يٰسۤ
Terdapat 83 ayat dan diturunkan di Mekah
Surat Yaasiin terdiri atas 83 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, diturunkan sesudah surat Jin. Dinamai Yaasiin karena dimulai dengan huruf Yaasiin. Sebagaimana halnya arti huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan beberapa surat Al Quran, maka demikian pula arti Yaasiin yang terdapat pada ayat permulaan surat ini, yaitu Allah mengisyaratkan bahwa sesudah huruf tersebut akan dikemukakan hal-hal yang penting antara lain: Allah bersumpah dengan Al Quran bahwa Muhammad s.a.w. benar-benar seorang rasul yang diutus-Nya kepada kaum yang belum pernah diutus kepada mereka rasul-rasul.
Ayat 1
يٰسۤ ۚ
yā sīn.
Ya Sin
Pada surah-surah sebelumnya telah dibicarakan mengenai awal surah yang dimulai dengan huruf-huruf abjad. Pada kesimpulannya disebutkan bahwa pendapat yang terkuat menetapkan huruf-huruf abjad itu dimaksudkan sebagai peringatan untuk membangkitkan minat orang yang membacanya kepada hal-hal penting yang akan disebutkan dalam ayat-ayat sesudahnya. Tetapi, dari riwayat Ibnu 'Abbas diperoleh keterangan bahwa ya sin bermakna ya insan (wahai manusia) yakni wahai Muhammad. Demikian pula pendapat Abu Hurairah, 'Ikrimah, adh-ahhak, Sufyan bin Uyainah dan Sa'id bin Jubair. Menurut mereka, ya sin berasal dari logat Habsyah. Sedang Malik yang meriwayatkan dari Zaid bin Aslam menyebutkan arti ya sin adalah kependekan dari nama-nama Allah. Ada lagi yang berpendapat ya sin ringkasan dari kalimat "Ya Sayidal Basyar", yakni Nabi Muhammad sendiri. Atau ia adalah salah satu nama dari Al-Qur'an. Namun demikian, mayoritas ulama menyerahkan arti ya sin kepada Allah. (untuk lebih jelasnya, lihat tafsir surah al-Baqarah/2: 1)
Ayat 2
وَالْقُرْاٰنِ الْحَكِيْمِۙ
wal-qur'ānil-ḥakīm(i).
Demi Al-Qur'an yang penuh hikmah,
Allah bersumpah dengan Al-Qur'an yang penuh hikmah. Ada beberapa arti hikmah yang disarikan dari pendapat-pendapat ahli tafsir yakni: kata "hikmah" di sini muhkam, berarti yang telah pasti benarnya, dan tidak mungkin terdapat di dalamnya sesuatu yang batil (tidak benar) baik makna lafadh, tujuan, hikmah, kisah, hukumnya, dan lain-lain walaupun ditinjau dari segi apa pun. "Hakim" adalah suatu sifat yang dimiliki oleh orang yang berakal (cerdas). Demikian halnya Al-Qur'an, dengan hikmah yang dikandungnya memberi bekal kehidupan manusia untuk menyucikan hati mereka dan memberi rasa kepuasan rohani. Dengan kesucian hati dan kejernihan pikiran, akan terbuka rahasia-rahasia yang terkandung di alam ini. Al-Qur'an memberi bimbingan hidup yang penuh dengan kebijaksanaan, segala ajarannya sejalan dan harmonis dengan pikiran yang sehat dan kehendak nafsu yang terkendali, yakni jalan pikiran yang menuju ke arah kemaslahatan manusia.
Ayat 3
اِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِيْنَۙ
innaka laminal-mursalīn(a).
sungguh, engkau (Muhammad) adalah salah seorang dari rasul-rasul,
Ayat ini menyatakan bahwa tujuan sumpah Allah dengan Al-Qur'an yang mengandung hikmah itu adalah pernyataan bahwa Nabi Muhammad merupakan salah seorang di antara para rasul Allah yang diutus membawa kebenaran. Hal ini merupakan penolakan tegas terhadap orang-orang yang tidak memercayai Muhammad sebagai rasul Allah.
Ayat 4
عَلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍۗ
‘alā ṣirāṭim mustaqīm(in).
(yang berada) di atas jalan yang lurus,
Ayat ini menegaskan bahwa Rasulullah berada pada jalan yang lurus. Hal ini sebagai penegasan bahwa agama dan syariat yang dibawa Nabi Muhammad itu adalah benar, lurus, berasal dari Allah. Salah satu ciri dari risalah Muhammad selalu berada pada jalan yang lurus. Kebenaran yang dibawanya jelas, tanpa mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan. Syariat Muhammad saw tidaklah cenderung mengikuti keinginan hawa nafsu manusiawi, tetapi senantiasa mendorong manusia menuju kepada kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Firman Allah:
Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus. (asy-Syura/42: 52)
Ayat 5
تَنْزِيْلَ الْعَزِيْزِ الرَّحِيْمِۙ
tanzīlal-‘azīzir-raḥīm(i).
(sebagai wahyu) yang diturunkan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Penyayang,
Ayat ini dengan tegas menentukan kedudukan Al-Qur'an, yakni kitab suci yang berasal dari Allah, bukan kitab suci hasil karangan manusia. Allah telah menyatakan kepada para hamba-Nya agar memahami hakikat kitab suci yang diturunkan-Nya, yaitu dari Zat Yang Maha Perkasa, yang bertindak seperti apa yang dikehendaki-Nya, tetapi Dia juga Maha Penyayang kepada hamba-Nya. Kasih sayang itu tertuang dalam Al-Qur'an yang mengandung rahmat bagi seluruh manusia.
Arti yang serupa dengan ayat ini adalah:
Dan sungguh, (Al-Qur'an) ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan seluruh alam. (asy-Syu'ara'/26: 192)
Ayat 6
لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَّآ اُنْذِرَ اٰبَاۤؤُهُمْ فَهُمْ غٰفِلُوْنَ
litunżira qaumam mā unżira ābā'uhum fahum gāfilūn(a).
agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai.
Adapun hikmah penurunan Al-Qur'an antara lain untuk memberi peringatan kepada bangsa Arab yang belum pernah diutus kepada mereka seorang rasul. Dalam ayat ini disebutkan kerusakan moral bangsa Arab akibat sifat lalai dalam hati mereka. Hati yang lalai ialah hati yang tidak melaksanakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Mereka adalah bangsa Arab keturunan Nabi Ismail yang belum pernah dikirim seorang rasul pun kepada mereka. Oleh karena itu, mereka belum mengenal syariat yang membawa manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Adapun kata qaum yang mengandung pengertian khusus ditujukan kepada bangsa Arab saja, tidak mengubah maksud risalah yang sebenarnya, yakni tertuju kepada seluruh manusia, sebagaimana ditegaskan dalam ayat lain:
Katakanlah (Muhammad), "Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua. (al-A'raf/7: 158)
Ayat 7
لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلٰٓى اَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ
laqad ḥaqqal-qaulu ‘alā akṡarihim fahum lā yu'minūn(a).
Sungguh, pasti berlaku perkataan (hukuman) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman.
Telah menjadi ketetapan Allah untuk mengazab nenek moyang orang-orang kafir sebagaimana terjadi pada kebanyakan umat yang telah menolak kedatangan rasul yang diutus kepada mereka. Keingkaran dan kejahatan akhlak mereka menyebabkan hati mereka tidak mampu menghayati kebenaran dan tidak mau tunduk kepada Allah.
Ayat 8
اِنَّا جَعَلْنَا فِيْٓ اَعْنَاقِهِمْ اَغْلٰلًا فَهِيَ اِلَى الْاَذْقَانِ فَهُمْ مُّقْمَحُوْنَ
innā ja‘alnā fī a‘nāqihim aglālan fa hiya ilal-ażqāni fahum muqmaḥūn(a).
Sungguh, Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, karena itu mereka tertengadah.
Kemudian diberikan sebuah perumpamaan bagi orang-orang yang tidak mau beriman itu, seolah-olah belenggu telah dipasang di leher mereka, tangan diangkat sampai ke atas dagu. Hal demikian menyebabkan muka mereka selalu tertengadah. Demikianlah gambaran orang yang tidak beriman karena dia tidak dapat menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mengambil perbandingan. Belenggu itu demikian erat, sehingga tidak memungkinkan kepalanya bergerak sama sekali. Di ayat lain terdapat pula keterangan:
Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan mereka, pasti binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Bahkan Kami telah memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu. (al-Mu'minun/23: 71)
Menurut riwayat, ayat ini pada mulanya diturunkan sehubungan dengan niat Abu Jahal bersama dua orang temannya yang berasal dari Bani Makhzum. Abu Jahal pernah bersumpah bila melihat Muhammad sedang salat di Baitullah, ia akan menjatuhkan batu besar ke atas kepalanya. Pada suatu hari, dilihatnya Nabi sedang sujud, di tangannya sudah tersedia batu yang cukup besar. Ketika batu itu diangkatnya dan akan dilemparkan ke arah Nabi yang sedang sujud itu, ia jadi ragu-ragu dan batu itu terlepas dari pegangan tangannya. Abu Jahal kembali kepada kaumnya dan menceritakan apa yang terjadi.
Kemudian ada pula seorang Bani Makhzum karena tertarik dengan cerita Abu Jahal, bermaksud pula melempar Nabi pada waktu beliau akan salat. Ketika ia hendak melaksanakan niat jahatnya, Allah membutakan matanya. Ia kembali kepada kaumnya dalam keadaan buta. Dia menceritakan bahwa ketika hendak melaksanakan niatnya tiba-tiba muncul seekor binatang besar yang siap hendak menerkamnya. Seandainya batu itu ia lemparkan juga, binatang itu pasti menerkamnya. Ada yang mengatakan bahwa makna belenggu di sini adalah arti majazi (kiasan). Jadi yang dimaksud dengan belenggu adalah penghalang yang menghalangi niat seseorang untuk beriman kepada Allah.
Ayat 9
وَجَعَلْنَا مِنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ سَدًّا وَّمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَاَغْشَيْنٰهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُوْنَ
wa ja‘alnā mim baini aidīhim saddaw wa min khalfihim saddan fa agsyaināhum fahum lā yubṣirūn(a).
Dan Kami jadikan di hadapan mereka sekat (dinding) dan di belakang mereka juga sekat, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.
Kemudian digambarkan pula bahwa orang-orang yang tidak beriman itu memandang baik perbuatan jahat yang mereka kerjakan. Hal demikian menyebabkan mereka menjadi sombong, sehingga mereka enggan mengikuti ajaran rasul. Pikirannya tertutup dari kebenaran, dari apa yang dapat mendatangkan manfaat. Oleh karena itu, tidak ada yang bisa mereka pahami kecuali apa yang telah diwariskan dari nenek moyang mereka. Ringkasnya, mereka selalu berada dalam penjara kebodohan, seolah-olah hati mereka dipisahkan oleh dinding, sehingga mereka tidak bisa berpikir dan merenungkan dalil-dalil kebenaran ajaran yang dibawa rasul.
Ada pula yang mengartikan dinding yang menghalangi itu dengan hijab; hingga berarti Allah menjadikan hijab yang menghalangi orang-orang musyrik untuk menyakiti Rasul. Sedang mata yang tertutup diartikan, mereka tidak bisa mengindra dengan baik sesuatu yang dilihatnya, dan tidak satu pun petunjuk yang dapat meluruskan pikiran mereka.
(10) Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak bisa menerima petunjuk itu walaupun diancam dengan siksaan yang pedih, tidak akan berubah. Sebab hati mereka sebenarnya sudah terpatri mati dan tidak dapat menerima petunjuk. Hal yang demikian disebabkan pikiran mereka tidak sanggup lagi memikirkan kebenaran yang disampaikan, dan mata mereka sudah buta dari kebenaran itu. Ringkasnya, siapa yang telah ditetapkan Allah kesesatannya tidak mungkin lagi bermanfaat baginya segala nasihat yang disampaikan orang. Allah berfirman:
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau (Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat. (al-Baqarah/2: 6-7)
Dan firman-Nya:
Sungguh, orang-orang yang telah dipastikan mendapat ketetapan Tuhanmu, tidaklah akan beriman. (Yunus/10: 96)
Ayat 10
وَسَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ
wa sawā'un ‘alaihim a'anżartahum am lam tunżirhum lā yu'minūn(a).
Dan sama saja bagi mereka, apakah engkau memberi peringatan kepada mereka atau engkau tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman juga.
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak bisa menerima petunjuk itu walaupun diancam dengan siksaan yang pedih, tidak akan berubah. Sebab hati mereka sebenarnya sudah terpatri mati dan tidak dapat menerima petunjuk. Hal yang demikian disebabkan pikiran mereka tidak sanggup lagi memikirkan kebenaran yang disampaikan, dan mata mereka sudah buta dari kebenaran itu. Ringkasnya, siapa yang telah ditetapkan Allah kesesatannya tidak mungkin lagi bermanfaat baginya segala nasihat yang disampaikan orang. Allah berfirman:
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau (Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat. (al-Baqarah/2: 6-7)
Dan firman-Nya:
Sungguh, orang-orang yang telah dipastikan mendapat ketetapan Tuhanmu, tidaklah akan beriman. (Yunus/10: 96)
Ayat 11
اِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمٰنَ بِالْغَيْبِۚ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَّاَجْرٍ كَرِيْمٍ
innamā tunżiru manittaba‘aż-żikra wa khasyiyar-raḥmāna bil-gaib(i), fa basysyirhu bimagfiratiw wa ajrin karīm(in).
Sesungguhnya engkau hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, walaupun mereka tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.
Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa hanya orang yang dapat menerima petunjuk Nabi Muhammad yang takut mendengar ancaman Allah, yakni orang-orang yang beriman pada Al-Qur'an dan mau melaksanakan pedoman yang telah digariskannya. Mereka merasa sadar, gentar, dan ngeri bila mendengar ancaman dan siksaan Allah. Allah Mahabesar rahmat-Nya dan Mahapedih siksa-Nya, sebagaimana disebutkan dalam ayat lain:
Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Akulah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang, dan sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih. (al-hijr/15: 49-50)
Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk memberi kabar gembira kepada orang-orang yang beriman bahwa mereka akan mendapat magfirah (ampunan) dan pahala yang mulia, yaitu nikmat yang abadi yang tidak dapat dilukiskan, tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terlintas dalam hati. Ayat lain menyatakan:
Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tidak terlihat oleh mereka, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar. (al-Mulk/67: 12)
Maksud firman Allah "takut kepada Tuhan Yang Maha Pengasih walaupun tidak melihatnya" ialah selalu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya di saat ada atau tidak orang yang mengetahui, atau ia bertakwa kepada Allah baik waktu ia sendirian maupun bersama orang lain. Orang-orang beriman dan berkepribadian seperti di ataslah yang diberi Allah kabar gembira melalui Nabi Muhammad. Kabar gembira itu adalah segala dosa yang pernah mereka kerjakan akan diampuni Allah dengan magfirah-Nya, dan mereka akan menikmati pahala yang mulia yakni surga yang luasnya seluas langit dan bumi, seperti yang dinyatakan oleh ayat:
Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. (ali 'Imran/3: 133)
Ayat 12
اِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتٰى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوْا وَاٰثَارَهُمْۗ وَكُلَّ شَيْءٍ اَحْصَيْنٰهُ فِيْٓ اِمَامٍ مُّبِيْنٍ ࣖ
innā naḥnu nuḥyil-mautā wa naktubu mā qaddamū wa āṡārahum, wa kulla syai'in aḥṣaināhu fī imāmim mubīn(in).
Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfuzh).
Kemudian disebutkan pula bahwa orang harus merasa takut kepada Tuhannya, karena Allah akan menghidupkan kembali semua orang yang telah mati dan membangkitkan mereka dari kuburnya masing-masing pada hari Akhirat. Ketika itu manusia memperoleh catatan dari seluruh perbuatan, baik besar maupun kecil, yang pernah dikerjakan di dunia dahulu. Tiada satu pun perbuatan yang luput dari catatan. Semuanya tertulis dalam buku itu dengan teliti dan. Al-Qur'an menyatakan:
Dan diletakkanlah kitab (catatan amal), lalu engkau akan melihat orang yang berdosa merasa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, "Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya," dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang jua pun. (al-Kahf/18: 49)
Tidak hanya perbuatan mereka yang tertulis dalam buku itu, tetapi juga segala amal yang mereka tinggalkan, yang diikuti dan masih dimanfaatkan orang banyak setelah ia meninggal dunia, seperti ilmu pengetahuan yang diajarkannya, harta benda yang diwakafkan, atau rumah sakit yang didirikannya untuk kesehatan masyarakat. Demikian pula perbuatan jahat yang ditinggalkan, seperti fitnah yang pernah ditebarkannya sehingga mengakibatkan orang saling berselisih atau berpecah-belah. Ringkasnya, setiap perbuatan yang menimbulkan pengaruh, baik yang bermanfaat atau menimbulkan mudarat, tertulis semua dalam buku itu. Ayat ini sejalan dengan hadis Rasulullah yang berbunyi:Barang siapa membuat tradisi (kebiasaan) yang baik ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudah ia meninggal tanpa dikurangi sedikit pun pahala mereka. Dan barangsiapa membuat suatu tradisi (kebiasaan) yang buruk, ia akan memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya setelah (ia) meninggal dunia tanpa dikurangi sedikit pun dosa mereka. Kemudian Rasulullah membaca ayat "wanaktubu maqaddamu wa atsarahum" (dan Kami-lah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan)." (Riwayat al-Bukhari dari Abu Musa.. al-Asy'ari)
Sehubungan dengan makna firman Allah "Dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan", Imam at-Tirmidzi meriwayatkan sebuah kisah, seperti yang dimuat oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, di mana diceritakan ada orang-orang dari Bani Salamah tinggal di pinggiran kota Medinah. Mereka merasa betapa jauhnya tempat kediaman mereka dari masjid Nabi. Agar mereka dapat datang berjamaah lebih awal untuk memperoleh keutamaan salat berjamaah, mereka berniat untuk memindahkan rumah mereka ke daerah sekitar masjid, maka turunlah ayat ini. Setelah Rasulullah memanggil mereka, beliau pun bersabda, "Niatmu yang baik itu akan ditulis." Akhirnya mereka tidak jadi pindah.
Ibnu Jarir ath-thabari meriwayatkan pula bahwa rumah sebagian orang Anshar jauh dari masjid Rasulullah. Mereka ingin memindahkannya, maka turunlah ayat ini. Mereka akhirnya membatalkan maksud tersebut. Barangkali yang mendorong orang-orang Bani Salamah atau segolongan sahabat Anshar hendak memindahkan rumah mereka adalah hadis Nabi saw yang menyatakan bahwa salat berjamaah itu 27 kali lipat pahalanya dibanding dengan salat yang dikerjakan sendirian.
Rasulullah bersabda:
Manusia yang paling banyak pahalanya dalam salat ialah orang yang paling jauh berjalan dengan kaki, kemudian yang paling jauh, dan orang yang menunggu salat sehingga ia mengerjakannya bersama imam lebih besar pahalanya daripada orang yang mengerjakan salat (sendiri) kemudian ia tidur." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa)
Kemudian lebih ditegaskan lagi bahwa tidak hanya perbuatan Bani Adam yang tertulis dalam buku itu dengan teliti, tetapi juga apa yang terjadi di bumi ini. Menurut penjelasan ahli tafsir yang dimaksud dengan imamum mubin (kitab induk yang nyata) ialah Lauh Mahfudh. Ayat ini diperkuat lagi dengan keterangan ayat-ayat lain yang berbunyi:
Dia (Musa) menjawab, "Pengetahuan tentang itu ada pada Tuhanku, di dalam sebuah Kitab (Lauh Mahfudh), Tuhanku tidak akan salah ataupun lupa." (thaha/20: 52)
Dan ayat:
Dan segala (sesuatu) yang kecil maupun yang besar (semuanya) tertulis. (al-Qamar/54: 53)
Demikian penjelasan ayat-ayat di atas yang memastikan datangnya hari Kiamat, di mana manusia akan menerima balasan dari semua usahanya, baik jahat maupun baik. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kabar gembira berupa ampunan dan surga bagi orang yang takwa kepada Tuhan dan mengikuti petunjuk Al-Qur'an ditetapkan Allah nanti setelah hari Kebangkitan.
Ayat 13
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَّثَلًا اَصْحٰبَ الْقَرْيَةِۘ اِذْ جَاۤءَهَا الْمُرْسَلُوْنَۚ
waḍrib lahum maṡalan aṣḥābal-qaryah(ti), iż jā'ahal-mursalūn(a).
Dan buatlah suatu perumpamaan bagi mereka, yaitu penduduk suatu negeri, ketika utusan-utusan datang kepada mereka;
Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk menceritakan kepada kaum musyrik Quraisy dan sekaligus kepada kaum yang mendustakan risalahnya tentang riwayat Ashhabul Qaryah sebagai pengajaran bagi mereka. Intisari dari kisah itu menyatakan bahwa siapa saja yang mendustakan rasul akan mengalami nasib malang seperti apa yang dialami oleh Ashhabul Qaryah. Dalam beberapa tafsir diterangkan bahwa yang dimaksud dengan Ashhabul Qaryah adalah penduduk kota Antakia (Arab: Anthakiyah), tetapi ada yang menyebut penduduk suatu kota yang tidak dikenal.
Sedangkan tiga utusan itu, ada yang menyebut bahwa mereka adalah utusan Isa. kepada penduduk negeri tersebut, dan ada pula yang menyebut mereka adalah rasul yang diutus kepada penduduk negeri tersebut.
Ayat 14
اِذْ اَرْسَلْنَآ اِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوْهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوْٓا اِنَّآ اِلَيْكُمْ مُّرْسَلُوْنَ
iż arsalnā ilaihimuṡnaini fa każżabūhumā fa ‘azzaznā biṡāliṡin faqālū innā ilaikum mursalūn(a).
(yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga (utusan itu) berkata, “Sungguh, kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu.”
Oleh karena kedua utusan itu ada yang menyebutkan bernama (Yuhana dan Bulus) tidak berhasil melaksanakan misinya, dikirim lagi seorang yang bernama Syam.'un dengan tugas yang sama. Risalah yang mereka bawa adalah supaya penduduk Antakia itu mau membersihkan dirinya dari perbuatan syirik, supaya mereka melepaskan diri dari segala bentuk sesembahan selain Allah, dan kemudian kembali kepada ajaran tauhid.
Ayat 15
قَالُوْا مَآ اَنْتُمْ اِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُنَاۙ وَمَآ اَنْزَلَ الرَّحْمٰنُ مِنْ شَيْءٍۙ اِنْ اَنْتُمْ اِلَّا تَكْذِبُوْنَ
qālū mā antum illā basyarum miṡlunā, wa mā anzalar-raḥmānu min syai'(in), in antum illā takżibūn(a).
Mereka (penduduk negeri) menjawab, “Kamu ini hanyalah manusia seperti kami, dan (Allah) Yang Maha Pengasih tidak menurunkan sesuatu apa pun; kamu hanyalah pendusta belaka.”
Kemudian dalam ayat ini disebutkan alasan mendasar kaumnya tidak mau beriman kepada Allah. Kebanyakan orang-orang yang mendustakan itu berkeyakinan bahwa ketiga utusan itu adalah manusia biasa saja seperti mereka juga, tanpa ada keistimewaan yang menonjol. Ketika itu, mungkin juga sekarang, seseorang tidak akan dihargai kalau tidak mempunyai kepandaian atau keahlian yang luar biasa.
Alasan kedua, karena mereka yakin bahwa Tuhan Yang Maha Pengasih tidaklah menurunkan risalah ataupun kitab yang berisi wahyu dan Dia tidak pula memerintahkan untuk beriman kepada ketiga utusan itu. Oleh karena itu, mereka menyimpulkan ketiga utusan itu bohong belaka. Firman Allah yang menggambarkan penolakan mereka "ma anzala ar-rahman", menunjukkan bahwa penduduk Antakia itu telah lama mengenal Tuhan, hanya mereka mengingkarinya dan digantinya dengan berhala. Oleh sebab itu, semua rasul mereka tolak.
Ayat 16
قَالُوْا رَبُّنَا يَعْلَمُ اِنَّآ اِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُوْنَ
qālū rabbunā ya‘lamu innā ilaikum lamursalūn(a).
Mereka berkata, “Tuhan kami mengetahui sesungguhnya kami adalah utusan-utusan(-Nya) kepada kamu.
Pandangan demikian dibantah oleh utusan-utusan itu dengan mengatakan hanya Allah yang mengetahui bahwa mereka benar-benar orang yang diutus kepada penduduk tersebut. Apabila mereka bohong, maka azab yang pedih akan menimpa mereka. Tugas mereka ini akan diridai Allah, dan pasti akan diketahui kelak siapa yang bersalah dan harus menanggung risiko atas kesalahan itu. Dalam ayat lain, jawaban seperti itu memang bisa diucapkan oleh seorang rasul, misalnya:
Dan mereka meminta kepadamu agar segera diturunkan azab. Kalau bukan karena waktunya yang telah ditetapkan, niscaya datang azab kepada mereka, dan (azab itu) pasti akan datang kepada mereka dengan tiba-tiba, sedang mereka tidak menyadarinya. (al-'Ankabut/29: 53)
Ayat 17
وَمَا عَلَيْنَآ اِلَّا الْبَلٰغُ الْمُبِيْنُ
wa mā ‘alainā illal-balāgul-mubīn(u).
Dan kewajiban kami hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.”
Ayat ini menjelaskan bahwa misi yang dibawa para rasul itu hanyalah sekadar menyampaikan risalah Allah. Keputusan ada di tangan manusia, apakah akan beriman kepada risalah tersebut atau tidak. Jika mereka beriman, faedah keimanan itu adalah untuk kebahagiaan mereka juga, di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, kalau orang-orang kafir itu tidak mau melaksanakan seruan para rasul itu, tentu akibatnya akan menimpa diri mereka sendiri.
Ayat 18
قَالُوْٓا اِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْۚ لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهُوْا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِّنَّا عَذَابٌ اَلِيْمٌ
qālū innā taṭayyarnā bikum, la'il lam tantahū lanarjumannakum wa layamassannakum minnā ‘ażābun alīm(un).
Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu. Sungguh, jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami rajam kamu dan kamu pasti akan merasakan siksaan yang pedih dari kami.”
Pada ayat ini dijelaskan bahwa penduduk Antakia tidak bisa lagi mematahkan alasan-alasan para rasul itu. Oleh karena itu, mereka mengancam dengan mengatakan bahwa kalau kesengsaraan menimpa mereka kelak, maka hal ini disebabkan perbuatan ketiga orang tersebut. Dengan demikian, kalau para rasul itu tidak mau menghentikan dakwah yang sia-sia ini, terpaksa mereka merajamnya dengan batu atau menjatuhkan siksaan yang amat pedih. Ketiga utusan itu menangkis perkataan mereka dengan mengatakan bahwa seandainya penduduk Antakia kelak terpaksa mengalami siksaan, itu adalah akibat perbuatan mereka sendiri. Bukankah mereka yang mempersekutukan Allah, mengerjakan perbuatan maksiat, dan melakukan kesalahan-kesalahan? Sedangkan ketiga utusan itu hanya sekadar mengajak mereka untuk mentauhidkan Allah, mengikhlaskan diri dalam beribadah, dan tobat dari segala kesalahan. Apakah karena para rasul itu memperingatkan mereka dengan azab Allah yang sangat pedih dan mengajak mereka mengesakan Allah, lalu mereka menyiksa para rasul itu? Itukah balasan yang pantas bagi para rasul itu? Hal itu menunjukkan bahwa mereka adalah bangsa yang melampaui batas dengan cara berpikir dan menetapkan putusan untuk menyiksa dan merajam para rasul. Mereka menganggap buruk orang-orang yang semestinya menjadi tempat mereka meminta petunjuk. Ayat yang mirip pengertiannya dengan ayat ini adalah:
Kemudian apabila kebaikan (kemakmuran) datang kepada mereka, mereka berkata, "Ini adalah karena (usaha) kami." Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan pengikutnya. Ketahuilah, sesungguhnya nasib mereka di tangan Allah, namun kebanyakan mereka tidak mengetahui. (al-A'raf/7: 131)
Ayat 19
قَالُوْا طَاۤىِٕرُكُمْ مَّعَكُمْۗ اَىِٕنْ ذُكِّرْتُمْۗ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُوْنَ
qālū ṭā'irukum ma‘akum, a'in żukkirtum, bal antum qaumum musrifūn(a).
Mereka (utusan-utusan) itu berkata, “Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah karena kamu diberi peringatan? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.”
Pada ayat ini dijelaskan bahwa penduduk Antakia tidak bisa lagi mematahkan alasan-alasan para rasul itu. Oleh karena itu, mereka mengancam dengan mengatakan bahwa kalau kesengsaraan menimpa mereka kelak, maka hal ini disebabkan perbuatan ketiga orang tersebut. Dengan demikian, kalau para rasul itu tidak mau menghentikan dakwah yang sia-sia ini, terpaksa mereka merajamnya dengan batu atau menjatuhkan siksaan yang amat pedih. Ketiga utusan itu menangkis perkataan mereka dengan mengatakan bahwa seandainya penduduk Antakia kelak terpaksa mengalami siksaan, itu adalah akibat perbuatan mereka sendiri. Bukankah mereka yang mempersekutukan Allah, mengerjakan perbuatan maksiat, dan melakukan kesalahan-kesalahan? Sedangkan ketiga utusan itu hanya sekadar mengajak mereka untuk mentauhidkan Allah, mengikhlaskan diri dalam beribadah, dan tobat dari segala kesalahan. Apakah karena para rasul itu memperingatkan mereka dengan azab Allah yang sangat pedih dan mengajak mereka mengesakan Allah, lalu mereka menyiksa para rasul itu? Itukah balasan yang pantas bagi para rasul itu? Hal itu menunjukkan bahwa mereka adalah bangsa yang melampaui batas dengan cara berpikir dan menetapkan putusan untuk menyiksa dan merajam para rasul. Mereka menganggap buruk orang-orang yang semestinya menjadi tempat mereka meminta petunjuk. Ayat yang mirip pengertiannya dengan ayat ini adalah:
Kemudian apabila kebaikan (kemakmuran) datang kepada mereka, mereka berkata, "Ini adalah karena (usaha) kami." Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan pengikutnya. Ketahuilah, sesungguhnya nasib mereka di tangan Allah, namun kebanyakan mereka tidak mengetahui. (al-A'raf/7: 131)
Ayat 20
وَجَاۤءَ مِنْ اَقْصَا الْمَدِيْنَةِ رَجُلٌ يَّسْعٰى قَالَ يٰقَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِيْنَۙ
wa jā'a min aqṣal-madīnati rajuluy yas‘ā qāla yā qaumittabi‘ul-mursalīn(a).
Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas dia berkata, “Wahai kaumku! Ikutilah utusan-utusan itu.
Ayat ini menjelaskan bahwa sunatullah berlaku adalah apabila rasul yang bertugas menyampaikan kebenaran terdesak, pasti akan mendapat bantuan Allah. Berkaitan dengan kisah penolakan penduduk Antakia terhadap tiga utusan Nabi Isa, datanglah seorang laki-laki bernama habib an-Najjar yang tidak memiliki pengaruh ataupun kekuasaan yang menentukan, juga bukan keluarga atau orang yang berpengaruh terhadap raja negeri itu. Hanya dengan dinamika kekuatan imannya sajalah dia datang dari pelosok negeri guna membela ketiga utusan itu dengan memperingatkan orang-orang yang hendak menyiksa mereka. Ia menyerukan agar penduduk kota itu mengikuti para rasul yang datang hanya untuk menyampaikan petunjuk Allah.
Ayat 21
اتَّبِعُوْا مَنْ لَّا يَسْـَٔلُكُمْ اَجْرًا وَّهُمْ مُّهْتَدُوْنَ ۔
ittabi‘ū mal lā yas'alukum ajraw wa hum muhtadūn(a).
Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Laki-laki itu menjelaskan bahwa ketiga utusan yang mendakwahkan kebenaran itu tidak mengharapkan balas jasa sama sekali atas jerih payahnya menyampaikan risalah itu. Mereka memperoleh petunjuk dari Allah bahwa yang seharusnya disembah itu adalah Allah Yang Maha Esa, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.
Laki-laki yang bernama habib an-Najjar itu datang dari jauh untuk menjelaskan kepada penduduk Antakia bahwa ia memberikan pelajaran dan pengajaran kepada mereka, setelah ia meyakini apa yang disampaikannya merupakan sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri dan mereka. Mengapa ia tidak menyembah Allah Yang Maha Esa yang telah menciptakannya, dan kepada-Nya akan kembali semua yang hidup ini? Di sanalah mereka akan menerima segala ganjaran perbuatan mereka. Orang yang berbuat baik pasti menikmati hasil kebaikannya, sedangkan yang berbuat jahat, sudah barang tentu tidak sanggup melepaskan diri dari azab sebagai balasannya. Penegasan di atas adalah sebagai jawaban dari pertanyaan kaumnya yang tidak mau beriman.
Menurut habib, tidak pantas ia mencari tuhan yang lain selain daripada Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang mereka puja adalah tuhan yang tidak sanggup memberi manfaat atau menolak mudarat, tidak mendengar dan melihat, serta tidak bisa memberi pertolongan (syafaat). Tuhan-tuhan itu sudah barang tentu tidak dapat menghindarkan mereka dari azab Allah, walaupun mereka telah menyembahnya. Oleh karena itu, bila ia turut serta menyembah apa yang mereka sembah selain dari Tuhan Yang Maha Esa, sungguh ia telah menempuh jalan yang sesat. Kalau ia menyembah patung yang terbuat dari batu atau makhluk-makhluk lainnya, yang sama sekali tidak mungkin mendatangkan manfaat atau menolak mudarat, bukankah itu berarti ia sudah berada dalam kesesatan?
Laki-laki yang datang dari jauh itu mengakhiri nasihatnya dengan menegaskan di hadapan kaumnya kepada ketiga utusan itu tentang pendiriannya yang sejati. Ia berkata, "Dengarlah wahai utusan-utusan Nabi Isa, aku beriman kepada Tuhanmu yang telah mengutus kamu. Oleh karena itu, saksikanlah dan dengarkanlah apa yang aku ucapkan ini".
Menurut riwayat, setelah habib mengumandangkan pendiriannya, kaum kafir itu lalu melemparinya dengan batu. Sekujur tubuhnya mengeluarkan darah. Akhirnya habib meninggal dalam keadaan syahid menegakkan kebenaran. Ada pula riwayat yang mengatakan bahwa kedua kakinya ditarik ke arah yang berlawanan sampai sobek sehingga dari arah duburnya memancar darah segar. Ia gugur dalam melaksanakan tugasnya. Sebelum menemui ajalnya, pahlawan tersebut masih sempat berdoa kepada Allah, "Ya Allah tunjukilah kaumku, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui."
Pada saat hari Kebangkitan tiba, Allah memerintahkan kepada habib, "Masuklah engkau ke dalam surga sebagai balasan atas apa yang telah engkau kerjakan selama di dunia." Setelah ia masuk dan merasakan betapa indah dan nikmatnya balasan Allah bagi orang yang beriman dan sabar dalam melaksanakan tugas dakwah, ia pun berkata, "Kiranya kaumku dahulu mengetahui bahwa aku memperoleh ampunan dan kemuliaan dari Allah." Magfirah dan kemuliaan yang hanya dapat dinikmati oleh sebagian manusia yang beriman.
Sesungguhnya ayat di atas memakai kata "tamanni" (mengharapkan sesuatu yang tak mungkin dicapai) untuk mendorong kaum Antakia dan orang-orang mukmin pada umumnya agar berusaha sebanyak mungkin memperoleh ganjaran seperti itu, tobat dari segala kekufuran, dan masuk ke dalam kelompok orang yang merasakan indahnya beriman kepada Allah, menaati jalan para wali Allah, dengan cara menahan marah dan melimpahkan kasih sayang kepada orang yang memusuhinya.
Ibnu 'Abbas mengatakan bahwa habib menasihati kaumnya ketika ia masih hidup dengan ucapan, "Ikutilah risalah yang dibawa oleh para utusan itu." Kemudian setelah meninggal dunia akibat siksaan mereka, ia juga masih mengharapkan, "Kiranya kaumku mengetahui bahwa Allah telah mengampuniku dan menjadikanku termasuk orang-orang yang dimuliakan." Setelah habib dibunuh, Allah menurunkan siksaan-Nya kepada mereka. Jibril diperintahkan mendatangi kaum yang durhaka itu. Dengan satu kali teriakan saja, bagaikan halilintar kerasnya, mereka tiba-tiba mati semuanya. Itulah suatu balasan yang setimpal dengan kesalahan karena mendustakan utusan-utusan Allah, membunuh para wali-Nya, dan mengingkari risalah Allah.
Ayat 22
وَمَا لِيَ لَآ اَعْبُدُ الَّذِيْ فَطَرَنِيْ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
wa mā liya lā a‘budul-lażī faṭaranī wa ilaihi turja‘ūn(a).
Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.
Pada ayat ini digambarkan kesadaran yang timbul dalam hati dan cahaya iman yang telah menyinari jiwa orang itu, sehingga ia berpendapat bahwa tidak ada alasan sedikit pun baginya untuk tidak beriman kepada Allah. Karena Dialah yang telah menciptakan dan membentuknya sedemikian rupa dalam proses kejadian, sehingga memungkinkan dirinya memeluk agama tauhid yaitu agama yang mengajarkan untuk mempercayai Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa.
Pada akhir ayat ini, orang itu menyatakan bahwa hanya kepada Allah sajalah ia akan kembali setelah meninggalkan kehidupan dunia yang fana ini, tidak kepada yang lain. Pernyataan ini timbul dari lubuk hatinya, setelah ia merasakan kekuasaan dan kebesaran Allah.
Seseorang menghambakan diri kepada Allah karena:
1. Merasakan kekuasaan dan kebesaran Allah. Hanya Dialah yang berhak disembah, tidak ada sesuatu pun yang lain. Karena keyakinan itu, ia tetap menghambakan diri kepada Allah dalam keadaan bagaimana pun, apakah ia diberi nikmat oleh-Nya atau tidak, apakah ia dalam kesengsaraan atau dalam kesenangan, apakah dalam kesempitan atau kelapangan.
2. Hamba yang beribadah kepada Allah telah merasakan nikmat yang dianugerahkan kepadanya, ia merasa tergantung kepada nikmat Allah itu.
3. Seorang hamba mengharapkan pahala kepada Allah dan takut ditimpa siksa-Nya.
Hamba yang dimaksud pada ayat ini, ialah hamba yang termasuk golongan pertama. Hamba itu tetap beribadah kepada Allah sesuai dengan yang telah ditetapkan-Nya, sekalipun ia ditimpa malapetaka, kesengsaraan dan cobaan-cobaan yang lain. Ia menyatakan bahwa seluruh yang ada padanya, jiwa dan raganya, hidup dan matinya, semuanya adalah milik Allah.
Keimanan orang ini sesuai dengan iman yang dimaksud dalam firman Allah:
Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam,tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim)." (al-An'am/6: 162-163)
Ayat 23
ءَاَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِهٖٓ اٰلِهَةً اِنْ يُّرِدْنِ الرَّحْمٰنُ بِضُرٍّ لَّا تُغْنِ عَنِّيْ شَفَاعَتُهُمْ شَيْـًٔا وَّلَا يُنْقِذُوْنِۚ
a'attakhiżu min dūnihī ālihatan iy yuridnir-raḥmānu biḍurril lā tugni ‘annī syafā‘atuhum syai'aw wa lā yunqiżūn(i).
Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya? Jika (Allah) Yang Maha Pengasih menghendaki bencana terhadapku, pasti pertolongan mereka tidak berguna sama sekali bagi diriku dan mereka (juga) tidak dapat menyelamatkanku.
Seterusnya hamba yang disebutkan di atas bertanya kepada dirinya sendiri, “Apakah aku patut menyembah Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, padahal seandainya Dia bermaksud menimpakan sesuatu malapetaka atau kemudaratan atas diriku, niscaya tidak ada sesuatu pun yang dapat menolongku, demikian pula tuhan-tuhan yang aku sembah itu. Mereka tidak berdaya sedikit pun untuk menyelamatkan aku dari kemudaratan dan malapetaka.”
Ayat 24
اِنِّيْٓ اِذًا لَّفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
innī iżal lafī ḍalālim mubīn(in).
Sesungguhnya jika aku (berbuat) begitu, pasti aku berada dalam kesesatan yang nyata.
Seterusnya hamba yang disebutkan di atas bertanya kepada dirinya sendiri, "Apakah aku patut menyembah Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, padahal seandainya Dia bermaksud menimpakan sesuatu malapetaka atau kemudaratan atas diriku, niscaya tidak ada sesuatu pun yang dapat menolongku, demikian pula tuhan-tuhan yang aku sembah itu. Mereka tidak berdaya sedikit pun untuk menyelamatkan aku dari kemudaratan dan malapetaka."
Ayat 25
اِنِّيْٓ اٰمَنْتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُوْنِۗ
innī āmantu birabbikum fasma‘ūn(i).
Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah (pengakuan keimanan)-ku.”
Ia lalu memperoleh jawaban yang benar atas pertanyaan itu, yaitu tidak patut sama sekali baginya menghamba kepada selain Allah. Hanya Allah sajalah Tuhan yang sebenarnya. Dan jika ia menyembah kepada selain Allah, pastilah ia berada dalam kesesatan yang nyata.
Ayat 26
قِيْلَ ادْخُلِ الْجَنَّةَ ۗقَالَ يٰلَيْتَ قَوْمِيْ يَعْلَمُوْنَۙ
qīladkhulil-jannah(ta), qāla yā laita qaumī ya‘lamūn(a).
Dikatakan (kepadanya), “Masuklah ke surga.” Dia (laki-laki itu) berkata, “Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui,
Akhirnya, orang tersebut mengambil keputusan yang tepat berdasar keyakinan yang penuh bahwa ia hanya beriman kepada Allah, yaitu Tuhan yang sebenarnya bagi dia dan kaumnya. Ia lalu mengumumkan keimanan dan keyakinannya itu kepada kaumnya, dan berkata dengan tegas, "Sesungguhnya aku telah beriman kepada Allah yaitu Tuhan kamu yang sebenarnya. Maka dengarkanlah pernyataan imanku ini."
Sikap dan pernyataan iman seperti tersebut di atas, yang dilontarkan di tengah-tengah masyarakat yang masih bergelimang kekafiran, kemusyrikan, dan kemaksiatan, benar-benar merupakan keberanian yang timbul dari cahaya iman yang telah menerangi hati nuraninya. Ia ingin agar kaumnya juga beriman. Ia tak gentar kepada ancaman yang membahayakan dirinya, demi melaksanakan tugas suci untuk mengajak umat ke jalan yang benar.
Menurut suatu riwayat, ketika orang itu berkata demikian kaumnya menyerangnya dan membunuhnya dan tidak seorang pun yang membelanya.
Sedang menurut Qatadah, "Kaumnya merajamnya dengan batu, dan dia tetap berdoa, 'Wahai Tuhanku, tunjukilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui." Mereka merajamnya sampai ia mengembuskan napasnya yang penghabisan. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang yang dimaksud pada ayat-ayat di atas bernama habib an-Najjar, yang terkena penyakit campak, tetapi suka bersedekah. Separuh dari penghasilannya sehari-hari disedekahkannya. Disebutkan bahwa setelah kaumnya mendengar pernyataan keimannya terhadap Islam maka berkobarlah kemarahan terhadapnya, dan akhirnya mereka membunuhnya. Akan tetapi, pada saat sebelum ia mengembuskan napas yang terakhir, turunlah kepadanya malaikat untuk memberitahukan bahwa Allah telah mengampuni semua dosa-dosanya yang telah dilakukannya sebelum ia beriman, dan ia dimasukkan ke dalam surga sehingga termasuk golongan orang-orang yang mendapat kemuliaan di sisi Allah.
Pada detik-detik terakhir, ia masih sempat mengucapkan kata yang berisi harapan, "Alangkah baiknya, jika kaumku mengetahui karunia Allah yang dilimpahkan-Nya kepadaku, berkat keimananku kepada-Nya, aku telah memperoleh ampunan atas dosaku. Aku akan dimasukkan ke dalam surga dengan ganjaran yang berlipat ganda, dan termasuk golongan orang-orang yang memperoleh kemuliaan di sisi-Nya. Seandainya mereka mengetahui hal ini, tentulah mereka akan beriman pula."
Pernyataan habib itu adalah pernyataan yang amat tinggi nilainya dan menunjukkan ketinggian akhlaknya. Sekalipun ia telah dirajam dan disiksa oleh kaumnya, namun ia tetap berharap agar kaumnya sadar dan mendapat rahmat dari Tuhan sebagaimana yang telah dialaminya.
Ayat 27
بِمَا غَفَرَ لِيْ رَبِّيْ وَجَعَلَنِيْ مِنَ الْمُكْرَمِيْنَ
bimā gafaralī rabbī wa ja‘alanī minal-mukramīn(a).
apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang telah dimuliakan.”
Akhirnya, orang tersebut mengambil keputusan yang tepat berdasar keyakinan yang penuh bahwa ia hanya beriman kepada Allah, yaitu Tuhan yang sebenarnya bagi dia dan kaumnya. Ia lalu mengumumkan keimanan dan keyakinannya itu kepada kaumnya, dan berkata dengan tegas, "Sesungguhnya aku telah beriman kepada Allah yaitu Tuhan kamu yang sebenarnya. Maka dengarkanlah pernyataan imanku ini."
Sikap dan pernyataan iman seperti tersebut di atas, yang dilontarkan di tengah-tengah masyarakat yang masih bergelimang kekafiran, kemusyrikan, dan kemaksiatan, benar-benar merupakan keberanian yang timbul dari cahaya iman yang telah menerangi hati nuraninya. Ia ingin agar kaumnya juga beriman. Ia tak gentar kepada ancaman yang membahayakan dirinya, demi melaksanakan tugas suci untuk mengajak umat ke jalan yang benar.
Menurut suatu riwayat, ketika orang itu berkata demikian kaumnya menyerangnya dan membunuhnya dan tidak seorang pun yang membelanya.
Sedang menurut Qatadah, "Kaumnya merajamnya dengan batu, dan dia tetap berdoa, 'Wahai Tuhanku, tunjukilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui." Mereka merajamnya sampai ia mengembuskan napasnya yang penghabisan. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang yang dimaksud pada ayat-ayat di atas bernama habib an-Najjar, yang terkena penyakit campak, tetapi suka bersedekah. Separuh dari penghasilannya sehari-hari disedekahkannya. Disebutkan bahwa setelah kaumnya mendengar pernyataan keimannya terhadap Islam maka berkobarlah kemarahan terhadapnya, dan akhirnya mereka membunuhnya. Akan tetapi, pada saat sebelum ia mengembuskan napas yang terakhir, turunlah kepadanya malaikat untuk memberitahukan bahwa Allah telah mengampuni semua dosa-dosanya yang telah dilakukannya sebelum ia beriman, dan ia dimasukkan ke dalam surga sehingga termasuk golongan orang-orang yang mendapat kemuliaan di sisi Allah.
Pada detik-detik terakhir, ia masih sempat mengucapkan kata yang berisi harapan, "Alangkah baiknya, jika kaumku mengetahui karunia Allah yang dilimpahkan-Nya kepadaku, berkat keimananku kepada-Nya, aku telah memperoleh ampunan atas dosaku. Aku akan dimasukkan ke dalam surga dengan ganjaran yang berlipat ganda, dan termasuk golongan orang-orang yang memperoleh kemuliaan di sisi-Nya. Seandainya mereka mengetahui hal ini, tentulah mereka akan beriman pula."
Pernyataan habib itu adalah pernyataan yang amat tinggi nilainya dan menunjukkan ketinggian akhlaknya. Sekalipun ia telah dirajam dan disiksa oleh kaumnya, namun ia tetap berharap agar kaumnya sadar dan mendapat rahmat dari Tuhan sebagaimana yang telah dialaminya.
Ayat 28
۞ وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلٰى قَوْمِهٖ مِنْۢ بَعْدِهٖ مِنْ جُنْدٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَمَا كُنَّا مُنْزِلِيْنَ
wa mā anzalnā ‘alā qaumihī mim ba‘dihī min jundim minas-samā'i wa mā kunnā munzilīn(a).
Dan setelah dia (meninggal), Kami tidak menurunkan suatu pasukan pun dari langit kepada kaumnya, dan Kami tidak perlu menurunkannya.
Akhirnya, orang tersebut mengambil keputusan yang tepat berdasar keyakinan yang penuh bahwa ia hanya beriman kepada Allah, yaitu Tuhan yang sebenarnya bagi dia dan kaumnya. Ia lalu mengumumkan keimanan dan keyakinannya itu kepada kaumnya, dan berkata dengan tegas, "Sesungguhnya aku telah beriman kepada Allah yaitu Tuhan kamu yang sebenarnya. Maka dengarkanlah pernyataan imanku ini."
Sikap dan pernyataan iman seperti tersebut di atas, yang dilontarkan di tengah-tengah masyarakat yang masih bergelimang kekafiran, kemusyrikan, dan kemaksiatan, benar-benar merupakan keberanian yang timbul dari cahaya iman yang telah menerangi hati nuraninya. Ia ingin agar kaumnya juga beriman. Ia tak gentar kepada ancaman yang membahayakan dirinya, demi melaksanakan tugas suci untuk mengajak umat ke jalan yang benar.
Menurut suatu riwayat, ketika orang itu berkata demikian kaumnya menyerangnya dan membunuhnya dan tidak seorang pun yang membelanya.
Sedang menurut Qatadah, "Kaumnya merajamnya dengan batu, dan dia tetap berdoa, 'Wahai Tuhanku, tunjukilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui." Mereka merajamnya sampai ia mengembuskan napasnya yang penghabisan. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang yang dimaksud pada ayat-ayat di atas bernama habib an-Najjar, yang terkena penyakit campak, tetapi suka bersedekah. Separuh dari penghasilannya sehari-hari disedekahkannya. Disebutkan bahwa setelah kaumnya mendengar pernyataan keimannya terhadap Islam maka berkobarlah kemarahan terhadapnya, dan akhirnya mereka membunuhnya. Akan tetapi, pada saat sebelum ia mengembuskan napas yang terakhir, turunlah kepadanya malaikat untuk memberitahukan bahwa Allah telah mengampuni semua dosa-dosanya yang telah dilakukannya sebelum ia beriman, dan ia dimasukkan ke dalam surga sehingga termasuk golongan orang-orang yang mendapat kemuliaan di sisi Allah.
Pada detik-detik terakhir, ia masih sempat mengucapkan kata yang berisi harapan, "Alangkah baiknya, jika kaumku mengetahui karunia Allah yang dilimpahkan-Nya kepadaku, berkat keimananku kepada-Nya, aku telah memperoleh ampunan atas dosaku. Aku akan dimasukkan ke dalam surga dengan ganjaran yang berlipat ganda, dan termasuk golongan orang-orang yang memperoleh kemuliaan di sisi-Nya. Seandainya mereka mengetahui hal ini, tentulah mereka akan beriman pula."
Pernyataan habib itu adalah pernyataan yang amat tinggi nilainya dan menunjukkan ketinggian akhlaknya. Sekalipun ia telah dirajam dan disiksa oleh kaumnya, namun ia tetap berharap agar kaumnya sadar dan mendapat rahmat dari Tuhan sebagaimana yang telah dialaminya.
Ayat 29
اِنْ كَانَتْ اِلَّا صَيْحَةً وَّاحِدَةً فَاِذَا هُمْ خٰمِدُوْنَ
in kānat illā ṣaiḥataw wāḥidatan fa'iżā hum khāmidūn(a).
Tidak ada siksaan terhadap mereka melainkan dengan satu teriakan saja; maka seketika itu mereka mati.
Pada ayat ini, Allah menerangkan azab yang ditimpakan kepada kaum yang musyrik, kafir, dan mendustakan agama-Nya. Allah tidak perlu menurunkan pasukan-pasukan malaikat untuk membinasakan mereka, melainkan cukup dengan satu teriakan saja dari malaikat Jibril, maka orang-orang kafir tersebut menjadi kaku dan tak bernyawa lagi. Peristiwa itu terjadi sedemikian cepatnya, sebagai bukti betapa besarnya kekuasaan Allah.
Ayat 30
يٰحَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِۚ مَا يَأْتِيْهِمْ مِّنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ
yā ḥasratan ‘alal-‘ibād(i), mā ya'tīhim mir rasūlin illā kānū bihī yastahzi'ūn(a).
Alangkah besar penyesalan terhadap hamba-hamba itu, setiap datang seorang rasul kepada mereka, mereka selalu memperolok-olokkannya.
Allah menerangkan bahwa sikap dan tingkah laku kaum kafir semacam ini sangat disesalkan. Mereka tidak hanya menolak seruan iman, tetapi juga memperolok-olokkan para rasul dan orang-orang yang telah beriman. Bahkan, tak jarang mereka menganiaya dan membunuhnya. Jika mereka mau berpikir dengan akal yang sehat, pastilah mereka menerima seruan iman dari para rasul dan orang-orang yang telah beriman. Allah menerangkan kedudukan orang-orang kafir di akhirat nanti tatkala mereka ditimpa azab yang dahsyat karena mendustakan para rasul.
Ayat 31
اَلَمْ يَرَوْا كَمْ اَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِّنَ الْقُرُوْنِ اَنَّهُمْ اِلَيْهِمْ لَا يَرْجِعُوْنَ
alam yarau kam ahlaknā qablahum minal-qurūni annahum ilaihim lā yarji‘ūn(a).
Tidakkah mereka mengetahui berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan. Orang-orang (yang telah Kami binasakan) itu tidak ada yang kembali kepada mereka.
Allah lalu memperingatkan mereka agar mau memperhatikan nasib yang menimpa kaum kafir berabad-abad sebelum mereka yang telah ditimpa kemurkaan Allah, sehingga mereka hancur-lebur dan lenyap dari muka bumi. Mereka takkan pernah muncul kembali di dunia ini.
Ibnu Katsir berkata, "Kebanyakan ulama salaf meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan 'negeri dalam ayat ini ialah negeri Antakiyah, dan mereka yang diutus itu ialah para utusan Nabi Isa, ke negeri itu untuk menyampaikan risalahnya."
Ada beberapa hal yang membuat kita keberatan menerima riwayat ini karena faktor-faktor berikut:
1.Tidak mungkin Allah menghancurkan negeri Antakiyah karena penduduk negeri itu adalah penduduk negeri yang pertama kali beriman kepada Isa. Allah tidak akan menghancurkan suatu negeri yang penduduknya sedang beriman dan memenuhi seruan rasul yang diutus kepada mereka.
2.Dalam ayat ini diterangkan bahwa negeri itu dihancurkan Allah, sehingga seluruh negeri dan penduduknya itu menjadi musnah. Al-Qur'an menerangkan bahwa Allah menurunkan azab kepada orang-orang kafir berupa kehancuran dan kemusnahan mereka dengan negerinya, sampai Kitab Taurat diturunkan. Setelah Kitab Taurat diturunkan, Allah tidak pernah menurunkan azab yang seperti itu.
Hal ini dipahami dari firman-Nya:
Dan sungguh, telah Kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) setelah Kami binasakan umat-umat terdahulu, untuk menjadi pelita bagi manusia dan petunjuk serta rahmat, agar mereka mendapat pelajaran. (al-Qashash/28: 43)
3.Tidak ada satu nash pun yang kuat sehubungan dengan riwayat itu, seperti keterangan yang menerangkan kapan dan dimana peristiwa itu terjadi, dan sebagainya.
Sementara itu kaum muslimin percaya kepada kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur'an. Tidak semua kisah dijelaskan Al-Qur'an secara terperinci. Kisah-kisah itu ada yang diterangkan dengan terperinci dan ada yang tidak. Akan tetapi, tiap-tiap kisah itu ada maksud dan tujuannya. Oleh karena itu, kaum muslimin tidak perlu mengetahui perincian dari kisah yang disebutkan pada ayat di atas. Namun kaum muslimin agar menjadikan kisah-kisah itu sebagai pelajaran dan iktibar, sehingga dapat menambah dan menguatkan iman masing-masing.
Ayat 32
وَاِنْ كُلٌّ لَّمَّا جَمِيْعٌ لَّدَيْنَا مُحْضَرُوْنَ ࣖ
wa in kullul lammā jamī‘ul ladainā muḥḍarūn(a).
Dan setiap (umat), semuanya akan dihadapkan kepada Kami.
Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa mereka semuanya, baik yang dahulu, sekarang, maupun yang akan datang, pasti akan dikumpulkan ke hadirat-Nya untuk mempertanggungjawabkan perbuatan dan tingkah laku mereka selama di dunia.
Ayat 33
وَاٰيَةٌ لَّهُمُ الْاَرْضُ الْمَيْتَةُ ۖاَحْيَيْنٰهَا وَاَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُوْنَ
wa āyatul lahumul-arḍul-maitah(tu), aḥyaināhā wa akhrajnā minhā ḥabban faminhu ya'kulūn(a).
Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bumi yang mati (tandus). Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka dari (biji-bijian) itu mereka makan.
Pada ayat ini diterangkan bahwa salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah dan adanya hari kebangkitan, ialah adanya tanah yang semula mati, tandus dan gersang, serta tidak menumbuhkan tanaman apa pun, namun dengan kekuasaan Allah semuanya menjadi hidup dengan turunnya hujan dari langit. Hal itu memungkinkan tumbuhnya bermacam-macam tanaman yang menghasilkan bahan makanan bagi manusia dan makhluk lainnya yang hidup di bumi ini. Dengan demikian, manusia dan makhluk itu memperoleh makanan untuk menumbuhkan jasmani dan memberikan kekuatan kepada mereka. Di samping itu, hasil-hasil bumi tersebut dapat pula dijadikan bahan perniagaan untuk diperdagangkan oleh manusia.
Ayat 34
وَجَعَلْنَا فِيْهَا جَنّٰتٍ مِّنْ نَّخِيْلٍ وَّاَعْنَابٍ وَّفَجَّرْنَا فِيْهَا مِنَ الْعُيُوْنِۙ
wa ja‘alnā fīhā jannātim min nakhīliw wa a‘nābiw wa fajjarnā fīhā minal-‘uyūn(i).
Dan Kami jadikan padanya di bumi itu kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air,
Allah juga menciptakan di bumi ini kebun, ladang, dan sawah, yang dapat ditanami bermacam-macam tanaman yang menghasilkan bahan makanan bagi manusia, seperti korma dan anggur yang menjadi bahan makanan bangsa Arab. Demikian pula padi, gandum, dan jagung yang menjadi makanan pokok bagi bangsa-bangsa lainnya. Di samping itu, Allah menciptakan pula sumber-sumber air yang kemudian mengalir menjadi sungai-sungai, yang sangat diperlukan bagi kehidupan di bumi. Bahkan pada masa kita sekarang, air tidak hanya diperlukan untuk minum, mandi, dan mencuci saja, bahkan juga untuk irigasi dan pembangkit tenaga listrik yang amat penting untuk memajukan pertanian dan industri.
Ayat 35
لِيَأْكُلُوْا مِنْ ثَمَرِهٖۙ وَمَا عَمِلَتْهُ اَيْدِيْهِمْ ۗ اَفَلَا يَشْكُرُوْنَ
liya'kulū min ṡamarihī wa mā ‘amilathu aidīhim, afalā yasykurūn(a).
agar mereka dapat makan dari buahnya, dan dari hasil usaha tangan mereka. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?
Allah menciptakan dan menganugerahkan semuanya itu kepada manusia, agar mereka memperoleh makanan dari buah dan hasilnya. Begitu pula dari hasil usaha kerajinan tangan mereka, yang sekarang ini kita kenal dengan hasil-hasil pertanian dan industri yang hampir tak terhitung jumlahnya. Jika mereka mau memikirkan betapa besarnya kekuasaan dan nikmat Allah, mengapa mereka tak mau juga bersyukur kepada-Nya. Sikap dan tingkah laku semacam ini sungguh tak layak bagi orang-orang yang berakal.
Ayat 36
سُبْحٰنَ الَّذِيْ خَلَقَ الْاَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْۢبِتُ الْاَرْضُ وَمِنْ اَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُوْنَ
subḥānal-lażī khalaqal-azwāja kullahā mimmā tumbitul-arḍu wa min anfusihim wa mimmā lā ya‘lamūn(a).
Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.
Pada ayat ini diterangkan bukti lain tentang kekuasaan Allah, yaitu Dia telah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan, baik pasangan jenis, yaitu lelaki dan perempuan, maupun berpasangan sifat, seperti: besar dan kecil, kuat dan lemah, tinggi dan rendah, kaya dan miskin, dan lain sebagainya.
Bahkan perpasangan itu juga terjadi pada arus listrik, yaitu arus positif dan negatif, yang kemudian menimbulkan kekuatan yang dapat membangkitkan tenaga listrik dan menimbulkan cahaya. Tenaga listrik dan cahaya yang dihasilkan sangat vital dalam kehidupan manusia zaman modern ini.
Itu semuanya adalah hal-hal yang berhasil diketahui manusia sampai saat sekarang ini. Akan tetapi perpasangan yang belum dapat dijangkau oleh pengetahuan dan penemuan manusia sampai masa kini, masih banyak lagi. Boleh jadi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia di masa datang akan dapat pula menyingkapkan sebagian dari rahasia-rahasia yang masih tersimpan tentang adanya perpasangan dalam bidang-bidang yang lain yang belum diketahui pada masa kita sekarang ini.
Pada ayat ini diterangkan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, yang terdapat dalam pasangan-pasangan yang telah diciptakan-Nya, yaitu:
1. Benda-benda yang ditumbuhkan-Nya di bumi yang telah diketahui manusia seperti tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.
2. Pada diri mereka sendiri, seperti adanya jenis laki-laki dan jenis perempuan. Dari hubungan kedua jenis itu lahirlah keturunan-keturunan mereka.
3. Hal-hal yang belum diketahui manusia. Ilmu Allah amat luas dan tidak terhingga, sedangkan yang diketahui manusia hanyalah sebagian kecil saja. Mengenai pasangan, juga terdapat hal-hal yang belum terungkap oleh manusia.
Ayat 37
وَاٰيَةٌ لَّهُمُ الَّيْلُ ۖنَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَاِذَا هُمْ مُّظْلِمُوْنَۙ
wa āyatul lahumul-lailu naslakhu minhun-nahāra fa'iżā hum muẓlimūn(a).
Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari (malam) itu, maka seketika itu mereka (berada dalam) kegelapan,
Pada ayat ini, Allah menjelaskan bukti yang lain tentang kekuasaan-Nya Yang Mahabesar dan bukti adanya hari kebangkitan, yaitu adanya waktu malam. Allah menanggalkan siang dan mendatangkan malam, tiba-tiba manusia berada dalam kegelapan.
Ayat ini meletakkan dasar-dasar bagi ilmu pengetahuan alam dan ilmu falak. Terjadinya siang dan malam karena bergeraknya tata surya, terutama bumi dan matahari, sehingga bagian muka bumi yang terkena cahaya matahari mengalami siang, dan bagian yang tidak terkena cahaya matahari mengalami malam. Hal ini terjadi silih berganti.
Kemajuan ilmu pengetahuan manusia mengenai ilmu falak atau astronomi pada masa sekarang ini telah memungkinkan mereka mengetahui benda-benda di angkasa raya. Dengan kemajuan teknologi, manusia akhirnya dapat pula mengarungi ruang angkasa, tidak hanya sekadar mengamatinya dari bumi.
Adanya siang dan malam juga berfaedah bagi manusia. Waktu siang mereka gunakan untuk bekerja bagi keperluan hidup mereka. Sedang waktu malam pada umumnya digunakan untuk beristirahat dan tidur, sebagai salah satu dari kebutuhan jasmaniah dan rohaniah mereka.
Ayat 38
وَالشَّمْسُ تَجْرِيْ لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ۗذٰلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِۗ
wasy-syamsu tajrī limustaqarril lahā, żālika taqdīrul-‘azīzil-‘alīm(i).
dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui.
Allah menjelaskan bukti lain tentang kekuasaan-Nya, yaitu peredaran matahari, yang bergerak pada garis edarnya yang tertentu dengan tertib menurut ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Sedikit pun ia tidak menyimpang dari garis yang telah ditentukan itu. Andaikata ia menyimpang seujung rambut saja, niscaya akan terjadi tabrakan dengan benda-benda langit lainnya. Kita tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi akibat peristiwa itu.
Dilihat sepintas lalu, orang akan menerima bahwa hanya matahari yang bergerak, sedang bumi tetap pada tempatnya. Di pagi hari, matahari terlihat di sebelah timur, sedang pada sore hari ia berada di barat. Akan tetapi, ilmu falak mengatakan bahwa matahari berjalan sambil berputar pada sumbunya, sedang bumi berada di depannya, juga berjalan sambil berputar pada sumbunya, dan beredar mengelilingi matahari.
Ternyata apa yang ditetapkan oleh ilmu falak sejalan dengan apa yang telah diterangkan dalam ayat tersebut. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa semakin tinggi kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia, semakin terbuka pula kebenaran-kebenaran yang telah dikemukakan Al-Qur'an sejak empat belas abad yang lalu. Allahu Akbar. Allah Mahabesar kekuasaan-Nya.
Ayat 39
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنٰهُ مَنَازِلَ حَتّٰى عَادَ كَالْعُرْجُوْنِ الْقَدِيْمِ
wal-qamara qaddarnāhu manāzila ḥattā ‘āda kal-‘urjūnil-qadīm(i).
Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua.
Allah telah menetapkan jarak-jarak tertentu bagi peredaran bulan, sehingga pada setiap jarak tersebut ia mengalami perubahan, baik dalam bentuk dan ukurannya, maupun dalam kekuatan sinarnya. Mula-mula bulan itu timbul dalam keadaan kecil dan cahaya yang lemah. Kemudian ia menjadi bulan sabit dengan bentuk melengkung serta sinar yang semakin terang. Selanjutnya bentuknya semakin sempurna bundarnya, sehingga menjadi bulan purnama dengan cahaya yang amat terang. Tetapi kemudian makin menyusut, sehingga pada akhirnya ia menyerupai sebuah tandan kering yang berbentuk melengkung dengan cahaya yang semakin pudar, kembali kepada keadaan semula.
Jika diperhatikan pula benda-benda angkasa lainnya yang bermiliar-miliar banyaknya, dengan jarak dan besar yang berbeda-beda, serta kecepatan gerak yang berlainan pula, semua berjalan dengan teratur rapi, semua itu akan menambah keyakinan kita tentang tak terbatasnya ruang alam ini dan betapa besarnya kekuasaan Allah yang menciptakan dan mengatur makhluk-Nya.
Dengan memperhatikan semua itu, tak akan ada kata-kata lain yang ke luar dari mulut orang yang beriman, selain ucapan "Allahu Akbar, Allah Mahabesar, lagi Mahabesar kekuasaan-Nya."
Ayat 40
لَا الشَّمْسُ يَنْۢبَغِيْ لَهَآ اَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا الَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ ۗوَكُلٌّ فِيْ فَلَكٍ يَّسْبَحُوْنَ
lasy-syamsu yambagī lahā an tudrikal-qamara wa lal-lailu sābiqun-nahār(i), wa kullun fī falakiy yasbaḥūn(a).
Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.
Berdasarkan pengaturan dan ketetapan Allah yang berlaku bagi benda-benda alam itu, peraturan yang disebut "Sunnatullah", maka tidaklah mungkin terjadi tabrakan antara matahari dan bulan, dan tidak pula malam mendahului siang. Semuanya akan berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan-Nya. Masing-masing tetap bergerak menurut garis edarnya yang telah ditetapkan Allah untuknya.
Betapa kecilnya kekuasaan manusia, dibanding dengan kekuasaan Allah yang menciptakan dan mengatur perjalanan benda-benda alam sehingga tetap berjalan dengan tertib. Manusia telah membuat bermacam-macam peraturan lalu lintas di jalan raya dilengkapi dengan rambu-rambu yang beraneka ragam. Akan tetapi kecelakaan lalu-lintas di jalan raya tetap terjadi di mana-mana. Peraturan manusia selalu menunjukkan sisi kelemahannya.
Ayat 41
وَاٰيَةٌ لَّهُمْ اَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِى الْفُلْكِ الْمَشْحُوْنِۙ
wa āyatul lahum annā ḥamalnā żurriyyatahum fil-fulkil-masyḥūn(i).
Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam kapal yang penuh muatan,
Pada ayat ini, Allah mengemukakan bahwa kapal yang berlayar di tengah samudera merupakan salah satu bukti kebesaran dan kekuasaan-Nya. Kapal itu mengangkut manusia dan barang-barang keperluannya dari suatu negeri ke negeri yang lain, baik yang berdekatan letaknya maupun yang berjauhan.
Penggunaan alat-alat angkutan laut sebagai salah satu sarana perhubungan yang dimanfaatkan manusia untuk bergerak dan mengangkut barang, telah dikenal sejak zaman dahulu kala, bahkan telah dikenal sejak zaman Nabi Nuh. Orang yang mula-mula membuat kapal adalah Nabi Nuh. Kapal itu dibuat atas perintah dan bimbingan Allah. Hal ini diterangkan dalam firman-Nya:
Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami. (Hud/11: 37)
Perahu, sampan, dan kapal yang berbobot berat, baik yang digerakkan oleh tenaga manusia, kekuatan angin, maupun tenaga mesin dapat meluncur dengan mudah di atas air mengangkut manusia dan barang dari suatu pulau ke pulau yang lain, dari suatu benua ke benua yang lain, tentu terkait dengan suatu kekuatan yang menahan kapal itu, sehingga tidak tenggelam. Hal ini merupakan bukti-bukti kekuasaan dan kebesaran Allah melalui pemberlakuan hukum alam-Nya.
Allah berfirman:
Tidakkah engkau memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, agar diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran)-Nya bagi setiap orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur. (Luqman/31: 31)
Ayat 42
وَخَلَقْنَا لَهُمْ مِّنْ مِّثْلِهٖ مَا يَرْكَبُوْنَ
wa khalaqnā lahum mim miṡlihī mā yarkabūn(a).
dan Kami ciptakan (juga) untuk mereka (angkutan lain) seperti apa yang mereka kendarai.
Pada ayat ini, Allah mengingatkan manusia kepada bukti kekuasaan-Nya yang lain. Allah memberikan kepada manusia bermacam-macam kendaraan selain perahu, bahtera dan kapal, yaitu hewan-hewan yang dapat dijadikan kendaraan atau alat angkutan misalnya: kuda, keledai, unta, gajah dan sebagainya. Ini merupakan alat angkutan darat bagi manusia.
Pada ayat yang lain Allah berfirman:
Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui. (an-Nahl/16: 8)
Untuk memungkinkan pengangkutan orang dan barang-barang yang lebih banyak, manusia dapat membuat alat-alat angkutan darat yang ditarik oleh hewan-hewan tersebut, seperti dokar, pedati, gerobak, dan sebagainya. Dengan menggunakan akal yang dikaruniakan Allah kepadanya, manusia dapat pula membuat alat angkutan yang bergerak dengan tenaga mesin yang memakai bahan bakar berupa minyak bumi atau batu bara, yang juga disediakan dan dikaruniakan Allah kepada manusia. Kendaraan bermesin ini dapat berjalan lebih cepat dan bermuatan lebih banyak.
Berkat kemajuan akal (nalar) dan ilmu pengetahuan yang dikaruniakan Allah kepada manusia, mereka dapat membuat kendaraan-kendaraan yang dapat terbang di udara, mulai dari balon, pesawat terbang, hingga roket-roket yang menggerakkan kapal-kapal ruang angkasa yang kecepatannya dapat melebihi kecepatan suara. Itu semua merupakan nikmat dari Allah kepada manusia. Dengan menyiasati hukum gravitasi, manusia berhasil menciptakan pesawat terbang untuk kepentingan transportasi manusia.
Ayat 43
وَاِنْ نَّشَأْ نُغْرِقْهُمْ فَلَا صَرِيْخَ لَهُمْ وَلَاهُمْ يُنْقَذُوْنَۙ
wa in nasya' nugriqhum falā ṣarīkha lahum wa lā hum yunqażūn(a).
Dan jika Kami menghendaki, Kami tenggelamkan mereka. Maka tidak ada penolong bagi mereka dan tidak (pula) mereka diselamatkan,
Allah memperingatkan bahwa jika Dia menghendaki untuk menenggelamkan kapal-kapal yang berlayar di lautan itu, niscaya akan terjadi. Datangnya angin badai yang kencang yang menimbulkan gelombang-gelombang yang dahsyat, akan menyebabkan kapal-kapal itu tenggelam, para penumpangnya binasa dan terkubur ke dasar laut, tidak dapat ditolong lagi.
Hal ini merupakan suatu peringatan agar manusia jangan sombong, takabur, dan merasa bahwa prestasi mereka menciptakan kendaraan yang dapat berjalan di darat, laut, dan udara adalah semata-mata karena kepandaian otaknya, bukan karena karunia dari Allah.
Dari ilmu alam kita dapat mengetahui bahwa sesuatu dapat terapung di atas air, jika berat jenis benda itu lebih ringan dari berat jenis air yang dilaluinya. Ini ketentuan atau sunatullah yang ditetapkan Allah terhadap air yang diciptakan-Nya. Dengan menyiasati hukum alam tentang air yang dapat membuat suatu benda menjadi tenggelam dan dapat pula terapung, maka manusia dapat membuat kapal selam yang dapat menyelam jauh ke dasar laut, tetapi pada waktu yang diperlukan dapat timbul ke permukaan air. Hal itu dilakukan dengan mengurangi udara dalam rongga kapal selam sehingga menjadi tenggelam. Akan tetapi, jika udara dipompakan lagi ke dalam rongganya, kapal selam itu akan menjadi ringan sehingga bisa terapung di permukaan air.
Ayat 44
اِلَّا رَحْمَةً مِّنَّا وَمَتَاعًا اِلٰى حِيْنٍ
illā raḥmatam minnā wa matā‘an ilā ḥīn(in).
melainkan (Kami selamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai waktu tertentu.
Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa karena kasih sayang-Nya yang sangat besar terhadap hamba-hamba-Nya, dan agar mereka dapat bersenang-senang menikmati karunia-Nya, maka Allah tidak membiarkan kendaraan-kendaraan itu semua binasa, baik yang berjalan di darat, berlayar di permukaan dan di dalam air, maupun yang terbang di udara. Apalagi jika orang-orang yang menggunakan kendaraan itu tidak takabur serta selalu cermat dan berhati-hati. Apabila sewaktu-waktu terjadi kecelakaan, itu adalah karena yang bersangkutan tidak berhati-hati, kurang cermat, lalai, atau sebab lainnya.
Ayat 45
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّقُوْا مَا بَيْنَ اَيْدِيْكُمْ وَمَا خَلْفَكُمْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
wa iżā qīla lahumuttaqū mā baina aidīkum wa mā khalfakum la‘allakum turḥamūn(a).
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Takutlah kamu akan siksa yang di hadapanmu (di dunia) dan azab yang akan datang (akhirat) agar kamu mendapat rahmat.”
Allah menerangkan bahwa andaikata terhadap orang-orang yang ingkar itu dianjurkan agar mereka menjaga diri terhadap siksaan Allah yang akan datang di kemudian hari, mereka akan tetap berpaling, tidak mau mendengarkan anjuran itu. Padahal, anjuran itu disampaikan agar mereka mendapatkan rahmat dari Allah.
Menjaga diri dari siksaan Allah ialah dengan cara bertakwa kepada-Nya, yaitu melakukan apa-apa yang diperintahkan-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, dan mensyukuri setiap karunia-Nya. Akan tetapi, hati orang-orang yang ingkar telah tertutup terhadap kebenaran. Mereka senantiasa berpaling dari nasihat-nasihat yang baik. Oleh sebab itu, wajarlah mereka ditimpa kemurkaan dan siksaan Allah.
Ayat 46
وَمَا تَأْتِيْهِمْ مِّنْ اٰيَةٍ مِّنْ اٰيٰتِ رَبِّهِمْ اِلَّا كَانُوْا عَنْهَا مُعْرِضِيْنَ
wa mā ta'tīhim min āyatim min āyāti rabbihim illā kānū ‘anhā mu‘riḍīn(a).
Dan setiap kali suatu tanda dari tanda-tanda (kebesaran) Tuhan datang kepada mereka, mereka selalu berpaling darinya.
Allah menegaskan bahwa orang-orang yang ingkar itu senantiasa memalingkan muka dari setiap tanda-tanda yang menunjukkan keesaan dan kekuasaan-Nya, serta mengakui kerasulan utusan-Nya. Hati mereka telah buta, walaupun mata kepala mereka dapat melihat dengan terang semua tanda-tanda tersebut.
Ayat 47
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ اَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ ۙقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنُطْعِمُ مَنْ لَّوْ يَشَاۤءُ اللّٰهُ اَطْعَمَهٗٓ ۖاِنْ اَنْتُمْ اِلَّا فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
wa iżā qīla lahum anfiqū mimmā razaqakumullāh(u), qālal-lażīna kafarū lil-lażīna āmanū anuṭ‘imu mal lau yasyā'ullāhu aṭ‘amah(ū), in antum illā fī ḍalālim mubīn(in).
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Infakkanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadamu,” orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman, “Apakah pantas kami memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki Dia akan memberinya makan? Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Allah menyebutkan sisi lain dari keingkaran mereka, yaitu keengganan mereka menyumbangkan sebagian harta yang telah dikaruniakan-Nya kepada mereka. Apabila kepada mereka dianjurkan menafkahkan harta bagi kepentingan fakir miskin dan orang yang memerlukan bantuan, mereka menjawab kepada orang-orang beriman yang menganjurkan itu, "Apa perlunya kami memberi mereka itu makan, karena Allah dapat memberi makan bila Allah menghendaki." Di samping itu, mereka mengatakan bahwa orang-orang mukmin yang suka menyumbangkan harta benda untuk membantu fakir miskin itu adalah orang-orang yang sesat dan bodoh.
Alangkah jauh pendapat mereka itu dari kebenaran. Menyumbangkan sebagian harta benda dan menolong orang lain berupa sumbangan wajib, seperti zakat, maupun sumbangan suka rela, seperti sedekah, merupakan perwujudan dari rasa iman dan syukur atas nikmat Allah, dan sekaligus menghilangkan sifat bakhil dari jiwa manusia. Harta benda, menurut ajaran Islam mempunyai fungsi sosial, bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri.
Harta benda haruslah dijadikan alat untuk mempererat tali persaudaraan, solidaritas, dan kegotongroyongan. Manusia tidak akan dapat hidup sendiri, tanpa mengharapkan pertolongan orang lain dalam berbagai keperluan hidup, walau pun ia seorang yang kaya raya.
Ayat 48
وَيَقُوْلُوْنَ مَتٰى هٰذَا الْوَعْدُ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
wa yaqūlūna matā hāżal-wa‘du in kuntum ṣādiqīn(a).
Dan mereka (orang-orang kafir) berkata, “Kapan janji (hari berbangkit) itu (terjadi) jika kamu orang yang benar?”
Sisi lain dari sifat-sifat jelek kaum yang ingkar itu adalah ketidakpercayaan mereka tentang akan adanya hari Kebangkitan sesudah mati. Apabila disampaikan bahwa mereka kelak akan dibangkitkan kembali sesudah mati, untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka selama di dunia ini, maka mereka menjawab dengan sikap mengejek, "Bilakah janji itu akan terlaksana?" Demikian keadaan kaum yang ingkar, hati mereka tidak lagi terbuka untuk menerima kebenaran. Penyesalan mereka barulah akan timbul setelah mereka menghadapi kenyataan tentang apa yang dulunya mereka ingkari.
Ayat 49
مَا يَنْظُرُوْنَ اِلَّا صَيْحَةً وَّاحِدَةً تَأْخُذُهُمْ وَهُمْ يَخِصِّمُوْنَ
mā yanẓurūna illā ṣaiḥataw wāḥidatan ta'khużuhum wa hum yakhiṣṣimūn(a).
Mereka hanya menunggu satu teriakan, yang akan membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar.
Allah memperingatkan, bahwa mereka tidak akan menunggu terlalu lama datangnya hari kebangkitan itu. Cukup dengan suatu teriakan aba-aba saja, yaitu suara tiupan yang pertama dari sangkakala yang membawa kehancuran alam ini. Kemudian semua manusia akan dibangkitkan kembali dan dikumpulkan ke hadapan Allah untuk diperhitungkan segala perbuatannya selagi di dunia kemudian mereka menerima balasan sesuai dengan perbuatan mereka.
Ayat lain yang sama maksudnya dengan ayat ini ialah, firman Allah:
Apakah mereka hanya menunggu saja kedatangan hari Kiamat yang datang kepada mereka secara mendadak sedang mereka tidak menyadarinya? (az-Zukhruf/43: 66)
Manusia tidak akan menyadari kedatangan hari Kiamat. Mereka dimatikan secara tiba-tiba dalam keadaan saling berselisih dan berbantah-bantahan dalam urusan dunia. Peristiwa Kiamat atau kematian terjadi secara tiba-tiba karena keduanya terjadi bukan hasil kompromi antara Allah dengan manusia, tetapi karena kehendak dan kekuasaan Allah semata.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-thabari dari Ibnu 'Umar bahwa ia berkata, "Sangkakala benar-benar akan ditiup di saat keadaan manusia dalam kesibukan urusan mereka masing-masing di jalan, pasar, dan tempat mereka, hingga keadaan dua orang yang sedang tawar-menawar pakaian, misalnya, ketika pakaian belum sampai ke tangan salah seorang di antara mereka, maka tiba-tiba ditiupkan sangkakala, hingga mereka mati bergelimpangan semuanya. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah dalam ayat ini.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Hari Kiamat itu benar-benar akan terjadi pada saat dua orang sedang menggelar pakaian mereka (sambil tawar-menawar), dan keduanya tidak sempat berjual-beli dan melipat kembali. Hari Kiamat itu benar-benar akan terjadi pada saat seseorang membuat kolam dan ia belum sempat memberikan minuman dari kolam itu. Hari Kiamat benar-benar akan terjadi pada saat seseorang memeras susu kambingnya dan ia belum sempat meminumnya, dan hari kiamat itu benar-benar akan terjadi pada saat seseorang mengangkat makanan yang akan dimasukkannya ke mulutnya, dan ia belum sempat memakannya." (Riwayat al-Bukhari, Muslim dari Abu Hurairah)
Ayat 50
فَلَا يَسْتَطِيْعُوْنَ تَوْصِيَةً وَّلَآ اِلٰٓى اَهْلِهِمْ يَرْجِعُوْنَ ࣖ
falā yastaṭī‘ūna tauṣiyataw wa lā ilā ahlihim yarji‘ūn(a).
Sehingga mereka tidak mampu membuat suatu wasiat dan mereka (juga) tidak dapat kembali kepada keluarganya.
Demikian cepat datangnya peristiwa itu, dan amat tiba-tiba, sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan sedikit pun untuk berwasiat atau meninggalkan pesan kepada keluarganya, dan tidak pula dapat kembali berkumpul dengan mereka. Masing-masing menghadapi persoalannya sendiri, menunggu keputusan dari pengadilan Tuhan Yang Mahaadil dan Mahakuasa.
Ayat 51
وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَاِذَا هُمْ مِّنَ الْاَجْدَاثِ اِلٰى رَبِّهِمْ يَنْسِلُوْنَ
wa nufikha fiṣ-ṣūri fa'iżā hum minal-ajdāṡi ilā rabbihim yansilūn(a).
Lalu ditiuplah sangkakala, maka seketika itu mereka keluar dari kuburnya (dalam keadaan hidup), menuju kepada Tuhannya.
Setelah seluruh manusia mati dengan tiupan sangkakala yang pertama, selanjutnya ditiuplah sangkakala kedua untuk membangkitkan mereka dari kuburnya. Pada waktu itu, seluruh manusia bangkit dan hidup kembali. Mereka bangun dan bergegas menemui Allah Yang Mahakuasa untuk menerima hisab mereka.
Ayat lain yang berhubungan dengan ayat ini ialah firman Allah:
(Yaitu) pada hari ketika mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala (sewaktu di dunia). (al-Ma'arij/70: 43)
Ayat 52
قَالُوْا يٰوَيْلَنَا مَنْۢ بَعَثَنَا مِنْ مَّرْقَدِنَا ۜهٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ
qālū yā wailanā mam ba‘aṡanā mim marqadinā…hāżā mā wa‘adar-raḥmānu wa ṣadaqal-mursalūn(a).
Mereka berkata, “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya).
Ayat ini menerangkan keheranan dan kekagetan orang-orang kafir ketika dibangkitkan dari kubur. Mereka berkata, "Aduhai celakalah kami, siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami?" Mereka heran dan tercengang karena dibangkitkan dari alam kubur dan menghadapi malapetaka serta kesulitan pada waktu itu.
Ketika mereka heran dan tercengang, di antara orang-orang yang beriman berkata kepada mereka, "Semua yang terjadi dan yang kita alami ini sesuai dengan yang dijanjikan Allah dan disampaikan oleh para rasul yang telah di- utus kepada kita semua ketika di dunia dahulu. Kita telah diberitahu akan adanya janji, ancaman, dan hari kebangkitan seperti yang kita hadapi sekarang ini. Oleh karena itu, kita tidak pantas heran dan tercengang dengan keadaan yang kita alami sekarang ini."
Menurut suatu riwayat bahwa yang dimaksud dengan bunyi sangkakala dalam ayat ini ialah suara malaikat Israfil yang sangat keras yang menyerukan, "Wahai tulang-belulang yang telah hancur-lebur, Allah memerintahkan kamu semua supaya berkumpul kembali seperti semula untuk menerima keputusan yang adil."
Pada ayat ini orang-orang kafir menanyakan tentang siapa yang membangkitkan dan menghidupkan mereka kembali pada hari kebangkitan ini. Pertanyaan mereka itu dijawab dengan apa yang pernah disampaikan kepada mereka dahulu waktu masih hidup di dunia. Hal ini memberi pengertian bahwa seakan-akan Allah menyuruh mereka mengingat apa yang pernah mereka lakukan dahulu terhadap para rasul yang diutus.
Ayat 53
اِنْ كَانَتْ اِلَّا صَيْحَةً وَّاحِدَةً فَاِذَا هُمْ جَمِيْعٌ لَّدَيْنَا مُحْضَرُوْنَ
in kānat illā ṣaiḥataw wāḥidatan fa'iżā hum jamī‘ul ladainā muḥḍarūn(a).
Teriakan itu hanya sekali saja, maka seketika itu mereka semua dihadapkan kepada Kami (untuk dihisab).
Ayat ini menerangkan bagaimana mudahnya bagi Allah untuk membangkitkan seluruh manusia yang pernah ada dahulu sebelum datangnya hari Kiamat. Cukup dengan satu teriakan saja, maka hiduplah kembali seluruh manusia, dan berkumpul di hadapan Allah untuk menerima perhitungan dan keputusan yang adil dari-Nya.
Ayat yang lain yang maksudnya sama dengan ayat ini ialah firman-Nya:
Urusan kejadian Kiamat itu, hanya seperti sekejap mata atau lebih cepat (lagi). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (an-Nahl/16: 77)
Dan firman-Nya:
Maka pengembalian itu hanyalah dengan sekali tiupan saja. Maka seketika itu mereka hidup kembali di bumi (yang baru). (an-Nazi'at/79: 13-14)
Ayat 54
فَالْيَوْمَ لَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔا وَّلَا تُجْزَوْنَ اِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
fal-yauma lā tuẓlamu nafsun syai'aw wa lā tujzauna illā mā kuntum ta‘malūn(a).
Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kamu tidak akan diberi balasan, kecuali sesuai dengan apa yang telah kamu kerjakan.
Kemudian Allah menerangkan bahwa pada hari Kiamat itu, setiap manusia akan menerima balasan semua perbuatan yang telah dilakukannya selama hidup di dunia, perbuatan baik dibalas dengan pahala yang berlipat ganda dan perbuatan buruk dan jahat akan dibalas dengan siksa yang seimbang dengan perbuatan itu. Sebagaimana sifat Allah yang memberikan keputusan dengan adil maka pada hari itu pun Dia memberi keputusan dengan adil. Oleh karena itu, seseorang tidak akan menerima pahala kebaikan yang dikerjakan orang lain, sebaliknya seseorang tidak akan menerima azab karena perbuatan jahat yang dilakukan orang lain.
Ayat 55
اِنَّ اَصْحٰبَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِيْ شُغُلٍ فٰكِهُوْنَ ۚ
inna aṣḥābal-jannatil-yauma fī syugulin fākihūn(a).
Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka).
Allah menerangkan bahwa orang-orang yang beriman dibalas Allah dengan pahala yang berlipat ganda, berupa surga yang penuh kenikmatan. Di dalamnya, mereka merasakan kesenangan dan kenikmatan yang belum pernah mereka rasakan, keindahan yang belum pernah mereka lihat, dan suara yang menyejukkan kalbu yang belum pernah mereka dengar. Waktu itu tidak terpikir olehnya azab yang sedang diderita orang-orang kafir yang terbenam dalam neraka. Yang dirasakan dan diingatnya hanyalah kegembiraan dan kepuasan hati bersama teman-temannya di dalam surga.
Ayat 56
هُمْ وَاَزْوَاجُهُمْ فِيْ ظِلٰلٍ عَلَى الْاَرَاۤىِٕكِ مُتَّكِـُٔوْنَ ۚ
hum wa azwājuhum fī ẓilālin ‘alal-arā'iki muttaki'ūn(a).
Mereka dan pasangan-pasangannya berada dalam tempat yang teduh, bersandar di atas dipan-dipan.
Di dalam surga orang-orang yang beriman dan istri-istri mereka berada dalam taman-taman yang indah dengan pohon yang rindang, duduk di atas sofa dan tempat-tempat tidur, berbincang-bincang sambil menikmati berbagai macam rezeki yang mereka peroleh dari Tuhan mereka.
Dari perkataan "hum wa azwajuhum" (mereka dan pasangan mereka) dapat dipahami bahwa orang-orang yang beriman akan tinggal bersama pasangan mereka dengan bahagia dan damai dalam surga dan memperoleh nikmat yang berbagai macam bentuk yang tiada taranya. Ada yang dalam bentuk langsung mereka nikmati, seperti memperoleh tempat yang nyaman dan indah, serta merasakan makanan yang lezat dan sebagainya. Ada pula dalam bentuk pemenuhan keinginan dan cita-cita mereka sebagai anggota atau kepala keluarga. Selama hidup di dunia mereka mencita-citakan keluarga yang berbahagia, mempunyai istri yang cantik dan setia. Keinginan-keinginan mereka yang seperti itu dipenuhi Allah dalam surga nanti.
Bahkan pada ayat yang lain diterangkan bahwa anak cucu mereka yang beriman ditinggikan Allah derajatnya seperti derajat bapak dan ibu mereka. Mereka dikumpulkan dengan orang tua mereka di dalam surga, tanpa membeda-bedakan pemberian nikmat kepada masing-masing anggota keluarga itu. Allah berfirman:
Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya. (ath-thur/52: 21)
Dari ayat ini dipahami pula agar setiap mukmin selalu berusaha untuk menjadikan suami, istri, anak-anak dan keluarga mereka, menjadi orang-orang beriman yang baik, agar cita-cita mereka untuk dapat saling berhubungan dengan keluarga mereka dikabulkan Allah di akhirat.
Ayat 57
لَهُمْ فِيْهَا فَاكِهَةٌ وَّلَهُمْ مَّا يَدَّعُوْنَ ۚ
lahum fīhā fākihatuw wa lahum mā yadda‘ūn(a).
Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa saja yang mereka inginkan.
Orang-orang yang beriman akan memakan bermacam-macam buah-buahan yang lezat di dalam surga, dan memperoleh semua yang mereka inginkan. Bagi yang suka bermain disediakan berbagai alat permainan, yang suka olahraga juga disediakan semua kebutuhan olahraga. Demikian pula berbagai alat kesenian yang mereka inginkan Firman Allah:
Di dalamnya mereka dapat meminta segala macam buah-buahan dengan aman dan tenteram. (ad-Dukhan/44: 55)
(58) Yang mereka inginkan itu ialah salam dari Allah yang disampaikan kepada mereka untuk memuliakan mereka. Salam ini langsung disampaikan Allah atau mungkin dengan perantaraan malaikat, seperti firman Allah:
¦sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan), "Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu." Maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu. (ar-Ra'd/13: 23-24)
Salam berarti selamat dan sejahtera, terpelihara dari segala yang tidak disenangi memperoleh semua yang diingini sehingga orang itu memperoleh kenikmatan jasmani dan rohani yang tiada bandingannya.
Ayat 58
سَلٰمٌۗ قَوْلًا مِّنْ رَّبٍّ رَّحِيْمٍ
salāmun qaulam mir rabbir raḥīm(in).
(Kepada mereka dikatakan), “Salam,” sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.
Yang mereka inginkan itu ialah salam dari Allah yang disampaikan kepada mereka untuk memuliakan mereka. Salam ini langsung disampaikan Allah atau mungkin dengan perantaraan malaikat, seperti firman Allah: a¢â‚¬Â¦sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan), "Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu." Maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu. (ar-Ra'd/13: 23-24) Salam berarti selamat dan sejahtera, terpelihara dari segala yang tidak disenangi memperoleh semua yang diingini sehingga orang itu memperoleh kenikmatan jasmani dan rohani yang tiada bandingannya.
Ayat 59
وَامْتَازُوا الْيَوْمَ اَيُّهَا الْمُجْرِمُوْنَ
wamtāzul-yauma ayyuhal-mujrimūn(a).
Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir), “Berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada hari ini, wahai orang-orang yang berdosa!
Allah memerintahkan kepada orang-orang kafir agar segera berpisah dari orang-orang yang beriman dan masuk ke dalam neraka sebagai tempat yang telah disediakan untuk mereka.
Perintah ini disampaikan Allah, sewaktu seluruh manusia telah selesai dihisab di Padang Mahsyar. Orang-orang yang beriman diperintahkan masuk ke dalam surga dan orang-orang kafir diperintahkan masuk ke dalam neraka.
Ayat lain yang senada dengan ayat ini ialah firman Allah:
(Diperintahkan kepada malaikat), "Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan apa yang dahulu mereka sembah, selain Allah, lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. (ash-shaffat/37: 22-23)
Ayat 60
۞ اَلَمْ اَعْهَدْ اِلَيْكُمْ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ اَنْ لَّا تَعْبُدُوا الشَّيْطٰنَۚ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
alam a‘had ilaikum yā banī ādama allā ta‘budusy-syaiṭān(a), innahū lakum ‘aduwwum mubīn(un).
Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu,
Pada ayat ini diterangkan bahwa orang-orang kafir yang digiring masuk neraka itu dihardik dan diingatkan Allah kepada perbuatan-perbuatan dosa yang pernah mereka kerjakan di dunia. Allah berfirman, "Bukankah dahulu pernah Aku wasiatkan kepadamu agar jangan sekali-kali menyembah setan. Di samping itu, telah Aku kemukakan kepadamu bukti-bukti yang kuat menurut akal pikiran, dan Aku utus rasul kepadamu dengan membawa kitab yang berisi petunjuk ke jalan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebenarnya dengan hidayat dan pengutusan rasul itu telah cukup sebagai alasan bagimu untuk tidak mengikuti godaan setan. Tetapi semuanya itu tidak kamu hiraukan, sehingga jadilah nasibmu seperti keadaan sekarang ini."
Allah menerangkan alasan-Nya melarang manusia mengikuti setan, yaitu karena setan itu merupakan musuh yang nyata bagi manusia. Permusuhan manusia dengan setan telah berlangsung sejak dahulu, yaitu sejak setan menyesatkan Adam dan Hawa, sehingga mereka dikeluarkan Allah dari surga. Sejak itu setan selalu berusaha dan berdaya upaya menyesatkan manusia.
Ayat 61
وَاَنِ اعْبُدُوْنِيْ ۗهٰذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيْمٌ
wa ani‘budūnī, hāżā ṣirāṭum mustaqīm(un).
dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.”
Allah memerintahkan manusia agar hanya menyembah-Nya, mengikuti semua yang diperintahkan-Nya, dan menghentikan semua yang dilarang-Nya. Jika seseorang telah melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya dan menghentikan semua yang dilarang-Nya berarti ia telah menempuh jalan yang diridai, dan itulah jalan yang lurus dan itulah agama yang benar yang berasal dari Tuhan semesta alam.
Ayat 62
وَلَقَدْ اَضَلَّ مِنْكُمْ جِبِلًّا كَثِيْرًا ۗاَفَلَمْ تَكُوْنُوْا تَعْقِلُوْنَ
wa laqad aḍalla minkum jibillan kaṡīrā(n), afalam takūnū ta‘qilūn(a).
Dan sungguh, ia (setan itu) telah menyesatkan sebagian besar di antara kamu. Maka apakah kamu tidak mengerti?
Ayat ini menerangkan pengaruh dan akibat godaan setan kepada manusia, yaitu mereka ingkar dan tidak menaati Allah, bahkan banyak di antara mereka yang mempersekutukan-Nya.
Alangkah lemahnya hati manusia, sehingga mereka dapat tergoda oleh setan. Padahal mereka telah dianugerahi akal, pikiran, perasaan, kemampuan jasmani dan rohani, demikian pula taufik dan hidayah berupa agama yang disampaikan rasul kepada mereka. Sebenarnya dengan semua anugerah yang diberikan itu, manusia dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana jalan yang lurus dan mana jalan yang sesat, mana perbuatan dosa dan mana amal yang saleh. Tetapi mereka lalai dan selalu memperturutkan hawa nafsunya.
Ayat 63
هٰذِهٖ جَهَنَّمُ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ
hāżihī jahannamul-latī kuntum tū‘adūn(a).
Inilah (neraka) Jahanam yang dahulu telah diperingatkan kepadamu.
Allah menyatakan kepada orang-orang kafir, "Hai orang-orang kafir, inilah neraka Jahanam yang pernah Aku janjikan kepadamu dan janji itu telah disampaikan oleh rasul yang telah diutus kepadamu semasa hidup di dunia dahulu. Akan tetapi, kamu tidak mempercayainya, bahkan kamu ingkar dan durhaka kepada-Ku dan menyembah tuhan selain-Ku." Al-Qur'an menggunakan kata hadzihi yaitu bentuk isim isyarah untuk sesuatu yang dekat guna menggambarkan bahwa neraka Jahanam sudah berada di hadapan mereka, ini merupakan sebuah gambaran yang mengerikan.
Ayat 64
اِصْلَوْهَا الْيَوْمَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُوْنَ
iṣlauhal-yauma bimā kuntum takfurūn(a).
Masuklah ke dalamnya pada hari ini karena dahulu kamu mengingkarinya.
Selanjutnya, Allah memerintahkan kepada mereka, "Hai orang-orang kafir, masuklah dan rasakanlah pada hari ini panasnya api neraka. Tetaplah di dalamnya sebagai balasan dari keingkaran dan perbuatan dosa yang telah kamu kerjakan dahulu."
Dari ayat-ayat ini dipahami, seakan-akan Allah memperingatkan kepada orang-orang kafir yang sedang diazab itu bahwa mereka tidak perlu lagi menyesal, putus asa dan bersedih hati karena azab yang sedang mereka alami. Azab yang diberikan kepada mereka merupakan ketetapan Tuhan yang tidak mungkin diubah lagi. Kepada mereka sewaktu hidup di dunia telah disampaikan bermacam-macam peringatan dan bermacam-macam cobaan, tetapi mereka tetap ingkar. Oleh karena itu, rasakanlah dan terimalah azab yang sedang ditimpakan itu.
Ayat 65
اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلٰٓى اَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ اَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ اَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
al-yauma nakhtimu ‘alā afwāhihim wa tukallimunā aidīhim wa tasyhadu arjuluhum bimā kānū yaksibūn(a).
Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.
Ketika menerima azab di neraka, ada sebagian dari orang-orang kafir yang mengingkari perbuatan-perbuatan jahat mereka di dunia sebagaimana diterangkan dalam firman Allah:
Kemudian tidaklah ada jawaban bohong mereka, kecuali mengatakan, "Demi Allah, ya Tuhan kami, tidaklah kami mempersekutukan Allah." (al-An'am/6: 23)
Maka pada ayat 65 ini, Allah mengunci mati mulut-mulut mereka sehingga mereka tidak dapat berbohong maupun mendebat adanya perbuatan mereka. Apalagi tangan-tangan mereka kemudian berbicara dan kaki-kaki mereka menjadi saksi atas apa yang mereka kerjakan, sehingga mereka tidak mungkin lagi mengelak atas adanya perbuatan-perbuatan mereka yang melawan agama. Pada hari akhirat ini, hukum berlaku dengan seadil-adilnya sesuai dengan segala perbuatan mereka di dunia.
Menurut riwayat Anas bin Malik dikatakan:Dari Anas bin Malik, ia berkata, "Kami sedang berada di sisi Nabi saw, tiba-tiba beliau tertawa. Kata beliau, "Tahukah kamu mengapa saya tertawa? Kami menjawab, "Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu". Beliau berkata,"(Saya tertawa) karena adanya pembicaraan antara seorang hamba dengan Tuhannya". Hamba berkata, "Wahai Tuhanku, bukankah Engkau telah menyelamatkan aku dari kezaliman? "Ya benar, kamu telah Aku selamatkan", jawab Tuhannya. Hamba berkata, " Sesungguhnya aku tidak akan mengizinkan atas diriku kecuali seorang saksi dari padaku". Tuhannya menjawab, "Cukup, kamu menjadi saksi atas dirimu dan para malaikat pencatat amal juga menjadi saksi". Nabi saw lalu berkata, " Kemudian mulut hamba tadi ditutup, lalu anggota-anggota badan diperintahkan untuk berbicara, "Bicaralah!". Kata Nabi saw lagi, " Maka anggota-anggota badan itu berbicara (sesuai perbuatannya). (Riwayat Imam Abu Ya'la al-Maushuli)
Banyak ayat-ayat Al-Qur'an yang menerangkan tentang persaksian anggota tubuh manusia terhadap perbuatan-perbuatan yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia ini, di antaranya ialah firman Allah:
Pada hari, (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (an-Nur/24: 24)
Allah menjadikan tangan dan kaki berbicara sebagai saksi karena tanganlah yang mengerjakan perbuatan itu, sedang kaki ikut menyaksikan apa yang dikerjakan oleh tangan itu. Jadi perbuatan tangan merupakan suatu ikrar atau pengakuan, sedangkan perkataan kaki merupakan persaksian.
Jika semua perbuatan buruk seorang manusia dibukakan dan diungkapkan selama hidup di dunia dan diketahui oleh orang banyak maka ia merasa malu dan merasa sukar menyembunyikan muka mereka. Bahkan banyak pula di antara manusia yang membunuh dirinya karena tidak sanggup menahan rasa malu itu. Di akhirat, mereka akan mengalami apa yang mereka tidak sanggup mengalami dan menanggungnya semasa hidup di dunia.
Ayat 66
وَلَوْ نَشَاۤءُ لَطَمَسْنَا عَلٰٓى اَعْيُنِهِمْ فَاسْتَبَقُوا الصِّرَاطَ فَاَنّٰى يُبْصِرُوْنَ
wa lau nasyā'u laṭamasnā ‘alā a‘yunihim fastabaquṣ-ṣirāṭa fa annā yubṣirūn(a).
Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami hapuskan penglihatan mata mereka; sehingga mereka berlomba-lomba (mencari) jalan. Maka bagaimana mungkin mereka dapat melihat?
Ayat ini menerangkan kekuasaan Allah terhadap hamba-hamba-Nya, yaitu jika Dia menghendaki dapat saja menghapus penglihatan dan pendengaran orang-orang kafir, sehingga tidak dapat melihat padahal mereka harus banyak beramal dan berbuat baik. Akan tetapi, karena sifat kasih sayang Allah kepada manusia, maka hal itu tidak dilakukan-Nya. Orang-orang kafir tetap dapat melihat dan berbuat baik di dunia sesuai dengan petunjuk agama. Akan tetapi, hal itu tidak mereka lakukan, bahkan mereka banyak berbuat dosa. Dengan demikian, di samping mereka tidak memiliki amal kebaikan yang perlu diberi pahala, dosa-dosa mereka juga sangat banyak sehingga siksaan Allah di akhirat tentu sangat berat. Mereka tidak dapat mengelak dari semua itu karena adanya kesaksian tangan dan kaki mereka.
Ayat 67
وَلَوْ نَشَاۤءُ لَمَسَخْنٰهُمْ عَلٰى مَكَانَتِهِمْ فَمَا اسْتَطَاعُوْا مُضِيًّا وَّلَا يَرْجِعُوْنَ ࣖ
wa lau nasyā'u lamasakhnāhum ‘alā makānatihim famastaṭā‘ū muḍiyyaw wa lā yarji‘ūn(a).
Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami ubah bentuk mereka di tempat mereka berada; sehingga mereka tidak sanggup berjalan lagi dan juga tidak sanggup kembali.
Ayat ini juga menerangkan kekuasaan Allah, yaitu jika Allah menghendaki maka Dia dapat mengubah bentuk orang-orang kafir di tempat mereka berada, sehingga tidak sanggup lagi berjalan dan kembali. Akan tetapi, hal itu tidak dilakukan karena Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Meskipun begitu, orang-orang kafir yang memiliki kesempatan untuk beramal saleh sesuai petunjuk agama juga tidak melakukannya, bahkan mereka bertambah ingkar sehingga pantas mendapat siksa yang berat dan menghinakan di akhirat.
Ayat 68
وَمَنْ نُّعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِى الْخَلْقِۗ اَفَلَا يَعْقِلُوْنَ
wa man nu‘ammirhu nunakkishu fil-khalq(i), afalā ya‘qilūn(a).
Dan barangsiapa Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada awal kejadian(nya). Maka mengapa mereka tidak mengerti?
Selanjutnya Allah menegaskan bahwa barang siapa yang dipanjangkan umurnya, niscaya akan dikembali kepada awal kejadiannya. Artinya, mereka kembali lemah dan kurang akal seperti anak kecil. Tidak kuat lagi melakukan ibadah-ibadah yang berat dan mulai banyak lupa, sehingga tidak banyak dapat melakukan ibadah dengan baik. Pada akhir ayat ini, Allah mempertanyakan mengapa mereka tidak mengerti dan menggunakan kesempatan selagi masih muda dan kuat.
Nabi saw menerangkan hal ini dalam hadisnya yang berbunyi:
Pergunakan kesempatan yang lima sebelum datang yang lima: waktu luangmu sebelum waktu sibukmu, waktu kayamu sebelum waktu miskinmu, waktu sehatmu sebelum waktu sakitmu, waktu mudamu sebelum waktu tuamu, dan waktu hidupmu sebelum waktu matimu.(Riwayat al-hakim dari Ibnu 'Abbas)
Apakah orang-orang kafir tidak mempergunakan akalnya bahwa semakin panjang dan tua umur seseorang semakin lemah jasmani dan rohaninya dan semakin tidak mampu ia berbuat. Allah telah memberinya umur yang cukup kepada mereka untuk dapat berbuat banyak, beramal saleh, menuntut ilmu yang cukup, beribadah dengan baik, dan sebagainya. Akan tetapi, mereka tidak mempergunakan umur itu dengan sebaik-baiknya. Allah mengutus para rasul kepada mereka dengan membawa petunjuk ke jalan yang lurus, tetapi mereka tidak mengikuti rasul dan petunjuk itu bahkan mereka mendustakan dan mengingkarinya.
Ayat 69
وَمَا عَلَّمْنٰهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْۢبَغِيْ لَهٗ ۗاِنْ هُوَ اِلَّا ذِكْرٌ وَّقُرْاٰنٌ مُّبِيْنٌ ۙ
wa mā ‘allamnāhusy-syi‘ra wa mā yambagī lah(ū), in huwa illā żikruw wa qur'ānum mubīn(un).
Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah pantas baginya. Al-Qur'an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang jelas,
Pada ayat ini, Allah membantah tuduhan kaum kafir yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah syair yang diciptakan oleh Nabi Muhammad saw sendiri. Dengan demikian, menurut tuduhan mereka, Muhammad adalah seorang penyair. Hal ini dibantah keras pada ayat ini, karena Al-Qur'an merupakan wahyu Allah yang membawa kebenaran. Sedang Nabi Muhammad saw bertugas menyampaikannya kepada umat manusia semua kebenaran yang diterima dari Allah. Nabi Muhammad bukan penyair yang hanya mengkhayal, tetapi rasul Allah yang membawa kebenaran untuk memperbaiki orang-orang jahiliah.
Al-Qur'an jauh berbeda dengan syair yang berkembang di tanah Arab ketika itu. perbedaan itu dapat dilihat dalam hal:
1.Syair Arab waktu itu merupakan rangkaian kalimat-kalimat yang terikat pada wazan (timbangan kalimat) atau pola tertentu, bahr-bahr (irama dan notasi dalam syair Arab) tertentu, seperti bahr kamil, bahr rajaz, dan lain-lain.
Sedangkan ayat-ayat Al-Qur'an susunan kalimatnya begitu indah, pilihan diksi kata-katanya begitu tepat, tetapi tidak terikat pada wazan dan bahr syair Arab.
2.Syair Arab juga terikat pada qafiyah, yaitu huruf akhir tertentu. Jika hal itu tidak dipenuhi, maka rusaklah syair tersebut, sehingga ada unsur pemaksaan atau takalluf.
Pada ayat-ayat Al-Qur'an memang ada beberapa huruf akhir yang sama sehingga bersajak (masju'), tetapi menjadi lebih indah karena tidak kaku dan tidak ada unsur pemaksaan (takalluf).
3.Isi syair Arab biasanya berupa khayalan penyair dengan imajinasi yang tinggi sehingga melupakan banyak hal yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Sedangkan ayat-ayat Al-Qur'an semuanya sesuai dengan kenyataan, baik alam gaib maupun alam nyata, sehingga memberi informasi yang benar.
4.Syair-syair Arab biasanya berupa puji-pujian yang berlebih-lebihan terhadap raja atau kepala suku sehingga menjadikan para raja bertambah sombong. Syair bisa juga berisi celaan atau ejekan terhadap musuh sehingga meningkatkan permusuhan yang ada.
Sedangkan Al-Qur'an selalu berbicara masalah kebenaran tanpa membuat orang menjadi sombong, bahkan ayat Al-Qur'an melarang kesombongan dan rasa kebencian maupun permusuhan.
5.Syair-syair Arab seringkali disusun dan dirangkai oleh penyair dan digunakan untuk mendapat hadiah sebagai mata pencaharian penyair.
Sedangkan ayat-ayat Al-Qur'an semata-mata memberi informasi, petunjuk, dan pelajaran yang baik. Bahkan ayat Al-Qur'an tidak boleh diperjualbelikan dengan harga murah untuk memperoleh penghasilan tertentu.
Dari hal-hal di atas terbukti bahwa bahasa Al-Qur'an lebih indah dari syair dan kandungan isinya lebih baik dan memberi manfaat yang lebih besar bagi kehidupan manusia secara keseluruhan.
Allah menegaskan bahwa Dia tidak mengajarkan syair kepada Muhammad saw. Ia hanyalah mewahyukan Al-Qur'an kepadanya, untuk disampaikan kepada umat manusia. Tuduhan kaum musyrik dan kaum kafir bahwa Muhammad saw adalah penyair adalah tuduhan yang tidak patut dan tidak dapat diterima akal yang sehat.
Kemudian Allah menegaskan lagi bahwa Al-Qur'an yang disampaikan oleh Muhammad saw adalah pelajaran dan kitab suci yang memberikan penerangan kepada umat manusia untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin, dunia dan akhirat.
Kaum musyrik mengatakan Al-Qur'an itu syair, karena kata-kata dan kalimat-kalimat yang terdapat di dalamnya demikian indah dan tepat. Bahkan kadang-kadang mereka mengatakan Al-Qur'an adalah sihir, karena kata-kata dan susunan kalimatnya memang memesona siapa saja yang mendengarnya. Akan tetapi, tuduhan mereka ini sama sekali tidak benar. Al-Qur'an bukanlah sihir ataupun syair, karena syair merupakan susunan yang terikat kepada pola-pola tertentu, sedang Al-Qur'an tidaklah demikian.
Ayat 70
لِّيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَّيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ
liyunżira man kāna ḥayyaw wa yaḥiqqal-qaulu ‘alal-kāfirīn(a).
agar dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan agar pasti ketetapan (azab) terhadap orang-orang kafir.
Selanjutnya Allah menjelaskan bahwa fungsi Al-Qur'an antara lain untuk memberikan peringatan kepada umat manusia. Di samping itu, ia juga menerangkan kepastian adanya ketetapan azab bagi orang-orang kafir.
Orang-orang yang hati, pikiran, dan semangatnya tetap hidup pasti mengambil Al-Qur'an sebagai pedoman yang utama, karena Al-Qur'an membawa ajaran yang melenyapkan kebodohan dan kebekuan, menyembuhkan penyakit-penyakit mental yang merusak hidup manusia, baik lahir maupun batin serta menjadi rahmat bagi orang-orang yang bertakwa.
Sebaliknya orang-orang yang hati, pikiran, dan semangatnya sudah mati dan membeku, tidak mau mengambil pelajaran dan bimbingan dari Al-Qur'an karena godaan setan sudah membelenggu sedemikian rupa.
Sebetulnya, di dalam hati para pemuka kaum kafir dan musyrik itu telah mengakui kebenaran dan kemukjizatan Al-Qur'an. Akan tetapi, mereka tidak berani mengemukakan pengakuan itu, karena takut akan kehilangan pengaruh di lingkungan kaumnya yang menyebabkan turunnya kewibawaan, dan kehilangan sumber penghasilan.
Ayat 71
اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّا خَلَقْنَا لَهُمْ مِّمَّا عَمِلَتْ اَيْدِيْنَآ اَنْعَامًا فَهُمْ لَهَا مٰلِكُوْنَ
awalam yarau annā khalaqnā lahum mimmā ‘amilat aidīnā an‘āman fahum lahā mālikūn(a).
Dan tidakkah mereka melihat bahwa Kami telah menciptakan hewan ternak untuk mereka, yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami, lalu mereka menguasainya?
Allah memperingatkan kembali kepada kaum kafir tentang sifat dan rahmat yang telah dikaruniakan-Nya kepada mereka yang sepatutnya disyukuri. Rahmat yang dikaruniakan itu lalu mereka kuasai dan ambil manfaatnya sedemikian rupa. Akan tetapi, mereka tidak pernah bersyukur, bahkan mengingkari rahmat tersebut.
Di antara rahmat dan karunia Allah adalah bermacam-macam hewan dan binatang ternak yang telah diciptakan dan disediakan-Nya untuk manusia. Sebagian dari hewan tersebut mereka jadikan kendaraan untuk mengangkut mereka dan barang-barang dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dari hewan itu pula mereka memperoleh bahan makanan, minuman, pakaian, dan alat-alat keperluan lainnya. Namun demikian, mereka tidak bersyukur kepada Allah yang telah menciptakan dan menyediakan semuanya itu untuk kepentingan mereka.
Ayat 72
وَذَلَّلْنٰهَا لَهُمْ فَمِنْهَا رَكُوْبُهُمْ وَمِنْهَا يَأْكُلُوْنَ
wa żallalnāhā lahum fa minhā rakūbuhum wa minhā ya'kulūn(a).
Dan Kami menundukkannya (hewan-hewan itu) untuk mereka; lalu sebagiannya untuk menjadi tunggangan mereka dan sebagian untuk mereka makan.
Allah memperingatkan kembali kepada kaum kafir tentang sifat dan rahmat yang telah dikaruniakan-Nya kepada mereka yang sepatutnya disyukuri. Rahmat yang dikaruniakan itu lalu mereka kuasai dan ambil manfaatnya sedemikian rupa. Akan tetapi, mereka tidak pernah bersyukur, bahkan mengingkari rahmat tersebut.
Di antara rahmat dan karunia Allah adalah bermacam-macam hewan dan binatang ternak yang telah diciptakan dan disediakan-Nya untuk manusia. Sebagian dari hewan tersebut mereka jadikan kendaraan untuk mengangkut mereka dan barang-barang dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dari hewan itu pula mereka memperoleh bahan makanan, minuman, pakaian, dan alat-alat keperluan lainnya. Namun demikian, mereka tidak bersyukur kepada Allah yang telah menciptakan dan menyediakan semuanya itu untuk kepentingan mereka.
Ayat 73
وَلَهُمْ فِيْهَا مَنَافِعُ وَمَشَارِبُۗ اَفَلَا يَشْكُرُوْنَ
wa lahum fīhā manāfi‘u wa masyārib(u), afalā yasykurūn(a).
Dan mereka memperoleh berbagai manfaat dan minuman darinya. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?
Allah memperingatkan kembali kepada kaum kafir tentang sifat dan rahmat yang telah dikaruniakan-Nya kepada mereka yang sepatutnya disyukuri. Rahmat yang dikaruniakan itu lalu mereka kuasai dan ambil manfaatnya sedemikian rupa. Akan tetapi, mereka tidak pernah bersyukur, bahkan mengingkari rahmat tersebut.
Di antara rahmat dan karunia Allah adalah bermacam-macam hewan dan binatang ternak yang telah diciptakan dan disediakan-Nya untuk manusia. Sebagian dari hewan tersebut mereka jadikan kendaraan untuk mengangkut mereka dan barang-barang dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dari hewan itu pula mereka memperoleh bahan makanan, minuman, pakaian, dan alat-alat keperluan lainnya. Namun demikian, mereka tidak bersyukur kepada Allah yang telah menciptakan dan menyediakan semuanya itu untuk kepentingan mereka.
Ayat 74
وَاتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اٰلِهَةً لَّعَلَّهُمْ يُنْصَرُوْنَ ۗ
wattakhażū min dūnillāhi ālihatal la‘allahum yunṣarūn(a).
Dan mereka mengambil sesembahan selain Allah agar mereka mendapat pertolongan.
Allah menerangkan pada ayat ini bahwa kaum kafir telah menguasai dan mengambil manfaat sedemikian rupa dari rahmat yang diciptakan dan dikaruniakan Allah. Jangankan mereka bersyukur kepada-Nya, bahkan sebaliknya mereka bertuhan kepada selain Allah, karena mereka menyangka akan segera mendapat pertolongan. Mereka menyembah patung, berhala, atau benda lainnya, padahal semuanya itu tidak dapat memberikan pertolongan apa-apa. Dengan demikian, mereka mengharapkan sesuatu yang mustahil, yang tidak dibenarkan oleh pikiran dan akal yang sehat.
Ayat 75
لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ نَصْرَهُمْۙ وَهُمْ لَهُمْ جُنْدٌ مُّحْضَرُوْنَ
lā yastaṭī‘ūna naṣrahum, wa hum lahum jundum muḥḍarūn(a).
Mereka (sesembahan) itu tidak dapat menolong mereka; padahal mereka itu menjadi tentara yang disiapkan untuk menjaga (sesembahan) itu.
Allah menerangkan pada ayat ini bahwa kaum kafir telah menguasai dan mengambil manfaat sedemikian rupa dari rahmat yang diciptakan dan dikaruniakan Allah. Jangankan mereka bersyukur kepada-Nya, bahkan sebaliknya mereka bertuhan kepada selain Allah, karena mereka menyangka akan segera mendapat pertolongan. Mereka menyembah patung, berhala, atau benda lainnya, padahal semuanya itu tidak dapat memberikan pertolongan apa-apa. Dengan demikian, mereka mengharapkan sesuatu yang mustahil, yang tidak dibenarkan oleh pikiran dan akal yang sehat.
Ayat 76
فَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ ۘاِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّوْنَ وَمَا يُعْلِنُوْنَ
falā yaḥzunka qauluhum, innā na‘lamu mā yusirrūna wa mā yu‘linūn(a).
Maka jangan sampai ucapan mereka membuat engkau (Muhammad) bersedih hati. Sungguh, Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan.
Akhirnya, Allah menghibur Nabi Muhammad saw dari tingkah laku dan perbuatan kaum kafir dan musyrik itu, yaitu Nabi tidak perlu merasa sedih mendengarkan ucapan dan tuduhan mereka yang bukan-bukan, yang ditujukan kepadanya dan kepada Al-Qur'an. Allah Maha Mengetahui semua perbuatan mereka, baik yang dilakukan dengan terang-terangan maupun yang mereka rahasiakan. Semua itu akan dimintakan pertanggungjawabannya kepada mereka kelak di hari Kiamat dan mereka pasti akan menerima balasannya berupa azab yang pedih.
Ayat 77
اَوَلَمْ يَرَ الْاِنْسَانُ اَنَّا خَلَقْنٰهُ مِنْ نُّطْفَةٍ فَاِذَا هُوَ خَصِيْمٌ مُّبِيْنٌ
awalam yaral-insānu annā khalaqnāhu min nuṭfatin fa'iżā huwa khaṣīmum mubīn(un).
Dan tidakkah manusia memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani, ternyata dia menjadi musuh yang nyata!
Karena adanya sebagian manusia tidak percaya tentang adanya hari Kebangkitan, maka Pada ayat ini Allah mengingatkan mereka kepada kekuasaan-Nya dalam menciptakan manusia, sebagai bagian dari seluruh makhluk-Nya. Ini dikemukakan dengan nada keheranan atas sikap sebagian manusia itu. Yaitu: apakah manusia itu tidak memikirkan dan tidak memperhatikan bahwa Allah telah menciptakannya dari setetes air mani, tetapi kemudian setelah melalui proses, ia lahir ke dunia dalam bentuk manusia sempurna, kemudian ia menjadi orang yang bersikap memusuhi Allah dan rasul-Nya. Sikap semacam ini benar-benar tidak dapat diterima oleh pikiran yang sehat.
Apabila manusia menyadari bahwa Allah kuasa menciptakannya, bahkan dari setetes air mani, kemudian menjadikan makhluk yang paling baik di bumi ini, pastilah ia yakin, bahwa Allah kuasa pula mengembalikannya kepada asal kejadiannya itu, dan Ia kuasa pula untuk mengulangi kembali penciptaan-Nya, yakni membangkitkannya seperti kehidupannya semula. Oleh karena itu, manusia tidak boleh bersikap melawan perintah Allah.
Ayat 78
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَّنَسِيَ خَلْقَهٗۗ قَالَ مَنْ يُّحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيْمٌ
wa ḍaraba lanā maṡalaw wa nasiya khalqah(ū), qāla may yuḥyil-‘iẓāma wa hiya ramīm(un).
Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal kejadiannya; dia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?”
Pada ayat ini dijelaskan tentang keraguan kaum kafir Mekah terhadap adanya hari kebangkitan. Mereka berpendapat demikian karena telah melupakan asal kejadian masing-masing. Mereka diingatkan bahwa Allah telah menciptakan mereka dari setetes air mani, sehingga mereka lahir berwujud manusia yang hidup dan utuh. Jika seandainya mereka mengingat dan menyadari hal ini, pastilah mereka yakin bahwa Allah juga kuasa menghidupkannya kembali sesudah mati, walaupun tulang-belulang mereka sudah remuk.
Ayat 79
قُلْ يُحْيِيْهَا الَّذِيْٓ اَنْشَاَهَآ اَوَّلَ مَرَّةٍ ۗوَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيْمٌ ۙ
qul yuḥyīhal-lażī ansya'ahā awwala marrah(tin), wa huwa bikulli khalqin ‘alīm(un).
Katakanlah (Muhammad), “Yang akan menghidupkannya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk,
Pada ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk menjawab pertanyaan orang-orang tersebut di atas, dengan menegaskan bahwa yang akan menghidupkan tulang-tulang lapuk itu kembali menjadi manusia yang hidup dan utuh adalah Allah yang dahulu telah menciptakannya pada kali yang pertama, dari tidak ada menjadi ada. Allah Maha Mengetahui semua makhluk ciptaan-Nya.
Bagi manusia, mengulang suatu perbuatan lebih mudah daripada melakukannya pertama kali. Akan tetapi, bagi Allah menciptakan sesuatu pertama kali, sama saja mudahnya dengan mengulanginya, karena Allah Mahakuasa.
Ayat 80
ۨالَّذِيْ جَعَلَ لَكُمْ مِّنَ الشَّجَرِ الْاَخْضَرِ نَارًاۙ فَاِذَآ اَنْتُمْ مِّنْهُ تُوْقِدُوْنَ
allażī ja‘ala lakum minasy-syajaril-akhḍari nārā(n), fa'iżā antum minhu tūqidūn(a).
yaitu (Allah) yang menjadikan api untukmu dari kayu yang hijau, maka seketika itu kamu nyalakan (api) dari kayu itu.”
Pada ayat ini disebutkan bahwa Allah juga memerintahkan rasul-Nya untuk menjelaskan kepada orang-orang musyrik tersebut bahwa yang akan menghidupkan kembali tulang-tulang lapuk tersebut adalah Allah yang telah menciptakan untuk mereka, api yang menyala dari kayu yang semula merupakan pohon yang basah dan hijau tetapi kemudian kayu itu menjadi kering sehingga dapat menyalakan api. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Arab telah mengetahui bahwa ada beberapa jenis kayu yang jika digesekkan antara satu dengan lainnya akan memercikkan api. Ini semua diciptakan Allah untuk manusia agar mereka bisa menghangatkan badan, memasak, menggunakannya untuk penerangan, dan berbagai kebutuhan lainnya.
Pemberian contoh ini merupakan hal yang cukup jelas bagi mereka yang sehari-hari menggunakan kayu api. Mereka mengira bahwa tulang-tulang yang sudah lapuk itu telah menjadi dingin dan kering tidak dapat lagi menerima kehidupan, sebab kehidupan ini memerlukan adanya panas. Padahal sehari-hari mereka menyaksikan bahwa kayu yang sudah lapuk dan dingin dapat menimbulkan panas dan menghidupkan api. Bahkan kayu yang masih basah dan berdaun ada juga yang dapat menyalakan api.
Menurut kajian ilmiah, api di sini dapat saja diinterpretasikan sebagai energi. Di dalam tumbuhan memang terjadi proses pemanfaatan energi matahari untuk mengubah bahan yang diambil tumbuhan menjadi energi kimiawi. Penjelasan mengenai terjadinya perubahan energi tersebut, yang disebut sebagai proses fotosintesa adalah sebagai berikut.
Dari banyak bagian tumbuhan, salah satu yang terpenting adalah adanya kloroplas (chloroplast) yang terdapat pada daun. Pada kloroplas ini terdapat ribuan kloropil (chlorophyl) atau butir hijau daun, dan dalam bahasa Al-Qur'an dikenal dengan nama al-khadir (bahan hijau). Kedua ayat di atas menyinggung keberadaan kloropil yang berwarna hijau (al-An'am/6: 99) dan peranan matahari dalam menjalankan "pabrik hijau" ini (at-Takwir/81: 17-18).
Sel tumbuhan, tidak sebagaimana sel manusia atau binatang, dapat menggunakan secara langsung energi matahari. Tumbuhan akan mengubah energi matahari menjadi energi kimia, dan menyimpannya dalam bentuk nutrien dengan cara yang khusus. Proses ini dinamakan fotosintesis (Photosynthesis). Sel berwarna hijau ini hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Ini adalah satu-satunya laboratorium di dunia yang dapat menyimpan energi matahari dalam bentuk bahan organik.
Sebagaimana diuraikan di atas, maka tumbuhan adalah makhluk yang sangat dan paling penting untuk kelangsungan kehidupan makhluk lainnya. Di samping menghasilkan bahan makanan, proses fotosintesa yang dilakukan tumbuhan juga menghasilkan oksigen. Oksigen adalah bahan untuk bernapas bagi semua makhluk hidup, termasuk manusia dan binatang.
Dengan demikian tepatlah Allah memberikan contoh, bahkan bukan hanya kayu yang kering saja dapat menyalakan api tetapi kayu yang masih hijau dan basah pun dapat juga dijadikan kayu api. Sebaliknya, tulang-tulang yang dapat menerima kehidupan bukan hanya tulang-tulang yang segar, tetapi tulang yang sudah lapuk pun dapat pula menerima kehidupan dengan kekuasaan Allah.
Ayat 81
اَوَلَيْسَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِقٰدِرٍ عَلٰٓى اَنْ يَّخْلُقَ مِثْلَهُمْ ۗبَلٰى وَهُوَ الْخَلّٰقُ الْعَلِيْمُ
awa laisal-lażī khalaqas-samāwāti wal-arḍa biqādirin ‘alā ay yakhluqa miṡlahum, balā wa huwal-khallāqul-‘alīm(u).
Dan bukankah (Allah) yang menciptakan langit dan bumi, mampu menciptakan kembali yang serupa itu (jasad mereka yang sudah hancur itu)? Benar, dan Dia Maha Pencipta, Maha Mengetahui.
Allah mengemukakan pertanyaan kepada orang-orang yang tidak mempercayai hari kebangkitan itu bahwa jika mereka percaya bahwa Allah kuasa menciptakan langit dan bumi ini, mengapa Allah tidak kuasa pula menciptakan sesuatu yang serupa dengan itu. Jawabannya adalah Allah pasti kuasa menciptakannya, karena Dia Maha Pencipta, lagi Maha Mengetahui.
Ayat 82
اِنَّمَآ اَمْرُهٗٓ اِذَآ اَرَادَ شَيْـًٔاۖ اَنْ يَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ
innamā amruhū iżā arāda syai'an ay yaqūla lahū kun fa yakūn(u).
Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.
Allah menerangkan betapa mudah bagi-Nya menciptakan sesuatu. Apabila Ia menghendaki untuk menciptakan suatu makhluk, cukuplah Allah berfirman, "Jadilah," maka dengan serta-merta terwujudlah makhluk itu.
Mengingat kekuasaan-Nya yang demikian besar, maka adanya hari kebangkitan itu, di mana manusia dihidupkan-Nya kembali sesudah terjadinya kehancuran di hari Kiamat, bukanlah suatu hal yang mustahil, dan tidak patut diingkari.
Ayat 83
فَسُبْحٰنَ الَّذِيْ بِيَدِهٖ مَلَكُوْتُ كُلِّ شَيْءٍ وَّاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ ࣖ
fa subḥānal-lażī biyadihī malakūtu kulli syai'iw wa ilaihi turja‘ūn(a).
Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya kamu dikembalikan.
Orang-orang yang beriman pasti berkata bahwa Allah Mahasuci. Di tangan-Nya kekuasaan penuh atas segala sesuatu di alam ini. Dialah yang menciptakan, mengatur, dan memeliharanya. Kepada-Nya jualah semua makhluk dikembalikan.
Pengakuan dan keyakinan semacam ini pasti timbul apabila manusia menggunakan pikiran sehat untuk memperhatikan isi alam ini semuanya yang menjadi bukti bagi kekuasaan Allah.
Yasin (83 ayat)
Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dia berkata, telah menceritakan kepada kami Sa'id bin al-Musayyab bahwa Abu hurairah telah menceritakan kepadanya, dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tujuh p... Selengkapnya
Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dia berkata, telah menceritakan kepada kami Sa'id bin al-Musayyab bahwa Abu hurairah telah menceritakan kepadanya, dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tujuh puluh ribu dari umatku akan masuk surga (tanpa dihisab), wajah mereka bersinar seperti sinar bulan purnama." Abu Hurairah berkata, "Ukkasyah bin Mihshan al-Asadi berdiri mengangkat jubah putih bergaris-garis di atasnya seraya berkata, 'Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikanku termasuk golongan mereka.' Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdoa: "Ya Allah, jadikanlah dia termasuk golongan mereka." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kamu telah didahului oleh Ukkasyah'."
HR. Muslim
Sholat | 16 Maret 2019 18:32
Tausiyah | 20 September 2024 05:45
Dunia Islam | 19 September 2024 23:07
Dunia Islam | 19 September 2024 22:48
Hikmah | 25 September 2024 03:50