنَا عَلَيْهِمُ الطُّوْفَانَ وَالْجَرَادَ وَالْقُمَّلَ وَالضَّفَادِعَ وَالدَّمَ اٰيٰتٍ مُّفَصَّلٰتٍۗ فَاسْتَكْبَرُوْا وَكَانُوْا قَوْمًا مُّجْرِمِيْنَ

fa arsalnā ‘alaihimuṭ-ṭūfāna wal-jarāda wal-qummala waḍ-ḍafādi‘a wad-dama āyātim mufaṣṣalāt(in), fastakbarū wa kānū qaumam mujrimīn(a).

Maka Kami kirimkan kepada mereka topan, belalang, kutu, katak dan darah (air minum berubah menjadi darah) sebagai bukti-bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa.

Dalam ayat ini diceritakan bahwa sebagai akibat dari keingkaran, kekufuran dan kezaliman mereka, maka Allah menurunkan azab yang lebih dahsyat kepada mereka berupa topan yang melanda rumah dan pohon-pohonan, kebun dan sawah-sawah mereka, kemudian datang lagi hama belalang yang membinasakan tanaman-tanaman mereka, dan akhirnya muncul wabah lain yang menjadikan air minum mereka berubah rasa, berubah bau, dan berubah warnanya seperti darah yang tidak dapat mereka minum.

Meskipun lima macam azab yang ditimpakan Allah bertubi-tubi kepada Firaun dan kaumnya. Mereka tetap menyombongkan diri dan berbuat dosa, dan itu merupakan sifat mereka yang paling menonjol.

Ayat 134

وَلَمَّا وَقَعَ عَلَيْهِمُ الرِّجْزُ قَالُوْا يٰمُوْسَى ادْعُ لَنَا رَبَّكَ بِمَا عَهِدَ عِنْدَكَۚ لَىِٕنْ كَشَفْتَ عَنَّا الرِّجْزَ لَنُؤْمِنَنَّ لَكَ وَلَنُرْسِلَنَّ مَعَكَ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ ۚ

wa lammā waqa‘a ‘alihimur-rijzu qālū yā mūsad‘u lanā rabbaka bimā ‘ahida ‘indak(a), la'in kasyafta ‘annar-rijza lanu'minanna laka wa lanursilanna ma‘aka banī isrā'īl(a).

Dan ketika mereka ditimpa azab (yang telah diterangkan itu) mereka pun berkata, “Wahai Musa! Mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu sesuai dengan janji-Nya kepadamu. Jika engkau dapat menghilangkan azab itu dari kami, niscaya kami akan beriman kepadamu dan pasti akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu.”

Dalam ayat ini Allah menceritakan bagaimana keadaan Firaun dan kaumnya ketika mereka ditimpa lima macam azab itu. Mereka sudah tidak dapat berkutik, lalu meminta pertolongan Nabi Musa agar ia mendoakan kepada Allah untuk membebaskan mereka dari penderitaan akibat azab tersebut. Mereka berkata, "Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu dengan perantaraan kenabianmu, jika kamu dapat menghilangkan azab itu dari kami, sesungguhnya kami berjanji bahwa kami akan beriman kepadamu, dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu."

Demikianlah setelah mereka tidak mampu menyelamatkan diri dari siksa itu maka mereka berpura-pura beriman dan berjanji akan membebaskan Bani Israil dan membiarkan mereka meninggalkan Mesir bersama Nabi Musa. Akan tetapi dapatkah dipercaya janji orang-orang kafir?

Ayat 135

فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُمُ الرِّجْزَ اِلٰٓى اَجَلٍ هُمْ بَالِغُوْهُ اِذَا هُمْ يَنْكُثُوْنَ

falammā kasyafnā ‘anhumur-rijza ilā ajalin hum bāligūhu iżā hum yankuṡūn(a).

Tetapi setelah Kami hilangkan azab itu dari mereka hingga batas waktu yang harus mereka penuhi ternyata mereka ingkar janji.

Berkat doa Nabi Musa yang memohon kepada Allah agar melepaskan Firaun dan kaumnya dari azab Allah yang menimpa mereka, akhirnya Firaun dan kaumnya terlepas dari azab tersebut, sebelum mereka ditenggelamkan Allah, namun terlepasnya mereka dari azab Allah, tidak membuat mereka beriman dan menepati janjinya untuk membebaskan Bani Israil keluar dari Mesir dan dari penindasan mereka. Bahkan mereka tetap bertekad menentang Allah dan tetap dalam kekufuran.

Ayat 136

فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَاَغْرَقْنٰهُمْ فِى الْيَمِّ بِاَنَّهُمْ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَكَانُوْا عَنْهَا غٰفِلِيْنَ

fantaqamnā minhum fa agraqnāhum fil-yammi bi'annahum każżabū bi'āyātinā wa kānū ‘anhā gāfilīn(a).

Maka Kami hukum sebagian di antara mereka, lalu Kami tenggelamkan mereka di laut karena mereka telah mendustakan ayat-ayat Kami dan melalaikan ayat-ayat Kami.

Pada ayat ini Allah menceritakan tentang datangnya saat kebinasaan bagi Firaun dan kaumnya, setelah berbagai azab yang ditimpakan kepada mereka sebelumnya ternyata tidak mengubah sikap dan perbuatan mereka, lantaran kekufuran dan kezaliman mereka.

Firaun dan kaumnya telah mengingkari janji untuk membiarkan Bani Israil meninggalkan negeri Mesir bersama Nabi Musa. Oleh sebab itu, ketika Nabi Musa membawa kaumnya meninggalkan negeri itu menuju Palestina melalui Laut Merah, Firaun dan kaumnya mengejar mereka. Musa dan kaumnya selamat menyeberangi Laut Merah, tetapi Firaun dan kaumnya tenggelam ketika berada di tengah-tengah laut itu, maka mereka binasa.

Pada akhir ayat ini Allah menjelaskan bahwa hukuman tersebut dijatuhkan lantaran mereka senantiasa mendustakan ayat-ayat-Nya, dan tidak mau menyadari akibat yang menimpa mereka lantaran kekufuran dan kezaliman mereka, baik malapetaka di dunia ini, maupun azab sengsara di akhirat kelak. Sebagian dari kaum Firaun telah binasa bersamanya, karena mengikuti kesesatan dan kekufurannya. Sedang sebagiannya lagi binasa karena kekejaman dan kezaliman Firaun terhadap mereka.

Ayat 137

وَاَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِيْنَ كَانُوْا يُسْتَضْعَفُوْنَ مَشَارِقَ الْاَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِيْ بٰرَكْنَا فِيْهَاۗ وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنٰى عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَۙ بِمَا صَبَرُوْاۗ وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهٗ وَمَا كَانُوْا يَعْرِشُوْنَ

wa auraṡnal-qaumal-lażīna kānū yustaḍ‘afūna masyāriqal-arḍi wa magāribahal-latī bāraknā fīhā, wa tammat kalimatu rabbikal-ḥusnā ‘alā banī isrā'īl(a), bimā ṣabarū, wa dammarnā mā kāna yaṣna‘u fir‘aunu wa qaumuhū wa mā kānū ya‘risyūn(a).

Dan Kami wariskan kepada kaum yang tertindas itu, bumi bagian timur dan bagian baratnya yang telah Kami berkahi. Dan telah sempurnalah firman Tuhanmu yang baik itu (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir‘aun dan kaumnya dan apa yang telah mereka bangun.

Dalam ayat ini dijelaskan nikmat Allah yang terbesar kepada Bani Israil setelah ditindas dan diperbudak oleh Firaun dan kaumnya. Nikmat tersebut adalah mewarisi kawasan barat dan timur yang subur dan diberkahi Allah. Dengan demikian janji Allah terhadap Bani Israil telah terlaksana dengan sempurna, kenikmatan ini merupakan imbalan dari kesabaran mereka mengikuti ajaran Nabi Musa dan agama Allah yang benar. Sebaliknya Allah memberi ganjaran yang setimpal kepada Firaun dan kaumnya berupa kebinasaan mereka dan semua apa yang pernah dibangun oleh Firaun, sebagai lambang kesombongannya.

Diantara penderitaan yang pernah dialami Bani Israil adalah dengan membunuh setiap anak lelaki mereka yang lahir, dan membiarkan hidup anak-anak perempuannya. Mereka diwajibkan mengabdi kepada kepentingan Firaun dan kaumnya yang menindas dan memperbudak mereka, dengan memungut pajak-pajak yang sangat tinggi, menjadikan mereka sebagai pekerja-pekerja paksa dan berat, dan berbagai bentuk penindasan dan perbudakan yang lain.

Oleh karena itu, Allah mengutus Nabi Musa untuk membebaskan mereka dari perbudakan Firaun, dan mengeluarkannya dari negeri Mesir. Pada ayat ini diterangkan bahwa setelah pembebasan itu Allah menganugerahkan kepada Bani Israil negeri bagian timur dan bagian baratnya yang telah diberi berkah oleh Allah. Ayat ini adalah sebagai pelaksanaan dari janji Allah dalam firman-Nya:

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan Kami perlihatkan kepada Firaun dan Haman beserta bala tentaranya apa yang selalu mereka takutkan dari mereka. (al-Qashas/28: 5-6)

Adapun yang dimaksud dengan negeri-negeri bagian timur dan bagian baratnya yang telah Kami berkahi dalam firman Tuhan tersebut, ialah negeri Syam (Syria, Libanon, Palestina dan Yordania) bagian timur, dan Mesir bagian barat, serta negeri-negeri sekitar keduanya yang pernah dikuasai Firaun dahulu. Negeri-negeri tersebut adalah negeri yang amat besar dan subur, banyak diberi berkah dan kebaikan, firman Allah:

"Dan Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Lut ke sebuah negeri yang telah Kami berkahi untuk seluruh alam." (al-Anbiya/21: 71)

Dan firman Allah:

"Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) kami." (al-Isra/17: 1)

Dengan selamatnya Bani Israil dan tenggelamnya Firaun dan tentaranya, maka terpenuhilah janji Allah, untuk memberikan pertolongan dan nikmat kepada orang-orang yang menegakkan agama-Nya, menegakkan kebenaran, dan menghancurkan orang-orang yang meruntuhkan agama-Nya dan menghilangkan kebatilan. Dengan demikian sempurnalah janji Allah, yaitu berkuasanya Bani Israil di bagian timur yang subur dan penuh berkah itu. Ini adalah pemberian nikmat yang besar kepada Bani Israil.

Nikmat yang dilimpahkan itu, sesuai dengan keputusan dan ketetapan Allah, karena ketabahan dan kesabaran Bani Israil dalam menghadapi kekejaman dan penindasan Firaun dan kaumnya. Allah telah menghancurkan semua yang dibangun Firaun yang tujuannya untuk menyombongkan diri dan menghancurkan agama Allah, seperti kota-kota dan istana-istana yang indah, bangunan-bangunan yang besar untuk orang Mesir, taman-taman dan kebun-kebun yang permai, menara yang dibuat Haman untuk melihat Tuhan dan sebagainya.

Allah menghancurkan semua yang dibangun oleh Firaun dan kaumnya itu adalah, untuk:

1. Memperkuat kenabian Musa a.s, dan membuktikan kebenaran yang pernah disampaikan Musa kepada Firaun dan kaumnya, seperti perkataan, "Allah akan mengazab setiap orang yang durhaka kepada-Nya. Karena itu Allah mengazab mereka dengan mengirimkan angin topan, hama belalang, dan sebagainya kepada mereka, yang membawa malapetaka dan kerusakan."

2. Membebaskan Bani Israil dari perbudakan Firaun dan kaumnya.

3. Menghancurkan Firaun dan kaumnya, sehingga mereka tidak lagi menjajah negeri-negeri lain dan penduduknya. Sebelum Firaun dan tentaranya tenggelam di Laut Merah, mereka telah diberi peringatan oleh Musa as, tetapi mereka mengabaikan peringatan itu. Kezaliman mereka semakin bertambah, bahkan mereka bermaksud membunuh Musa as dan orang-orang yang beriman bersamanya. Maka Allah menghancurkan mereka karena kezaliman mereka, sesuai dengan firman Allah:

Allah tidak mezalimi mereka, tetapi mereka yang menzalimi diri sendiri. (ali Imran/3: 117)

Dari ayat ini dipahami, bahwa keimanan yang teguh pada diri Musa as dan Harun as serta wahyu yang diterimanya dari Allah mendorongnya untuk membebaskan Bani Israil dari penindasan Firaun dan kaumnya, dengan penuh ketabahan serta kesabaran Nabi Musa mengajak Bani Israil beriman kepada Allah. Ia percaya bahwa usahanya termasuk usaha menegaskan agama Allah dan menegakkan kebenaran akan mendapat pertolongan Allah. Setelah melalui perjuangan yang sangat berat dan waktu yang lama, maka Allah memberikan pertolongan dan kemenangan dengan hancurnya Firaun dan kaumnya.

Hal ini dapat dijadikan tamsil dan ibarat oleh kaum Muslimin, bahwa janji Allah kepada orang beriman adalah sama dengan janji Allah yang pernah dijanjikan-Nya kepada para Rasul dahulu, pada waktu berjuang menegakkan agama Allah yaitu menolong dan membela setiap usaha menegakkan agama Allah, dan menegakkan kebenaran, sebagaimana firman Allah:

Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (Muhammad/47: 7)

Dan firman Allah lagi:

"Dan sungguh, Kami telah mengutus sebelum engkau (Muhammad) beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan merupakan hak Kami untuk menolong orang-orang yang beriman." (ar-Rum/30: 47)

Ayat 138

وَجَاوَزْنَا بِبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ الْبَحْرَ فَاَتَوْا عَلٰى قَوْمٍ يَّعْكُفُوْنَ عَلٰٓى اَصْنَامٍ لَّهُمْ ۚقَالُوْا يٰمُوْسَى اجْعَلْ لَّنَآ اِلٰهًا كَمَا لَهُمْ اٰلِهَةٌ ۗقَالَ اِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ

wa jāwaznā bibanī isrā'īlal-baḥra fa atau ‘alā qaumiy ya‘kufūna ‘alā aṣnāmil lahum, qālū yā mūsaj‘al lanā ilāhan kamā lahum ālihah(tun), qāla innakum qaumun tajhalūn(a).

Dan Kami selamatkan Bani Israil menyeberangi laut itu (bagian utara dari Laut Merah). Ketika mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala, mereka (Bani Israil) berkata, “Wahai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” (Musa) menjawab, “Sungguh, kamu orang-orang yang bodoh.”

Ayat ini menerangkan bahwa dengan inayah (pertolongan) dan kekuasaan Allah, Bani Israil telah diselamatkan sampai ke seberang Laut Qulzum (laut merah) sehingga mereka terlepas dari penindasan Firaun dan kaumnya. Dari ayat ini dipahami, bahwa Musa dan Bani Israil dengan mudah mengarungi laut merah karena pertolongan Allah, bukan karena hal-hal yang lain seperti karena air laut waktu sedang surut dan sebagainya. Peristiwa ini merupakan mukjizat bagi Nabi Musa.

Pada ayat yang lain diterangkan bahwa setelah penindasan Firaun dan kaumnya kepada Bani Israil mencapai puncaknya, maka Allah memerintahkan Musa pergi pada suatu malam meninggalkan Mesir dengan membawa Bani Israil untuk melepaskan diri dari penindasan Firaun. Maka Musa pun melaksanakan semua perintah Tuhan. Setelah mendengar kepergian Musa dan kaumnya, Firaun pun marah, dan dalam waktu yang singkat bala tentaranya dikumpulkan dan langsung mengejar Musa dan Bani Israil malam itu juga. Pada pagi harinya, di kala matahari mulai memancarkan sinarnya, Firaun pun dapat menyusul dari belakang, kedua belah pihak telah saling melihat, sedang Musa dan Bani Israil waktu itu sudah berada di pinggir laut. Mereka dihadapkan pada situasi yang sulit jika terus lari terhalang oleh laut, akan kembali, pedang musuh telah terhunus menanti. Pada saat itulah Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya dengan memerintahkan Musa agar memukulkan tongkatnya ke laut. Musa pun memukulkannya, air laut pun terbelah, dan di antara belahan air itu terdapat jalan membentang sampai ke seberang. Maka Musa dan Bani Israil segera melaluinya, dan dari belakang Firaun dan bala tentaranya terus mengikuti mereka. Akhirnya Musa dan Bani Israil selamat sampai di seberang, sedangkan Firaun dan bala tentaranya yang mencoba meniti jalan yang dilalui Musa dan kaumnya disergap air laut yang tiba-tiba kembali bersatu, jalan yang membentangpun lenyap, sehingga Firaun dan kaumnya mati tenggelam ke dasar laut.

Peristiwa tenggelamnya Firaun dan tentaranya ini, diterangkan pula oleh ayat-ayat yang lain. Allah berfirman:

"Dan sungguh, telah Kami wahyukan kepada Musa, "Pergilah bersama hamba-hamba-Ku (Bani Israil) pada malam hari, dan pukullah (buatlah) untuk mereka jalan yang kering di laut itu, (engkau) tidak perlu takut akan tersusul dan tidak perlu khawatir (akan tenggelam)." Kemudian Firaun dengan bala tentaranya mengejar mereka, tetapi mereka digulung ombak laut yang menenggelamkan mereka." (Taha/20: 77-78)

Kisah tenggelamnya Firaun dan bala tentaranya di laut Qulzum disebutkan pula dalam Perjanjian Lama, Kitab Keluaran XIV: 15-31.

Setelah Musa dan Bani Israil selamat sampai ke seberang laut Qulzum, yaitu daerah sekitar tanah Arab yang terletak di ujung benua Asia di bagian Barat Daya, mereka pun meneruskan perjalanannya. Maka sampailah mereka ke suatu negeri yang penduduknya taat menyembah berhala. Melihat keadaan yang demikian, ingatan mereka kembali kepada adat kebiasaan dan kepercayaan nenek-moyang mereka, yang biasa mereka kerjakan bersama-sama dengan Firaun, seperti menyembah sembahan selain Allah, baik yang berupa binatang, patung, batu, dan sebagainya. Karena itu dengan spontan mereka meminta kepada Nabi Musa, "Hai Musa, buatkanlah untuk kami sebuah berhala, sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan ........".

Dari permintaan Bani Israil kepada Musa a.s, ini dipahami bahwa sekalipun Musa a.s, telah menyampaikan risalahnya dengan sebaik mungkin kepada Bani Israil, namun Bani Israil belum memahami dan menghayati betul agama tauhid yang disampaikan Musa. Adat istiadat dan kepercayaan nenek-moyang mereka, seperti menyembah berhala, masih sangat besar pengaruhnya pada diri mereka, sehingga kepercayaan tauhid yang baru ditanamkan Musa dengan mudah dapat digoyahkan.

Telah diketahui bahwa orang-orang Bani Israil di zaman Firaun termasuk golongan yang rendah dan kurang pengetahuannya. Hampir tidak ada cerdik-cendekiawan berasal dari mereka, semua cendekiawan berasal dari penduduk Mesir asli, turunan bangsawan. Kebanyakan Bani Israil pada waktu itu hidup sebagai rakyat biasa, pekerja-pekerja kasar, bahkan banyak hidup sebagai budak yang dipaksa membangun piramida dan kuburan raja-raja.

Karena keadaan mereka yang demikian, timbul sifat apatis di antara mereka, tidak ada cita-cita untuk membebaskan diri dari perbudakan Firaun, tidak ada keinginan yang kuat untuk merdeka. Tidak ada sikap yang tegas dan cita-cita yang kuat itu pada diri mereka, hal ini terlihat pada reaksi, tindak-tanduk dan sikap mereka dalam menerima ajakan Musa, sedikit saja halangan dan kesulitan yang mereka hadapi, dengan spontan mereka menyatakan rasa putus asa kepada Musa, bahkan menyatakan lebih suka hidup diperbudak dan penindasan Firaun.

Sikap Bani Israil terhadap ajakan Musa a.s, untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka tidak berbeda dengan sikap mereka terhadap ajakan Musa a.s, untuk mengikuti agama yang benar. Sekalipun Nabi Musa telah menerangkan dengan baik dan jelas agama tersebut, sehingga mereka memahami dan mengikutinya, namun begitu mereka melihat patung-patung, orang yang menyembah berhala, orang yang memuja dewa-dewa dan segala macam bentuk kemusyrikan, ingatan mereka kembali kepada kepercayaan mereka terdahulu, karena itu mereka dengan spontan meminta kepada Musa, agar dibuatkan berhala untuk sembahan mereka. Mereka lebih merasa mantap menyembah sesuatu yang dapat dilihat dan diraba, dihiasi dan sebagainya daripada menyembah sesuatu yang gaib, tidak nampak oleh mata dan tidak dapat diraba dengan tangan.

Berbeda dengan pesihir yang beriman kepada Musa, setelah kepandaian ilmu sihirnya dikalahkan oleh mukjizat Musa. Mereka termasuk orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan cerdik-cendekiawan pada waktu itu. Karena itu mereka bisa membedakan sesuatu yang salah dengan yang benar dengan pengetahuan mereka itu, sehingga dapat mengetahui mana tanda-tanda kekuasaan Allah dan mana yang bukan, mana yang dapat dicapai oleh panca indera dan mana yang tak dapat dicapai, dan sebagainya. Karena itu setelah mereka beriman kepada Allah dan Nabi Musa, mereka pun beriman dengan sepenuh hati, tidak dapat digoyahkan oleh keadaan apa pun dan oleh ancaman apa pun, termasuk ancaman Firaun kepada mereka. Iman mereka telah mempunyai landasan yang kokoh, sehingga merupakan keyakinan yang kuat sebagai hasil dari pengetahuan, perasaan, pengalaman, dan apa yang ada pada mereka.

Bani Israil seperti yang diterangkan di atas adalah orang-orang yang tidak mengetahui sifat-sifat Tuhan, tidak mengetahui keharusan menyembah hanya kepada Allah semata dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun tidak mengetahui akan keharusan beribadah langsung ditujukan kepada Allah tanpa mengambil perantara dengan sesuatu pun, seperti patung-patung, bangunan-bangunan, kuburan-kuburan, atau benda-benda yang lain yang mereka jadikan sebagai perantara dalam menyembah Allah. Mereka harus percaya bahwa hanya Allah Yang Maha Esa.

Jenis iman seperti iman Bani Israil yang disebabkan kebodohan dan pengaruh kepercayaan nenek-moyang itu, terdapat juga pada manusia umumnya, dan kaum Muslimin khususnya, serta dijumpai pula pada tiap-tiap periode dalam sejarah, sejak masa Nabi Muhammad sampai kepada zaman mutakhir ini, sebagaimana yang diisyaratkan hadis Nabi saw:

Ahmad dan An-Nasai meriwayatkan dari Abi Waqid Al-Laitsy, ia berkata: "Kami keluar dari Medinah bersama Rasulullah saw menuju perang Hunain, maka kami melalui sebatang pohon sidrah, aku berkata: "Ya Rasulullah jadikanlah bagi kami pohon "dhatu anwath" (pohon yang bisa menjadi gantungan) sebagaimana orang kafir mempunyai "dhatu anwath". Rasulullah menjawab: "(Allah Maha Besar). Permintaanmu ini adalah seperti permintaan Bani Israil kepada Musa: (Jadikanlah bagi kami sebuah sembahan, sebagaimana mereka mempunyai sembahan), sesungguhnya kamu mengikuti kepercayaan orang sebelum kamu." (Riwayat Ahmad dan an-Nasai)

Kenyataan adanya kepercayaan itu diisyaratkan hadis di atas pada masa dahulu dan masa sekarang hendaknya merupakan peringatan bagi kaum Muslimin agar berusaha sekuat tenaga untuk memberi pengertian dan penerangan, sehingga seluruh kaum Muslimin mempunyai akidah dan kepercayaan sesuai dengan yang diajarkan agama Islam. Masih banyak di antara kaum Muslimin yang masih memuja kuburan, mempercayai adanya kekuatan gaib pada batu-batu, pohon-pohon, gua-gua, dan sebagainya. Karena itu mereka memuja dan menyembahnya dengan ketundukan dan kekhusyukan, yang kadang-kadang melebihi ketundukan dan kekhusyukan kepada Allah. Banyak juga di antara kaum Muslimin yang menggunakan perantara washilah dalam beribadah, seakan-akan mereka tidak percaya bahwa Allah Maha dekat kepada hamba-Nya dan bahwa ibadah yang ditujukan kepada-Nya itu akan sampai tanpa perantara. Kepercayaan seperti ini tidak berbeda dengan kepercayaan syirik yang dianut oleh orang-orang Arab Jahiliyah dahulu, kemungkinan yang berbeda hanyalah namanya saja. Kepercayaan seperti ini bertentangan dengan ayat:

"... dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Qaf/50:16)

Dan pengakuan Ibrahim as yang tersebut dalam firman-Nya:

"Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musrik." (al-Anam/6: 79)

Bahkan Allah menegaskan dalam firman-Nya lagi:

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran." (al-Baqarah/2: 186)

Orang yang menyembah suatu sembahan di samping Allah adalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri, seperti firman Allah:

Dan orang yang membenci agama Ibrahim, hanyalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri... (al-Baqarah/2: 130)

Permintaan Bani Israil itu dijawab oleh Nabi Musa: "Sesungguhnya kamu hai Bani Israil tidak mengetahui sifat-sifat Allah, apa yang wajib bagi-Nya dan apa yang mustahil bagi-Nya. Dia adalah Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. "

Agama yang dibawa para rasul Allah sejak zaman dahulu sampai sekarang, yaitu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, sebagai nabi dan rasul penutup adalah agama yang mengakui keesaan Allah dengan sebenar-benarnya, tidak ada di dalamnya unsur syirik sedikit pun juga. Hal ini adalah karena ibadah atau menyembah itu merupakan suatu perasaan yang timbul dari hati sanubari. Perasaan itu menimbulkan ketundukan hati dan jiwa kepada Yang Maha Agung, menumbuhkan keyakinan bahwa dia sajalah yang berhak disembah; sedangkan yang lain adalah makhluk ciptaan-Nya yang sama kedudukannya dengan ciptaan-Nya yang lain. Karena itu menyembah sembahan selain Allah akan merusak ketauhidan yang timbul dari perasaan yang ada dalam diri seorang, dan menunjukkan ketergantungan seseorang kepada sembahan, di samping tergantung kepada Allah. Karena itu Nabi Musa menolak dengan tegas permintaan kaumnya.

Ayat 139

اِنَّ هٰٓؤُلَاۤءِ مُتَبَّرٌ مَّا هُمْ فِيْهِ وَبٰطِلٌ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

inna hā'ulā'i mutabbarum mā hum fīhi wa bāṭilum mā kānū ya‘malūn(a).

Sesungguhnya mereka akan dihancurkan (oleh kepercayaan) yang dianutnya dan akan sia-sia apa yang telah mereka kerjakan.

Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang taat dan tekun menyembah sembahan selain Allah akan dihancurkan dan dibinasakan Allah, dan berhala-berhala yang mereka sembah itu tidak sanggup memberi manfaat dan tidak pula memberi mudarat kepada siapapun. Perbuatan mereka menyembah berhala itu tidak diberi pahala sedikit pun bahkan mereka diberi siksaan yang besar. Ayat ini merupakan obat penawar bagi Nabi Muhammad dan kaum Muslimin yang sedang menghadapi ejekan dan penganiayaan dari kaum musyrik Mekah, karena ayat ini mengisyaratkan kemenangan Nabi Muhammad dan kaum Muslimin dalam waktu dekat dan lenyapnya kepercayaan syirik di jazirah Arab.

Ayat 140

قَالَ اَغَيْرَ اللّٰهِ اَبْغِيْكُمْ اِلٰهًا وَّهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعٰلَمِيْنَ

qāla agairallāhi abgīkum ilāhaw wa huwa faḍḍalakum ‘alal-‘ālamīn(a).

Dia (Musa) berkata, “Pantaskah aku mencari tuhan untukmu selain Allah, padahal Dia yang telah melebihkan kamu atas segala umat (pada masa itu).”

Permintaan Bani Israil agar dibuatkan sembahan selain Allah, dijawab oleh Musa as: "Apakah aku akan membuatkan tuhan selain Allah yang akan kamu sembah, padahal Allah Pencipta alam semesta yang telah menjadikan kamu semua sebagai umat yang utama di masamu dan menjadikan Islam sebagai agama bagimu, yaitu agama tauhid, agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim agama para Nabi dan Rasul yang telah diutus Allah. Kenapa kamu masih mencari agama yang lain?" Ayat ini menyatakan bahwa permintaan Bani Israil adalah permintaan yang aneh dan mengherankan, karena mereka telah diberi sesuatu yang baik, yaitu agama tauhid, kemudian mereka hendak menukarnya dengan yang jelek, yaitu agama syirik.

Ayat 141

وَاِذْ اَنْجَيْنٰكُمْ مِّنْ اٰلِ فِرْعَوْنَ يَسُوْمُوْنَكُمْ سُوْۤءَ الْعَذَابِۚ يُقَتِّلُوْنَ اَبْنَاۤءَكُمْ وَيَسْتَحْيُوْنَ نِسَاۤءَكُمْۗ وَفِيْ ذٰلِكُمْ بَلَاۤءٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ عَظِيْمٌ ࣖ

wa iż anjainākum min āli fir‘auna yasūmūnakum sū'al-‘ażāb(i), yuqattilūna abnā'akum wa yastaḥyūna nisā'akum wa fī żālikum balā'um mir rabbikum ‘aẓīm(un).

Dan (ingatlah wahai Bani Israil) ketika Kami menyelamatkan kamu dari (Fir‘aun) dan kaumnya, yang menyiksa kamu dengan siksaan yang sangat berat, mereka membunuh anak-anak laki-lakimu dan membiarkan hidup anak-anak perempuanmu. Dan pada yang demikian itu merupakan cobaan yang besar dari Tuhanmu.

Pada ayat ini Allah mengingatkan kepada Bani Israil yang ingin dibuatkan tuhan selain Allah itu, bahwa mereka telah diberi nikmat yang berlimpah berupa diutusnya Nabi Musa kepada mereka, untuk melepaskan mereka dari belenggu penindasan dan perbudakan Firaun yang telah membunuh setiap anak lelaki mereka yang lahir, dan membiarkan hidup anak perempuan mereka dengan maksud agar Bani Israil tetap dalam keadaan lemah dan tetap dalam perbudakan untuk ditindas selama-lamanya. Hendaknya segala macam cobaan dan pengalaman-pengalaman yang pahit itu dapat dijadikan pelajaran dengan mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Kuasa dan berusaha setiap waktu agar pengalaman-pengalaman itu tidak terulang lagi.

Ayat 142

۞ وَوٰعَدْنَا مُوْسٰى ثَلٰثِيْنَ لَيْلَةً وَّاَتْمَمْنٰهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيْقَاتُ رَبِّهٖٓ اَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً ۚوَقَالَ مُوْسٰى لِاَخِيْهِ هٰرُوْنَ اخْلُفْنِيْ فِيْ قَوْمِيْ وَاَصْلِحْ وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيْلَ الْمُفْسِدِيْنَ

wa wā‘adnā mūsā ṡalāṡīna lailataw wa atmamnāhā bi‘asyrin fa tamma mīqātu rabbihī arba‘īna lailah(tan), wa qāla mūsā li'akhīhi hārūnakhlufnī fī qaumī wa aṣliḥ wa lā tattabi‘ sabīlal-mufsidīn(a).

Dan Kami telah menjanjikan kepada Musa (memberikan Taurat) tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan Musa berkata kepada saudaranya (yaitu) Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah (dirimu dan kaummu), dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Ayat ini menerangkan peristiwa turunnya Kitab Taurat kepada Nabi Musa. Allah telah menetapkan janji-Nya kepada Nabi Musa bahwa Dia akan menurunkan wahyu kepadanya yang berisikan pokok-pokok agama dan pokok-pokok hukum yang menjadi pedoman bagi Bani Israil dalam usaha mereka mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Waktu penurunan wahyu yang dijanjikan itu selama tiga puluh malam di gunung Sinai, kemudian ditambah sepuluh malam lagi sehingga menjadi empat puluh malam.

Mengenai turunnya Kitab Taurat kepada Nabi Musa diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, waktu menafsirkan ayat ini, bahwa Musa berkata kepada kaumnya, "Sesungguhnya Tuhanku (Allah) menjanjikan kepadaku tiga puluh malam. Aku akan menemui-Nya dan aku jadikan Harun untuk mengurusimu." Maka setelah Musa sampai ke tempat yang dijanjikan, yaitu pada bulan ¨ulkaidah dan sepuluh malam bulan ¨ulhijjah, lalu Musa menetap dan menunggu di atas bukit Sinai selama empat puluh malam, dan Allah menurunkan kepadanya Taurat dalam bentuk kepingan-kepingan bertulis, Allah mendekatkan Musa kepada-Nya untuk diajak bicara. Sesudah itu berbicaralah Allah, dan Musa pun mendengar bunyi getaran pena.

Dari kedua riwayat ini dapat diambil kesimpulan, bahwa Musa a.s pergi ke bukit Sinai sendirian, tak ada yang menemani, dalam arti kata ia memisahkan diri dari kaumnya Bani Israil. Sepeninggal Musa a.s. Bani Israil terpengaruh oleh ajakan Samiri, sehingga mereka ikut menyembah patung anak sapi.

Sebelum Musa a.s. berangkat ke tempat yang telah ditentukan Allah untuk menerima Taurat, ia menyerahkan pimpinan kaumnya kepada saudaranya Harun a.s, dan menyatakan Harun sebagai wakilnya, mengurus kepentingan-kepentingan Bani Israil selama ia pergi, Musa memperingatkan agar Harun jangan mengikuti kemauan dan pendapat orang yang sesat dan suka berbuat kerusakan.

Harun adalah saudara tua Musa a.s. dan diangkat oleh Allah sebagai Rasul dan Nabi. Pada ayat yang lain disebutkan bahwa Musa sebelum menghadapi Firaun berdoa kepada Allah agar Harun diangkat sebagai wazirnya, karena lidahnya lebih petah (fasih) dibanding dengan lidah Musa.

Allah berfirman:

Dan jadikankanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah kekuatanku dengan (adanya) dia, dan jadikanlah dia teman dalam urusanku. (thaha/20: 29-30-31-32)

Ayat 143

وَلَمَّا جَاۤءَ مُوْسٰى لِمِيْقَاتِنَا وَكَلَّمَهٗ رَبُّهٗۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِيْٓ اَنْظُرْ اِلَيْكَۗ قَالَ لَنْ تَرٰىنِيْ وَلٰكِنِ انْظُرْ اِلَى الْجَبَلِ فَاِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهٗ فَسَوْفَ تَرٰىنِيْۚ فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهٗ لِلْجَبَلِ جَعَلَهٗ دَكًّا وَّخَرَّ مُوْسٰى صَعِقًاۚ فَلَمَّآ اَفَاقَ قَالَ سُبْحٰنَكَ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُؤْمِنِيْنَ

wa lammā jā'a mūsā limīqātinā wa kallamahū rabbuh(ū), qāla rabbi arinī anẓur ilaik(a), qāla lan tarānī wa lākininẓur ilal-jabali fa inistaqarra makānahū fa saufa tarānī, falammā tajallā rabbuhū lil-jabali ja‘alahū dakkaw wa kharra mūsā ṣa‘iqā(n), falammā afāqa qāla subḥānaka tubtu ilaika wa ana awwalul-mu'minīn(a).

Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” (Allah) berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) kepada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.”

Ayat ini menerangkan, manakala Musa as sampai ke tempat dan waktu yang dijanjikan Allah untuk menerima wahyu, Allah telah menyampaikan wahyu-Nya secara langsung tanpa perantara, maka timbul pada diri Musa keinginan untuk memperoleh kemuliaan lain di samping kemuliaan berkata-kata langsung dengan Allah yang baru saja diterimannya. Keinginan itu ialah mendapat kemuliaan melihat Allah dengan jelas, lalu Musa berkata, "Ya Tuhanku, perlihatkanlah zat Engkau yang suci dan berilah aku kekuatan untuk dapat melihat Engkau dengan jelas, karena aku tidak sanggup melihat dan mengetahui Engkau dengan sempurna. Allah menjawab, "Hai Musa kamu tidak akan dapat melihat-Ku." Dalam hadis Nabi saw, disebutkan:

"Dari Abu Musa, ia berkata: Rasulullah saw bersabda, "Hijab (pembatas) Allah ialah nur (cahaya). Sekiranya nur itu disingkapkan niscaya keagungan sinar wajahnya akan membakar seluruh makhluk yang sampai pandangan Tuhan kepadanya." (Riwayat Muslim)

Selanjutnya Allah berkata kepada Musa, "Melihatlah ke bukit, jika bukit itu tetap kokoh dan kuat seperti sediakala setelah melihat-Ku, tentulah kamu dapat pula melihat-Ku, karena kamu dan gunung itu adalah sama-sama makhluk ciptaan-Ku. Tetapi jika bukit yang kokoh dan kuat itu tidak tahan dan hancur setelah melihat-Ku bagaimana pula kamu dapat melihat-Ku. Karena seluruh makhluk yang aku ciptakan tidak mampu dan tidak sanggup untuk melihat-Ku."

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Ketika Musa as memohon kepada Tuhannya, "Perlihatkanlah zat Engkau kepadaku" Allah menjawab: "Kamu sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku." Kemudian Allah menegaskan lagi, "Kamu tidak akan dapat melihat-Ku untuk selama-lamanya hai Musa." Tidak seorang pun yang sanggup melihat-Ku, lalu sesudah itu ia tetap hidup." Akhirnya Allah berkata, "Melihatlah ke bukit yang tinggi lagi besar itu, jika bukit itu tetap di tempatnya, tidak bergoncang dan hancur, tentulah ia melihat kebesaran-Ku, mudah-mudahan kamu dapat melihatnya pula, sedangkan kamu benar-benar lemah dan rendah. Sesungguhnya gunung itu berguncang dan hancur bagaimana pun juga kuat dan dahsyatnya, sedang kamu lebih lemah dan rendah."

Ada beberapa pendapat mufassir tentang yang dimaksud dengan ayat: "Ketika Tuhannya menampakkan diri kepada gunung-gunung itu" sebagian mufassir mengatakan bahwa yang nampak bagai gunung itu ialah zat Allah. Bagaimana pun juga pendapat para mufassir, namun nampaknya Allah itu bukanlah seperti nampaknya makhluk. Namun penampakan Tuhan tidak sama dengan penampakan manusia sesuai dengan sifat-sifat Allah yang tidak dapat diukur dengan ukuran manusia.

Setelah Musa as, sadar dari pingsannya, dan sadar pula bahwa ia telah meminta kepada Allah sesuatu yang dapat membahayakan dirinya, ia merasa telah berbuat dosa, karena itu ia memohon dan berdoa kepada Allah, Maha Suci Engkau, "Ya Tuhanku, aku berdosa karena meminta sesuatu kepada Engkau yang di luar batas kemampuanku menerimanya, karena itu aku bertaubat kepada Engkau dan tidak akan mengulangi kesalahan seperti yang telah lalu itu, dan aku termasuk orang-orang yang pertama beriman kepada-Mu."

Mujahid berkata, "Tubtu ilaika" (Aku bertaubat kepada Engkau), maksudnya ialah: Aku bertaubat kepada Engkau, karena aku telah memohon kepada Engkau agar dapat melihat zat Engkau, "wa ana awwalul muminin", (Aku orang yang pertama beriman kepada Engkau) maksudnya aku adalah orang Bani Israil yang pertama beriman kepada Engkau. Sedang dalam suatu riwayat yang lain dari Ibnu Abbas, ialah orang yang pertama-tama beriman dan tidak seorang pun yang dapat melihat Engkau (di dunia).

Ayat 144

قَالَ يٰمُوْسٰٓى اِنِّى اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسٰلٰتِيْ وَبِكَلَامِيْ ۖفَخُذْ مَآ اٰتَيْتُكَ وَكُنْ مِّنَ الشّٰكِرِيْنَ

qāla yā mūsā inniṣṭafaituka ‘alan-nāsi birisālātī wa bikalāmī, fa khuż mā ātaituka wa kum minasy-syākirīn(a).

(Allah) berfirman, “Wahai Musa! Sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) engkau dari manusia yang lain (pada masamu) untuk membawa risalah-Ku dan firman-Ku, sebab itu berpegang-teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur.”

Selanjutnya Allah menerangkan bahwa Dia telah memilih Musa di antara manusia yang ada di zaman-Nya dengan memberikan karunia yang tidak diberikannya kepada manusia lainnya, yaitu mengangkat Musa sebagai Nabi dan Rasul, memberinya kesempatan langsung berbicara dengan Allah, sekali pun dibatasi oleh suatu yang membatasinya antara Allah dan Musa.

Di dalam Al-Quran disebutkan cara Allah menyampaikan wahyu kepada para Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah:

Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantara wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha tinggi, Mahabijaksana. (Asy-Syura/42: 51)

Jadi menurut ayat ini ada tiga macam cara Allah menyampaikan wahyu kepada para Rasul-Nya yaitu:

1.Dengan mewahyukan kepada Rasul yang bersangkutan, yaitu dengan menanamkan suatu pengertian ke dalam hati seseorang yang diturunkan wahyu kepadanya.

2.Berbicara langsung dengan memakai pembatas yang membatasi antara Allah dan hamba yang diajak berbicara. Cara yang kedua inilah yang dialami oleh Musa dalam menerima wahyu, sehingga ia dikenal dengan kalimullah.

3. Dengan perantaraan malaikat Jibril as. Al-Quran disampaikan melalui cara ini.

Mengenai persoalan dapatkah manusia melihat Allah dengan nyata, maka jika dipahami ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1.Mustahil manusia melihat Allah selama mereka hidup di dunia, sebagaimana ditegaskan Allah kepada Nabi Musa as.

2.Orang-orang yang beriman dapat melihat Allah di akhirat nanti, sesuai dengan :

a. Firman Allah :

"Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Memandang Tuhannya." (Al-Qiyamah/75:22-23)

Dari ayat ini dipahami bahwa "melihat Tuhan" pada hari Kiamat itu termasuk nikmat yang diberikan Allah kepada orang-orang yang beriman, karena itu mereka selalu mengharap-harapkannya.

b. Sabda Rasulullah saw :

Sesungguhnya manusia berkata (kepada Rasulullah saw), "Ya Rasulullah adakah kita melihat Tuhan kita pada hari Kiamat nanti?" Rasulullah menjawab, "Adakah yang menghalangi kalian melihat bulan pada bulan purnama?" Mereka berkata, "Tidak, ya Rasulullah." Rasulullah berkata, "Maka sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan seperti melihat bulan purnama itu." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

c. Semua yang wujudnya dapat dilihat. Hanyalah yang tidak ada wujudnya yang tidak dapat dilihat. Tuhan adalah wajibul wujud, karena itu Tuhan dapat dilihat jika ia menghendaki-Nya. Dalam pada itu Tuhan melihat segala yang ada, termasuk melihat diri-Nya sendiri. Kalau Tuhan dapat melihat diri-Nya tentu Dia berkuasa pula menjadikan manusia melihat diri-Nya jika Dia menghendaki.

Pada potongan ayat berikutnya Nabi Musa dan kaumnya diperintahkan untuk menerima kitab suci yang Allah turunkan, dan syariat yang harus dijalankan untuk dijadikan pegangan hidup dan diamalkan di dunia. Hanya dengan cara inilah mereka baru bisa dianggap sebagai orang yang bersyukur dan menghargai pemberian nikmat Allah.

Ayat 145

وَكَتَبْنَا لَهٗ فِى الْاَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَّوْعِظَةً وَّتَفْصِيْلًا لِّكُلِّ شَيْءٍۚ فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ وَّأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوْا بِاَحْسَنِهَا ۗسَاُورِيْكُمْ دَارَ الْفٰسِقِيْنَ

wa katabnā lahū fil-alwāḥi min kulli syai'im mau‘iẓataw wa tafṣīlal likulli syai'(in), fa khużhā biquwwatiw wa'mur qaumaka ya'khużū bi'aḥsanihā, sa'urīkum dāral-fāsiqīn(a).

Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada lauh-lauh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan untuk segala hal; maka (Kami berfirman), “Berpegangteguhlah kepadanya dan suruhlah kaummu berpegang kepadanya dengan sebaik-baiknya, Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang fasik.”

Allah menerangkan dalam ayat ini bahwa Dia telah menurunkan kepada Nabi Musa as, beberapa keping lauh yang berisi petunjuk-petunjuk dan pengajaran-pengajaran, janji dan ancaman pokok-pokok agama, berupa pokok-pokok akidah, budi pekerti dan hukum-hukum.

Pendapat para ahli berbeda-beda tentang yang dimaksud dengan lauh itu termasuk bagian Kitab Taurat, dan ada yang berpendapat bahwa lauh diturunkan sebelum Kitab Taurat diturunkan. Dari berbagai pendapat itu yang kuat ialah pendapat yang mengatakan bahwa lauh itu adalah wahyu yang pertama diturunkan kepada Musa as, karena itu ia memuat hukum-hukum, akidah, dan keterangan-keterangan yang bersifat umum dan global. Kemudian diturunkan wahyu lain untuk menjelaskan secara berangsur-angsur sesuai dengan keperluan, keadaan masa, dan tempat.

Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang jumlah lauh yang diturunkan kepada Nabi Musa as. Ada yang mengatakan sepuluh dan sebagainya. Tidak ada nash yang tegas menerangkan jumlah lauh yang diturunkan itu.

Allah memerintahkan agar Musa berpegang teguh dengan pokok-pokok agama yang telah diturunkan kepadanya, melaksanakan segala petunjuk-petunjuk dan hukum-hukumnya, agar berbahagia hidup di dunia dan di akhirat nanti. Dan Allah memerintahkan agar Musa dan kaumnya berpegang teguh kepada ajaran-ajaran, petunjuk-petunjuk, dan hukum-hukum yang ada di dalam lauh itu. Sehingga Bani Israil akan baik budi-pekertinya, baik ibadahnya, dan tertutuplah pintu-pintu syirik. Jika kamu dan kaummu tidak mengambil dan memegang teguh apa yang telah Kami turunkan dengan sesungguhnya, maka kamu akan menjadi fasik, seperti yang telah dialami oleh kaum ad, samud, dan kaum Firaun dan sebagainya, atau Kami akan memperlihatkan kelak apa yang dialami orang-orang yang tidak mau taat kepada-Ku.

Dari ayat-ayat di atas dapat diambil beberapa iktibar (pelajaran) sebagai berikut:

1.Wajib menyampaikan ajaran rasul dengan sungguh-sungguh, sesuai dengan risalah yang dibawa Rasul, agar dengan demikian tercapailah pembentukan umat yang baru, penuh kedamaian di bawah lindungan Tuhan Yang Maha Pengampun. Hal ini dapat dilihat pada perbuatan Rasulullah saw, sendiri. Beliau merupakan suri teladan bagi umatnya dalam mengamalkan perintah-perintah Allah. Hal ini dapat dilihat pada perkataan, perbuatan dan tindakannya. Karena itu orang Arab tertarik kepada agama yang dibawanya, sehingga dalam waktu yang sangat pendek, penduduk Jazirah Arab telah menganut agama Islam. Cara-cara yang dilakukan oleh Rasulullah ini telah dilakukan pula oleh para sahabat dan beberapa khalifah yang terkenal dalam sejarah, maka mereka pun telah berhasil sebagaimana Rasulullah telah berhasil. Dalam pada itu ada pula di antara kaum Muslimin yang telah berbuat kesalahan.

2. Kita lihat dalam sejarah bahwa Bani Israil menjadi bangsa yang besar dan berkuasa di saat mereka melaksanakan dengan baik agama Allah, dan mereka menjadi bangsa terjajah, hidup sengsara di saat mereka memandang enteng dan mengingkari agama Allah.

3.Demikianlah halnya kaum Muslimin, menjadi kuat dan besar di saat mereka melaksanakan dengan baik agama Allah, di saat timbul persaudaraan yang kuat sesama kaum Muslimin, dan mereka menjadi lemah di saat mereka tidak mengacuhkan lagi agama Allah.

Ayat 146

سَاَصْرِفُ عَنْ اٰيٰتِيَ الَّذِيْنَ يَتَكَبَّرُوْنَ فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّۗ وَاِنْ يَّرَوْا كُلَّ اٰيَةٍ لَّا يُؤْمِنُوْا بِهَاۚ وَاِنْ يَّرَوْا سَبِيْلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوْهُ سَبِيْلًاۚ وَاِنْ يَّرَوْا سَبِيْلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوْهُ سَبِيْلًاۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَكَانُوْا عَنْهَا غٰفِلِيْنَ

sa'aṣrifu ‘an āyātiyal-lażīna yatakabbarūna fil-arḍi bigairil-ḥaqq(i), wa iy yarau kulla āyatil lā yu'minū bihā, wa iy yarau sabīlar-rusydi lā yattakhiżūhu sabīlā(n), wa iy yarau sabīlal-gayyi yattakhiżūhu sabīlā(n), żālika bi'annahum każżabū bi'āyātinā wa kānū ‘anhā gāfilīn(a).

Akan Aku palingkan dari tanda-tanda (kekuasaan-Ku) orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar. Kalaupun mereka melihat setiap tanda (kekuasaan-Ku) mereka tetap tidak akan beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak (akan) menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka menempuhnya. Yang demikian adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lengah terhadapnya.

Allah akan memalingkan hati orang-orang yang takabur, menyombongkan diri untuk memahami bukti-bukti dan dalil-dalil yang dibawa para rasul, terutama yang berhubungan dengan kekuasaan dan kebesaran Allah, dan memalingkan pula hati mereka untuk melaksanakan agama Allah dan mengikuti petunjuk ke jalan yang benar. Hal ini sesuai pula dengan firman Allah:

"Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik." (Ash-shaff/61: 5)

Takabur menurut bahasa berarti, "menganggap dirinya besar", atau "merasa agung". Yang dimaksud oleh ayat ini ialah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. Perangai dan sifat seorang yang takabur itu memandang enteng orang lain, seakan-akan dia sajalah yang pandai, yang berkuasa, yang menentukan terjadinya segala sesuatu dan sebagainya. Karena itu dalam tindak-tanduknya ia mudah melakukan perbuatan yang melampaui batas, berbuat sewenang-wenang dan suka berbuat kerusakan.

Dalam ayat ini sifat takabur itu digandengkan dengan perkataan "bigairil haq" tanpa alasan yang benar. Hal ini menunjukkan sikap dan tindakan orang yang takabur itu dilakukan tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan yang semata-mata dilakukan untuk memuaskan hawa-nafsu sendiri, sekali pun merugikan orang lain.

Takabur adalah penyakit jiwa yang diakibatkan oleh kesalahan dalam menilai dan menerima sesuatu. Kadang-kadang keberhasilan seseorang yang terus menerus dalam usahanya dapat juga menimbulkan sifat takabur, sehingga timbul keyakinan yang berlebihan pada dirinya sendiri, bahwa apa saja yang dicita-citakannya dan direncanakannya pasti tercapai dan berhasil. Merasa yakin akan kemampuan diri sendiri, ini akhirnya menimbulkan keyakinan bahwa dirinya tidak tergantung kepada siapa pun, juga tidak tergantung kepada Allah.

Dalam ayat ini diterangkan sifat-sifat orang yang takabur itu, yaitu:

1.Jika mereka melihat bukti-bukti kekuasaan dan kebesaran Allah, atau membaca ayat-ayat Allah, mereka tidak mempercayainya dan tidak mau mengambil iktibar serta pelajaran dari padanya. Dalil-dalil, bukti-bukti kekuasaan dan keesaan Allah serta ayat-ayat Al-Quran yang mengandung kebenaran mereka tolak. Dalil-dalil dan bukti-bukti itu tidak berfaedah bagi orang yang ragu-ragu dan tidak menginginkan kebenaran, karena ia merasa bahwa kebenaran itu sendiri akan membatasi dan menghalangi mereka dari perbuatan sewenang-wenang, sehingga cita-cita dan keinginan mereka tidak terkabul. Ayat ini merupakan isyarat bagi Nabi Muhammad saw, bahwa orang-orang musyrik dan kafir yang memperolok-olokkannya serta mendustakan Al-Quran dan mengadakan kekacauan dengan mencari-cari kesalahan dan kelemahan ayat-ayat Al-Quran dan memutarbalikkan isinya dan kebenaran Al-Quran. Seandainya Nabi Muhammad mau mengikuti tuntutan mereka yang merupakan syarat beriman mereka kepadanya, mereka tetap tidak akan beriman sekali pun tuntutan mereka telah dipenuhi.

2.Jika melihat petunjuk dan jalan yang benar, mereka tidak mau mengikutinya, bahkan mereka menghindar dan menjauh padahal jalan itulah yang paling baik dan satu-satunya jalan yang dapat membawa mereka ke tempat yang penuh kebahagiaan.

3.Jika melihat jalan yang menuju kepada kesengsaraan, mereka mengikutinya, karena jalan itu telah dijadikan oleh setan dalam pikirannya sebagai yang paling baik dan indah. Mereka merasa dengan menempuh jalan itu segala keinginan dan hawa-nafsu mereka pasti akan terpenuhi. Menurut keyakinan mereka itulah surga yang dicita-citakan.

Pada akhir ayat ini diterangkan apa sebab hati mereka dipalingkan Allah, sehingga mereka tidak mau mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah, karena mereka telah mendustakan ayat-ayat Allah.

Telah menjadi hukum Allah, bahwa sering mengerjakan suatu pekerjaan, menyebabkan pekerjaan itu semakin mudah dikerjakan bahkan akhirya antara pekerjaan dengan orang-orang yang mengerjakannya menjadi satu, seakan-akan tidak dapat dipisahkan lagi. Demikian pula halnya antara perbuatan jahat dengan orang yang selalu mengerjakannya, tidak ada perbedaannya, sehingga akhirnya antara orang itu dengan perbuatan yang jahat yang dikerjakannya telah menjadi satu dan telah bersenyawa dengannya.

Karena itu pada hakikatnya bukanlah Allah yang memalingkan dan mengunci hati seseorang yang sesat itu, tetapi orang-orang yang sesat itu sendiri. Sesungguhnya Allah tidaklah menciptakan manusia sejak lahir menjadi orang yang beriman atau menjadi orang yang kafir dan Dia tidak pula memaksa hambanya menjadi kafir atau beriman, tetapi seseorang menjadi beriman atau menjadi kafir atas usahanya sendiri. Mereka sendirilah yang memilih dan berusaha menjadi orang yang beriman dengan mengikuti petunjuk dan ajaran agama dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhkan larangan-Nya. Ia selalu memperhatikan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah sehingga iman mereka bertambah lama bertambah kuat. Sebaliknya manusia itu sendirilah yang berusaha dan memilih jalan yang sesat atau menjadi orang yang kafir dengan mendustakan ayat-ayat Allah, meremehkan dan mengacuhkan ayat-ayat Allah, agar mereka dapat memuaskan keinginan dan hawa nafsu. Oleh karena perbuatan dosa itu selalu mereka kerjakan, maka perbuatan itu telah bersatu dengan dirinya, sehingga kebenaran apa pun yang datang selalu ditolak, seolah-olah hati mereka telah terkunci mati, telah berpaling dari kebenaran. Contoh ini disebutkan dalam firman Allah swt:

Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (al-Araf/7: 179)

Perilaku orang seperti diterangkan ayat di atas banyak terdapat dalam masyarakat sepanjang sejarah hidup manusia. Mereka adalah orang yang sangat terpengaruh oleh kehidupan duniawi, seperti pangkat, kekuasaan, harta, kesenangan, dan sebagainya, mereka selalu memperturutkan hawa nafsunya. Mereka lupa dan sengaja melupakan ajaran-ajaran agama, baik yang berhubungan dengan pelaksanaan perintah-perintah Allah maupun larangan-larangan-Nya. Jika disampaikan kepada mereka ajaran Allah, maka mereka melaksanakannya sekadar mencari simpati, sehingga dengan demikian nafsu dan keinginan mereka lebih mudah terpenuhi.

Ayat 147

وَالَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَلِقَاۤءِ الْاٰخِرَةِ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْۗ هَلْ يُجْزَوْنَ اِلَّا مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ࣖ

wal-lażīna każżabū bi'āyātinā wa liqā'il-ākhirati ḥabiṭat a‘māluhum, hal yujzauna illā mā kānū ya‘malūn(a).

Dan orang-orang yang mendustakan tanda-tanda (kekuasaan) Kami dan (mendustakan) adanya pertemuan akhirat, sia-sialah amal mereka. Mereka diberi balasan sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.

Orang yang mendustakan ayat-ayat Allah yang telah diturunkan kepada Rasul-Nya, tidak mempercayai akan adanya pertemuan dengan Allah pada hari akhir nanti, tidak percaya akan adanya pembalasan yang akan diberikan pada hari itu. Maka segala amal baik yang telah mereka kerjakan di dunia tidak akan diberi pahala oleh Allah, karena perbuatan itu tidak dilandasi oleh keinginan mencari keridaan Allah, dan Allah tidak menganiaya sedikit pun, mereka akan disiksa sesuai dengan perbuatan dosa yang telah mereka kerjakan.

Ayat 148

وَاتَّخَذَ قَوْمُ مُوْسٰى مِنْۢ بَعْدِهٖ مِنْ حُلِيِّهِمْ عِجْلًا جَسَدًا لَّهٗ خُوَارٌۗ اَلَمْ يَرَوْا اَنَّهٗ لَا يُكَلِّمُهُمْ وَلَا يَهْدِيْهِمْ سَبِيْلًاۘ اِتَّخَذُوْهُ وَكَانُوْا ظٰلِمِيْنَ

wattakhaża mūsā mim ba‘dihī min ḥuliyyihim ‘ijlan jasadal lahū khuwār(un), alam yarau annahū lā yukallimuhum wa lā yahdīhim sabīlā(n), ittakhażūhu wa kānū ẓālimīn(a).

Dan kaum Musa, setelah kepergian (Musa ke Gunung Sinai) mereka membuat patung anak sapi yang bertubuh dan dapat melenguh (bersuara) dari perhiasan (emas). Apakah mereka tidak mengetahui bahwa (patung) anak sapi itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sembahan). Mereka adalah orang-orang yang zalim.

Bani Israil telah menyembah patung anak sapi selama kepergian Musa ke Bukit Sinai menerima wahyu dari Allah. Patung anak sapi itu dibuat oleh Samiri (20: 85,87). Samiri membuat patung itu atas anjuran para pemuka Bani Israil, padahal ia manusia yang patuh dan taat serta mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat.

Nama Samiri disebutkan dalam Firman Allah swt:

Dia (Allah) berfirman, "sungguh, Kami telah menguji kaummu setelah engkau tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri." (thaha/20: 85)

Patung anak sapi itu dibuat dari emas, yang berasal dari emas perhiasan wanita-wanita Mesir yang dipinjam oleh wanita-wanita Bani Israil yang dibawanya waktu mereka meninggalkan negeri Mesir itu. Emas perhiasan itu dilebur dan dibentuk oleh Samiri menjadi patung anak sapi. Menurut ath-thabari emas-emas itu dipinjam dari gelang emas tanda perbudakan Bani Israil oleh penduduk asli Mesir. (Tafsir selengkapnya lihat surah Taha/20: 85)

Keinginan Bani Israil menyembah patung anak sapi sebagai tuhan selain Allah ini adalah pengaruh dari kebiasaan mereka di Mesir dahulu. Sebetulnya nenek-moyang mereka adalah orang-orang muwahhidin (ahli tauhid) karena mereka adalah keturunan Nabi Yaqub. Akan tetapi setelah bergaul dengan orang Mesir, maka gejala-gejala wasaniyah (menyembah selain Allah) itu menular kepada mereka. Ibadah wasaniyah ini telah mendarah daging dalam diri mereka selalu timbul keinginan mereka hendak melakukan kebiasaan tersebut.

Patung anak sapi yang disembah sebagai tuhan oleh Bani Israil itu, berupa patung anak sapi yang dibentuk sedemikian rupa, sehingga jika ditiupkan angin ke dalamnya ia akan dapat bersuara.

Suara dari patung anak sapi itu keluar adalah karena masuknya angin ke dalam rongga mulut dan keluar dari lubang yang lain, sehingga menimbulkan suara. Hal ini dapat dibuat dengan memasukkan alat semacam pipa yang dapat berbunyi dalam rongga patung anak sapi itu. Jika pipa itu dihembus angin, maka berbunyilah patung anak sapi itu seperti bunyi anak sapi sebenarnya. Karena hal seperti itu dipandang aneh oleh Bani Israil, maka dengan mudah timbul kepercayaan pada diri mereka bahwa patung anak sapi itu berhak disembah, sebagaimana halnya menyembah Allah.

Allah mencela perbuatan Bani Israil yang lemah iman itu, yang tidak dapat membedakan antara Tuhan yang berhak disembah dengan sesuatu yang ganjil yang baru pertama kali mereka lihat dan ketahui. Mereka tidak dapat membedakan antara Tuhan yang menurunkan wahyu kepada para Rasul dan makhluk Tuhan yang hanya dapat bersuara. Jika mereka mau berpikir kemampuan diri mereka sendiri mungkin lebih baik, dan lebih mampu berbicara dari patung anak sapi itu.

Bani Israil berbuat demikian itu bukanlah berdasar sesuatu dalil yang kuat, mereka berbuat demikian hanyalah karena pengaruh adat kebiasaan nenek-moyang mereka yang ada di Mesir dahulu yang menyembah anak sapi. Padahal kepada mereka telah diturunkan bukti-bukti yang nyata, seperti membelah laut, tongkat menjadi ular dan sebagainya. Karena mereka tidak mau memperhatikan bukti-bukti dan dalil-dalil, mereka mengingkari Allah, yang berakibat buruk pada diri mereka sendiri. (lihat surah thaha ayat 85-87)

Ayat 149

وَلَمَّا سُقِطَ فِيْٓ اَيْدِيْهِمْ وَرَاَوْا اَنَّهُمْ قَدْ ضَلُّوْاۙ قَالُوْا لَىِٕنْ لَّمْ يَرْحَمْنَا رَبُّنَا وَيَغْفِرْ لَنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

wa lammā suqiṭa fī aidīhim wa ra'au annahum qad ḍallū, qālū la'il lam yarḥamnā rabbunā wa yagfir lanā lanakūnanna minal-khāsirīn(a).

Dan setelah mereka menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa telah sesat, mereka pun berkata, “Sungguh, jika Tuhan kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang rugi.”

Akhirnya Bani Israil menyadari bahwa perbuatan mereka menyembah patung anak sapi adalah perbuatan yang sesat karena mempersekutukan Allah. Karena itu mereka pun menyesali perbuatan itu dan berkata: "Sesungguhnya dosa kami sangat besar dan demikian pula kedurhakaan dan keingkaran kami, tidak akan dapat melepaskan dari dosa perbuatan ini, kecuali rahmat Allah dan ampunan-Nya. Seandainya Tuhan tidak mengasihi kami dengan menerima tobat kami pastilah kami menjadi orang yang merugi di dunia dan di akhirat mendapat azab yang pedih".

Ayat 150

وَلَمَّا رَجَعَ مُوْسٰٓى اِلٰى قَوْمِهٖ غَضْبَانَ اَسِفًاۙ قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُوْنِيْ مِنْۢ بَعْدِيْۚ اَعَجِلْتُمْ اَمْرَ رَبِّكُمْۚ وَاَلْقَى الْاَلْوَاحَ وَاَخَذَ بِرَأْسِ اَخِيْهِ يَجُرُّهٗٓ اِلَيْهِ ۗقَالَ ابْنَ اُمَّ اِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُوْنِيْ وَكَادُوْا يَقْتُلُوْنَنِيْۖ فَلَا تُشْمِتْ بِيَ الْاَعْدَاۤءَ وَلَا تَجْعَلْنِيْ مَعَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَ

wa lammā raja‘a mūsā ilā qaumihī gaḍbāna asifā(n), qāla bi'samā khalaftumūnī mim ba‘dī, a‘ajiltum amra rabbikum, wa alqal-alwāḥa wa akhaża bira'si akhīhi yajurruhū ilaih(i), qālabna umma innal-qaumastaḍ‘afūnī wa kādū yaqtulūnanī, falā tusymit biyal-a‘dā'a wa lā taj‘alnī ma‘al-qaumiẓ-ẓālimīn(a).

Dan ketika Musa telah kembali kepada kaumnya, dengan marah dan sedih hati dia berkata, “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan selama kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu?” Musa pun melemparkan lauh-lauh (Taurat) itu dan memegang kepala saudaranya (Harun) sambil menarik ke arahnya. (Harun) berkata, “Wahai anak ibuku! Kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir saja mereka membunuhku, sebab itu janganlah engkau menjadikan musuh-musuh menyoraki melihat kemalanganku, dan janganlah engkau jadikan aku sebagai orang-orang yang zalim.”

Ayat ini menjelaskan Sikap Nabi Musa terhadap perbuatan kaumnya yang telah menyembah anak sapi. Ia sedih karena merasa segala usaha dan perjuangannya yang berat selama ini tidak memperoleh hasil yang diinginkannya. Ia sangat marah kepada saudaranya Harun yang telah dijadikan sebagai wakilnya untuk memimpin kaumnya sepeninggal ia pergi menemui panggilan Tuhannya ke bukit Sinai, seakan-akan Harun tidak melaksanakan tugasnya, dan membiarkan kaumnya sesat, tidak menegur dan mengambil tindakan sedikit pun terhadap mereka yang ingkar. Musa pun merasa takut kepada Allah dan merasa khawatir akan menerima kemurkaan Allah kepadanya dan kaumnya yang telah menjadi musyrik.

Dalam keadaan sedih, putus asa yang bercampur marah terlontarlah perkataan yang keras yang ditujukan kepada saudaranya Harun dan kaumnya, yang menyatakan tugas dan amanat yang diberikannya kepada Harun telah sia-sia, tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dengan susah payah ia telah mengajar dan mendidik kaumnya, sehingga mereka telah beriman kepada Allah dan hanya menyembah kepada-Nya saja. Ia baru saja menerima wahyu Allah yang berisi petunjuk dan syariat yang akan diajarkan kepada kaumnya. Apa yang terjadi pada kaumnya ketika ia kembali sangat berlawanan dengan yang dikehendakinya. Yang diinginkannya ialah agar kaumnya tetap menyembah Allah Yang Maha Esa sepeninggalnya, kemudian ketundukan dan kepatuhan itu akan bertambah, setelah ia dapat mengajarkan wahyu yang baru diterimanya dari Allah itu. Sedang yang terjadi adalah pekerjaan yang paling buruk dan yang paling besar dosanya yaitu memperserikatkan Tuhan.

Selanjutnya Musa berkata kepada kaumnya. Mengapa kamu sekalian tidak sabar menanti kedatanganku kembali sesudah bermunajat kepada Tuhan, sampai kamu membuat patung dan menyembahnya seperti menyembah Allah, padahal aku hanya terlambat sepuluh malam. Apakah kamu mempunyai prasangka lain terhadapku karena keterlambatanku itu.

Menurut suatu riwayat, bahwa Samiri pernah berkata kepada Bani Israil sewaktu ia memperlihatkan patung anak sapi yang baru dibuatnya kepada mereka: Ini adalah tuhanmu dan tuhan Musa, sesungguhnya Musa tidak akan kembali dan sesungguhnya ia telah mati.

Dalam kemarahannya Nabi Musa melemparkan lauh-lauh yang ada di tangannya, tetapi bukan bermaksud hendak merusaknya, seperti disebutkan dalam Perjanjian Lama, "maka bangkitlah amarah Musa; dilemparkannyalah kedua lauh itu dari tangannya dan dipecahkannya pada kaki gunung itu." (Keluaran 32:19). Nyatanya dalam 7:154 benda-benda itu masih utuh, berisi ajaran Allah. Rasanya kurang hormat (kalau tidak akan dikatakan menghina Tuhan) bila menduga bahwa Utusan Allah telah menghancurkan lauh-lauh yang berisi ajaran-ajaran Allah dalam kemarahannya yang tak terkendalikan itu. lalu memegang ubun-ubun Harun, karena ia mengira bahwa Harun tidak berusaha sungguh-sungguh mencegah perbuatan kaumnya menyembah patung anak sapi itu, dan tindakan-tindakan yang telah dilakukan selama ia pergi ke Bukit Sinai, atau melaporkan perbuatan kaumnya yang telah sesat itu. Sangkaan Musa kepada Harun ini dilukiskan dalam firman Allah sebagai berikut:

"Dia (Musa) berkata, "Wahai Harun! apa yang menghalangimu ketika engkau melihat mereka telah sesat, (sehingga) engaku tidak mengikuti aku?" Apakah engkau telah (sengaja) melanggar perintahku?" (thaha/20: 92-93)

Perkataan Musa dijawab oleh Harun, "Wahai anak ibuku, janganlah engkau tergesa-gesa mencela aku, dan jangan pula tergesa-gesa memarahi aku, karena menyangka aku tidak bersungguh-sungguh melaksanakan perintahmu dan tidak menghalangi mereka. Sebenarnya aku telah berusaha menghalangi mereka dari mengerjakan perbuatan sesat itu dan memberi nasihat kepada mereka. Tetapi mereka memandangku orang yang lemah, bahkan mereka hampir saja membunuhku. Janganlah engkau bertindak terhadapku dengan tindakan yang menyenangkan musuh; mereka gembira dan tertawa lantaran bencana yang menimpa diriku, janganlah engkau masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang suka mengerjakan perbuatan yang berakibat kerugian bagi diriku sendiri, yaitu golongan yang menyembah patung anak sapi, aku sendiri bukanlah termasuk golongan itu."

Sikap Musa dan Harun yang berbeda terhadap perbuatan kaumnya itu menunjukkan pula perbedaan watak kedua orang Nabi Allah ini. Musa adalah orang yang keras dan tegas menghadapi suatu perbuatan sesat yang dilarang Allah, sedang Harun adalah orang yang lemah lembut dan tidak mau menggunakan kekerasan dalam menghadapi perbuatan sesat.

Ayat 151

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَلِاَخِيْ وَاَدْخِلْنَا فِيْ رَحْمَتِكَ ۖوَاَنْتَ اَرْحَمُ الرّٰحِمِيْنَ ࣖ

qāla rabbigfirlī wa li'akhī wa adkhilnā fī raḥmatik(a), wa anta arḥamur-rāḥimīn(a).

Dia (Musa) berdoa, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang dari semua penyayang.”

Mendengar jawaban Harun itu, lembutlah hati Musa, dan beliau pun berkata sambil berdoa, "Wahai Tuhanku, ampunilah aku terhadap perbuatanku yang terlalu kasar terhadap saudaraku, baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan ampunilah segala kelemahan saudaraku sebagai wakil dan penggantiku dalam bertindak terhadap orang-orang yang sesat itu. Wahai Tuhanku masukkanlah kami ke dalam rahmat-Mu yang luas dan Engkaulah Tuhan Yang Maha Pengasih."

Dengan doa Nabi Musa itu hilanglah harapan-harapan orang yang menginginkan terjadinya perpecahan antara Musa dan Harun, dan orang-orang yang menginginkan agar Musa bertindak keras terhadap saudaranya Harun itu.

Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa Harun tidak terlibat sedikit pun dalam perbuatan kaumnya yang menyembah anak sapi, sesuai dengan pernyataannya kepada saudaranya Musa itu.

Ayat 152

اِنَّ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُفْتَرِيْنَ

innal-lażīnattakhażul-‘ijla sayanāluhum gaḍabum mir rabbihim wa żillatun fil-ḥayātid-dun-yā, wa każālika najzil-muftarīn(a).

Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sembahannya), kelak akan menerima kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebohongan.

Semua orang Bani Israil yang telah menyembah patung anak sapi, seperti Samiri dan pengikut-pengikutnya, dan yang tidak mau bertobat kepada Allah kelak akan mendapat kemarahan Allah dan tobat mereka tidak akan diterima lagi, kecuali dengan membunuh nafsu mereka, sebab akan hidup terhina di dunia ini. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Baqarah/2: 54 :

"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Wahai kaumku! Kamu benar-benar telah menzalimi dirimu sendiri dengan menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sesembahan), karena itu bertobatlah kepada Penciptamu dan bunuhlah dirimu. Itu lebih baik bagimu di sisi Penciptamu. Dia akan menerima tobatmu. Sungguh, Dialah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (al-Baqarah/2: 54)

Menurut sebagian ahli tafsir bahwa kalimat, "Demikian kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat kebohongan" dalam ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, sebagai peringatan bagi orang-orang Yahudi yang berada di sekitar Medinah waktu itu. Akibat sikap dan tindak-tanduk mereka (kaum Yahudi) kepada Nabi Musa dahulu. Seandainya orang Yahudi di sekitar Medinah tetap bersikap demikian, tidak mau mengikuti Rasulullah saw, dengan seruannya, maka mereka akan mendapat kebinasaan dan kehinaan di dunia dan di akhirat tentu saja mereka akan mendapat azab yang pedih.

Menganut salah satu dari kedua pendapat ini, tidaklah menyalahi isi kandungan ayat, karena salah satu tujuan pendapat ini adalah untuk menyebutkan kisah umat-umat yang dahulu sebagai tamsil dan ibarat bagi generasi yang akan datang kemudian. Semoga kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang-orang dahulu itu tidak terulang oleh generasi yang akan datang.

Ayat ini juga memperingatkan bahwa seperti pembalasan yang tersebut dalam ayat ini, Allah memberikan pembalasan kepada mereka yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah. Diriwayatkan dari Abi Qatadah, ia berkata, "Ayat ini tidak hanya ditujukan kepada Bani Israil pada waktu Nabi Musa saja, tetapi ditujukan kepada semua orang yang mengadakan kedustaan terhadap Allah."

Ayat 153

وَالَّذِيْنَ عَمِلُوا السَّيِّاٰتِ ثُمَّ تَابُوْا مِنْۢ بَعْدِهَا وَاٰمَنُوْٓا اِنَّ رَبَّكَ مِنْۢ بَعْدِهَا لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

wal-lażīna ‘amilus-sayyi'āti ṡumma tābū mim ba‘dihā wa āmanū inna rabbaka mim ba‘dihā lagafūrur raḥīm(un).

Dan orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan, kemudian bertobat dan beriman, niscaya setelah itu Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Orang yang mengerjakan kejahatan dan kemaksiatan, kemudian ia bertobat setelah mengerjakan kejahatan itu dengan bertobat yang sebenar-benarnya, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi, serta berusaha mengerjakan amal saleh sebanyak-banyaknya, maka tobat mereka akan diterima Allah, dan Allah akan memberikan ampunan kepada orang-orang yang benar-benar bertobat dengan hati yang ikhlas.

Dalam ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa berapa pun besar dosa yang telah dikerjakan oleh seseorang, pasti akan diampuni Allah, asal saja ia mau bertobat dengan sebenarnya, dan mau melaksanakan semua syarat-syarat tobat agar diterima Allah. Sesungguhnya Allah tidak langsung mengazab hamba-Nya yang bersalah, tetapi selalu memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan menyesali kejahatan yang telah dikerjakannya itu dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik yang diridai oleh Allah.

Ayat 154

وَلَمَّا سَكَتَ عَنْ مُّوْسَى الْغَضَبُ اَخَذَ الْاَلْوَاحَۖ وَفِيْ نُسْخَتِهَا هُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّلَّذِيْنَ هُمْ لِرَبِّهِمْ يَرْهَبُوْنَ

wa lammā sakata ‘am mūsal-gaḍabu akhażal-alwāḥ(a), wa fī nuskhatihā hudaw wa raḥmatul lil-lażīna hum lirabbihim yarhabūn(a).

Dan setelah amarah Musa mereda, diambilnya (kembali) lauh-lauh (Taurat) itu; di dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang takut kepada Tuhannya.

Setelah Musa tenang kembali dan hilang amarahnya, akibat salah sangka kepada saudaranya Harun, dan setelah memohon rahmat dan ampunan dari Tuhannya, maka ia mengumpulkan kembali lauh-lauh yang dilemparkannya itu, dan dari padanya disalin Taurat yang mengandung petunjuk dan rahmat bagi kaumnya.

Ayat 155

وَاخْتَارَ مُوْسٰى قَوْمَهٗ سَبْعِيْنَ رَجُلًا لِّمِيْقَاتِنَا ۚفَلَمَّآ اَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ قَالَ رَبِّ لَوْ شِئْتَ اَهْلَكْتَهُمْ مِّنْ قَبْلُ وَاِيَّايَۗ اَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ السُّفَهَاۤءُ مِنَّاۚ اِنْ هِيَ اِلَّا فِتْنَتُكَۗ تُضِلُّ بِهَا مَنْ تَشَاۤءُ وَتَهْدِيْ مَنْ تَشَاۤءُۗ اَنْتَ وَلِيُّنَا فَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا وَاَنْتَ خَيْرُ الْغٰفِرِيْنَ

wakhtāra mūsā qaumahū sab‘īna rajulal limīqātinā, falammā akhażathumur-rajfatu qāla rabbi lau syi'ta ahlaktahum min qablu wa iyyāy(a), atuhlikunā bimā fa‘alas-sufahā'u minnā, in hiya illā fitnatuk(a), tuḍillu bihā man tasyā'u wa tahdī man tasyā'(u), anta waliyyunā fagfir lanā warḥamnā wa anta khairul-gāfirīn(a).

Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Ketika mereka ditimpa gempa bumi, Musa berkata, “Ya Tuhanku, jika Engkau kehendaki, tentulah Engkau binasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang berakal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari-Mu, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah pemimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat. Engkaulah pemberi ampun yang terbaik.”

Musa memilih tujuh puluh orang pilihan dari kaumnya untuk pergi bersama-sama ke suatu tempat di Bukit Sinai untuk bermunajat kepada Tuhannya. Menurut para mufassir, siapa orang yang dipilih dan di mana tempatnya yang ditentukan itu telah diwahyukan Allah sebelumnya kepada Musa. Para mufassir berbeda pendapat; apakah Musa diperintahkan oleh Allah pergi ke Bukit Sinai bersama tujuh puluh orang pilihan Bani Israil itu setelah mereka menyembah patung anak sapi dengan maksud menyatakan tobat kepada Allah atau bersamaan waktunya dengan waktu memohon kepada Allah agar Dia memperlihatkan diri-Nya dengan jelas. Jika dilihat susunan ayat dan urutan kisah Musa dalam Surah al-Araf ini, dapat diambil kesimpulan bahwa kepergian Musa bersama tujuh puluh orang pilihan ini setelah Bani Israil menyembah patung anak sapi, yakni sesudah kepulangan Musa menemui Tuhannya ke Bukit Sinai selama empat puluh hari dan empat puluh malam.

Musa berangkat bersama tujuh puluh orang pilihan menuju tempat yang telah ditentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi yang disebabkan petir yang amat dahsyat, Musa pun berdoa kepada Tuhannya, "Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau membinasakan mereka, maka aku berharap agar Engkau membinasakan mereka sebelum mereka pergi bersamaku ke tempat ini, dan agar Engkau membinasakan aku pula, sehingga aku tidak menghadapi kesulitan yang seperti ini, yang memberi kesempatan bagi mereka untuk mencela dan menuduhku, bahwa aku telah membawa orang-orang pilihan ke tempat ini untuk dibinasakan. Oleh karena Engkau tidak membinasakan mereka sebelum mereka aku bawa bersamaku ke sini, maka janganlah mereka Engkau binasakan sekarang, sesudah aku bawa kemari."

Dalam ayat ini diterangkan mengapa pemuka Bani Israil pilihan itu diazab Allah dengan petir yang dahsyat. Pada firman Allah yang dijelaskan sebab-sebabnya mereka disambar petir dan akibat yang mereka alami. Sebagaimana firman-Nya:

"Dan (ingatlah) ketika kamu berkata, "Wahai Musa! Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas," maka halilintar menyambarmu, sedang kamu menyaksikannya. Kemudian, Kami bangkitkan kamu setelah kamu mati, agar kamu bersyukur." (al-Baqarah/2: 55-56)

Tetapi dalam Perjanjian Lama diterangkan bahwa Bani Israil yang menyembah berhala (di dalam Al-Quran patung anak sapi) itu ialah Bani Israil tujuh puluh orang pilihan bersama-sama dengan Harun. Perbuatan menyembah berhala itu mereka lakukan sewaktu berada di Bukit Sinai, pada waktu Nabi Musa sendiri menghadap Tuhan (baca perjanjian Lama 31:2-35).

Dalam Kitab Bilangan xvi:20-25, disebutkan tentang keingkaran dan kedurhakaan Bani Israil terhadap Musa, lalu mereka diazab Allah. Sedangkan Bani Israil yang sempat lari dibakar oleh sambaran petir.

Selanjutnya Musa memohon kepada Allah, "Janganlah Engkau Ya Tuhan, membinasakan kami disebabkan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang kurang akal yang meminta agar dapat melihat Engkau."

Semua itu merupakan cobaan dari Allah terhadap mereka. Tetapi mereka tidak tahan dan tidak kuat menghadapi cobaan itu sehingga mereka tetap mendesak Musa agar Tuhan memperlihatkan zat-Nya kepada mereka. Karena tindakan mereka itulah mereka diazab dengan petir (halilintar) sehingga mereka mati semua. Kemudian Allah menghidupkan mereka kembali agar mereka bertobat dan bersyukur terhadap nikmat Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka. Cobaan itu merupakan ujian Tuhan kepada hamba-hamba-Nya, dengan cobaan itu akan sesat orang-orang yang tidak kuat imannya, dan dengan cobaan itu pula Dia memberi petunjuk kepada hamba-Nya yang kuat imannya.

Selanjutnya Musa berdoa, "Wahai Tuhan kami, Engkaulah yang mengurus segala urusan kami, mengawasi segala apa yang kami kerjakan, maka ampunilah kami terhadap segala perbuatan dan tindakan kami yang mengakibatkan azab bagi kami. Beri rahmatlah kami, karena Engkaulah sebaik-baik Pemberi rahmat dan Pemberi ampun. Hanya Engkaulah yang mengampuni segala dosa dan memaafkan segala kesalahan kami. Mengampuni dan memaafkan itu bukanlah karena sesuatu maksud tertentu, tetapi semata-mata karena sifat-Mu yang Maha Pengampun dan Maha Pemaaf."

Ayat 156

۞ وَاكْتُبْ لَنَا فِيْ هٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰخِرَةِ اِنَّا هُدْنَآ اِلَيْكَۗ قَالَ عَذَابِيْٓ اُصِيْبُ بِهٖ مَنْ اَشَاۤءُۚ وَرَحْمَتِيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍۗ فَسَاَكْتُبُهَا لِلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَالَّذِيْنَ هُمْ بِاٰيٰتِنَا يُؤْمِنُوْنَۚ

waktub lanā fī hāżihid-dun-yā ḥasanataw wa fil-ākhirati innā hudnā ilaik(a), qāla ‘ażābī uṣību bihī man asyā'(u), wa raḥmatī wasi‘at kulla syai'(in), fa sa'aktubuhā lil-lażīna yattaqūna wa yu'tūnaz-zakāta wal-lażīna hum bi'āyātinā yu'minūn(a).

Dan tetapkanlah untuk kami kebaikan di dunia ini dan di akhirat. Sungguh, kami kembali (bertobat) kepada Engkau. (Allah) berfirman, “Siksa-Ku akan Aku timpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku bagi orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.”

Selanjutnya Musa berdoa, "Berilah kami kebajikan di dunia, yaitu sehat jasmani dan rohani, diberi keturunan penyambung hidup dan penerus cita-cita, diberi kehidupan dalam keluarga yang diliputi rasa kasih sayang, dianugerahi rezeki yang halal, serta taufik dan hidayah, sehingga bahagia pula hidup di akhirat. Sesungguhnya kami berdoa dan bertobat kepada Engkau, kami berjanji tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan terlarang dan kami kembali kepada iman yang sebenar-benarnya, serta mengamalkan amal yang saleh yang Engkau ridai."

Allah berfirman, "rahmat-Ku lebih cepat datangnya kepada hamba-hamba-Ku daripada amarah-Ku, dan azab-Ku khusus Aku limpahkan kepada hamba-hamba-Ku yang Aku kehendaki, yaitu orang-orang yang berbuat kejahatan, ingkar dan durhaka." Tentang rahmat, nikmat dan keutamaan-Ku, semuanya itu meliputi alam semesta, tidak satu pun dari hamba-Ku yang tidak memperoleh-Nya, termasuk orang-orang kafir, orang-orang yang durhaka, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Muslim, penyembah patung anak sapi dan sebagainya. Sesungguhnya jika bukanlah karena rahmat, nikmat, dan keutamaan-Ku, niscaya telah aku binasakan seluruh alam ini, karena kebanyakan orang kafir, durhaka, yang selalu mengerjakan kemaksiatan.

"Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan menyisakan satupun makhluk bergerak yang bernyawa di bumi ini, tetapi Dia menangguhkan (hukuman)-nya, sampai waktu yang sudah ditentukan." (Fathir/35: 45)

Allah menegaskan bahwa rahmat, nikmat Allah yang diberikannya kepada orang-orang kafir, sifatnya sementara, tidak abadi, dan tidak sempurna, sedangkan rahmat yang sempurna dan abadi akan dianugerahkan-Nya kepada orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang menunaikan zakat.

Dalam ayat ini disebut zakat, tidak disebut amal lain yang tidak kalah nilainya dari zakat. Hal ini ada hubungannya dengan banyaknya orang yang enggan mengeluarkan zakat dibanding banyaknya orang yang enggan mengerjakan amal lain yang diperintahkan Allah. Juga merupakan isyarat kepada sifat orang Yahudi yang sangat cinta kepada harta dan enggan menyerahkan sebagian hartanya di jalan Allah.

Penetapan rahmat, nikmat dan keutamaan secara istimewa kepada orang-orang yang takwa dan menunaikan zakat itu adalah seperti ketetapan Allah secara istimewa kepada orang-orang yang membenarkan ayat-ayat-Nya, dan mengakui keesaan Allah dan kebenaran rasul-rasul-Nya yang telah diutus-Nya dengan pengakuan yang didasarkan atas pengetahuan dan keyakinan, bukan berdasarkan taklid dan pengaruh adat kebiasaan nenek-moyang mereka.

Ayat 157

اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ مَعَهٗٓ ۙاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ࣖ

al-lażīna yattabi‘ūnar-rasūlan nabiyyal-ummiyyal-lażī yajidūnahū maktūban ‘indahum fit-taurāti wal-injīli ya'muruhum bil-ma‘rūfi wa yanhāhum ‘anil-munkari wa yuḥillu lahumuṭ-ṭayyibāti wa yuḥarrimu ‘alaihimul-khabā'iṡa wa yaḍa‘u ‘anhum iṣrahum wal-aglālal-latī kānat ‘alaihim, fal-lażīna āmanū bihī wa ‘azzarūhu wa naṣarūhu wattaba‘un nūral-lażī unzila ma‘ah(ū), ulā'ika humul-mufliḥūn(a).

(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang beruntung.

Sifat-sifat Muhammad sebagai Rasul ialah:

1. Nabi yang ummi (buta huruf)

Dalam ayat ini diterangkan bahwa salah satu sifat Muhammad saw ialah tidak pandai menulis dan membaca. Sifat ini memberi pengertian bahwa orang yang ummi tidak mungkin membaca Taurat dan Injil yang ada pada orang-orang Yahudi dan Nasrani, demikian pula cerita-cerita kuno yang berhubungan dengan umat-umat dahulu. Hal ini membuktikan bahwa risalah yang di bawa oleh Muhammad saw itu benar-benar berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Mustahil seseorang yang tidak tahu tulis baca dapat membuat dan membaca Al-Quran dan hadis yang memuat hukum-hukum, ketentuan-ketentuan ilmu pengetahuan yang demikian tinggi nilainya. Seandainya Al-Quran itu buatan Muhammad, bukan berasal dari Tuhan Semesta Alam tentulah manusia dapat membuat atau menirunya, tetapi sampai saat ini belum ada seorang manusia pun yang sanggup menandinginya.

"Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu kitab sebelum (Al-Quran) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya." (al-Ankabut/29: 48)

2. Kedatangan Nabi Muhammad telah diberitakan dalam Taurat dan Injil

Kedatangan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul penutup diisyaratkan di dalam Taurat (Kejadian xxi. 13,18; Ulangan xviii. 15) dan Injil (Yohanes xiv. 16), di dalam Al-Quran disebutkan dengan jelas bahwa mereka pun sudah mengenal pribadi Muhammad dan akhlaknya :

Orang-orang yang telah Kami beri Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Sesungguhnya sebagian mereka pasti menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui(nya). (al-Baqarah/2: 146)

Yahudi dan Nasrani telah menyembunyikan pemberitaan tentang akan diutusnya Muhammad saw dengan menghapus pemberitaan ini dan menggantinya dengan yang lain di dalam Taurat dan Injil. Banyak ayat Al-Quran yang menerangkan tindakan-tindakan orang-orang Yahudi dan Nasrani mengubah isi Taurat.

Sekalipun demikian masih terdapat ayat-ayat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mengisyaratkan akan kedatangan Muhammad itu. Dalam kitab Kejadian xi:13 diterangkan bahwa akan datang seorang Nabi akhir zaman nanti dari keturunan Ismail.

Dari Taurat ada beberapa isyarat yang dapat dijadikan dalil untuk menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw adalah seorang nabi di antara nabi-nabi. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang yang dinobatkan oleh Tuhan itu akan timbul dari saudara-saudara Bani Israil, tetapi bukan dari Bani Israil itu sendiri. Adapun saudara-saudara Bani Israil itu ialah Bani Ismail (ras Arab), sebab Ismail adalah saudaranya yang lebih tua dari Ishak bapak Nabi Yaqub. Dan Nabi Muhammad saw sudah jelas adalah keturunan Bani Ismail.

Kemudian dalam kitab Kalnest terdapat kata, "Yang seperti engkau" yang memberikan arti bahwa nabi yang akan datang haruslah seperti Nabi Musa, Nabi yang membawa syariat baru (agama Islam) yang juga berlaku untuk bangsa Israil, kemudian diterangkan lagi bahwa nabi itu tidak sombong, sejak sebelum menjadi nabi. Sebelum menjadi Nabi beliau sudah disenangi orang, terbukti dengan pemberian gelar oleh orang Arab kepadanya "Al-Amin"; yang artinya, "Orang yang dipercaya". Jika beliau orang yang sombong, tentu beliau tidak akan diberi gelar yang amat terpuji itu. Setelah menjadi Nabi beliau lebih ramah dan rendah hati.

Umat Nasrani menyesuaikan Nubuat itu kepada Nabi Isa di samping mereka mengakui bahwa Isa mati terbunuh (disalib). Hal ini jelas bertentangan dengan ayat Nubuat itu sendiri. Sebab Nabi itu haruslah tidak mati terbunuh. Disebutkan pula bahwa Tuhan telah datang dari Bukit Sinai, maksudnya memberikan wahyu kepada Musa dan telah terbit bagi mereka di Seir (Ulangan ii. 1-8)", maksudnya menurunkan kepada Nabi Isa wahyu, serta gemerlapan cahayanya dari gunung Paran, maksudnya menurunkan wahyu kepada Muhammad saw. Paran (Faron) adalah nama salah satu bukit di Mekah.

Dalam Yohanes xiv.16, xv.26 dan xvi.7 disebutkan Nubuat Nabi Muhammad saw sebagai berikut: "Maka ada pun apabila telah datang Periclytos, yang Aku telah mengutusnya kepadamu dari bapak, roh yang benar yang berasal dari bapak, maka dia menjadi saksi bagiku, sedangkan kamu menjadi saksi sejak semula. Perkataan "Periclytos" adalah bahasa Yunani, yang artinya sama dengan "Ahmad" dalam bahasa Arab. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt:

"Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata, "Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." (ash-shaff/61: 6)

Demikianlah sekali pun ada bagian Taurat dan Injil yang diubah, ditambah, dan dihilangkan, juga masih terdapat isyarat-isyarat tentang kenabian dan kerasulan Muhammad saw. Itu pulalah sebabnya sebagian ulama Yahudi dan Ibrani yang mengakui kebenaran berita itu segera beriman kepada Muhammad dan risalah yang dibawanya, seperti Abdullah bin Salam dari kalangan Yahudi, Tamim ad-Dari dari kalangan Nasrani.

3. Nabi menyuruh berbuat maruf dan melarang berbuat mungkar

Perbuatan yang maruf ialah perbuatan yang baik, yang sesuai dengan akal sehat, bermanfaat bagi diri mereka sendiri, manusia dan kemanusiaan serta sesuai dengan ajaran agama. Sedangkan perbuatan yang mungkar ialah perbuatan yang buruk, yang tidak sesuai dengan akal yang sehat, dan dapat menimbulkan mudarat bagi diri sendiri, bagi manusia dan kemanusiaan. Perbuatan maruf yang paling tinggi nilainya ialah mengakui keesaan Allah, dan menunjukkan ketaatan kepada-Nya, sedang perbuatan mungkar yang paling buruk ialah menyekutukan Allah swt.

4. Menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk

Yang dimaksud dengan yang baik ialah yang halal lagi baik, tidak merusak akal, pikiran, jasmani dan rohani. Sedangkan yang dimaksud dengan buruk ialah yang haram, yang merusak akal, pikiran, jasmani dan rohani.

5. Menghilangkan berbagai beban dan belenggu yang memberatkan

Maksudnya ialah bahwa syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw tidak ada lagi beban yang berat seperti yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya mensyariatkan membunuh diri atau membunuh nafsu untuk sahnya tobat, mewajibkan qishash pada pembunuhan, baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja, tanpa membolehkan membayar diat, memotong bagian badan yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang terkena najis, dan sebagainya. Sesuai dengan firman Allah swt:

"Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur". (al-Maidah/5: 6)

Demikian juga Rasululllah saw bersabda :

"Berilah kabar gembira dan janganlah memberikan kabar yang menakut-nakuti, mudahkanlah dan jangan mempersukar, bersatulah dan jangan berselisih." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Sesungguhnya kepada Bani Israil telah diisyaratkan hukum-hukum yang berat, baik hukum ibadah, maupun hukum muamalat. Kemudian kepada Nabi Isa as diisyariatkan hukum ibadah yang berat. Sedang syariat Nabi Muhammad saw, sifatnya tidak memberatkan, tetapi melapangkan dan memperingan tanggungan, baik yang berhubungan dengan hukum-hukum ibadah maupun yang berhubungan dengan hukum-hukum muamalat.

Allah menerangkan cara-cara mengikuti Rasul yang telah disebutkan ciri-cirinya, agar bahagia hidup di dunia dan di akhirat nanti, ialah beriman kepadanya dan kepada risalah yang dibawanya, menolongnya dengan rasa penuh hormat, menegakkan dan meninggikan agama yang dibawanya, mengikuti Al-Quran yang dibawanya.

Ayat 158

قُلْ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْ جَمِيْعًا ۨالَّذِيْ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۖ فَاٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهِ النَّبِيِّ الْاُمِّيِّ الَّذِيْ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَكَلِمٰتِهٖ وَاتَّبِعُوْهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ

qul yā ayyuhan-nāsu innī rasūlullāhi ilaikum jamī‘anil-lażī lahū mulkus-samāwāti wal-arḍ(i), lā ilāha illā huwa yuḥyī wa yumīt(u), fa āminū billāhi wa rasūlihin-nabiyyil-ummiyyil-lażī yu'minu billāhi wa kalimatihī wattabi‘ūhu la‘allakum tahtadūn(a).

Katakanlah (Muhammad), “Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.”

Allah memerintahkan kepada Muhammad, agar ia menyeru seluruh umat manusia mengikuti agama yang dibawanya, di mana saja mereka berada, dan bangsa apa pun dia, agar dia menerangkan bahwa dia adalah Rasul Allah yang diutus kepada mereka semua. Keumuman risalah Muhammad saw dinyatakan lagi oleh firman Allah:

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan... (Saba/34: 28)

Dan firman Allah juga:

...Al-Quran ini diwahyukan kepadaku agar dengannya itu aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang sampai (Al-Quran kepadanya)... (al-Anam/6: 19)

Demikian pula hadis Nabi yang menerangkan keumuman risalahnya sebagai berikut:

"Telah diberikan kepadaku lima hal, yang belum pernah diberikan kepada seorang Nabi pun sebelumku. Aku ditolong dengan memasukkan rasa takut kepada musuhku dalam jarak perjalanan sebulan, dan dijadikan bagiku bumi sebagai masjid (tempat salat) dan alat bersuci. Maka siapa saja dari umatku yang telah datang padanya waktu salat maka hendaklah ia salat (dimana pun ia berada), dan dihalalkan bagiku harta rampasan yang tidak dihalalkan kepada orang sebelumku, diberikan kepadaku syafaat, dan Nabi lain diutus kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus kepada semua umat manusia". (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Allah menerangkan keesaan-Nya, yaitu tidak ada tuhan selain Dia, hanyalah Dia yang berhak disembah, karena Dialah yang mengurus langit dan bumi, mengatur alam seluruhnya. Dia menghidupkan segala yang hidup dan mematikan segala yang mati. Dalam ayat ini diterangkan bahwa ada tiga kekuasaan Tuhan yang utama: yaitu pemilik yang ada di langit dan bumi, satu-satunya Tuhan yang dapat disembah, Tuhan yang menghidupkan dan mematikan.

Kemudian Allah memerintahkan seluruh manusia agar beriman kepada Allah dan beriman kepada Nabi yang ummi, beriman kepada wahyunya yaitu kitab-kitab terdahulu dan memerintahkan manusia agar mengikuti nabi tersebut.

Rasul yang ummi itu memurnikan pengabdian kepada Allah, beriman kepada kitab-kitab yang telah diturunkan kepada para Nabi yang terdahulu. Setelah perintah beriman, Allah mengiringi dengan perintah agar manusia melaksanakan semua syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw.

Ayat 159

وَمِنْ قَوْمِ مُوْسٰٓى اُمَّةٌ يَّهْدُوْنَ بِالْحَقِّ وَبِهٖ يَعْدِلُوْنَ

wa min qaumi mūsā ummatuy yahdūna bil-ḥaqqi wa bihī ya‘dilūn(a).

Dan di antara kaum Musa itu terdapat suatu umat yang memberi petunjuk (kepada manusia) dengan (dasar) kebenaran dan dengan itu (pula) mereka berlaku adil menjalankan keadilan.

Di antara kaum Musa ada segolongan besar yang menunjukkan kepada manusia jalan yang benar sesuai dengan yang diperintahkan Allah, mengajak manusia berbuat kebajikan, menetapkan hukum di antara manusia dengan adil, tidak mengikuti hawa nafsu mereka, tidak makan makanan yang diharamkan Allah, tidak mengerjakan perbuatan yang terlarang, baik mereka itu berada pada masa Musa, maupun mereka berada pada masa sesudahnya.

Keadaan kaum Musa ini dijelaskan lagi dalam firman Allah swt:

Mereka itu tidak (seluruhnya) sama. Di antara ahli kitab ada golongan yang jujur, mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari, dan mereka (juga) bersujud (salat). (Ali Imran/3: 113)

Kaum Musa ada yang menerima dan melaksanakan petunjuk Allah swt

dengan sepenuh hati. Mereka itu ada tiga macam:

a. Kaum Musa yang ada pada masa Nabi Muhammad saw, atau setelah beliau meninggal, mereka membaca kitab Taurat, lalu beriman kepada Muhammad saw, sesuai dengan isyarat yang mereka baca dalam kitab Taurat.

b. Kaum Musa yang benar-benar beriman kepada Muhammad saw setelah beliau meninggal dunia.

c. Kaum Musa yang hidup dalam dua periode yaitu periode sebelum Muhammad diutus. Mereka beriman sepenuhnya kepada Nabi Musa. Setelah Muhammad diutus mereka beriman kepada Muhammad sesuai dengan petunjuk yang mereka dapati dalam Taurat.

Ayat 160

وَقَطَّعْنٰهُمُ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ اَسْبَاطًا اُمَمًاۗ وَاَوْحَيْنَآ اِلٰى مُوْسٰٓى اِذِ اسْتَسْقٰىهُ قَوْمُهٗٓ اَنِ اضْرِبْ بِّعَصَاكَ الْحَجَرَۚ فَانْۢبَجَسَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًاۗ قَدْ عَلِمَ كُلُّ اُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْۗ وَظَلَّلْنَا عَلَيْهِمُ الْغَمَامَ وَاَنْزَلْنَا عَلَيْهِمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوٰىۗ كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْۗ وَمَا ظَلَمُوْنَا وَلٰكِنْ كَانُوْٓا اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ

wa qaṭṭa‘nāhumuṡnatai ‘asyrata asbāṭan umamā(n), wa auḥainā ilā mūsā iżistasqāhu qaumuhū aniḍrib bi‘aṣākal-ḥajar(a), fambajasat minhuṡnatā ‘asyrata ‘ainā(n), qad ‘alima kullu unāsim masyrabahum, wa ẓallalnā ‘alaihimul-gamāma wa anzalnā ‘alaihimul-manna was-salwā, kulū min ṭayyibāti mā razaqnākum, wa mā ẓalamūnā wa lākin kānū anfusahum yaẓlimūn(a).

Dan Kami membagi mereka menjadi dua belas suku yang masing-masing berjumlah besar, dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya, “Pukullah batu itu dengan tongkatmu!” Maka memancarlah dari (batu) itu dua belas mata air. Setiap suku telah mengetahui tempat minumnya masing-masing. Dan Kami naungi mereka dengan awan dan Kami turunkan kepada mereka mann dan salwa. (Kami berfirman), “Makanlah yang baik-baik dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu.” Mereka tidak menzalimi Kami, tetapi merekalah yang selalu menzalimi dirinya sendiri.

Allah membagi kaum Musa (Bani Israil), baik yang beriman kepada Allah maupun yang ingkar kepada-Nya menjadi dua belas suku yang dinamakan "Sibth". Pada suatu perjalanan di tengah padang pasir, kaumnya menderita kehausan, maka Allah mewahyukan kepada Musa agar ia memukulkan tongkatnya kesebuah batu. Setelah Musa memukulkannya, maka terpancarlah dari batu itu dua belas mata air, sesuai dengan banyaknya suku-suku Bani Israil (al-Baqarah/2: 60). Untuk masing-masing suku disediakan satu mata air dan mereka telah mengetahui tempat minum mereka; untuk menjaga ketertiban dan menghindarkan berdesak-desakan.

Kejadian ini merupakan mukjizat bagi Nabi Musa untuk membuktikan kerasulannya, dan untuk memperlihatkan kekuasaan Allah. Kalau dahulu dia memukulkan tongkatnya ke laut sehingga terbentanglah jalan yang akan dilalui Bani Israil untuk menyelamatkan diri dari pengejaran Firaun dan tentaranya, maka pada kejadian ini Musa memukulkan tongkatnya ke batu, sehingga keluarlah air dari batu itu untuk melepaskan haus kaumnya. Kejadian ini di samping merupakan mukjizat bagi Nabi Musa juga menunjukkan besarnya karunia Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepada Bani Israil.

Di samping karunia itu Allah menyebutkan karunia lain yang telah diberikan-Nya kepada Bani Israil, yaitu:

1. Allah melindungi mereka dengan awan pada waktu mereka berjalan di tengah padang pasir dan pada waktu panas terik matahari yang membakar itu. Jika tidak awan yang melindungi, tentulah mereka terbakar oleh panasnya matahari. Hal ini terjadi ketika mereka meninggalkan negeri Mesir dan setelah menyeberangi Laut Merah. Mereka sampai di gurun pasir di Semenanjung Sinai dan ditimpa panas yang terik. Karena itu mereka minta agar Musa berdoa kepada Tuhan agar memberikan pertolongan-Nya. Maka Allah menolong mereka dengan mendatangkan awan yang dapat melindungi mereka dari panas terik matahari.

2. Di samping itu Allah mengaruniakan pula kepada mereka makanan yang disebut al-manna", semacam makanan yang manis seperti madu, yang turun terus-menerus dari langit, sejak fajar menyingsing sampai matahari terbit. Di samping itu dianugerahkan Allah pula kepada mereka bahan makanan sejenis burung puyuh yang disebut "shalwa".

3. Allah memerintahkan kepada mereka agar makan makanan yang halal, yang baik, berfaedah bagi jasmani dan rohani, akal dan pikiran.

Allah telah melimpahkan karunia-Nya yang amat besar kepada Bani Israil, tetapi mereka tidak mau bersyukur, bahkan mereka mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah, ingkar kepada-Nya dan kepada Rasul-rasul-Nya, yang berakibat mereka mendapat azab dan siksaan-Nya. Mereka disiksa itu semata-mata karena perbuatan mereka sendiri, bukanlah karena Allah hendak menganiaya mereka. Tersebut dalam sebuah hadis Qudsi:

"Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan (mengerjakan), kezaliman atas diri-Ku, dan Aku menjadikan perbuatan zalim itu (sebagai suatu perbuatan) yang diharamkan di antaramu, maka janganlah kamu saling berbuat zalim (di antara sesamamu). Wahai hamba-hamba-Ku, kamu sekali-kali tidak akan dapat menimbulkan kemudaratan kepada-Ku, sehingga Aku memperoleh kemudaratan karenanya, dan kamu sekalian tidak dapat memberi manfaat kepada-Ku, sehingga Aku memperoleh manfaat karenanya". (Hadis Qudsi ialah firman Allah yang diucapkan atau disampaikan oleh Nabi Muhammad, tetapi dia bukan merupakan ayat Al-Quran. Riwayat Muslim)

Ayat 161

وَاِذْ قِيْلَ لَهُمُ اسْكُنُوْا هٰذِهِ الْقَرْيَةَ وَكُلُوْا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ وَقُوْلُوْا حِطَّةٌ وَّادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا نَّغْفِرْ لَكُمْ خَطِيْۤـٰٔتِكُمْۗ سَنَزِيْدُ الْمُحْسِنِيْنَ

wa iżā qīla lahumuskunū hāżihil-qaryata wa kulū minhā ḥaiṡu syi'tum wa qūlū ḥiṭṭatuw wadkhulul-bāba sujjadan nagfir lakum khaṭī'ātikum, sanazīdul-muḥsinīn(a).

Dan (ingatlah), ketika dikatakan kepada mereka (Bani Israil), “Diamlah di negeri ini (Baitulmaqdis) dan makanlah dari (hasil bumi)nya di mana saja kamu kehendaki.” Dan katakanlah, “Bebaskanlah kami dari dosa kami dan masukilah pintu gerbangnya sambil membungkuk, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu.” Kelak akan Kami tambah (pahala) kepada orang-orang yang berbuat baik.

Ayat 161 dan 162 Surah al-Araf ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari ayat 58 dan 59 Surah al-Baqarah bahkan merupakan kelengkapan dan penjelasan dari ayat tersebut. Pada ayat 58 dan 59 Surah al-Baqarah Allah memerintahkan agar Bani Israil memasuki Baitul makdis dengan menundukkan diri sebagai tanda ketaatan dan tanda bersyukur kepada Allah, karena mereka telah selamat dari pengejaran musuh, dan selamat pula dalam perjalanan yang amat berat dan sulit itu, dan selanjutnya memohonkan ampunan kepada Allah dari segala dosa yang telah mereka perbuat. Jika mereka lakukan semua perintah itu. Allah akan mengampuni segala dosa dan kesalahan mereka dan akan memberikan tambahan karunia dan pahala kepada mereka.

Pada ayat 161 dan 162 Surah al-Araf ini dipahami bahwa Bani Israil telah memasuki Baitulmakdis sebagaimana yang diperintahkan Allah itu. Juga mereka diperintahkan Allah agar berdiam dan menetap di negeri itu. Akan tetapi orang-orang zalim di antara mereka tidak melaksanakan perintah-perintah Allah dengan sempurna, bahkan mereka telah melakukan perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan perintah itu, walaupun perintah itu datangnya dari penolong yang membebaskan mereka dari kesengsaraan dan kesulitan. Mereka dengan mudah memutarbalikkan perintah-perintah itu. Mereka memasuki Baitulmakdis tidak dengan merendahkan diri, dan mereka tidak memohon agar dibebaskan dari dosa. Akibat keingkaran dan pembangkangan mereka itu, mereka ditimpa azab yang berat. Menurut sebagian ahli tafsir, azab yang ditimpakan kepada mereka itu ialah berupa wabah penyakit kolera yang berjangkit dan menular sebagian mereka.

Ayat 162

فَبَدَّلَ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ قَوْلًا غَيْرَ الَّذِيْ قِيْلَ لَهُمْ فَاَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِجْزًا مِّنَ السَّمَاۤءِ بِمَا كَانُوْا يَظْلِمُوْنَ ࣖ

fa baddalal-lażīna ẓalamū minhum qaulan gairal-lażī qīla lahum fa arsalnā ‘alaihim rijzam minas-samā'i bimā kānū yaẓlimūn(a).

Maka orang-orang yang zalim di antara mereka mengganti (perkataan itu) dengan perkataan yang tidak dikatakan kepada mereka, maka Kami timpakan kepada mereka azab dari langit disebabkan kezaliman mereka.

Ayat 161 dan 162 Surah al-Araf ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari ayat 58 dan 59 Surah al-Baqarah bahkan merupakan kelengkapan dan penjelasan dari ayat tersebut. Pada ayat 58 dan 59 Surah al-Baqarah Allah memerintahkan agar Bani Israil memasuki Baitul makdis dengan menundukkan diri sebagai tanda ketaatan dan tanda bersyukur kepada Allah, karena mereka telah selamat dari pengejaran musuh, dan selamat pula dalam perjalanan yang amat berat dan sulit itu, dan selanjutnya memohonkan ampunan kepada Allah dari segala dosa yang telah mereka perbuat. Jika mereka lakukan semua perintah itu. Allah akan mengampuni segala dosa dan kesalahan mereka dan akan memberikan tambahan karunia dan pahala kepada mereka.

Pada ayat 161 dan 162 Surah al-Araf ini dipahami bahwa Bani Israil telah memasuki Baitulmakdis sebagaimana yang diperintahkan Allah itu. Juga mereka diperintahkan Allah agar berdiam dan menetap di negeri itu. Akan tetapi orang-orang zalim di antara mereka tidak melaksanakan perintah-perintah Allah dengan sempurna, bahkan mereka telah melakukan perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan perintah itu, walaupun perintah itu datangnya dari penolong yang membebaskan mereka dari kesengsaraan dan kesulitan. Mereka dengan mudah memutarbalikkan perintah-perintah itu. Mereka memasuki Baitulmakdis tidak dengan merendahkan diri, dan mereka tidak memohon agar dibebaskan dari dosa. Akibat keingkaran dan pembangkangan mereka itu, mereka ditimpa azab yang berat. Menurut sebagian ahli tafsir, azab yang ditimpakan kepada mereka itu ialah berupa wabah penyakit kolera yang berjangkit dan menular sebagian mereka.

Ayat 163

وَسْـَٔلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِيْ كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِۘ اِذْ يَعْدُوْنَ فِى السَّبْتِ اِذْ تَأْتِيْهِمْ حِيْتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا وَّيَوْمَ لَا يَسْبِتُوْنَۙ لَا تَأْتِيْهِمْ ۛ كَذٰلِكَ ۛنَبْلُوْهُمْ بِمَا كَانُوْا يَفْسُقُوْنَ

was'alhum ‘anil-qaryatil-latī kānat ḥāḍiratal-baḥr(i), iż ya‘dūna fis-sabti iż ta'tīhim ḥītānuhum yauma sabtihim syurra‘aw wa yauma lā yasbitūn(a), lā ta'tīhim - każālika - nablūhum bimā kānū yafsuqūn(a).

Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, (yaitu) ketika datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, padahal pada hari-hari yang bukan Sabat ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka berlaku fasik.

Ayat ini diturunkan di Mekah, pada saat agama Islam mulai disiarkan dan disampaikan Nabi Muhammad saw, yang waktu itu beliau belum pernah berhubungan langsung dengan ulama-ulama Yahudi, dan beliau adalah seorang yang tidak tahu menulis dan membaca, sebagaimana firman Allah swt :

"Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu kitab sebelum (Al-Quran) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscaya ragu orang-orang yang mengingkari." (al-Ankabut/29: 48)

Ayat ini menunjukkan kemukjizatan Al-Quran yang menerangkan berita, peristiwa, atau kejadian yang telah terjadi pada masa yang lalu, tanpa seorang pun yang memberikan beritanya, selain dari Tuhan Yang Mahatahu.

Ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad agar beliau menerangkan kepada orang Yahudi di Medinah pada waktu itu, tentang tindakan yang telah dilakukan oleh nenek-moyang mereka, yang selalu mengingkari seruan para Nabi, walau bukti-bukti apa pun yang telah dikemukakan kepada mereka. Yang menceritakan tentang tindakan dan sikap nenek-moyang mereka itu adalah Nabi Muhammad seorang Nabi yang buta huruf, belum pernah berhubungan dengan orang-orang Yahudi pada waktu menerima ayat ini. Apakah hal ini tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa Muhammad benar-benar utusan Allah?

Qaryah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah sebagai berikut: ada yang menyebut Ailah, ada juga yang menyebutkan Tobaiah dan ada juga yang menyebut kota lain.Pada masa dahulu nenek-moyang Bani Israil yang berdiam di Ailah, suatu kota di pantai Laut Merah antara kota Madyan dan Sinai yang bermata pencaharian menangkap ikan, pernah diuji dan dicoba oleh Allah, untuk menguji keimanan dan ketaatan mereka. Mereka diperintahkan melakukan ibadah pada tiap Sabtu, dan dilarang menangkap ikan pada hari itu. Ketika ikan banyak bermunculan di permukaan air (laut) pada hari Sabtu yang nampak jinak dan mudah ditangkap, mereka melanggar larangan Allah pada hari tersebut untuk menangkap ikan dan tidak melakukan ibadah sebagaimana yang diperintahkan Allah pada hari itu.

Demikianlah Allah memberi ujian dan cobaan kepada Bani Israil. Mereka tidak tahan dan tidak tabah menghadapinya, bahkan mereka melanggar larangan Allah dan tidak melaksanakan perintah-Nya. Karena sikap dan tindakan mereka, maka bagi mereka berlaku Sunnatullah (ketentuan Allah), yaitu barang siapa yang menaati perintah Allah dan menghentikan larangan-Nya akan dianugerahi kenikmatan hidup di dunia dan di akhirat. Sebaliknya barang siapa yang ingkar kepada-Nya akan sengsara hidupnya di dunia, sedangkan di akhirat mereka mendapat azab yang pedih. Tentu Sunnatullah ini berlaku pula terhadap orang-orang yang fasik dan orang-orang Yahudi yang berada di Medinah, seperti yang berlaku pada nenek-moyang mereka.

Ayat 164

وَاِذْ قَالَتْ اُمَّةٌ مِّنْهُمْ لِمَ تَعِظُوْنَ قَوْمًاۙ ۨاللّٰهُ مُهْلِكُهُمْ اَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيْدًاۗ قَالُوْا مَعْذِرَةً اِلٰى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

wa iż qālat ummatum minhum lima ta‘iẓūna qaumā(n), allāhu muhlikuhum au mu‘ażżibuhum ‘ażāban syadīdā(n), qālū ma‘żiratan ilā rabbikum wa la‘allahum yattaqūn(a).

Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, “Mengapa kamu menasihati kaum yang akan dibinasakan atau diazab Allah dengan azab yang sangat keras?” Mereka menjawab, “Agar kami mempunyai alasan (lepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan agar mereka bertakwa.”

Sikap segolongan nenek-moyang Bani Israil yang mencela segolongan Bani Israil yang lain, yaitu memperingatkan Bani Israil yang telah mengingkari perintah Allah dan tidak menghentikan larangan-Nya. Dalam ayat ini dipahami pula bahwa tidak semua nenek-moyang Bani Israil mengabaikan perintah Allah dan melanggar larangan-Nya pada hari Sabat itu, ada di antara mereka yang melaksanakannya.

Dari ayat ini juga dapat diketahui bahwa dalam menyikapi perintah dan larangan Allah mereka terbagi kepada tiga kelompok, yaitu:

1. Kelompok yang mengabaikan perintah Allah dan melanggar larangan-Nya pada hari Sabat.

2. Kelompok yang memberi nasihat pada kelompok yang mengabaikan perintah Allah dan melanggar larangan-Nya.

3. Kelompok yang membantah tindakan kelompok yang memberi nasihat itu.

Kelompok kedua mengatakan kepada kelompok ketiga: "Kami memberi pelajaran kepada mereka itu, adalah untuk membebaskan diri dari perbuatan dosa dan untuk melaksanakan tugas kami, yaitu mencegah perbuatan yang mungkar. Kami berharap agar orang-orang yang durhaka itu sadar dan kembali ke jalan yang benar dan lurus".

Ketika Bani Israil tetap membangkang dan tidak mau kembali ke jalan Allah, dan tetap mengabaikan nasihat-nasihat yang telah diberikan, maka Allah menimpakan azab yang berat kepada mereka dan menyelamatkan orang-orang yang memberi nasihat tersebut.

Sebagian ulama berpendapat bahwa azab Allah tidak menimpa golongan ketiga, sedang sebagian ulama lagi berpendapat bahwa azab itu juga menimpa golongan ketiga, karena yang taat itu hanyalah golongan kedua saja, sedangkan golongan ketiga tidak melarang dari mengerjakan perbuatan yang mungkar, bahkan membantah dan menyalahkan orang yang melarang mengerjakan perbuatan yang mungkar.

Ayat 165

فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهٖٓ اَنْجَيْنَا الَّذِيْنَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوْۤءِ وَاَخَذْنَا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا بِعَذَابٍۢ بَـِٔيْسٍۢ بِمَا كَانُوْا يَفْسُقُوْنَ

falammā nasū mā żukkirū bihī anjainal-lażīna yanhauna ‘anis-sū'i wa akhażnal-lażīna ẓalamū bi‘ażābim ba'īsim bimā kānū yafsuqūn(a).

Maka setelah mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang orang berbuat jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.

Orang yang melanggar ketentuan-ketentuan Allah pada hari Sabat itu disebut "Orang-orang yang melupakan peringatan". Maksudnya ialah orang-orang yang tidak menghiraukan ancaman-ancaman Allah yang ditujukan kepada orang-orang yang ingkar kepada-Nya, tidak mengindahkan nasihat dan peringatan-Nya, dan tidak melaksanakan ajaran-ajaran-Nya. Bahkan telah berpaling dari ajaran itu. Seolah-olah mereka telah melupakannya dan tidak ada bekas sedikit pun dalam diri mereka tentang peringatan yang telah diberikan itu.

Karena itu, Allah menegaskan bagi mereka berlaku Sunnatullah, yaitu Allah menyelamatkan orang-orang yang taat kepada-Nya, dan mengazab orang-orang yang fasik dan durhaka, Allah menerangkan bahwa Bani Israil itu diazab bukanlah semata-mata karena kefasikan mereka yang melanggar ketentuan-ketentuan Allah pada hari Sabtu itu, tetapi juga perbuatan-perbuatan fasik yang selalu mereka kerjakan. Menurut Sunnatullah pula bahwa Dia mengazab orang-orang yang durhaka secara langsung di dunia, karena perbuatan dosa yang telah mereka lakukan, sebagaimana firman Allah swt:

Dan kalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ada yang ditinggalkan-Nya (di bumi) dari makhluk yang melata sekalipun.... (an-Nahl/16: 61)

Dan Allah memaafkan sebagian besar kesalahan-kesalahan hamba-hamba-Nya seperti dalam firman-Nya:

Dan apa saja musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu). (asy-Syura/42: 30)

Dalam ayat ini Allah akan langsung mengazab satu umat atau bangsa di dunia sebelum mereka menerima azab di akhirat, jika kezaliman umat atau bangsa itu besar pengaruhnya dan sukar menghilangkannya pada kehidupan manusia dan kemanusiaan, sebagaimana dinyatakan Allah dalam firman-Nya:

"Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya." (al-Anfal/8: 25)

Azab yang dimaksud telah ditimpakan kepada umat-umat yang terdahulu yang mengingkari seruan Nabi-nabi yang diutus kepada mereka.

Ayat 166

فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَّا نُهُوْا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُوْنُوْا قِرَدَةً خٰسِـِٕيْنَ

falammā ‘atau ‘am mā nuhū ‘anhu qulnā lahum kūnū qiradatan khāsi'īn(a).

Maka setelah mereka bersikap sombong terhadap segala apa yang dilarang. Kami katakan kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina.”

Ketika Bani Israil bertambah kezalimannya tidak mengindahkan nasihat-nasihat, maka Allah mengazab mereka dengan menjadikan mereka sebagai kera yang hina. Menurut para mufassirin merupakan tafsiran dari perkataan "azab yang sangat pedih" yang terdapat pada ayat di atas. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa hal ini merupakan azab yang lain yang ditimpakan Allah di samping azab yang pedih itu.

Para mufassir berbeda pendapatnya tentang: Apakah Bani Israil itu dijadikan kera yang sebenarnya atau hanya sifat dan watak mereka saja yang seperti kera, sedang badan mereka seperti badan manusia biasa. Jumhur ulama berpendapat bahwa mereka benar-benar menjadi kera, seperti kera yang sebenar-benarnya. Akan tetapi tidak beranak, tidak makan, tidak minum dan tidak hidup lebih dari tiga hari.

Menurut Mujahid yang diriwayatkan dari Ibnu Jarir dan pendapat al-Manar: Rupa mereka tidak ditukar menjadi kera, tetapi hati, jiwa dan sifat merekalah yang diubah menjadi kera. (uraian lengkapnya lihat Tafsir Surah al-Baqarah/2: 65).

Ayat 167

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكَ لَيَبْعَثَنَّ عَلَيْهِمْ اِلٰى يَوْمِ الْقِيٰمَةِ مَنْ يَّسُوْمُهُمْ سُوْۤءَ الْعَذَابِۗ اِنَّ رَبَّكَ لَسَرِيْعُ الْعِقَابِۖ وَاِنَّهٗ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

wa iż ta'ażżana rabbuka layab‘aṡanna ‘alaihim ilā yaumil-qiyāmati may yasūmuhum sū'al-‘ażāb(i), inna rabbaka lasarī‘ul-‘iqāb(i), wa innahū lagafūrur raḥīm(un).

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu memberitahukan, bahwa sungguh, Dia akan mengirim orang-orang yang akan menimpakan azab yang seburuk-buruknya kepada mereka (orang Yahudi) sampai hari Kiamat. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Nabi Muhammad dalam ayat ini diingatkan oleh Allah tentang pemberitahuan-Nya kepada orang-orang Yahudi, bahwa Dia akan mengirimkan manusia lain yang lebih perkasa dari mereka untuk menjajah dan menyiksa mereka. Mereka selalu akan hidup dalam kehinaan dan penderitaan sampai akhir zaman, disebabkan tindakan mereka yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dalam sejarah telah terbukti dengan jelas ancaman Allah tersebut. Sesudah zaman Nabi Sulaiman, bangsa Yahudi diperangi oleh bangsa Babilonia di bawah raja Nebukadnezar, mereka hancur, laki-laki banyak yang dibunuh dan wanita-wanitanya banyak yang dijadikan hamba sahaya. Banyak pula di antara mereka yang di bawa ke Babilonia sebagai tawanan, sesudah itu mereka dijajah berganti-ganti oleh bermacam-macam kerajaan, karena itu mereka mengalami penderitaan berabad-abad lamanya akibat peperangan yang tak henti-hentinya. Akhirnya mereka jatuh ke tangan bangsa Romawi sampai zaman Nabi Isa. Zaman Romawi Kristen mereka tidak mempunyai kekuasaan lagi, bahkan mereka diusir dari negeri mereka dan terpencar-pencar di beberapa negeri. Sebagian mereka melarikan diri ke Jazirah Arab. Tinggallah mereka di daerah ini dengan aman. Tetapi kemudian sesudah agama Islam datang, mereka memusuhi Nabi Muhammad. Padahal beliau telah memberikan kebebasan kepada mereka hidup di daerah Islam berdasarkan perjanjian dengan mereka. Karena sikap permusuhan dan pengkhianatan mereka, terpaksa kaum Muslimin mengusir mereka dari daerah Islam. Ada pula di antara mereka yang dibunuh atau terbunuh karena berpihak kepada kaum musyirikin waktu peperangan (Perang Ahzab).

Pada abad ke 20, mereka mengalami penderitaan yang tak terperikan. Dalam perang dunia kedua yang lalu, banyak orang Yahudi menjadi korban kekuasaan Nazi Jerman. Di Amerika, di Eropa dan di Rusia, dewasa ini mereka masih banyak mengalami penghinaan. Meskipun orang Yahudi sekarang sudah mempunyai tanah air (Negara Israel) namun mereka tetap dalam penderitaan, karena sikap mereka juga, disebabkan umat manusia di dunia ini, terutama umat Islam memusuhi mereka. Negara Israel itu dibentuk dengan mengusir rakyat Palestina yang menjadi penduduk asli negara tersebut. Demikianlah nasib bangsa Yahudi itu. Sesungguhnya hukum Allah berlaku terhadap umat yang mendurhakai perintah-perintah-Nya dan membuat onar. Tetapi pengampunan dan kasih sayang Allah sangatlah besar dan luas bagi mereka yang taubat dari dosanya, kembali ke jalan Allah dengan penuh kesadaran, dan dengan jalan mengadakan perbaikan. Allah pasti menghapus penderitaan mereka.

Ayat 168

وَقَطَّعْنٰهُمْ فِى الْاَرْضِ اُمَمًاۚ مِنْهُمُ الصّٰلِحُوْنَ وَمِنْهُمْ دُوْنَ ذٰلِكَ ۖوَبَلَوْنٰهُمْ بِالْحَسَنٰتِ وَالسَّيِّاٰتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

wa qaṭṭa‘nāhum fil-arḍi umamā(n), minhumuṣ-ṣāliḥūna wa minhum dūna żālik(a), wa balaunāhum bil-ḥasanāti was-sayyi'āti la‘allahum yarji‘ūn(a).

Dan Kami pecahkan mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan ada yang tidak demikian. Dan Kami uji mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).

Dalam ayat ini Allah menguraikan siksaan dan penderitaan mereka yakni mereka diceraiberaikan di atas bumi ini satu golongan berada di suatu daerah sedang golongan yang lain berada di daerah lain.

Sebagian mereka ada yang menjadi orang-orang yang selalu mengadakan perbaikan dan beriman kepada Nabi-nabi, tetapi ada pula yang benar-benar tenggelam dalam kekafiran dan kefasikan hingga membunuh Nabi-nabi, memutar balikkan isi Kitab Taurat dan memusuhi Nabi Muhammad.

Untuk membuat mereka sadar, mereka diuji dengan kesenangan dan penderitaan silih berganti, tetapi tidak membuat mereka jera. Mereka yang baik diberi anugerah kebaikan dan kebahagiaan. Mereka yang durhaka diturunkan bencana kesengsaraan. Semuanya itu cobaan bagi mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.

Ayat 169

فَخَلَفَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَّرِثُوا الْكِتٰبَ يَأْخُذُوْنَ عَرَضَ هٰذَا الْاَدْنٰى وَيَقُوْلُوْنَ سَيُغْفَرُ لَنَاۚ وَاِنْ يَّأْتِهِمْ عَرَضٌ مِّثْلُهٗ يَأْخُذُوْهُۗ اَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ مِّيْثَاقُ الْكِتٰبِ اَنْ لَّا يَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ اِلَّا الْحَقَّ وَدَرَسُوْا مَا فِيْهِۗ وَالدَّارُ الْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ

fa khalafa mim ba‘dihim khalfuw wariṡul-kitāba ya'khużūna ‘araḍa hāżal-adnā wa yaqūlūna sayugfaru lanā, wa iy ya'tihim ‘araḍum miṡluhū ya'khużūh(u), alam yu'khaż ‘alaihim mīṡāqul-kitābi allā yaqūlū ‘alallāhi illal-ḥaqqa wa darasū mā fīh(i), wad-dārul-ākhiratu khairul lil-lażīna yattaqūn(a), afalā ta‘qilūn(a).

Maka setelah mereka, datanglah generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini. Lalu mereka berkata, “Kami akan diberi ampun.” Dan kelak jika harta benda dunia datang kepada mereka sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah mereka sudah terikat perjanjian dalam Kitab (Taurat) bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah, kecuali yang benar, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? Negeri akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka tidakkah kamu mengerti?

Dalam ayat ini Allah menerangkan satu generasi dari Yahudi yang menggantikan golongan bangsa Yahudi tersebut di atas. Mereka adalah bangsa Yahudi yang hidup di zaman Nabi Muhammad yang mewarisi Taurat dari nenek-moyang mereka dan menerima begitu saja segala apa yang tercantum di dalamnya. Hukum halal dan haram, perintah dan larangan dalam kitab itu mereka ketahui, tetapi mereka tidak mengamalkannya. Mereka mengutamakan kepentingan duniawi dengan segala kemegahan yang akan lenyap. Mereka mencari harta benda dengan usaha-usaha yang lepas dari hukum moral dan agama, mengembangkan riba, makan suap, pilih kasih dalam hukum dan lain sebagainya, karena mereka berpendapat bahwa Allah kelak akan mengampuni dosa mereka. Orang-orang Yahudi itu menganggap dirinya kekasih Allah dan bangsa pilihan. Anggapan demikian hanyalah menyesatkan pikiran mereka. Oleh karena itu setiap ada kesempatan untuk memperoleh keuntungan duniawi seperti uang suap, riba dan sebagainya, tidaklah mereka sia-siakan.

Allah menegaskan kesalahan pendapat dan anggapan mereka yang berkepanjangan dalam kesesatan dan tenggelam dalam nafsu kebendaan. Allah mengungkapkan adanya ikatan perjanjian antara mereka dengan Allah yang tercantum dalam Taurat, bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali kebenaran. Tetapi mereka memutarbalikkan isi Taurat, karena didorong oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan duniawi, padahal mereka telah memahami dengan baik isi Taurat itu dan sadar akan kesalahan perbuatan itu. Seharusnya mereka lebih mengutamakan kepentingan ukhrawi dengan berbuat sesuai dengan petunjuk Allah dan Taurat daripada keuntungan duniawi. Bagi orang yang takwa, kebahagiaan akhirat lebih baik daripada kebahagiaan duniawi yang terbatas itu. Mengapa mereka tidak merenungkan hal yang demikian?

Ayat ini menjelaskan bahwa kecenderungan kepada materi dan hidup kebendaan, merupakan faktor yang menyebabkan kecurangan orang Yahudi sebagai suatu bangsa yang punya negara. Karena kecintaan yang besar kepada kehidupan duniawi, mereka kehilangan petunjuk agama serta kering dalam kehidupan kerohanian.

Apa yang menimpa orang Yahudi zaman dahulu mungkin pula menimpa orang-orang Islam zaman sekarang, karena mereka lebih banyak mengutamakan kehidupan materiil dan menyampingkan kehidupan spirituil kerohanian sehingga sepak terjang mereka sangat jauh dari ajaran Al-Quran.

Ayat 170

وَالَّذِيْنَ يُمَسِّكُوْنَ بِالْكِتٰبِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۗ اِنَّا لَا نُضِيْعُ اَجْرَ الْمُصْلِحِيْنَ

wal-lażīna yumassikūna bil-kitābi wa aqāmuṣ-ṣalāh(ta), innā lā nuḍī‘u ajral-muṣliḥīn(a).

Dan orang-orang yang berpegang teguh pada Kitab (Taurat) serta melaksanakan salat, (akan diberi pahala). Sungguh, Kami tidak akan menghilangkan pahala orang-orang saleh.

Ayat ini menyebutkan sebagian orang Yahudi yang patut mendapat anugerah penghargaan karena sikap mereka yang teguh berpegang kepada isi Taurat. Mereka menaati segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Orang Yahudi tersebut sewaktu mendengar seruan Nabi Muhammad segera beriman kepadanya sesuai dengan petunjuk Taurat, seperti Abdullah Ibnu Salam dan kawan-kawannya. Mereka mendirikan salat yang menjadi tiang agama dan pembeda antara orang yang mukmin dengan orang yang kafir. Allah tidak akan menyia-nyiakan segala amal kebaikan yang telah mereka lakukan. Tentulah Dia akan memberikan ganjaran kepada mereka, karena mereka telah melakukan perbaikan atas perbuatan mereka.

Allah swt berfirman:

"Sungguh, mereka yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan perbuatan yang baik itu." (al-Kahf/18: 30)

Ayat 171

۞ وَاِذْ نَتَقْنَا الْجَبَلَ فَوْقَهُمْ كَاَنَّهٗ ظُلَّةٌ وَّظَنُّوْٓا اَنَّهٗ وَاقِعٌۢ بِهِمْۚ خُذُوْا مَآ اٰتَيْنٰكُمْ بِقُوَّةٍ وَّاذْكُرُوْا مَا فِيْهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ ࣖ

wa iż nataqnal-jabala fauqahum ka'annahum ẓullatuw wa ẓannū annahū wāqi‘um bihim, khużū mā ātainākum biquwwatiw ważkurū mā fīhi la‘allakum tattaqūn(a).

Dan (ingatlah) ketika Kami mengangkat gunung ke atas mereka, seakan-akan (gunung) itu naungan awan dan mereka yakin bahwa (gunung) itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami firmankan kepada mereka), “Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya agar kamu menjadi orang-orang bertakwa.”

Kemudian Allah mengakhiri kisah tentang orang Yahudi dengan memperingatkan kembali peristiwa ketika mereka pertama kali menerima Taurat. Sewaktu Bukit Sinai diangkat ke atas kepala mereka sehingga gunung itu bagaikan gumpalan awan yang gelap, mereka melihat gunung yang terapung di udara itu akan jatuh menimpa mereka. Sadarlah mereka terhadap ancaman Allah bahwa jika mereka menentang perintah agama, tentulah mereka akan binasa. Saat itu Allah berseru kepada mereka agar mereka menerima dan menaati hukum-hukum agama yang tercantum dalam Taurat dengan sungguh-sungguh. Dan mereka hendaklah mengingat perintah dan larangan-Nya dalam Taurat, mengamalkannya dan tidak mengabaikannya, walaupun mereka mengalami kesulitan dan penderitaan. Ketaatan mereka kepada hukum-hukum agama serta perintah dan larangannya dengan sebenarnya, membawa mereka kepada pembinaan pribadi dan takwa.

Ayat 172

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ

wa iż akhaża rabbuka mim banī ādama min ẓuhūrihim żurriyyatahum wa asyhadahum ‘alā anfusihim, alastu birabbikum, qālū balā - syahidnā - an taqūlū yaumal-qiyāmati innā kunnā ‘an hāżā gāfilīn(a).

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.”

Dalam ayat ini Allah menerangkan tentang janji yang dibuat pada waktu manusia dilahirkan dari rahim orang tua (ibu) mereka, secara turun temurun, yakni Allah menciptakan manusia atas dasar fitrah. Allah menyuruh roh mereka untuk menyaksikan susunan kejadian diri mereka yang membuktikan keesaan-Nya, keajaiban proses penciptaan dari setetes air mani hingga menjadi manusia bertubuh sempurna, dan mempunyai daya tanggap indra, dengan urat nadi dan sistem urat syaraf yang mengagumkan, dan sebagainya. Berkata Allah kepada roh manusia "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Maka menjawablah roh manusia, "Benar (Engkaulah Tuhan kami), kami telah menyaksikan." Jawaban ini merupakan pengakuan roh pribadi manusia sejak awal kejadiannya akan adanya Allah Yang Maha Esa, yang tiada Tuhan lain yang patut disembah kecuali Dia.

Dengan ayat ini Allah bermaksud untuk menjelaskan kepada manusia, bahwa hakikat kejadian manusia itu didasari atas kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa. Sejak manusia itu dilahirkan dari rahim orang tua mereka, ia sudah menyaksikan tanda-tanda keesaan Allah pada kejadian mereka sendiri, Allah berfirman pada ayat lain:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (ar-Rum/30: 30)

Fitrah Allah maksudnya ialah tauhid. Rasulullah bersabda:

"Tak seorang pun yang dilahirkan kecuali menurut fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana halnya hewan melahirkan anaknya yang sempurna telinganya, adakah kamu ketahui ada cacat pada anak hewan itu?" (Riwayat al-Bukhari Muslim, dari Abu Hurairah)

Rasulullah dalam hadis Qudsi:

Berfirman Allah Taala, "Sesungguhnya Aku ciptakan hamba-Ku cenderung (ke agama tauhid). Kemudian datang kepada mereka setan-setan dan memalingkan mereka dari agama (tauhid) mereka, maka haramlah atas mereka segala sesuatu yang telah Kuhalalkan bagi mereka." (Riwayat al-Bukhari dari Iyadh bin Himar)

Penolakan terhadap ajaran Tauhid yang dibawa Nabi itu sebenarnya perbuatan yang berlawanan dengan fitrah manusia dan dengan suara hati nurani mereka. Karena itu tidaklah benar manusia pada hari Kiamat nanti mengajukan alasan bahwa mereka alpa, tak pernah diingatkan untuk mengesakan Allah. Fitrah mereka sendiri dan ajaran Nabi-nabi senantiasa mengingatkan mereka untuk mengesakan Allah dan menaati seruan Rasul serta menjauhkan diri dari syirik.

Ayat 173

اَوْ تَقُوْلُوْٓا اِنَّمَآ اَشْرَكَ اٰبَاۤؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِّنْۢ بَعْدِهِمْۚ اَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُوْنَ

au taqūlū innamā asyraka ābā'unā min qablu wa kunnā żurriyyatam mim ba‘dihim, afatuhlikunā bimā fa‘alal-mubṭilūn(a).

Atau agar kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya nenek moyang kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami adalah keturunan yang (datang) setelah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang (dahulu) yang sesat?”

Kemudian dalam ayat ini, Allah menegaskan lagi bahwa tidaklah benar orang kafir itu berkata pada hari Kiamat sebagai alasan bahwa nenek-moyang merekalah yang pertama kali menciptakan kemusyrikan kemudian meneruskan kebiasaan syirik itu kepada mereka. Sebagai keturunan dari mereka, mereka mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui kesalahan-kesalahan yang dilakukan leluhur mereka sehingga tidak mengetahui jalan menuju tauhid. Apakah kami harus binasa dan disiksa akibat kesalahan dan perbuatan nenek moyang kami.

Taklid kepada leluhur tidaklah dapat dijadikan alasan untuk mengingkari keesaan Allah, karena bukti keesaan Allah sangat jelas di hadapan mereka, dan mereka mampu menarik kesimpulan dari bukti-bukti itu sehingga mereka sampai kepada tauhid.

Ayat 174

وَكَذٰلِكَ نُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ وَلَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

wa każālika nufaṣṣilul-āyāti wa la‘allahum yarji‘ūn(a).

Dan demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran).

Kemudian Allah menyatakan bahwa segala yang telah disebutkan di atas yaitu tentang diciptakannya manusia atas dasar fitrah yang cenderung kepada agama tauhid, dan kelemahan alasan-alasan mereka dalam menolak ajaran tauhid, adalah sebagai peringatan Allah kepada manusia, tentang ayat-ayatnya, agar mereka mempergunakan akal dan pikiran mereka dan kembali ke jalan tauhid, kembali kepada fitrahnya dan menjauhkan diri dari taklid kepada nenek-moyang mereka dan dari kealpaan dan kejahilan.

Ayat 175

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ الَّذِيْٓ اٰتَيْنٰهُ اٰيٰتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَاَتْبَعَهُ الشَّيْطٰنُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِيْنَ

watlu ‘alaihim naba'al-lażī ātaināhu āyātinā fansalakha minhā fa atba‘ahusy-syaiṭānu fa kāna minal-gāwīn(a).

Dan bacakanlah (Muhammad) kepada mereka, berita orang yang telah Kami berikan ayat-ayat Kami kepadanya, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang yang sesat.

Allah dalam ayat ini menyuruh Rasul-Nya agar membacakan kepada orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin, sebuah riwayat kehidupan seorang laki-laki yang telah diberi Allah ilmu pengetahuan tentang isi Al-Kitab dan ke-Tuhan-an dan dia memahami dalil-dalil keesaan Allah sehingga dia menjadi seorang yang alim.

Tentang siapa orang dimaksud dalam ayat ini, beberapa mufasir berbeda pendapat. Ada beberapa orang terkemuka pada masa Nabi yang sudah membaca kitab-kitab suci dan mengetahui bahwa Allah akan mengutus seorang rasul pada waktu itu. Mereka yang berambisi berharap-harap sekiranya dialah yang akan diutus menjadi nabi, seperti Umayyah, penyair dari suku Saqif yang terkenal, ada yang mengatakan orang itu adalah Abu 'a„mir ar-Rahib, yang lain berkata ayat tidak ditujukan kepada pribadi, melainkan kepada golongan, mereka adalah orang-orang Quraisy dengan ayat-ayat yang diturunkan kepada Nabi, tetapi mereka menolak. Pendapat mengatakan bahwa yang dituju adalah kaum munafik Ahli Kitab yang sudah mengenal Rasulullah seperti mengenal sanak keluarga mereka sendiri, tetapi mereka juga menolak. Bahkan ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah seseorang di zaman Nabi Musa, pendapat lain mengatakan ditujukan kepada Firaun dan golongannya yang menolak seruan Musa. Beberapa mufasir cenderung menerima pernyataan Qatadah, Ikrimah dan Abu Muslim dari kalangan salaf, bahwa tujuan ayat ini adalah umum sebagai suatu pelajaran rohani yang amat agung, bukan ditujukan kepada pribadi atau golongan tertentu, seperti dikemukakan oleh beberapa mufassir yang kemudian. Macam manusia yang dimaksud di sini ialah orang yang memahami risalah ilahi, tetapi ia menolak menerima kebenaran itu, ia sudah dikuasai oleh kehidupan dunia materi seperti diisyaratkan dalam ayat berikutnya, "dan ia cenderung pada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah."

Ayat 176

وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنٰهُ بِهَا وَلٰكِنَّهٗٓ اَخْلَدَ اِلَى الْاَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوٰىهُۚ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ الْكَلْبِۚ اِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ اَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْۗ ذٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَاۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

wa lau syi'nā larafa‘nāhu bihā wa lākinnahū akhlada ilal-arḍi wattaba‘a hawāh(u), fa maṡaluhū kamaṡalil-kalb(i), in taḥmil ‘alaihi yalhaṡ au tatrukūhu yalhaṡ, żālika maṡalul-qaumil-lażīna każżabū bi'āyātinā, faqṣuṣil-qaṣaṣa la‘allahum yatafakkarūn(a).

Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir.

Dalam ayat ini Allah menjelaskan sekiranya Allah berkehendak mengangkat laki-laki itu dengan ilmu yang telah diberikan kepadanya ke martabat yang lebih tinggi, tentulah Dia berkuasa berbuat demikian. Tetapi laki-laki itu telah menentukan pilihannya ke jalan yang sesat. Dia menempuh jalan yang berlawanan dengan fitrahnya, berpaling dari ilmunya sendiri, karena didorong oleh keingkaran pribadi, yakni kemewahan hidup duniawi. Dia mengikuti hawa nafsunya dan tergoda oleh setan. Segala petunjuk dari Allah dilupakannya, suara hati nuraninya tidak didengarnya lagi.

Firman Allah:

"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya." (al-Kahf/18: 7)

Semestinya, orang yang diberi ilmu dan kecakapan itu, meningkatkan kejiwaanya, menempatkan dirinya ke tingkat kesempurnaan, mengisi ilmu dan imannya dengan perbuatan-perbuatan yang luhur disertai niat yang ikhlas dan itikad yang benar. Tetapi laki-laki itu setelah diberi nikmat oleh Allah berupa ilmu pengetahuan tentang keesaan Allah, ia keluar "seperti ular yang keluar dari lapisan kulit luarnya dan menanggalkannya untuk selamanya." Dalam ayat ini dipakai kata insalakha, انسلخ "keluar dari kulit, selubung atau selongsong," yakni menanggalkan ilmu yang diberikan Allah kepadanya, dan tetap kafir seperti halnya dia tidak diberi apa-apa. Karena itu dalam ayat berikutnya Allah mengumpamakannya seperti anjing yang keadaannya sama saja diberi beban atau dibiarkan, dia tetap menjulurkan lidahnya. Laki-laki yang memiliki sifat seperti anjing ini, tergolong manusia yang paling buruk.

Hal demikian menggambarkan kerakusan terhadap harta benda duniawi. Dia selalu menyibukkan jiwa dan raganya untuk memburu benda duniawi, sehingga tampak sebagai seorang yang sedang lapar dan haus tak mengenal puas. Keadaannya seperti anjing yang menjulurkan lidahnya, tampaknya selalu haus dan lapar tidak mengenal puas menginginkan air dan makanan.

Demikian pula perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Mereka menentangnya, baik disebabkan kebodohan ataupun karena fanatisme mereka terhadap dunia yang menyebabkan mereka menutup mata terhadap kebenaran dan meninggalkannya. Mereka menyadari kebenaran yang dibawa Muhammad, dan mengakui kesesatan dan kesalahan nenek-moyang mereka setelah mereka merenungkan bukti kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah. Tetapi kesadaran dan pengakuan demikian itu lenyap dari jiwa mereka sebab hawa nafsu mereka yang hanya mengejar kenikmatan duniawi, misalnya ingin kekuasaan dan kekayaan. Kaum Yahudi dan kaum musyrikin Arab menolak ayat-ayat Allah karena mereka ingin mempertahankan kekuasaan dan kepentingan mereka. Mereka takut kehilangan kenikmatan dan kemewahan hidup. Setan telah menggoda mereka agar tergelincir dari fitrah kejadian mereka yakni kecenderungan kepada agama tauhid.

Cerita laki-laki yang mempunyai banyak persamaan dengan kaum penentang ayat-ayat Allah itu, patut mendapat perhatian agar mereka mau merenungkan dan memikirkan ayat-ayat Allah dengan jujur dan obyektif lepas dari rasa permusuhan dan kepentingan pribadi.

Ayat 177

سَاۤءَ مَثَلًا ۨالْقَوْمُ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَاَنْفُسَهُمْ كَانُوْا يَظْلِمُوْنَ

sā'a maṡalanil-qaumul-lażīna każżabū bi'āyātinā wa anfusahum kānū yaẓlimūn(a).

Sangat buruk perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami; mereka menzalimi diri sendiri.

Pada ayat ini Allah menegaskan lagi betapa buruknya perumpamaan bagi mereka yang mendustakan ayat-ayat Allah. Mereka disamakan dengan anjing baik karena kesamaan kelemahan keduanya yakni mereka tetap dalam kesesatan diberi peringatan atau tidak diberi peringatan, atau karena kesamaan kebiasaan keduanya. Anjing itu tidak mempunyai cita-cita kecuali keinginan mendapat makanan dan kepuasan. Siapa saja yang meninggalkan ilmu dan iman lalu menjurus kepada hawa nafsu, maka dia serupa dengan anjing. Orang yang demikian tidak siap lagi berfikir dan merenungkan tentang kebenaran. Orang yang demikian itu sebenarnya menganiaya dirinya sendiri.

Ayat 178

مَنْ يَّهْدِ اللّٰهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِيْۚ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ

may yahdillāhu fa huwal-muhtadī, wa may yuḍlil fa ulā'ika humul-khāsirūn(a).

Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang rugi.

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang mendapat hidayat dari Allah ialah orang yang diberi bimbingan oleh-Nya dalam mempergunakan akal pikirannya, indranya, dan tenaganya sesuai dengan fitrahnya dan tuntunan agama sendiri. Dia syukuri nikmat Allah, dia tunaikan kewajiban-kewajiban agama, maka berbahagialah dia di dunia dan di akhirat. Sebaliknya yang merugi di dunia dan di akhirat ialah mereka yang dijauhkan dari pedoman yang ditetapkan Allah dalam mempergunakan akal pikirannya, indranya, dan tenaganya, dia ikuti hawa nafsunya, tidak mau memahami ayat-ayat Allah dan tidak mau mensyukuri nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Sesungguhnya jalan kepada petunjuk Allah itu hanyalah satu, yaitu beribadah kepada-Nya dengan amal kebajikan yang lahir karena iman itu. Sedangkan jalan yang menuju kepada kesesatan banyak ragamnya, karena manusia berpecah-belah, satu sama lain saling bermusuhan, dan menimbulkan pada bermacam-macam kejahatan.

Firman Allah:

Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. (al-Anam/6: 153)

Ayat 179

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ

wa laqad żara'nā lijahannama kaṡīram minal-jinni wal-ins(i), lahum qulūbul lā yafqahūna bihā wa lahum a‘yunul lā yabṣirūna bihā wa lahum āżānul lā yasma‘ūna bihā, ulā'ika kal-an‘āmi bal hum aḍall(u), ulā'ika humul-gāfilūn(a).

Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.

Kemudian Allah dalam ayat ini menguraikan apa yang tidak terperinci pada ayat-ayat yang lampau tentang hal-hal yang menyebabkan terjerumusnya manusia ke dalam kesesatan. Allah menjelaskan banyak manusia menjadi isi neraka Jahanam seperti halnya mereka yang masuk surga, sesuai dengan amalan mereka masing-masing.

Hal-hal yang menyebabkan manusia itu diazab di neraka Jahanam ialah: bahwa akal dan perasaan mereka tidak dipergunakan untuk memahami keesaan dan kebesaran Allah, padahal kepercayaan pada keesaan Allah itu membersihkan jiwa mereka dari segala macam was-was dan dari sifat hina serta rendah diri, lagi menanamkan pada diri mereka rasa percaya terhadap dirinya sendiri.

Demikian pula mereka tidak menggunakan akal pikiran mereka untuk kehidupan rohani dan kebahagiaan abadi. Jiwa mereka terikat kepada kehidupan duniawi, sebagaimana difirmankan Allah:

"Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai." (ar-Rum/30: 7)

Mereka tidak memahami bahwa tujuan mereka diperintahkan menjauhi kemaksiatan, dan berbuat kebajikan, adalah untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Mereka tidak memahami hukum-hukum masyarakat dan pengaruh kepercayaan agama Islam dalam mempersatukan umat. Mereka tidak memahami tanda-tanda keesaan Allah, baik dalam diri manusia maupun yang ada di permukaan bumi. Mereka tidak memahami dan merenungkan wahyu Tuhan yang disampaikan kepada Rasul-Nya.

Mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakan untuk melihat bukti kebenaran dan keesaan Allah. Segala kejadian dalam sejarah manusia, segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia setiap hari, yang dilihat dan yang didengar, tidak menjadi bahan pemikiran dan renungan untuk dianalisa dan hal ini disimpulkan Allah dalam firman-Nya:

"Dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka (selalu) mengingkari ayat-ayat Allah dan (ancaman) azab yang dahulu mereka memperolok-olokkannya telah mengepung mereka." (al-Ahqaf/46: 26)

Mereka tidak dapat memanfaatkan mata, telinga, dan akal sehingga mereka tidak memperoleh hidayat Allah yang membawa mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Keadaan mereka seperti binatang bahkan lebih buruk dari binatang, sebab binatang tidak mempunyai daya-pikir untuk mengolah hasil penglihatan dan pendengarannya. Binatang bereaksi dengan dunia luar berdasarkan naluri dan bertujuan hanyalah untuk mempertahankan hidup. Dia makan dan minum, serta memenuhi kebutuhannya, tidaklah melampaui dari batas kebutuhan biologis hewani. Tetapi bagaimana dengan manusia, bila sudah menjadi budak hawa-nafsu. Dan akal mereka tidak bermanfaat lagi. Mereka berlebihan dalam memenuhi kebutuhan jasmani mereka sendiri, berlebihan dalam mengurangi hak orang lain. Diperasnya hak orang lain bahkan kadang-kadang di luar perikemanusiaan.

Bila sifat demikian menimpa satu bangsa dan negara, maka negara itu akan menjadi serakah dan penindas bangsa dan negara lain. Mereka mempunyai hati (perasaan dan pikiran), tetapi tidak digunakan untuk memahami ayat-ayat (Allah). Mereka lupa dan melalaikan bukti-bukti kebenaran Allah pada diri pribadi, pada kemanusiaan dan alam semesta ini, mereka melupakan penggunaan perasaan dan pikiran untuk tujuan-tujuan yang luhur dan meninggalkan kepentingan yang pokok dari kehidupan manusia sebagai pribadi dan bangsa.

Ayat 180

وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَاۖ وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْٓ اَسْمَاۤىِٕهٖۗ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ۖ

wa lillāhil-asmā'ul-ḥusnā fad‘ūhu bihā, wa żarul-lażīna yulḥidūna fī asmā'ih(ī), sayujzauna mā kānū ya‘malūn(a).

Dan Allah memiliki Asma'ul-husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutnya Asma'ul-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.

Al-Asmaul Husna artinya nama-nama Allah yang paling baik, paling luas, dan paling dalam pengertiannya, sebagaimana sabda Rasulullah:

"Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, barangsiapa menghafalnya masuklah dia ke surga." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Jumlah sembilan puluh sembilan itu tidaklah berarti batas jumlah, sesungguhnya nama Allah itu tidaklah terbatas. Dalam Al-Quran nama Allah lebih dari jumlah angka tersebut. Nama-nama itu merupakan sifat dari zat Allah Yang Maha Esa, bukan zat Tuhan yang dikira orang musyrikin.

Mengenai Asmaul Husna yang sembilan puluh sembilan itu diriwayatkan oleh at-Tirmizi dan al-Hakim dari jalan (sanad) al-Walid bin Muslim sebagai berikut:

Dialah Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia. (1) Yang Maha Pengasih, (2) Yang Maha Penyayang, (3) Maharaja, (4) Yang Mahasuci, (5) Maha Sejahtera, (6) Yang Maha Menenteramkan, (7) Yang Maha Memelihara, (8) Yang Mahaperkasa, (9) Yang Mahakuasa, (10) Yang Maha Memiliki Kebesaran, (11) Yang Maha Menciptakan, (12) Yang Mengadakan, (13) Yang Membentuk Rupa, (14) Yang Maha Pengampun, (15) Yang Maha Mengalahkan, (16) Yang Maha Pemberi, (17) Yang Maha Memberi Rezeki, (18) Yang Maha Memberi Keputusan, (19) Yang Maha Mengetahui, (20) Yang Maha Membatasi Rezeki, (21) Yang Maha Melapangkan Rezeki, (22) Yang Maha Merendahkan, (23) Yang Maha Meninggikan, (24) Yang Maha Menjadikan Mulia, (25) Yang Menjadikan Hina, (26) Yang Maha Mendengar, (27) Yang Maha Melihat, (28) Yang Jadi Hakim, (29) Yang Mahaadil, (30) Yang Mahahalus, (31) Yang Mahateliti, (32) Yang Mahasantun, (33) Yang Mahaagung, (34) Yang Maha Mengampuni, (35) Yang Maha Mensyukuri, (36) Yang Mahatinggi, (37) Yang Mahabesar, (38) Yang Maha Memelihara, (39) Yang Maha Penentu Waktu, (40) Yang Maha Membuat Perhitungan, (41) Yang Penuh Kebesaran, (42) Yang Maha Pemurah, (43) Yang Jadi Pengawas, (44) Yang Maha Mengabulkan, (45) Yang Mahaluas, (46) Yang Maha Bijaksana, (47) Yang Maha Mencintai,(48)Yang Mahamulia, (49) Yang Maha Membangkitkan, (50) Yang Maha Menjadi Saksi, (51) Yang Penuh Kebenaran, (52) Yang Maha Menjadi Tempat Bertawakkal, (53) Yang Mahakuat, (54) Yang Mahakokoh, (55) Yang Maha Melindungi, (56) Yang Maha Terpuji, (57) Yang Maha Menghitung, (58) Yang Maha Menciptakan, (59) Yang Maha Mengembalikan, (60) Yang Menghidupkan, (61) Yang Mematikan, (62) Yang Maha Hidup, (63) Yang Berdiri Sendiri, (64) Yang Maha Menemukan, (65) Yang Mahamulia, (66) Yang Mahamandiri, (67) Yang Maha Esa, (68) Yang Maha Tumpuan, (69) Yang Maha Kuasa, (70) Yang Maha Menentukan, (71) Yang Maha Mendahulukan, (72) Yang Maha Mengakhirkan, (73) Yang Mahaawal, (74) Yang Mahaakhir, (75) Yang Mahanyata, (76) Yang Maha Tersembunyi, (77) Yang Maha Melindungi, (78) Yang Maha Meninggikan, (79) Yang Maha Pelimpah Kebajikan, (80) Yang Maha Penerima Tobat, (81) Yang Maha Pembalas, (82) Yang Maha Pemaaf, (83) Yang Maha Penyantun, (84) Yang Memiliki Kekuasaan, (85) Yang Maha Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan, (86) Yang Mahaadil, (87) Yang Menghimpun, (88) Yang Mahakaya, (89) Yang Maha Memberi Kekayaan, (90) Yang Maha Mencegah, (91) Yang Maha Pemberi Mudarat, (92) Yang Maha Pemberi Manfaat, (93) Yang Maha Bercahaya, (94) Yang Maha Pemberi Petunjuk, (95) Yang Maha Pencipta Keindahan, (96) Yang Mahakekal, (97) Yang Maha Mewarisi, (98) Yang Maha Pemberi Bimbingan, (99) Yang Mahasabar. (Riwayat at-Tirmizi dan al-Hakim)

Terjemahan nama-nama Allah sesungguhnya tidak dapat diterjemahkan secara tepat. Terjemahan ini sekedar untuk menjelaskan maknanya sesuai dengan keterbatasan bahasa Indonesia.

Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menyebutkan nama-nama yang paling baik ini dalam berdoa dan berzikir. Karena dengan berdoa dan berzikir itu mereka selalu ingat kepada Allah, dan iman mereka bertambah hidup dan subur dalam jiwa mereka

Dalam pada itu Allah memerintahkan pula kepada orang-orang yang beriman agar mereka meninggalkan perilaku orang-orang yang menyimpangkan pengertian nama-nama Allah dari pengertian yang benar, misalnya dengan memberikan tawil atau memutar-balikkan pengertian sehingga mengaburkan kesempurnaan yang mutlak dari sifat-sifat Allah. Mereka yang berbuat demikian kelak akan ditimpa azab Allah. Penyimpangan atau penyelewengan dari nama-nama Allah Yang Maha Sempurna itu bermacam-macam bentuknya, antara lain:

1. Memberikan nama kepada Allah dengan nama yang tidak terdapat dalam Al-Quran ataupun dalam hadis Rasul yang sahih. Semua ulama sepakat bahwa nama dan sifat Allah itu harus didasarkan atas penjelasan Al-Quran dan hadis Rasul (tauqifi).

2. Menolak nama-nama dan sifat-sifat yang telah ditetapkan oleh Allah untuk zat-Nya, atau menolak untuk menisbahkan suatu perbuatan kepada Allah karena memandang yang demikian itu tidak patut bagi kesucian-Nya atau mengurangi kesucian-Nya. Mereka yang menolak ini memandang diri mereka seolah-olah lebih mengetahui dari Allah dan Rasul-Nya, mana yang layak dan mana yang tidak layak bagi Allah.

3. Menamakan sesuatu selain Allah dengan nama yang hanya layak bagi Allah.

4. Memutar-balikkan nama dan sifat-sifat Allah dengan penafsiran sendiri sehingga keluar dari pengertian dan maksud yang sebenarnya, seperti paham yang mengatakan bahwa sifat-sifat Allah sama dengan sifat manusia, seperti mendengar, melihat, berkata-kata, punya muka, tangan, kaki, tertawa, marah, senang dan sebagainya. Kendati Allah memiliki sifat mendengar, melihat dan sebagainya, namun mendengarnya Allah tidak sama dengan mendengarnya makhluk, melihatnya Allah tidak sama dengan melihatnya makhluk. Atau paham yang memberikan takwil terhadap sifat-sifat Allah sedemikian rupa sehingga sifat Allah itu tidak memilikik arti sama sekali.

5. Mempersekutukan Allah dengan sembahan selain Allah dalam segi nama yang khusus untuk Allah. Seperti memakai lafal Allah untuk sebuah berhala atau kata Rabbul alamin.

Ayat 181

وَمِمَّنْ خَلَقْنَآ اُمَّةٌ يَّهْدُوْنَ بِالْحَقِّ وَبِهٖ يَعْدِلُوْنَ ࣖ

wa mimman khalaqnā ummatuy yahdūna bil-ḥaqqi wa bihī ya‘dilūn(a).

Dan di antara orang-orang yang telah Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan (dasar) kebenaran, dan dengan itu (pula) mereka berlaku adil.

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia menciptakan juga satu umat yang besar jumlahnya untuk menempati surga. Mereka terdiri dari umat-umat dan suku-suku yang berjuang untuk membimbing manusia ke jalan yang benar serta mendidik mereka berpendirian teguh. Mereka menegakkan keadilan dan kebenaran yang telah ditetapkan Allah dan tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali jalan Allah itu. Mereka inilah umat Nabi Muhammad saw.

Berkata Rasulullah saw berhubungan dengan ayat ini :

"Inilah umatku dengan kebenaran mereka memerintah, menetapkan keputusan-keputusan, mengambil (hak mereka) dan memberikan (hak orang lain)". (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dalam shahihain)

Rasulullah saw berkata dalam hadis lain :

"Senantiasa ada segolongan umatku yang menegakkan kebenaran, siapa yang menentang mereka tidaklah dapat menyusahkan mereka hingga datang ketentuan Allah (hari Kiamat)." (Riwayat Ibnu Majah dari sauban)

Dari hadis-hadis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ijmak ulama menjadi hujah pada setiap masa, dan pada tiap masa itu pasti ada orang-orang yang ahli ijtihad.

Ayat 182

وَالَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُوْنَ

wal-lażīna każżabū bi'āyātinā sanastadrijuhum min ḥaiṡu lā ya‘lamūn(a).

Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.

Allah menerangkan dalam ayat ini, bahwa mereka yang mendustakan ayat-ayat Allah seperti orang-orang Quraisy yang menentang dakwah Muhammad saw, tentu akan menerima hukuman Allah secara berangsur-angsur tanpa menyadari akibat kesesatan mereka itu. Hal demikian disebabkan mereka tidak memahami Sunatullah dalam pertumbuhan perkembangan manusia, bahwa pertarungan antara yang hak dengan yang batil, antara yang benar dengan yang salah, tentulah yang hak akan memperoleh kemenangan. Apa yang bermanfaat bagi manusia mengalahkan apa yang memudaratkan mereka.

Allah berfirman:

Sebenarnya Kami melemparkan yang hak (kebenaran) kepada yang batil (tidak benar) lalu yang hak itu menghancurkannya, maka seketika itu (yang batil) lenyap. (al-Anbiya/21: 18)

Dan lagi Allah swt berfirman:

Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada gunanya; tetapi yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan. (ar-Rad/13: 17)

Peringatan Allah kepada mereka yang menentang dan mendustakan kerasulan Muhammad saw, mereka akan dibinasakan secara istidraj (berangsur-angsur), telah terbukti kebenarannya. Orang-orang kafir Quraisy yang sangat keras memusuhi Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah mengalami kekalahan dalam berbagai peperangan, dalam menghadapi kaum Muslimin. Orang-orang Quraisy tertipu oleh kebesaran dan kekuatannya sendiri. Meskipun mereka selalu mengalami kekalahan, namun mereka tidak menyadari bahwa mereka berangsur-angsur menuju kehancuran.

Ayat 183

وَاُمْلِيْ لَهُمْ ۗاِنَّ كَيْدِيْ مَتِيْنٌ

wa umlī lahum, inna kaidī matīn(un).

Dan Aku akan memberikan tenggang waktu kepada mereka. Sungguh, rencana-Ku sangat teguh.

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa orang-orang yang mendustakan lambat laun menerima azab. Karena Allah membiarkan mereka berumur panjang, hidup makmur, dan mampu berperang, bukanlah lantaran Allah mengasihi mereka, tetapi sebagai tipuan terhadap mereka. Dengan kemewahan dan kekuatan yang mereka miliki, mereka berlarut-larut dalam kezaliman, mereka tidak memiliki norma moral, kecuali norma-norma yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Mereka adalah orang-orang yang mendustakan agama, dan orang-orang yang kafir terhadap Allah. Dalam sejarah umat manusia, baik orang seorang atau sebagai bangsa jika berlaku zalim dan aniaya, akhir kezaliman itu adalah kehancuran bagi mereka sendiri. Allah swt berfirman:

"Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai waktu yang ditentukan. Apakah mereka mengira bahwa Kami memberikan harta dan anak-anak kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami segera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? (Tidak), tetapi mereka tidak menyadarinya." (al-Muminun/23: 54-55-56)

Rasulullah saw, bersabda:

"Sesungguhnya Allah swt memberi tangguh (tidak segera menimpakan azab) bagi orang yang zalim, tetapi bilamana Allah swt mengazabnya, Allah tidak akan membiarkannya lepas". (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa)

Ayat 184

اَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوْا مَا بِصَاحِبِهِمْ مِّنْ جِنَّةٍۗ اِنْ هُوَ اِلَّا نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ

awalam yatafakkarū mā biṣāḥibihim min jinnah(tin), in huwa illā nażīrum mubīn(un).

Dan apakah mereka tidak merenungkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak gila. Dia (Muhammad) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang jelas.

Dalam ayat ini Allah mencela sikap orang-orang Quraisy yang mendustakan Nabi Muhammad, dan tidak merenungkan kenyataan-kenyataan kepribadian Nabi sendiri. Bahkan karena kejujurannya beliau diberi gelar "Al-Amin". (Orang yang terpercaya) oleh mereka sendiri. Mengapa mereka tidak merenungkan pula inti dakwahnya, sebagai bukti kerasulannya dan ayat-ayat Al-Quran yang menetapkan keesaan dan kekuasaan Allah.

Sekiranya mereka bersedia merenungkan hal yang demikian, tentulah nampak bagi mereka kebenaran, dan tidaklah keluar dari mulut mereka tuduhan bahwa Nabi Muhammad itu orang gila. Dia adalah sahabat mereka semenjak kecil, sedikit pun tidak ada tanda-tanda gila padanya sebagaimana mereka saksikan sendiri dalam perkembangan hidupnya. Allah menceritakan dalam Al-Quran tentang tuduhan mereka itu dengan firmannya:

"Maka tidakkah mereka menghayati firman (Allah), atau adakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek-moyang mereka terdahulu? Ataukah mereka tidak mengenal Rasul mereka (Muhammad), karena itu mereka mengingkarinya? Atau mereka berkata: "Orang itu (Muhammad) gila." Padahal, dia telah datang membawa kebenaran kepada mereka, tetapi kebanyakan mereka membenci kebenaran." (al-Muminun/23: 68-69-70)

Firman Allah swt:

Dan Mereka berkata, "Wahai orang yang kepadanya diturunkan Al-Quran, sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar orang gila." (al-Hijr/15:6)

Tuduhan gila kepada Nabi Muhammad oleh orang kafir Mekah itu sebenarnya sudah menjadi kebiasaan orang-orang kafir zaman dahulu kepada Nabi-nabi mereka, seperti Nabi Nuh, Nabi Musa, dan lain-lainnya.

Firman Allah swt:

Demikianlah setiap kali seorang rasul yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, mereka (kaumnya) pasti mengatakan, "Dia itu pesihir atau orang gila." (adz-dzariyat/51: 52)

Sesungguhnya Nabi Muhammad, bukanlah orang gila, tetapi beliau adalah seorang Rasul, seorang yang menyampaikan peringatan kepada manusia tentang azab dan penderitaan yang akan mereka alami jika ingkar kepada Allah dan menolak agama-Nya. Nabi Muhammad hanya memberi nasihat kepada mereka, bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat, baik untuk pribadi ataupun masyarakat hanyalah dicapai dengan agama yang dibawanya.

Ayat 185

اَوَلَمْ يَنْظُرُوْا فِيْ مَلَكُوْتِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللّٰهُ مِنْ شَيْءٍ وَّاَنْ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنَ قَدِ اقْتَرَبَ اَجَلُهُمْۖ فَبِاَيِّ حَدِيْثٍۢ بَعْدَهٗ يُؤْمِنُوْنَ

awalam yanẓurū fī malakūtis-samāwāti wal-arḍi wa mā khalaqallāhu min syai'iw wa an ‘asā ay yakūna qadiqtaraba ajaluhum, fa bi'ayyi ḥadīṡim ba‘dahū yu'minūn(a).

Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala apa yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya waktu (kebinasaan) mereka? Lalu berita mana lagi setelah ini yang akan mereka percayai?

Dalam ayat ini Allah mengecam mereka yang mendustakan Rasul. Mengapa mereka tidak memperhatikan apa yang terdapat pada kerajaan langit, dalam ruang angkasa yang sangat luas dengan jutaan bintang-bintang dan sejumlah planet-planet yang belum diketahui secara pasti keadaannya, beserta bulan-bulan yang beredar sekelilingnya di tiap-tiap planet itu. Dan mengapa pula mereka tidak memperhatikan apa yang terjadi di bumi, lautan dan daratan dengan segala hewan dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di alam keduanya? Semua makhluk itu bagaimana kecilnya tunduk kepada suatu hukum yang rapi dan pasti, "Siapakah yang menciptakan hukum atau Sunnah itu?" Sekiranya mereka sejenak merenungkan isi kerajaan langit dan bumi itu tentulah mereka akan memperoleh petunjuk untuk membenarkan kerasulan Muhammad saw, mereka beriman kepada ayat-ayat Al-Quran yang dibawanya.

Demikian pula halnya, sekiranya mereka memperhatikan dengan mendalam pada diri mereka sendiri. Manusia sebagai makhluk yang hidup pastilah akan berakhir dengan kematian, cepat atau lambat. Apakah mereka akan menghadap Tuhan dengan membawa amal kejahatan itu? Orang-orang kafir akan menyadari betapa bijaksananya jika sekiranya mereka menerima peringatan-peringatan dan ajaran-ajaran yang dibawa Rasul. Apa yang dibawa oleh Rasul itu sebenarnya bermanfaat bagi mereka di dunia dan di akhirat, yakni kepercayaan tentang adanya hari Kiamat dan hari pembalasan, buruk dan baik dan berita kehidupan sesudah mati. Jika mereka tidak percaya kepada ajaran Al-Quran yang dibawa oleh Rasul itu, maka adakah ajaran lain atau berita lain yang patut mereka percayai? Jika mereka tidak menemukan berita dan ajaran lainnya, maka Al-Quran-lah satu-satunya pilihan dan pegangan bagi mereka.

Ayat 186

مَنْ يُّضْلِلِ اللّٰهُ فَلَا هَادِيَ لَهٗ ۖوَيَذَرُهُمْ فِيْ طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُوْنَ

may yuḍlilillāhu falā hādiya lah(ū), wa yażaruhum fī ṭugyānihim ya‘mahūn(a).

Barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak ada yang mampu memberi petunjuk. Allah membiarkannya terombang-ambing dalam kesesatan.

Kemudian Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa orang yang disesatkan oleh Allah, tidak ada baginya yang memberi petunjuk. Seorang menjadi sesat karena dia telah kehilangan potensi dalam dirinya (fitrah) untuk menerima petunjuk. Kehilangan potensi itu disebabkan kelengahan dirinya sendiri dalam memeliharanya dari pengaruh dan godaan setan dan hawa nafsu. Karena tidak adanya potensi itu, maka jiwanya tidak menanggapi isi Al-Quran sewaktu datang kepadanya. Bahkan dia mengadakan reaksi yang negatif, yakni menolak, tidak menerima Al-Quran. Meskipun Rasul yang datang membawa Al-Quran itu kepadanya mempunyai akhlak yang mulia, akal yang sempurna, tetapi karena dia telah kehilangan kesediaan itu, maka Al-Quran tetap tidak berpengaruh pada jiwa orang yang disesatkan Allah itu. Jiwanya telah gelap, tidak menerima ajaran Al-Quran. Karena itu tak ada cahaya petunjuk baginya.

Hatinya gelap bertambah gelap akibat perbuatan yang mungkar serta kelaliman yang melampaui batas. Keraguan semakin mencekam hati manusia yang demikian, dan akhirnya sulitlah baginya untuk memperoleh jalan keluar dari kesesatan itu.

Firman Allah swt:

Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka. (al-Muthaffifin/83: 14)

Setiap perbuatan yang jahat menambah gelap hati manusia. Hati yang gelap menimbulkan perbuatan-perbuatan yang jahat kembali. Demikianlah akhirnya manusia yang sesat itu berputar-putar dalam lingkaran kesesatan. Mereka bergelimang dalam lumpur dosa dan kesesatan. Dia dapat lepas dan tertolong dari lingkaran kesesatan ini bilamana dia memiliki kemauan yang keras untuk kembali ke jalan Allah dan Nur Ilahi.

Ayat 187

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ السَّاعَةِ اَيَّانَ مُرْسٰىهَاۗ قُلْ اِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّيْۚ لَا يُجَلِّيْهَا لِوَقْتِهَآ اِلَّا هُوَۘ ثَقُلَتْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ لَا تَأْتِيْكُمْ اِلَّا بَغْتَةً ۗيَسْـَٔلُوْنَكَ كَاَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَاۗ قُلْ اِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللّٰهِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ

yas'alūnaka ‘anis-sā‘ati ayyāna mursāhā, qul innamā ‘ilmuhā ‘inda rabbī, lā yujallīhā liwaqtihā illā huw(a), ṡaqulat fis-samāwāti wal-arḍ(i), lā ta'tīkum illā bagtah(tan), yas'alūnaka ka'annaka ḥafiyyun ‘anhā, qul innamā ‘ilmuhā ‘indallāhi wa lākinna akṡaran nāsi lā ya‘lamūn(a).

Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang Kiamat, “Kapan terjadi?” Katakanlah, “Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu ada pada Tuhanku; tidak ada (seorang pun) yang dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia. (Kiamat) itu sangat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi, tidak akan datang kepadamu kecuali secara tiba-tiba.” Mereka bertanya kepadamu seakan-akan engkau mengetahuinya. Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya pengetahuan tentang (hari Kiamat) ada pada Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Allah dalam ayat ini menegaskan bahwa hanya Dialah yang mengetahui saat terjadinya hari Kiamat itu. Kepastian terjadinya hari Kiamat dan apa yang terjadi pada hari Kiamat sudah banyak dijelaskan oleh Al-Quran. Akan tetapi khusus yang berkenaan dengan saat terjadinya hari Kiamat itu tidak ada dijelaskan dalam Al-Quran. Hal itu hanya berada dalam ilmu Allah semata-mata.

Kita dapat menarik pelajaran dari peringatan ini, bahwa tak seorang manusia pun yang tahu, kapan akan terjadi pada hari Kiamat. Dengan demikian berarti kita tidak boleh mempercayai ramalan orang atau berita bahwa hari Kiamat akan terjadi pada hari, tanggal, bulan dan tahun sekian atau saat tertentu. Peringatan ini berlaku umum untuk masa kapan pun. Ternyata sampai masa kita sekarang hal ini memang sering terjadi, entah di dunia Barat, di Afrika atau di tanah air kita sendiri, ada saja orang atau golongan yang percaya, bahwa hari Kiamat sudah dekat, akan terjadi pada waktu-waktu tertentu dengan menyebutkan saat akan terjadinya. Banyak orang yang percaya dan tertipu dengan ramalan atau berita yang dibuat orang dengan mengaku pemuka agama, akibatnya ada yang sampai menelan korban.

Yang menanyakan saat terjadinya hari Kiamat itu ialah orang Quraisy. Ayat ini turun di Mekah. Di Mekah tidak ada orang Yahudi yang memberitahukan dan mengajarkan kepada orang-orang Quraisy tentang kerasulan, hari berbangkit, surga dan neraka. Berbeda halnya dengan orang Arab Medinah yang sudah banyak bergaul dengan bangsa Yahudi. Mereka sudah mempunyai pengertian tentang kenabian dan hari berbangkit.

Jika orang Quraisy menanyakan tentang hari Kiamat itu maka sebenarnya pertanyan itu dilatar belakangi anggapan mereka bahwa hari Kiamat itu tidak mungkin terjadi dan merupakan suatu berita bohong, Allah menggambarkan pikiran mereka dengan firman-Nya:

Orang-orang yang tidak percaya adanya hari Kiamat meminta agar hari itu segera terjadi, dan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa Kiamat itu adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang yang membantah tentang terjadinya Kiamat itu benar-benar telah tersesat jauh. (asy-Syura/42: 18)

Karena isi pertanyaan itu merupakan keingkaran, maka Nabi Muhammad disuruh untuk menjawabnya dengan jawaban yang sangat bijaksana, Nabi menjawab bahwa persoalan kapan terjadinya hari Kiamat itu bukan persoalan manusia, bukan pula persoalan Nabi, tetapi persoalan itu kepunyaan Allah semata-mata. Hanyalah Dia yang mengetahui saat terjadinya peristiwa kiamat itu, dan bagaimana proses terjadinya. Nabi ditugaskan oleh Allah, untuk memperingatkan tentang kepastian hari Kiamat dan kedahsyatan yang terjadi pada waktu itu sesuai dengan berita Al-Quran.

Orang Quraisy ingin memancing jawaban dari Rasulullah saw, dan dari jawaban itu mereka bermaksud mencemoohkan dan mendustakannya. Dirahasiakannya saat terjadinya hari Kiamat mengandung hikmah yang besar bagi orang-orang yang beriman. Mereka dengan hati pasrah menyerahkan persoalan yang bakal terjadi pada hari Kiamat itu hanya kepada Allah. Dialah yang akan membuka tabir kerahasiaan itu, tak ada orang lain yang menyertainya ataupun yang menjadi perantara dengan hamba-hamba-Nya untuk memberitahukan saat terjadinya hari Kiamat itu. Para nabi hanya bertugas memperingatkan tentang adanya hari Kiamat.

Memang hari Kiamat merupakan beban yang berat bagi penduduk langit dan bumi, karena pada hari itu segala amal perbuatan mereka akan diperhitungkan. Dan juga sukar bagi mereka, karena mereka tidak mengetahui saat kiamat itu terjadi. Kiamat itu akan terjadi dengan tiba-tiba pada saat mereka lalai dan tidak menyadarinya. Bagi orang yang sibuk dengan amal kebajikan, serta tawakal kepada Allah untuk menghadapai hari akhir itu. Kapan pun terjadi peritiwa dahsyat itu, dia sudah siap sedia menghadapinya.

Kemudian Allah menegaskan lagi kepada Nabi Muhammad, bahwa orang-orang musyrik itu bertanya kepada beliau tentang hari Kiamat, karena mereka menganggap seakan-akan Nabi mengetahuinya. Jika Nabi tidak mengetahunya, Nabi dapat langsung bertanya kepada Allah. Maka Allah memerintahkan kembali kepada Nabi untuk menandaskan bahwa saat terjadinya hari Kiamat itu tetap rahasia Allah, Dia sajalah yang mengetahui saat terjadinya kiamat itu. tidak ada orang lain yang mengetahuinya, dan tidak ada orang yang akan diberi ilmu untuk mengetahui mengapa Allah merahasiakan terjadinya kiamat itu dan apa hikmat yang terkandung dalam merahasiakan itu. Dan banyak manusia yang tidak tahu mana yang patut ditanyakan dan mana yang tidak patut ditanyakan.

Menurut Zahir, Nabi Muhammad, tidaklah mengetahui saat hari Kiamat itu, beliau hanya mengetahui dekatnya hari Kiamat.

Nabi Muhammad saw bersabda:

"Aku diutus dan datangnya hari Kiamat itu seperti dua ini, sambil memperlihatkan telunjuknya dan jari tengahnya". (Riwayat at-Tirmizi)

Maksudnya jarak waktu antara beliau dengan hari Kiamat amat dekat seperti jarak antara dua jari tersebut. Meski pun Allah merahasiakan saat terjadinya hari Kiamat itu, namun Allah telah memberitahukan kepada Nabi Muhammad tanda-tanda sebelum kiamat terjadi. Sebagaimana firman Allah swt:

Maka apa lagi yang mereka tunggu-tunggu selain hari Kiamat, yang akan datang kepada mereka dengan tiba-tiba, karena tanda-tandanya sungguh telah datang. Maka apa gunanya bagi mereka kesadaran mereka itu, apabila (hari Kiamat) itu sudah datang? (Muhammad/47: 18)

Maka suatu tanda yang nyata bahwa kiamat itu sudah dekat, ialah diutusnya Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir kepada umat manusia. Dengan kebangkitan beliau itu sempurnalah bimbingan keagamaan oleh Allah kepada manusia, berarti sempurna pula kehidupan kerohanian dan kehidupan materil namun sesudah kehidupan materi itu mencapai puncaknya tibalah kehancuran dan kemusnahan.

Dalam hadis banyak pula tanda yang menerangkan tentang terjadinya hari Kiamat itu. Di antaranya ialah keinginan manusia memiliki harta-benda atau kebutuhan materinya saling bertentangan dengan keinginannya kepada kepuasan rohani. Pada suatu masa manusia mengutamakan kebutuhan spiritual yang diutamakan, dan kebutuhan materi yang dikalahkan. Kemudian dimenangkan lagi kebutuhan materil bersamaan dengan perkembangan kesesatan, kejahatan, kemungkaran dan kekufuran, hingga datanglah hari Kiamat pada saat manusia bergelimang dalam kejahatan.

Ayat 188

قُلْ لَّآ اَمْلِكُ لِنَفْسِيْ نَفْعًا وَّلَا ضَرًّا اِلَّا مَا شَاۤءَ اللّٰهُ ۗوَلَوْ كُنْتُ اَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِۛ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْۤءُ ۛاِنْ اَنَا۠ اِلَّا نَذِيْرٌ وَّبَشِيْرٌ لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ ࣖ

qul lā amliku linafsī naf‘aw wa lā ḍarran illā mā syā'allāh(u), wa lau kuntu a‘lamul gaiba-lastakṡartu minal-khair(i) - wa mā massaniyas-sū'(u) - in ana illā nażīruw wa basyīrul liqaumiy yu'minūn(a).

Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya. Aku hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”

Kemudian Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, untuk menegaskan kepada umat manusia, bahwa segala perkara di dunia ini membawa baik yang manfaat atau mudarat adalah berasal dari Allah. Nabi Muhammad sendiri walau pun dekat pada Allah tidaklah menguasai kemanfaatan dan kemudaratan sehingga dia dapat mengatur menurut kehendak-Nya.

Kaum Muslimin pada mulanya beranggapan bahwa setiap orang yang menjadi Rasul tentulah dia mengetahui perkara-perkara yang gaib, memiliki kemampuan di luar kemampuan manusia biasa, baik untuk mencari sesuatu keuntungan ataupun menolak sesuatu kemudaratan untuk dirinya ataupun untuk orang lain. Untuk memperbaiki kekeliruan pandangan ini, Allah menyuruh Rasulullah untuk menjelaskan bahwa kedudukan Rasul tidak ada hubungannya dengan hal yang demikian itu. Rasul hanyalah pemberi petunjuk dan bimbingan, tiadalah dia mempunyai daya mencipta atau meniadakan. Apa yang diketahuinya tentang hal-hal yang gaib adalah yang diberi tahu oleh Allah kepadanya.

Sekiranya Nabi saw mengetahui hal-hal yang gaib, misalnya mengetahui peristiwa-peristiwa pada hari mendatang, tentulah Nabi saw mempersiapkan dirinya lahir batin, moril dan materil untuk menghadapi peristiwa itu dan tentulah beliau tidak akan ditimpa kesusahan.

Sebenarnya Rasul saw adalah manusia biasa. Perbedaan dengan orang biasa hanyalah terletak pada wahyu yang diterimanya dan tugas yang dibebankan kepada beliau, yakni memberikan bimbingan dan pengajaran yang telah digariskan Allah untuk manusia. Nabi hanyalah memberi peringatan dan membawa berita gembira kepada orang yang beriman.

Ayat 189

۞ هُوَ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ اِلَيْهَاۚ فَلَمَّا تَغَشّٰىهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيْفًا فَمَرَّتْ بِهٖ ۚفَلَمَّآ اَثْقَلَتْ دَّعَوَا اللّٰهَ رَبَّهُمَا لَىِٕنْ اٰتَيْتَنَا صَالِحًا لَّنَكُوْنَنَّ مِنَ الشّٰكِرِيْنَ

huwal-lażī khalaqakum min nafsiw wāḥidatiw waja‘ala minhā zaujahā liyaskuna ilaihā, falammā tagasysyāhā ḥamalat ḥamlan khafīfan fa marrat bih(ī), falammā aṡqalad da‘awallāha rabbahumā la'in ātaitanā ṣāliḥan lanakūnanna minasy-syākirīn(a).

Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, (istrinya) mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian ketika dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhan Mereka (seraya berkata), “Jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami akan selalu bersyukur.”

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan dari jenis yang satu, dan dari jenis yang satu itu diciptakan pasangannya, maka hiduplah mereka berpasangan pria-wanita (suami-isteri) dan tenteramlah dia dengan isterinya itu. Hidup berpasangan suami-isteri merupakan tuntutan kodrati manusia rohaniyah dan jasmaniah. Bila seseorang telah mencapai usia dewasa, timbullah keinginan untuk hidup berpasangan sebagai suami-isteri, dan dia akan mengalami keguncangan batin apabila keinginan itu tidak tercapai. Sebab dalam berpasangan suami-isteri itulah terwujud ketenteraman. Ketenteraman tidak akan terwujud dalam diri manusia diluar hidup berpasangan suami-isteri. Maka tujuan kehadiran seorang isteri pada seorang laki-laki di dalam agama Islam ialah menciptakan hidup berpasangan itu sendiri. Islam mensyariatkan manusia agar mereka hidup berpasangan suami-isteri, karena dalam situasi hidup demikian itu manusia menemukan ketenteraman dan kebahagian rohaniyah dan jasmaniah.

Bila kedua suami-isteri itu berkumpul, mulailah isterinya mengandung benih. Saat permulaan dari pertumbuhan benih itu terasa ringan. Pertama-tama terhentinya haid dan selanjutnya benih itu terus berproses, perlahan-lahan. Maka ketika kandungannya mulai berat, ibu-bapak memanjatkan doa kepada Allah agar keduanya dianugerahi anak yang saleh, sempurna jasmani, berbudi luhur, cakap melaksanakan tugas kewajiban sebagai manusia. Kedua, isteri itu berjanji akan mewajibkan atas dirinya sendiri untuk bersyukur kepada Allah karena menerima nikmat itu dengan perkataan, perbuatan dan keyakinan.

Ayat 190

فَلَمَّآ اٰتٰىهُمَا صَالِحًا جَعَلَا لَهٗ شُرَكَاۤءَ فِيْمَآ اٰتٰىهُمَا ۚفَتَعٰلَى اللّٰهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

falammā ātāhumā ṣāliḥan ja‘alā lahū syurakā'a fīmā ātāhumā, fa ta‘ālallāhu ‘ammā yusyrikūn(a).

Maka setelah Dia memberi keduanya seorang anak yang saleh, mereka menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya itu. Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.

Allah memperkenankan doa kedua suami-isteri itu dengan menganugerahkan anak yang saleh kepada keduanya. Tetapi kemudian mereka tidaklah bersyukur kepada Allah atas nikmat itu, bahkan mereka menisbahkan anak yang saleh itu kepada berhala-berhala dengan mengatakan bahwa anak itu hamba dari patung-patung, atau mereka hubungkan anak itu kepada binatang-binatang atau kepada alam. Mereka tidak mengatakan anak itu sebagai anugerah Allah. Oleh karena itu mereka tidak bersyukur kepada Allah. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.

Ayat 191

اَيُشْرِكُوْنَ مَا لَا يَخْلُقُ شَيْـًٔا وَّهُمْ يُخْلَقُوْنَۖ

ayusyrikūna mā lā yakhluqu syai'aw wa hum yukhlaqūn(a).

Mengapa mereka mempersekutukan (Allah dengan) sesuatu (berhala) yang tidak dapat menciptakan sesuatu apa pun? Padahal (berhala) itu sendiri diciptakan.

Kemudian Allah dalam ayat ini mencela keras sikap, pikiran dan tingkah laku orang-orang yang menyembah berhala yang tidak dapat menciptakan sesuatu pun walaupun hanya benda-benda yang rendah nilainya, karena berhala-berhala itu sendiri dibikin oleh tangan manusia. Tidaklah wajar bagi orang-orang yang punya pikiran menjadikan berhala itu sebagai sembahan, baik dia dipandang sebagai sekutu Allah dalam menerima ibadah ataupun sebagai perantara antara manusia dengan Allah. Sebab segala pujian atau sembahan kepada selain Allah sedikitpun tidak ada faedahnya. Firman Allah swt:

Wahai manusia! Telah dibuat suatu perumpamaan. Maka dengarkanlah! Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka. Mereka tidak dapat merebut kembali dari lalat itu. Sama lemahnya yang menyembah dan yang disembah. (al-Hajj/22: 73)

Ayat 192

وَلَا يَسْتَطِيْعُوْنَ لَهُمْ نَصْرًا وَّلَآ اَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُوْنَ

wa lā yastaṭī‘ūna lahum naṣraw wa lā anfusahum yanṣurūn(a).

Dan (berhala) itu tidak dapat memberikan pertolongan kepada penyembahnya, dan kepada dirinya sendiri pun mereka tidak dapat memberi pertolongan.

Ayat ini seperti ayat-ayat yang lalu menggambarkan penyembah-penyembah berhala pada umumnya, termasuk kemusyrikan Arab Mekah. Allah menjelaskan bahwa sembahan-sembahan kaum musyrikin itu tidak punya kesanggupan apa-apa, baik dalam memberi pertolongan terhadap diri mereka sendiri, ketika terjadi serangan dari musuh kepada penyembah-penyembah itu, ataupun mereka ditimpa oleh malapetaka, patung-patung itu tidak dapat memberikan pertolongan. Bahkan bila ada seseorang mengotori patung-patung itu atau mencuri perhiasannya, niscaya patung itu tidak dapat membela dirinya sendiri. Demikianlah patung-patung itu hanya disembah dan dibela, tetapi menyembah itu tak dapat imbalan apa-apa dari patung itu.

Ayat 193

وَاِنْ تَدْعُوْهُمْ اِلَى الْهُدٰى لَا يَتَّبِعُوْكُمْۗ سَوَۤاءٌ عَلَيْكُمْ اَدَعَوْتُمُوْهُمْ اَمْ اَنْتُمْ صٰمِتُوْنَ

wa in tad‘ūhum ilal-hudā lā yattabi‘ūkum, sawā'un ‘alaikum ada‘autumūhum am antum ṣāmitūn(a).

Dan jika kamu (wahai orang-orang musyrik) menyerunya (berhala-berhala) untuk memberi petunjuk kepadamu, tidaklah berhala-berhala itu dapat memperkenankan seruanmu; sama saja (hasilnya) buat kamu menyeru mereka atau berdiam diri.

Allah swt menyatakan dalam ayat ini kepada kaum musyrikin bahwa jika mereka memohon kepada berhala-berhala itu agar memberi petunjuk kepada mereka sebagaimana mereka memohon kepada Allah agar memberi kebaikan, tentulah berhala-berhala itu tidak dapat memberi petunjuk ke jalan yang menuju cita-cita mereka atau ke jalan yang menuju keselamatan mereka dari kesulitan dan kesukaran yang menimpa mereka. Berhala-berhala itu tidak dapat mengikuti keinginan mereka, dan tidak pula memperkenankan permohonan mereka. Keadaannya sama saja apakah penyembah-penyembah berhala itu memohon sesuatu kepada berhala itu ataukah mereka tidak minta apa-apa. Berhala itu tidak akan paham permohonan mereka, tidak mendengar dan tidak pula memikirkan apa yang diucapkan kepada mereka.

Patutkah sesuatu yang memiliki sifat-sifat di atas itu disembah. Seharusnya yang disembah itu ialah Allah Yang memberi manfaat kepada yang menyembah-Nya. Yang memberi hukuman kepada yang berbuat maksiat kepada-Nya. Yang menghancurkan musuh-musuh-Nya. Yang memberikan petunjuk kepada yang taat kepada-Nya, dan mendengarkan doa-doa orang-orang yang berdoa kepada-Nya.

Ayat 194

اِنَّ الَّذِيْنَ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ عِبَادٌ اَمْثَالُكُمْ فَادْعُوْهُمْ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

innal-lażīna tad‘ūna min dūnillāhi ‘ibādun amṡālukum fad‘ūhum falyastajībū lakum in kuntum ṣādiqīn(a).

Sesungguhnya mereka (berhala-berhala) yang kamu seru selain Allah adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu. Maka serulah mereka lalu biarkanlah mereka memperkenankan permintaanmu, jika kamu orang yang benar.

Dalam ayat ini ditandaskan bahwa sesembahan selain Allah yang menjadi tujuan doa kaum musyrikin itu sebenarnya makhluk seperti mereka. Doa adalah pengharapan dan permintaan dari orang yang mengucapkan kepada siapa saja yang dipandangnya mempunyai kekuatan yang lebih besar dari dia untuk memenuhi pengharapan, baik untuk mendapatkan kemanfaatan ataupun untuk menolak kesusahan dan kerugian. Mengapa mereka memanjatkan doa kepada berhala-berhala yang sebenarnya adalah makhluk Allah seperti mereka, yang tunduk kepada kudrat dan iradat Allah swt. Sangat tidak logis jika mereka memohon kepada berhala-berhala itu sesuatu yang mereka sendiri, dan juga berhala-berhala itu tidak dapat mencapainya. Seharusnya mereka memanjatkan doa kepada Allah Pencipta dan Pengatur segala sebab dan akibat dalam alam ini. Segala benda mati dan benda hidup di dalam alam ini semua tunduk kepada Sunnah-Nya.

Akan tetapi jika kaum musyrik itu meyakini bahwa kepercayaan mereka benar yaitu berhala itu mampu memberi kemanfaatan ataupun menolak kemudaratan yang tidak sanggup dikerjakan oleh manusia, biarlah mereka berdoa kepada berhala itu kalau doa itu memang dapat dikabulkan oleh berhala itu. Sungguh amat sesat pikiran orang-orang yang memandang bahwa benda mati itu punya daya dan kekuatan seperti Tuhan Pencipta-Nya.

Ayat 195

اَلَهُمْ اَرْجُلٌ يَّمْشُوْنَ بِهَآ ۖ اَمْ لَهُمْ اَيْدٍ يَّبْطِشُوْنَ بِهَآ ۖ اَمْ لَهُمْ اَعْيُنٌ يُّبْصِرُوْنَ بِهَآ ۖ اَمْ لَهُمْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۗ قُلِ ادْعُوْا شُرَكَاۤءَكُمْ ثُمَّ كِيْدُوْنِ فَلَا تُنْظِرُوْنِ

alahum arjuluy yamsyūna bihā am lahum aidiy yabṭisyūna bihā am lahum a‘yunuy yubṣirūna bihā am lahum āżānuy yasma‘ūna bihā, qulid‘ū syurakā'akum ṡumma kīdūni falā tunẓirūn(i).

Apakah mereka (berhala-berhala) mempunyai kaki untuk berjalan, atau mempunyai tangan untuk memegang dengan keras, atau mempunyai mata untuk melihat, atau mempunyai telinga untuk mendengar? Katakanlah (Muhammad), “Panggillah (berhala-berhalamu) yang kamu anggap sekutu Allah, kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)ku, dan jangan kamu tunda lagi.

Dalam ayat ini Allah memperingatkan para pemuja benda-benda itu, bahwa berhala-berhala itu bukan saja tidak sederajat dengan mereka bahkan lebih rendah dari mereka. Berhala-berhala itu tidak memiliki kelengkapan tubuh seperti kaki, tangan, mata dan lain-lain sebagainya, yang dapat mengabulkan permohonan dan tuntutan pemujanya. Benda-benda itu tidak seperti penyembahnya yang keadaannya lebih sempurna dan lebih lengkap. Peringatan Allah ini merupakan ejekan dan penghinaan kepada kaum musyrikin, tetapi kaum musyrikin itu tidak menginsyafi keadaan diri mereka, bahkan mereka merasa sombong dan takabur. Mereka enggan menerima petunjuk dan pelajaran dari Rasul saw dengan alasan bahwa Rasul itu seorang manusia. Mereka berkata sesama mereka tentang kemanusiaan rasul, sebagimana difirmankan Allah:

Dan sungguh, jika kamu menaati manusia yang seperti kamu, niscaya kamu pasti rugi. (al-Muminun/23: 34)

Di sinilah kejanggalan pikiran mereka. Mereka menolak Rasul karena beliau seorang manusia. Padahal Rasul saw, mempunyai kelebihan pengetahuan, kebijaksanaan dan hidayah dari Allah dibanding dengan manusia lainnya. Mereka lebih mengutamakan patung-patung daripada seorang Rasul. Bahkan mengangkat patung-patung dan benda-benda sembahan sampai ke derajat tuhan. Maka Allah memerintahkan Rasul untuk menantang mereka dengan mengatakan kepada mereka bahwa jika benar berhala-berhalanya punya kekuatan, suruhlah mereka bersatu untuk membinasakan Rasul saw. Tidak perlu mereka memberi kesempatan menunggu Rasul saw membinasakannya lebih dulu. Tantangan yang demikian itu tidak akan terucapkan oleh Nabi saw sekiranya keimanan kepada pertolongan Allah tidak betul-betul diyakininya.

Tantangan demikian harus diucapkan. Sebab dalil-dalil dan alasan ilmiyah tidak bermanfaat lagi untuk menyatakan kebathilan kepercayaan masyarakat musyrikin Arab itu. Nabi Muhammad diperintahkan untuk meminta kepada mereka agar berhala-berhala mereka membinasakan nabi Muhammad. Tantangan yang demikian itu cukup membuat hati penyembah-penyembah berhala itu gentar.

Ayat 196

اِنَّ وَلِيِّ َۧ اللّٰهُ الَّذِيْ نَزَّلَ الْكِتٰبَۖ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصّٰلِحِيْنَ

inna waliyyiyallāhul-lażī nazzalal-kitāb(a), wa huwa yatawallaṣ-ṣāliḥīn(a).

Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an). Dia melindungi orang-orang saleh.

Ayat ini menerangkan lanjutan ucapan Nabi Muhammad dihadapan kaum musyrikin, yaitu bahwa sesungguhnya Allah Yang menjadi pelindungnya, Yang mengurusi urusannya, dan Yang menjadi penolongnya. Allah Yang menurunkan Al-Quran, Yang menjelaskan keesaan-Nya dan yang mewajibkan manusia berbakti serta berdoa kepada-Nya dalam segala keadaan. Al-Quran itu membentangkan pula kekeliruan dan kebathilan penyembahan berhala. Karena itu Rasulullah saw tidak memperdulikan berhala-berhala itu dan tidak pula merasa takut kepadanya, meskipun orang-orang musyrikin menakut-nakuti dengan berhala itu. Allah juga akan memberikan pertolongan dan perlindungan-Nya kepada hamba-Nya yang saleh, yakni mereka yang memiliki jiwa yang bersih berkat kebersihan akidahnya, dan dari kebersihan jiwa itu lahir amal perbuatan yang luhur, berguna bagi kehidupan pribadi dan masyarakat.

Ayat 197

وَالَّذِيْنَ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهٖ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ نَصْرَكُمْ وَلَآ اَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُوْنَ

wal-lażīna tad‘ūna min dūnihī lā yastaṭī‘ūna naṣrakum wa lā anfusahum yanṣurūn(a).

Dan berhala-berhala yang kamu seru selain Allah tidaklah sanggup menolongmu, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri.”

Allah swt menegaskan kembali pada kaum musyrikin bahwa berhala-berhala yang mereka harapkan pertolongannya itu tidak dapat berbuat apa-apa bahkan menolong diri mereka sendiri tidak dapat, apalagi menolong diri orang lain. Baik memberi manfaat, maupun menolak kemudharatan, seperti apa yang diperbuat Nabi Ibrahim as. Beliau menghancurkan patung-patung kaumnya, sehingga menjadi berkeping-keping. Patung-patung itu tidak dapat membela diri dan membalas dendam.

Diceritakan oleh Ibnu Katsir, bahwa Muaz bin Amr bin al- Jamuh beserta Muaz bin Jabal ra, masuk agama Islam ketika Nabi Muhammad, tiba di Medinah. Keduanya masih muda-muda. Pada suatu malam mereka pergi menghancurkan patung-patung orang musyrikin dan dijadikan kayu bakar untuk para janda. Maksudnya agar kaumnya mengetahui dan mengambil pelajaran dari peristiwa itu.

Orang tuanya yang bernama Amr bin al-Jamuh seorang kepala suku, memiliki sebuah patung yang selalu disembahnya dan diberinya wangi-wangian. Pada suatu malam kedua anak muda itu mendatangi patung tersebut. Lalu patung itu dibalikkannya, kepalanya dibawah dan diberinya kotoran manusia. Besok harinya Amr bin Al Jamuh datang ke tempat patung sembahannya, dilihatnya apa yang telah terjadi. Patung itu kemudian dibersihkanya dan diberinya wangi-wangian lalu dia letakkan sebuah pedang di sampingnya. Berkatalah dia kepada patung itu: "Belalah dirimu". Tetapi keesokan harinya kedua anak muda itu kembali mengulangi perbuatannya dan orang tua itupun kembali pula berbuat seperti semula lagi.

Akhirnya kedua anak muda itu mengambil patung itu dan mengikatnya bersama anjing yang mati, lalu diletakkannya di dekat sumur yang dekat dengan tempat itu. Kemudian ketika orang tua itu datang lagi dan melihat apa yang terjadi atas patungnya, sadarlah dia bahwa agama yang dianutnya selama ini adalah agama yang bathil. Kemudian Amr bin Jamuh masuk agama Islam dan menjadi seorang muslim yang baik. Beliau mati syahid dalam Perang Uhud (Lihat Tafsir Ibnu Katsir jilid 2, hal 277).

Ayat 198

وَاِنْ تَدْعُوْهُمْ اِلَى الْهُدٰى لَا يَسْمَعُوْاۗ وَتَرٰىهُمْ يَنْظُرُوْنَ اِلَيْكَ وَهُمْ لَا يُبْصِرُوْنَ

wa in tad‘ūhum ilal-hudā lā yasma‘ū, wa tarāhum yanẓurūna ilaika wa hum lā yubṣirūn(a).

Dan jika kamu menyeru mereka (berhala-berhala) untuk memberi petunjuk, mereka tidak dapat mendengarnya. Dan kamu lihat mereka memandangmu padahal mereka tidak melihat.

Dalam ayat ini Allah menyatakan kembali bahwa meskipun orang musyrikin itu meminta berhala-berhala itu memberi petunjuk kepada mereka, namun berhala-berhala itu tidak akan mendengar permintaan itu. karena benda-benda itu tidak mempunyai pendengaran walaupun dia punya telinga. Kaum musyrikin itu melihat berhala-berhala itu memandang kepada mereka, padahal dia tidak melihat, karena berhala-berhala itu tidak punya penglihatan walaupun ia punya mata yang dipahat oleh pembuatnya.

Ayat 199

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ

khużil-‘afwa wa'mur bil-‘urfi wa a‘riḍ ‘anil-jāhilīn(a).

Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.

Dalam ayat ini Allah memerintahkan Rasul-Nya, agar berpegang teguh pada prinsip umum tentang moral dan hukum.

1. Sikap Pemaaf dan berlapang dada

Allah swt menyuruh Rasul-Nya agar beliau memaafkan dan berlapang terhadap perbuatan, tingkah laku dan akhlak manusia dan janganlah beliau meminta dari manusia apa yang sangat sukar bagi mereka sehingga mereka lari dari agama.

Sabda Rasullah saw:

"Mudahkanlah, jangan kamu persulit dan berilah kegembiraan, jangan kamu susahkan". (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa dan Muadz)

Termasuk prinsip agama, memudahkan, menjauhkan kesukaran dan segala hal yang menyusahkan manusia. Demikian pula halnya dalam bidang budi pekerti manusia banyak dipengaruhi lingkungannya. Bahkan banyak riwayat menyatakan bahwa yang dikehendaki pemaafan di sini ialah pemaafan dalam bidang akhlak atau budi pekerti (Tafsir Ibn Katsir dalam tafsir ayat tersebut)

Rasulullah berkata sehubungan dengan ayat ini:

"Apakah ini ya Jibril? Jawab Jibril, "Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kamu agar memaafkan orang yang berbuat aniaya terhadapmu, memberi kepada orang yang tidak mau memberi kepadamu dan menyambung hubungan kepada orang yang memutuskannya." (Riwayat Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim, dari Ibn Ubay dari bapaknya)

2. Menyuruh manusia berbuat maruf (baik)

Pengertian urf pada ayat ini adalah maruf. Adapun Maruf adalah adat kebiasaan masyarakat yang baik, yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam Al-Quran kata"maruf" dipergunakan dalam hubungan hukum-hukum yang penting, seperti dalam hukum pemerintahan, hukum perkawinan. Dalam pengertian kemasyarakatan kata "maruf" dipergunakan dalam arti adat kebiasaan dan muamalah dalam suatu masyarakat. Karena itu ia berbeda-beda sesuai dengan perbedaan bangsa, negara, dan waktu. Di antara para ulama ada yang memberikan definisi "maruf" dengan apa yang dipandang baik melakukannya menurut tabiat manusia yang murni tidak berlawanan dengan akal pikiran yang sehat. Bagi kaum Muslimin yang pokok ialah berpegang teguh pada nash-nash yang kuat dari Al-Quran dan Sunnah. Kemudian mengindahkan adat kebiasaan dan norma yang hidup dalam masyarakat selama tidak bertentangan dengan nash agama secara jelas.

3. Tidak mempedulikan gangguan orang jahil

Yang dimaksud dengan orang jahil ialah orang yang selalu bersikap kasar dan menimbulkan gangguan-gangguan terhadap para Nabi, dan tidak dapat disadarkan. Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, agar menghindarkan diri dari orang-orang jahil, tidak melayani mereka, dan tidak membalas kekerasan mereka dengan kekerasan pula.

Ayat 200

وَاِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطٰنِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّهٗ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

wa immā yanzagannaka minasy-syaiṭāni nazgun fasta‘iż billāh(i), innahū samī‘un ‘alīm(un).

Dan jika setan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang kemungkinan Nabi Muhammad digoda setan, lalu dia tidak dapat melaksanakan prinsip di atas. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, agar selalu memohonkan perlindungan kepada Allah jika golongan setan datang, dengan membaca "Taawwuz", yaitu:

"Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk".

Allah swt Maha Mendengar segala permohonan yang diucapkan dan Maha Mengetahui apa yang terlintas dalam jiwa seseorang, yang dapat mendorong dia berbuat kejahatan atau kesalahan. Jika doa itu dibaca orang yang tergoda itu dengan hati yang ikhlas dan penghambaan diri yang tulus kepada Allah, maka Allah akan mengusir setan dari dirinya, serta akan melindunginya dari godaan setan itu.

Firman Allah swt:

"Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Quran, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sungguh, setan itu tidak ada akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan". (an-Nahl/16:98-99)

Sabda Rasulullah saw:

"Tidak seorang pun di antara kamu sekalian melainkan didampingi temannya dari jenis jin. Berkatalah para sahabat: Engkau juga hai Rasulullah? Beliau menjawab, "Saya juga". Hanya Allah menolong aku menghadapinya maka selamatlah aku dari padanya." (Riwayat Muslim dari Aisyah ra. dan Ibnu Masud)

Meskipun dalam ayat ini perintah ditujukan kepada Rasul, namun perintah ini meliputi seluruh umatnya yang ada di dunia ini.

Ayat 201

اِنَّ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا اِذَا مَسَّهُمْ طٰۤىِٕفٌ مِّنَ الشَّيْطٰنِ تَذَكَّرُوْا فَاِذَا هُمْ مُّبْصِرُوْنَۚ

innal-lażīnattaqau iżā massahum ṭā'ifum minasy-syaiṭāni tażakkarū fa iżā hum mubṣirūn(a).

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).

Dalam ayat ini Allah menjelaskan reaksi orang-orang yang bertakwa bila digoda setan. Ayat ini memperkuat pula ayat sebelumnya tentang keharusan kita berlindung kepada Allah dari godaan setan.

Sesungguhnya orang yang bertakwa ialah orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan salat, menginfakkan sebagian dari rezekinya. Bila mereka merasa ada dorongan dalam dirinya untuk berbuat kemungkaran, mereka segera sadar bahwa yang demikian itu adalah godaan setan dan mereka segera mengucapkan doa istiadzah dan menyerahkan diri kepada Allah agar dipelihara dari tipu muslihat setan. Berkat kesadaran itu, mereka terhindar dari jurang kebinasaan dan jaring-jaring setan, karena mereka bisa menahan diri agar tidak jatuh ke dalam perangkap setan, sedang yang masuk perangkap setan itu hanyalah orang yang lalai kepada Allah dan kurang mawas diri.

Senjata yang paling ampuh mengusir setan, ialah ingat dan muraqabah (mendekatkan diri) kepada Allah di dalam segala keadaan. Ingat selalu kepada Allah akan menanamkan ke dalam jiwa cinta kebenaran dan kebajikan, melemahkan kecenderungan negatif/buruk. Jiwa yang dipenuhi iman ialah jiwa yang sehat. Jiwa yang sehat seperti badan yang sehat yang punya kekebalan. Badan yang punya kekebalan, badan yang kuat, tidak mudah diserang penyakit. Bakteri-bakteri dan kuman penyakit tidak dapat berkembang biak dalam tubuh yang penuh dengan daya kekebalan itu. Demikian pula jiwa orang yang takwa, tidak mudah dikalahkan godaan setan. Orang yang bertakwa segera bereaksi terhadap rangsangan setan yang timbul dalam dirinya. Reaksi itu berupa ingatan kepada Allah disertai dengan kesadaran terhadap tipu muslihat setan dengan segala akibatnya.

Memelihara jiwa yang sehat dari godaan setan sama halnya dengan memelihara badan yang sehat, yakni memerlukan perawatan yang terus menerus agar tetap bersih dan sehat, memerlukan muraqabah yang tetap, ingat kepada Allah dalam segala keadaan. Dengan demikian setan tidak mendapat kesempatan mengganggu diri.

Ayat 202

وَاِخْوَانُهُمْ يَمُدُّوْنَهُمْ فِى الْغَيِّ ثُمَّ لَا يُقْصِرُوْنَ

wa ikhwānuhum yamuddūnahum fil-gayyi ṡumma lā yuqṣirūn(a).

Dan teman-teman mereka (orang kafir dan fasik) membantu setan-setan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan).

Ayat ini menerangkan bahwa orang jahil dan kafir membantu setan dalam menyesatkan dan berbuat kerusakan. Sebab orang-orang jahil itu selalu dipengaruhi setan dan tidak ingat kepada Allah. Jika timbul dalam diri mereka dorangan nafsu hewani, mereka melampiaskannya dalam bentuk tindakan dan perbuatan hewani. Tidak ada kekuatan jiwa yang membendung nafsu hewani itu. Karena itu mereka terus menerus melakukan kerusakan dan bergelimang dalam kesesatan.

Ayat 203

وَاِذَا لَمْ تَأْتِهِمْ بِاٰيَةٍ قَالُوْا لَوْلَا اجْتَبَيْتَهَاۗ قُلْ اِنَّمَآ اَتَّبِعُ مَا يُوْحٰٓى اِلَيَّ مِنْ رَّبِّيْۗ هٰذَا بَصَاۤىِٕرُ مِنْ رَّبِّكُمْ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ

wa iżā lam ta'tihim bi'āyatin qālū lau lajtabaitahā, qul inamā attabi‘u mā yūḥā ilayya mir rabbī, hāżā baṣā'iru mir rabbikum wa hudaw wa raḥmatul liqaumiy yu'minūn(a).

Dan apabila engkau (Muhammad) tidak membacakan suatu ayat kepada mereka, mereka berkata, “Mengapa tidak engkau buat sendiri ayat itu?” Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. (Al-Qur'an) ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”

Dalam ayat ini diterangkan tingkah laku teman-teman setan dalam usaha mereka menentang Nabi Muhammad, bilamana wahyu tidak datang kepada Nabi Muhammad disebabkan keterlambatan turunnya ayat, maka orang-orang musyrikin itu mendesak Nabi Muhammad agar beliau menciptakan sendiri ayat-ayat itu. Desakan mereka itu sebenarnya mengandung arti pengingkaran terhadap Al-Quran yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Sebab mereka memandang Al-Quran itu ciptaan Nabi Muhammad belaka, karena itu bisa dibuat kapan saja. Maka Allah memerintahkan kepada Nabi untuk menjelaskan kepada mereka bahwa Al-Quran itu wahyu Allah yang diwahyukan kepadanya. Nabi hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadanya. Bukan haknya untuk mendesak Allah agar menciptakan sesuatu perkara, Nabi hanya dapat menunggu wahyu yang akan disampaikan kepadanya, untuk disampaikan pula kepada umatnya. Jika tidak ada dia tidak boleh mengubah sendiri Al-Quran karena Al-Quran itu adalah kalam Allah, dia mempunyai tiga fungsi bagi orang-orang yang beriman sebagaimana dijelaskan Allah dalam ayat ini.

Pertama

Sebagai bukti yang nyata dari Allah untuk menunjukkan keesaan-Nya, kenabian Muhammad dan hari Kiamat. Siapa yang memperhatikan dan merenungkan isi Al-Quran, tentu akan yakin bahwa Al-Quran itu dari Allah swt.

Kedua

Sebagai petunjuk atau pedoman yang membimbing manusia dalam mencari kebenaran dan jalan yang lurus.

Ketiga

Sebagai rahmat dalam kehidupan manusia dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman. Al-Quran memberikan peraturan-peraturan dan ajaran-ajaran yang mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh kaum Muslimin untuk kehidupan mereka sehari-hari.

Ayat 204

وَاِذَا قُرِئَ الْقُرْاٰنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

wa iżā quri'al-qur'ānu fastami‘ū lahū wa anṣitū la‘allakum turḥamūn(a).

Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ayat ini diturunkan karena sahabat salat di belakang Rasulullah sambil berbicara. Allah dalam ayat ini memerintahkan orang-orang yang beriman agar mereka memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada Al-Quran. Hendaklah mereka mendengarkan sebaik-baiknya ataupun isinya untuk dipahami, mengambil pelajaran-pelajaran dari padanya dan mengamalkannya dengan ikhlas.

Sabda Rasulullah saw:

Barangsiapa mendengarkan (dengan sungguh-sungguh) ayat dari Al-Quran, dituliskan baginya kebaikan yang berlipat ganda dan barang siapa membacanya, adalah baginya cahaya pada hari Kiamat." (Riwayat al-Bukhari dan Imam Ahmad dari Abu Hurairah)

Hendaklah orang-orang mukmin itu bersikap tenang sewaktu Al-Quran dibacakan, sebab di dalam ketenangan itulah mereka dapat merenungkan isinya. Janganlah pikiran mereka melayang-layang sewaktu Al-Quran diperdengarkan, sehingga tidak dapat memahami ayat-ayat itu dengan baik. Allah akan menganugerahkan rahmat-Nya kepada kaum Muslimin bilamana mereka memenuhi perintah Allah tersebut dan menghayati isi Al-Quran.

Ada beberapa pendapat seputar perintah untuk mendengarkan dan bersikap tenang sewaktu Al-Quran dibacakan:

1.Wajib mendengarkan dan bersikap tenang ketika Al-Quran dibacakan berdasarkan perintah tersebut, baik di dalam salat ataupun diluar salat. Demikianlah pendapat Hasan al-Bashri dan Abu Muslim al-Ashfahani.

2.Wajib mendengarkan dan bersikap tenang, tetapi khusus pada bacaan-bacaan Rasul saw di zaman beliau dan bacaan iman dalam salat, serta bacaan khatib dalam khutbah Jumat.

3.Mendengarkan bacaan Al-Quran di luar salat dan khutbah seperti resepsi dipandang sangat dianjurkan agar kita mendapat rahmat Allah.

Ayat 205

وَاذْكُرْ رَّبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَّخِيْفَةً وَّدُوْنَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِ وَلَا تَكُنْ مِّنَ الْغٰفِلِيْنَ

ważkur rabbaka fī nafsika taḍarru‘aw wa khīfataw wa dūnal-jahri minal-qauli bil-guduwwi wal-āṣāli wa lā takum minal-gāfilīn(a).

Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah.

Dalam ayat ini Allah memerintahkan Rasul beserta umatnya untuk menyebut nama Allah atau berzikir kepada-Nya. Baik zikir itu dengan membaca Al-Quran, tasbih, tahlil, doa, ataupun pujian lain-lainnya menurut tuntunan agama, dengan tadharru dan suara lembut pada setiap waktu terutama pagi dan sore, agar kita tidak tergolong orang yang lalai. Kemudian Allah menggariskan bagi kita adab dan cara berzikir atau menyebut nama Allah itu sebagai berikut:

1. Zikir itu yang paling baik dilakukan dengan suara lembut, karena hal ini lebih mudah mengantar untuk tafakur yang baik.

Diriwayatkan bahwa dalam suatu perjalanan. Nabi mendengar orang berdoa dengan suara yang keras, berkatalah beliau kepada mereka itu:

"Hai manusia kasihanilah dirimu, sesungguhnya kamu tidak menyeru kepada yang tuli atau yang jauh dari padamu. Sesungguhnya Yang kamu seru itu adalah Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Dia lebih dekat kepadamu dari leher (unta) kendaraanmu". (Riwayat Ibnu Majah)

2. Zikir itu dapat dilakukan dalam hati atau dengan lisan, karena zikir dalam hati menunjukkan keikhlasan, jauh daripada riya, dan dekat pada perkenaan Allah swt. Zikir dapat dilakukan dengan lisan, lisan mengucapkan dan hati mengikutinya.

3. Zikir dapat pula dilakukan secara berjamaah, dengan tujuan untuk mendidik umat agar terbiasa melakukan zikir.

Ayat 206

اِنَّ الَّذِيْنَ عِنْدَ رَبِّكَ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِهٖ وَيُسَبِّحُوْنَهٗ وَلَهٗ يَسْجُدُوْنَ ࣖ ۩

innal-lażīna ‘inda rabbika lā yastakbirūna ‘an ‘ibādatihī wa yusabbiḥūnahū wa lahū yasjudūn(a).

Sesungguhnya orang-orang yang ada di sisi Tuhanmu tidak merasa enggan untuk menyembah Allah dan mereka menyucikan-Nya dan hanya kepada-Nya mereka bersujud.

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa malaikat yang kedudukannya mulia di sisi Tuhan tiadalah merasa berat dan enggan menyembah Allah. Hendaklah manusia mencontoh ketaatan malaikat itu kepada Tuhan. Para malaikat itu selalu mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya, dan dari menyembah berhala-berhala. Para malaikat sujud dan salat kepada Allah swt.

Ayat ini termasuk ayat sajadah yang pertama dalam Al-Quran. Di sunatkan bagi orang Islam melakukan sujud setelah membaca atau mendengar ayat ini dibacakan.

Abu Darda meriwayatkan sebagai berikut:

"Bahwasanya Rasulullah saw memandang ayat ini salah satu ayat sajadah dalam Al-Quran". (Riwayat Ibnu Majah)

Al-A'raf (206 ayat)

Ads

#HaditsPilihan

telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani' berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Al A'masy dari Umarah bin Umair dari Abu Ma'mar dari Abu Mas'ud Al Anshari Al Badri ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Shalat seseorang tidak akan sempurna bila dalam rukuk dan sujud tulang punggungnya tidak lurus." Ia b... Selengkapnya

HR. Tirmidzi