Mencerahkan khazanah Islam

Advertisement

Jadwal Shalat
Tanggal
13/10/2024
Subuh
04:17
Terbit
05:29
Dhuha
05:56
Dhuhur
11:42
Ashar
14:46
Maghrib
17:49
Isya
18:58

هود

11. Hud

Terdapat 123 ayat dan diturunkan di Mekah

Surat Huud termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, terdiri dari 123 ayat diturunkan sesudah surat Yunus. Surat ini dinamai surat Huud karena ada hubungan dengan terdapatnya kisah Nabi Huud a.s. dan kaumnya dalam surat ini terdapat juga kisah-kisah Nabi yang lain, seperti kisah Nuh a.s., Shaleh a.s., Ibrahim a.s., Luth a.s., Syu'aib a.s. dan Musa a.s.

Ayat 1

الۤرٰ ۗ كِتٰبٌ اُحْكِمَتْ اٰيٰتُهٗ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَّدُنْ حَكِيْمٍ خَبِيْرٍۙ

alif lām rā, kitābun uḥkimat āyātuhū ṡumma fuṣṣilat mil ladun ḥakīmin khabīr(in).

Alif Lam Ra. (Inilah) Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci, (yang diturunkan) dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana, Mahateliti,

Allah memulai surah ini dengan tiga buah huruf Alif, Lam, Ra, seperti pada permulaan Surah Yunus yang lalu, dengan maksud yang sama yaitu menuntut perhatian yang sungguh dari pendengar. Sesudah itu Allah menerangkan bahwa Al-Qur'an itu adalah sebuah kitab yang ayat-ayatnya tersusun rapi dan padat, lagi jelas artinya. Karena kerapian dan kepadatan susunan ayat itu, tak mungkin dapat ditukar-tukar kata-katanya, baik letaknya atau hurufnya. Di samping itu, ayat-ayatnya dijelaskan secara terperinci menurut masalahnya dan tersebar di dalam surah. Ada ayat yang berhubungan dengan akidah, hukum, akhlak, kisah, dan ada pula yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, seperti proses kejadian manusia.

Demikianlah ayat-ayat Al-Qur'an itu bagaikan bola kristal yang memantulkan bermacam-macam cahaya yang cemerlang dan memiliki nilai keseluruhan yang tinggi. Sesungguhnya Al-Qur'an dengan keserasian susunan redaksi ayat-ayat dan uraiannya yang terperinci menurut isinya, diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, Dengan Bijaksana, Dia turunkan ayat menurut kebutuhan hamba-hamba-Nya, apa yang baik untuk mereka, karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

Ayat 2

اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّا اللّٰهَ ۗاِنَّنِيْ لَكُمْ مِّنْهُ نَذِيْرٌ وَّبَشِيْرٌۙ

allā ta‘budū illallāh(a), innanī lakum minhu nażīruw wa basyīr(un).

agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira dari-Nya untukmu.

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Al-Qur'an diturunkan dengan susunan dan redaksi ayat-ayat yang rapi dan dengan uraian yang terperinci agar manusia yakin bahwa Al-Quran dari Allah, berisi petunjuk-petunjuk dan larangan-Nya, terutama larangan menyembah selain Allah. Oleh karena itu, ayat ini dimulai dengan larangan tersebut. Rasul saw hanyalah pembawa peringatan akan siksa Allah kepada mereka yang mempersekutukan Allah, dan pembawa kabar gembira tentang pahala bagi mereka yang taat dan tulus ikhlas dalam menyembah Allah. Menyeru manusia menyembah Allah merupakan tugas para rasul sejak zaman dahulu.

Firman Allah:

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku. (al-Anbiya/21: 25)

Ayat 3

وَّاَنِ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَّتَاعًا حَسَنًا اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى وَّيُؤْتِ كُلَّ ذِيْ فَضْلٍ فَضْلَهٗ ۗ وَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنِّيْٓ اَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيْرٍ

wa anistagfirū rabbakum ṡumma tūbū ilaihi yumatti‘kum matā‘an ḥasanan ilā ajalim musammaw wa yu'ti kulla żī faḍlin faḍlah(ū), wa in tawallau fa innī akhāfu ‘alaikum ‘ażāba yaumin kabīr(in).

Dan hendaklah kamu memohon ampunan kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan. Dan Dia akan memberikan karunia-Nya kepada setiap orang yang berbuat baik. Dan jika kamu berpaling, maka sungguh, aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang besar (Kiamat).

Nabi Muhammad saw menyeru kaum musyrikin untuk memohon ampun kepada Tuhan terhadap dosa perbuatan-perbuatan syirik, kekafiran, dan kejahatan yang telah mereka lakukan. Sesudah itu hendaklah mereka kembali kepada Allah, dengan taat melakukan perintah-Nya dan beribadah kepada Allah sepenuh hati tidak menyembah selain Allah, seperti patung-patung dan berhala-berhala dan lain sebagainya. Jika mereka pernah berbuat demikian, hendaklah mereka minta ampun dan bertobat dengan teguh dan terus menerus. Allah niscaya akan mengampuni mereka dan memberi rezeki yang melimpah, kemakmuran, kesehatan, dan kesejahteraan sampai akhir hayat mereka. Demikianlah, keimanan yang tulus kepada Allah dan Rasul dari setiap individu, merupakan faktor utama yang menyebabkan kemakmuran dan kebahagiaan hidup.

Firman Allah:

Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (an-Nahl/16: 97)

Selain memberikan kenikmatan hidup di dunia bagi orang-orang yang beriman, Allah juga memberikan kepada orang yang mempunyai keutamaan, seperti orang yang memiliki ilmu pengetahuan atau karya besar, ganjaran di dunia dan pahala di akhirat. Tetapi bilamana manusia berpaling dari keimanan dan tidak bertobat bahkan terus menerus dalam kemusyrikan, kemaksiatan, dan kerusakan akhlak, mereka akan mengalami kehancuran atau kemelaratan hidup sesuai dengan Sunatullah pada umat manusia dan azab Allah di hari akhirat.

Ayat 4

اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ ۚوَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

ilallāhi marji‘ukum, wa huwa ‘alā kulli syai'in qadīr(un).

Kepada Allah-lah kamu kembali. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa semua umat manusia, baik mereka yang beriman ataupun mereka yang kafir, yang bertobat ataupun yang ingkar dan maksiat, akan kembali kepada Allah sesudah akhir hayat mereka, tak seorangpun yang tertinggal. Di hadapan Allah itulah masing-masing manusia akan dihisab dan memperoleh balasan dengan seadil-adilnya. Mahasuci Allah, Mahakuasa atas segala sesuatu, Dia berikan kebaikan kepada orang yang mencintai-Nya dan Dia berikan keburukan kepada orang yang menutupi keberadaannya.

Ayat 5

اَلَآ اِنَّهُمْ يَثْنُوْنَ صُدُوْرَهُمْ لِيَسْتَخْفُوْا مِنْهُۗ اَلَا حِيْنَ يَسْتَغْشُوْنَ ثِيَابَهُمْ ۙيَعْلَمُ مَا يُسِرُّوْنَ وَمَا يُعْلِنُوْنَۚ اِنَّهٗ عَلِيْمٌ ۢ بِذَاتِ الصُّدُوْرِ ۔

alā innahum yaṡnūna ṣudūrahum liyastakhfū minh(u), alā ḥīna yastagsyūna ṡiyābahum, ya‘lamu mā yusirrūna wa mā yu‘linūn(a), innahū ‘alīmum biżātiṣ-ṣudūr(i).

Ingatlah, sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) memalingkan dada untuk menyembunyikan diri dari dia (Muhammad). Ingatlah, ketika mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka nyatakan, sungguh, Allah Maha Mengetahui (segala) isi hati.

Dalam ayat ini Allah memperingatkan dan menuntut perhatian manusia untuk mengambil pelajaran dan sifat orang yang menolak kebenaran. Mereka itu tidak mau mendengarkan dakwah dan ajaran agama, lalu mereka menundukkan kepala untuk menyembunyikan mukanya karena malu. Wajah mereka tidak kuat menghadapi sinar kebenaran (Al-Qur'an) sewaktu dibacakan kepada mereka, tetapi sinar-sinar itu menembus jiwa mereka sehingga mereka menyembunyikan muka mereka dari Rasul saw.

Ayat 6

۞ وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

wa mā min dābbatin fil-arḍi illā ‘alallāhi rizquhā wa ya‘lamu mustaqarrahā wa mustauda‘ahā, kullun fī kitābim mubīn(in).

Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).

Binatang-binatang yang melata, yang hidup di bumi yang meliputi binatang yang merayap, merangkak, atau pun yang berjalan dengan kedua kakinya, semuanya dijamin rezekinya oleh Allah. Binatang-binatang itu diberi naluri dan kemampuan untuk mencari rezekinya sesuai dengan fitrah kejadiannya, semuanya diatur Allah dengan hikmat dan kebijaksanaan-Nya sehingga selalu ada keserasian. Jika tidak diatur demikian, mungkin pada suatu saat ada binatang yang berkembang-biak terlalu cepat, sehingga mengancam kelangsungan hidup binatang-binatang yang lain, atau ada yang mati terlalu banyak, sehingga mengganggu keseimbangan lingkungan. Jika ada sebagian binatang memangsa binatang lainnya, hal itu adalah dalam rangka keseimbangan alam, sehingga kehidupan yang harmonis selalu dapat dipertahankan.

Allah mengetahui tempat berdiam binatang-binatang itu dan tempat persembunyiannya, bahkan ketika masih berada dalam perut induknya. Pada kedua tempat itu, Allah senantiasa menjamin rezekinya dan semua itu telah tercatat dan diatur serapi-rapinya di Lauh Mahfudh, yang berisi semua perencanaan dan pelaksanaan dari seluruh ciptaan Allah secara menyeluruh dan sempurna.

Ayat 7

وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ وَّكَانَ عَرْشُهٗ عَلَى الْمَاۤءِ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا ۗ وَلَىِٕنْ قُلْتَ اِنَّكُمْ مَّبْعُوْثُوْنَ مِنْۢ بَعْدِ الْمَوْتِ لَيَقُوْلَنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اِنْ هٰذَٓا اِلَّا سِحْرٌ مُّبِيْنٌ

wa huwal-lażī khalaqas-samāwāti wal-arḍa fī sittati ayyāmiw wa kāna ‘arsyuhū ‘alal-mā'i liyabluwakum ayyukum aḥsanu ‘amalā(n), wa la'in qulta innakum mab‘ūṡūna mim ba‘dil-mauti layaqūlannal-lażīna kafarū in hāżā illā siḥrum mubīn(un).

Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Jika engkau berkata (kepada penduduk Mekah), “Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan setelah mati,” niscaya orang kafir itu akan berkata, “Ini hanyalah sihir yang nyata.”

Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Dalam ayat ini disebutkan "sittati ayyam", artinya "enam hari", akan tetapi pengertian hari di sini tidak dapat disamakan dengan hari seperti yang kita alami sehari-hari, tetapi disesuaikan dengan hari menurut perhitungan Allah.

Ulama ilmu falak telah menetapkan bahwa hari-hari yang ada hubungannya dengan peredaran bintang-bintang tidak sama dengan kadar hari yang berlaku di bumi ini.

Kemudian Allah menjelaskan bahwa singgasana-Nya sebelum penciptaan langit dan bumi, berada di atas air. Arasy atau singgasana Allah itu termasuk alam gaib, yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera, dan tidak mungkin pula dibayangkan atau dikhayalkan bentuk dan rupanya, apalagi caranya Tuhan bersemayam di atas singgasana itu. Ayat-ayat yang menerangkan hal ini termasuk ayat yang mutasyabihat, yang wajib kita imani kebenarannya dengan menyerahkan pengertiannya kepada Allah.

Ummu Salamah, Rabi'ah dan Malik meriwayatkan bahwa para sahabat dalam menafsirkan ayat mutasyabihat seperti itu selalu berkata, "Istiwa (bersemayam-Nya) sudah diketahui akan tetapi caranya tidak diketahui." Ayat ini menunjukkan bahwa yang berada di bawah Arasy Allah itu ialah air yang oleh Allah dijadikan unsur pokok dalam menciptakan makhluk yang hidup sebagaimana firman-Nya:

Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi keduanya dahulunya menyatu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya; dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; maka mengapa mereka tidak beriman? (al-Anbiya'/21: 30)

Kemudian Allah menerangkan bahwa tujuan penciptaan langit dan bumi dalam enam masa, dan adanya 'Arasy di atas air, yang jadi unsur pokok dari semua makhluk yang hidup adalah untuk menguji siapa di antara manusia yang lebih baik perbuatannya. Allah telah menyediakan semua yang berada di bumi ini untuk dimanfaatkan manusia, sebagaimana firman-Nya:

Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu. (al-Baqarah/2: 29)

Semua manusia yang berada di atas permukaan bumi diperintahkan supaya berusaha dengan segala kemampuan dan kesanggupannya, untuk mengambil manfaat isi alam, untuk menggali manfaat alam semesta ini, yang ada di bumi, di lautan dan di udara seperti barang tambang yang terdapat di perut bumi, di dasar laut dan sebagainya, supaya digali manfaatnya semaksimal mungkin, untuk dimanfaatkan oleh seluruh umat manusia, sebagai anugerah dari Allah Rabbul 'alamin.

Allah menciptakan langit dan bumi sebagai ujian bagi manusia siapakah di antara mereka yang paling kuat imannya dan paling baik amalannya, yang paling berjasa untuk kemanusiaan, siapa yang paling menonjol keterampilannya, siapa yang paling tinggi hasil produksinya, siapa yang paling jujur dan ikhlas dalam usahanya, dan sebagainya. Tentulah Allah tidak hanya menguji saja, akan tetapi akan memperhatikan pula hasil ujiannya, dan memberi pahala yang seimbang dengan jasanya. Balasan Allah itu diberikan setelah hari Kiamat. Akan tetapi, jika Nabi Muhammad berkata kepada kaum musyrikin di kota Mekah bahwa mereka akan dibangkitkan setelah mati untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya ketika di dunia, maka mereka akan menjawab, "Apa yang kamu kemukakan dari Al-Qur'an itu hanyalah sihir belaka, untuk menekan kami dan untuk mencegah kami dari kenikmatan dan kelezatan dunia."

Ayat 8

وَلَىِٕنْ اَخَّرْنَا عَنْهُمُ الْعَذَابَ اِلٰٓى اُمَّةٍ مَّعْدُوْدَةٍ لَّيَقُوْلُنَّ مَا يَحْبِسُهٗ ۗ اَلَا يَوْمَ يَأْتِيْهِمْ لَيْسَ مَصْرُوْفًا عَنْهُمْ وَحَاقَ بِهِمْ مَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ ࣖ

wa la'in akhkharnā ‘anhumul-‘ażāba ilā ummatim ma‘dūdatil layaqūlunna mā yaḥbisuh(ū), alā yauma ya'tīhim laisa maṣrūfan ‘anhum wa ḥāqa bihim mā kānū bihī yastahzi'ūn(a).

Dan sungguh, jika Kami tangguhkan azab terhadap mereka sampai waktu yang ditentukan, niscaya mereka akan berkata, “Apakah yang menghalanginya?” Ketahuilah, ketika azab itu datang kepada mereka, tidaklah dapat dielakkan oleh mereka. Mereka dikepung oleh (azab) yang dahulu mereka memperolok-olokkannya.

Dari jawaban orang musyrik ini, jelas bahwa mereka hanyalah mengikuti adanya kehidupan di dunia saja; sedang kehidupan yang ada di akhirat, mereka dustakan. Jika Allah menunda datangnya azab yang telah diancamkan oleh Rasul-Nya kepada mereka sampai kepada waktu yang telah ditentukan, mereka mencemooh dan berkata, "Apakah gerangan yang menghalang-halangi datangnya azab itu kepada kami, jika benar azab itu akan datang."

Allah mengancam bahwa azab itu pasti datang, pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah sendiri, dan nanti bila azab itu datang, maka tidak ada yang memalingkannya, dan tidak ada seorang pun yang dapat menahan atau menolaknya. Mereka akan dikepung dari segala penjuru oleh azab, yang selalu mereka perolok-olokkan.

Ayat 9

وَلَىِٕنْ اَذَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنٰهَا مِنْهُۚ اِنَّهٗ لَيَـُٔوْسٌ كَفُوْرٌ

wa la'in ażaqnal-insāna minnā raḥmatan ṡumma naza‘nāhā ‘anh(u), innahū laya'ūsun kafūr(un).

Dan jika Kami berikan rahmat Kami kepada manusia, kemudian (rahmat itu) Kami cabut kembali, pastilah dia menjadi putus asa dan tidak berterima kasih.

Allah menjelaskan jika Allah memberikan kepada manusia suatu macam nikmat, sebagai karunia-Nya seperti kemurahan rezeki, keuntungan dalam perdagangan, kesehatan badan, keamanan dalam negeri, dan anak-anak yang saleh, kemudian Allah mencabut nikmat-nikmat itu, maka manusia segera berubah tabiatnya menjadi orang yang putus asa. Mereka hanya memperlihatkan keingkaran dan tidak lagi menghargai nikmat-nikmat yang masih ada padanya. Di samping putus asa akan hilangnya nikmat itu, mereka juga ingkar kepada nikmat-nikmat yang masih ada padanya. Hal itu disebabkan karena ia tidak memiliki dua sifat yang utama yaitu kesabaran dan kesyukuran.

Ayat 10

وَلَىِٕنْ اَذَقْنٰهُ نَعْمَاۤءَ بَعْدَ ضَرَّاۤءَ مَسَّتْهُ لَيَقُوْلَنَّ ذَهَبَ السَّيِّاٰتُ عَنِّيْ ۗاِنَّهٗ لَفَرِحٌ فَخُوْرٌۙ

wa la'in ażaqnāhu na‘mā'a ba‘da ḍarrā'a massathu layaqūlanna żahabas-sayyi'ātu ‘annī, innahū lafariḥun fakhūr(un).

Dan jika Kami berikan kebahagiaan kepadanya setelah ditimpa bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata, “Telah hilang bencana itu dariku.” Sesungguhnya dia (merasa) sangat gembira dan bangga,

Jika Allah menghindarkan manusia dari kemudaratan yang telah menimpa dirinya, dan menggantinya dengan beberapa kenikmatan seperti sembuh dari sakit, bertambah tenaga dan kekuatan, terlepas dari kesulitan, selamat dari ketakutan, maka ia berkata, "Telah hilang dariku musibah dan penderitaan yang tidak akan kembali lagi."

Musibah dan penderitaan itu tidak lain hanya seperti awan di musim kemarau yang akan segera hilang. Mereka mengucapkan kata-kata yang demikian itu dengan penuh kesombongan dan kebanggaan. Mereka merasa lebih berbahagia dari semua orang yang berada di sekitarnya. Pada dasarnya mereka tidak menerima nikmat-nikmat Allah dengan bersyukur bahkan sebaliknya mereka bersikap sombong dan takabur.

Ayat 11

اِلَّا الَّذِيْنَ صَبَرُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِۗ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّاَجْرٌ كَبِيْرٌ

illal-lażīna ṣabarū wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāt(i), ulā'ika lahum magfiratuw wa ajrun kabīr(un).

kecuali orang-orang yang sabar, dan mengerjakan kebajikan, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar.

Kemudian Allah mengecualikan dari orang-orang yang bersifat seperti tersebut di atas, beberapa orang yang sabar yang selalu berbuat kebajikan. Mereka itu berlaku sabar ketika ditimpa musibah, beriman kepada Allah, mengharapkan pahala-Nya, dan berbuat amal saleh ketika musibahnya itu telah diganti dengan kenikmatan, serta mensyukuri nikmat itu dengan mengamalkan berbagai amal kebajikan untuk mencapai keridaan Allah, mereka akan mendapat ampunan dari Allah dan pahala yang besar di akhirat nanti, sebagaimana tercantum dalam firman-Nya:

Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. (al-Ashr/103: 1- 3)

Ayat 12

فَلَعَلَّكَ تَارِكٌۢ بَعْضَ مَا يُوْحٰىٓ اِلَيْكَ وَضَاۤىِٕقٌۢ بِهٖ صَدْرُكَ اَنْ يَّقُوْلُوْا لَوْلَآ اُنْزِلَ عَلَيْهِ كَنْزٌ اَوْ جَاۤءَ مَعَهٗ مَلَكٌ ۗ اِنَّمَآ اَنْتَ نَذِيْرٌ ۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ وَّكِيْلٌ ۗ

fa la‘allaka tārikum ba‘ḍa mā yūḥā ilaika wa ḍā'ikum bihī ṣadruka ay yaqūlū lau lā unzila ‘alaihi kanzun au jā'a ma‘ahū malak(un), innamā anta nażīr(un), wallāhu ‘alā kulli syai'in wakīl(un).

Maka boleh jadi engkau (Muhammad) hendak meninggalkan sebagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan dadamu sempit karenanya, karena mereka akan mengatakan, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya harta (kekayaan) atau datang bersamanya malaikat?” Sungguh, engkau hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah pemelihara segala sesuatu.

Pada ayat ini, Allah swt menegur Nabi Muhammad saw apakah ia meninggalkan sebagian wahyu yang diturunkan kepadanya, ataukah dadanya menjadi sempit karena ucapan orang-orang musyrik yang meminta tanda bukti atas kerasulannya. Tuntutan mereka itu ialah jika ia benar-benar nabi, mengapa tidak diturunkan kepadanya harta benda (kekayaan) atau mengapa tidak datang kepadanya beberapa malaikat yang meyakinkan kerasulannya. Ucapan semacam itu diterangkan pula dalam firman Allah yang lain:

Dan mereka berkata, "Mengapa Rasul (Muhammad) ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa malaikat tidak diturunkan kepadanya (agar malaikat) itu memberikan peringatan bersama dia, atau (mengapa tidak) diturunkan kepadanya harta kekayaan atau (mengapa tidak ada) kebun baginya, sehingga dia dapat makan dari (hasil)nya?" (al-Furqan/25: 7-8)

Ucapan yang semacam itu yang berisi keingkaran dan cemoohan yang menimbulkan kesempitan dada pada orang yang dihadapinya juga dialami oleh Nabi Muhammad sendiri. Pada awalnya dikhawatirkan beliau akan terpengaruh oleh ucapan-ucapan semacam itu, sehingga beliau akan meninggalkan sebagian wahyu yang telah diwahyukan kepadanya. Akan tetapi Nabi Muhammad terpelihara dari tindakan seperti itu dan beliau tetap konsekuen melaksanakan risalahnya dengan sempurna sesuai dengan firman Allah:

Dan sekiranya Kami tidak memperteguh (hati)mu, niscaya engkau hampir saja condong sedikit kepada mereka. (al-Isra/17: 74)

Demikian pula firman Allah:

Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran). (al-Kahf/18: 6)

Allah menjelaskan bahwa kedudukan Rasul hanyalah sebagai seorang pemberi peringatan dan tugas beliau hanya sekadar menyampaikan perintah Allah kepada umatnya. Di akhir ayat Allah menyatakan bahwa Dia selalu memelihara segala urusan hamba-Nya.

Ayat 13

اَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرٰىهُ ۗقُلْ فَأْتُوْا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِّثْلِهٖ مُفْتَرَيٰتٍ وَّادْعُوْا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

am yaqūlūnaftarāh(u), qul fa'tū bi‘asyri suwarim miṡlihī muftarayātiw wad‘ū manistaṭa‘tum min dūnillāhi in kuntum ṣādiqīn(a).

Bahkan mereka mengatakan, “Dia (Muhammad) telah membuat-buat Al-Qur'an itu.” Katakanlah, “(Kalau demikian), datangkanlah sepuluh surah semisal dengannya (Al-Qur'an) yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang sanggup selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”

Orang-orang kafir Mekah menuduh bahwa Muhammad itu telah menciptakan Al-Quran. Mereka menuduh bahwa Al-Quran itu bukan wahyu dari Allah, akan tetapi semata-mata buatan Muhammad belaka. Maka Nabi Muhammad diperintahkan untuk menantang orang-orang kafir Quraisy, termasuk pula orang-orang yang meragukan bahwa Al-Quran itu sebagai firman Allah, untuk membuat sepuluh surah yang sama dengan Al-Quran yang isinya mencakup hukum-hukum (syariat) kemasyarakatan, hikmat-hikmat, nasihat-nasihat, berita-berita yang gaib tentang umat-umat yang terdahulu dan berita-berita yang gaib tentang peristiwa yang akan datang, dengan susunan kata-kata yang sangat indah dan halus, sukar ditiru oleh siapa pun karena ketinggian bahasanya yang mempunyai pengaruh yang sangat mendalam kepada jiwa setiap orang yang membaca dan mendengarnya. Sesudah itu dijelaskan bahwa mereka telah mengenal Muhammad. Beliau telah bergaul berpuluh-puluh tahun di tengah-tengah mereka, dan mereka tidak pernah mendapatkan beliau berdusta atau menyalahi janji sehingga mendapat gelar al-Amin. Dengan sifat yang sudah terkenal kejujurannya sejak sebelum diangkat menjadi nabi, tidak wajar apabila beliau tiba-tiba berubah menjadi penipu atau pendusta seperti yang mereka tuduhkan, yaitu mengada-adakan Al-Quran dan mengatakannya dari Allah.

Seorang sastrawan, bagaimana pun pandainya dan mahirnya membuat suatu karangan, tentu dapat saja ditiru atau diimbangi oleh sastrawan yang lain. Akan tetapi, orang musyrikin tidak mampu menciptakan surah-surah yang sama dengan Al-Quran, padahal mereka, sebagai pemimpin Quraisy, termasuk pujangga, ahli bahasa, dan sastrawan ulung, karena hasil karya kesusastraan mereka dalam bentuk syair sering dipamerkan bahkan dipertandingkan dalam gelanggang musabaqah keindahan bahasa di pasar Ukadh, dzul Majaz, dan Majannah. Jika mereka secara sendiri-sendiri ternyata tidak mampu mengemukakan surah-surah yang sama seperti Al-Quran, maka mereka dipersilahkan mengundang orang-orang yang sanggup membantu mereka jika mereka memang orang-orang yang benar.

Ayat 14

فَاِلَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكُمْ فَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَآ اُنْزِلَ بِعِلْمِ اللّٰهِ وَاَنْ لَّآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ۚفَهَلْ اَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ

fa illam yastajībū lakum fa‘lamū annamā unzila bi‘ilmillāhi wa allā ilāha illā huw(a), fahal antum muslimūn(a).

Maka jika mereka tidak memenuhi tantanganmu, maka (katakanlah), “Ketahuilah, bahwa (Al-Qur'an) itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwa tidak ada tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (masuk Islam)?”

Ayat ini menjelaskan bahwa jika orang musyrik tidak mampu memenuhi tantangan Rasul, padahal mereka itu ahli bahasa dan ahli sastra yang ulung, maka ketahuilah bahwasanya Al-Quran itu bukan buatan Muhammad, tetapi semata-mata diturunkan oleh Allah atas kehendak-Nya, supaya disampaikan oleh Muhammad kepada sekalian umatnya. Ketahuilah pula bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah dengan sebenarnya melainkan Dia, sebab hanya Allah yang mengetahui segala perkara yang gaib, yang tidak mempunyai tandingan atau sekutu dalam melaksanakan kekuasaan-Nya.

Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar mereka berserah diri kepada Allah setelah mereka mengetahui bukti yang sangat kuat itu dan agar mereka menerima Islam sebagai agama.

Ayat 15

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا وَزِيْنَتَهَا نُوَفِّ اِلَيْهِمْ اَعْمَالَهُمْ فِيْهَا وَهُمْ فِيْهَا لَا يُبْخَسُوْنَ

man kāna yurīdul-ḥayātad-dun-yā wa zīnatahā nuwaffi ilaihim a‘mālahum fīhā wa hum fīhā lā yubkhasūn(a).

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan.

Barang siapa yang menginginkan kesenangan hidup di dunia seperti makanan, minuman, perhiasan, pakaian, perabot rumah tangga, binatang ternak, dan anak-anak tanpa mengadakan persiapan untuk kehidupan di akhirat, seperti beramal kebajikan, membersihkan diri dari berbagai sifat yang tercela, maka Allah akan memberikan kepada mereka apa yang mereka inginkan sesuai dengan sunnatullah atau ketentuan Allah. Dia tidak akan mengurangi sedikit pun dari hasil usaha mereka itu, karena untuk memperoleh rezeki tersebut terkait dengan usaha seseorang.

Hasil usaha mereka di dunia itu tergantung kepada usaha mereka dan sunnatullah dalam kehidupan, sedang amal-amal keakhiratan, balasannya ditentukan oleh Allah Taala sendiri tanpa perantara seorang pun.

Ayat 16

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا النَّارُ ۖوَحَبِطَ مَا صَنَعُوْا فِيْهَا وَبٰطِلٌ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

ulā'ikal-lażīna laisa lahum fil-ākhirati illan-nār(u), wa ḥabiṭa mā ṣana‘ū fīhā wa bāṭilum mā kānū ya‘malūn(a).

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.

Orang-orang yang amalnya hanya diniatkan sekadar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan tidak diniatkan sebagai persiapan untuk menghadapi akhirat, tidak memperoleh apa pun kecuali neraka. Mereka berusaha di dunia bukan karena dorongan iman pada Allah dan bukan untuk membersihkan diri dari dosa dan kejahatan dan bukan pula untuk mengejar keutamaan dan takwa, akan tetapi semata-mata untuk memenuhi keinginan hawa nafsu sepuas-puasnya. Itulah sebabnya Allah menjadikan apa yang telah mereka kerjakan di dunia sia-sia belaka.

Allah berfirman:

Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahanam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik. (al-Isra/17: 18-19)

Allah berfirman:

Barang siapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya dan barang siapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat. (asy-Syura/42: 20)

Ayat 17

اَفَمَنْ كَانَ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّهٖ وَيَتْلُوْهُ شَاهِدٌ مِّنْهُ وَمِنْ قَبْلِهٖ كِتٰبُ مُوْسٰىٓ اِمَامًا وَّرَحْمَةًۗ اُولٰۤىِٕكَ يُؤْمِنُوْنَ بِهٖ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِهٖ مِنَ الْاَحْزَابِ فَالنَّارُ مَوْعِدُهٗ فَلَا تَكُ فِيْ مِرْيَةٍ مِّنْهُ اِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكَ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُوْنَ

afaman kāna ‘alā bayyinatim mir rabbihī wa yatlūhu syāhidum minhu wa min qablihī kitābu mūsā imāmaw wa raḥmah(tan), ulā'ika yu'minūna bih(ī), wa may yakfur bihī minal-aḥzābi fan-nāru mau‘iduhū falā taku fī miryatim minhu innahul-ḥaqqu mir rabbika wa lākinna akṡaran-nāsi lā yu'minūn(a).

Maka apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang yang sudah mempunyai bukti yang nyata (Al-Qur'an) dari Tuhannya, dan diikuti oleh saksi dari-Nya dan sebelumnya sudah ada pula Kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat? Mereka beriman kepadanya (Al-Qur'an). Barangsiapa mengingkarinya (Al-Qur'an) di antara kelompok-kelompok (orang Quraisy), maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya, karena itu janganlah engkau ragu terhadap Al-Qur'an. Sungguh, Al-Qur'an itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.

Kemudian Allah menjelaskan bahwa nasib orang-orang kafir yang tersesat itu tidak sama dengan orang-orang yang berada di bawah cahaya yang terang-benderang yang datang dari Allah dan dibimbing pula oleh petunjuk-petunjuk-Nya yang membuktikan kebenaran agamanya yaitu Al-Quran. Kebenaran itu juga didukung oleh bukti-bukti yang lain yang datang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat yang diturunkan kepada Musa sebagai landasan iman yang menjadi rahmat bagi orang yang mempercayainya di kalangan Bani Israil. Orang-orang yang mempunyai sifat yang demikian utamanya itu tentu tidak sama dengan orang-orang yang hanya mengejar kehidupan dunia yang fana, dan tidak sama pula dengan orang yang mengutamakan kehidupan kerohanian saja untuk mencapai kebahagiaan di akhirat.

Barang siapa memperhatikan beberapa segi keutamaan yang tersebut dalam ayat ini, mereka itulah orang-orang yang beriman, yang menghimpun antara dalil-dalil yang nyata dan dalil-dalil yang diambil dari kitab lain. Mereka meyakini bahwa Al-Quran itu bukan buatan Muhammad akan tetapi semata-mata wahyu dan firman Allah.

Karena itu jangan sampai ada yang meragukan kebenaran Al-Quran itu. Al-Quran tidak mengandung kebatilan, baik ayat-ayatnya yang pertama turun, hingga yang terakhir. Dia adalah firman Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Terpuji. Tetapi amat disayangkan bahwa kebanyakan manusia tidak beriman kepadanya. Adapun orang-orang musyrik tidak mau beriman disebabkan oleh kesombongan para pemuka-pemukanya dan karena taklid buta dari pengikut-pengikutnya terhadap ajaran nenek moyang mereka yang sesat. Demikian pula ahli kitab, karena suka mengubah agama nabi-nabinya dan mengadakan berbagai macam bidah dalam agama.

Ayat 18

وَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرٰى عَلَى اللّٰهِ كَذِبًاۗ اُولٰۤىِٕكَ يُعْرَضُوْنَ عَلٰى رَبِّهِمْ وَيَقُوْلُ الْاَشْهَادُ هٰٓؤُلَاۤءِ الَّذِيْنَ كَذَبُوْا عَلٰى رَبِّهِمْۚ اَلَا لَعْنَةُ اللّٰهِ عَلَى الظّٰلِمِيْنَ ۙ

wa man aẓlamu mimmaniftarā ‘alallāhi każibā(n), ulā'ika yu‘raḍūna ‘alā rabbihim wa yaqūlul-asyhādu hā'ulā'il-lażīna każabū ‘alā rabbihim, alā la‘natullāhi ‘alaẓ-ẓālimīn(a).

Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan suatu kebohongan terhadap Allah? Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka, dan para saksi akan berkata, “Orang-orang inilah yang telah berbohong terhadap Tuhan mereka.” Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) kepada orang yang zalim,

Allah swt menjelaskan bahwa orang-orang yang paling aniaya terhadap dirinya dan terhadap orang lain ialah mereka yang berbuat dusta kepada Allah dengan ucapan dan perbuatan yakni mereka yang mendustakan hukum Allah dan sifat-sifat-Nya atau yang mengangkat pemimpin-pemimpin mereka sebagai penolong-penolong yang dapat memberi syafaat di akhirat tanpa izin Allah, atau mereka yang beranggapan bahwa Allah mempunyai anak seperti anggapan orang-orang Arab Jahiliyah bahwa malaikat-malaikat itu anak-anak perempuan Allah dan anggapan orang-orang Nasrani bahwa Nabi Isa a.s. itu anak Allah, atau mereka yang mendustakan rasul-rasul Allah dengan maksud menghalangi manusia beriman. Pada hari Kiamat segala amal perbuatan mereka akan dihadapkan ke hadirat Allah untuk diadili. Ketika itu, para malaikat, para nabi, dan orang-orang mukmin yang saleh akan tampil sebagai saksi bahwa mereka adalah orang-orang yang membuat dusta terhadap Allah. Dengan persaksian itu, akan terbongkarlah kepalsuan-kepalsuan mereka, dan mereka akan dikutuk oleh Allah sebagai balasan dari kezaliman mereka.

Allah berfirman:

(Yaitu) hari ketika permintaan maaf tidak berguna bagi orang-orang zalim dan mereka mendapat laknat dan tempat tinggal yang buruk. (al-Mumin/40: 52)

Ayat 19

الَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَيَبْغُوْنَهَا عِوَجًاۗ وَهُمْ بِالْاٰخِرَةِ هُمْ كفِٰرُوْنَ

al-lażīna yaṣuddūna ‘an sabīlillāhi wa yabgūnahā ‘iwajā(n), wa hum bil-ākhirati hum kāfirūn(a).

(yaitu) mereka yang menghalangi dari jalan Allah dan menghendaki agar jalan itu bengkok. Dan mereka itulah orang yang tidak percaya adanya hari akhirat.

Kemudian Allah swt menjelaskan bahwa sesungguhnya orang-orang yang zalim itu ialah yang menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dan memalingkan mereka dari agama yang benar dan jalan yang lurus. Mereka berusaha menyesatkan manusia dengan cara mengajak mereka kepada agama yang menyimpang agar mereka lari menjauhkan diri dari agama yang benar. Mereka sengaja berbuat demikian, karena pada dasarnya mereka tidak percaya pada hari akhirat.

Allah berfirman:

Orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan demi siksaan disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan. (an-Nahl/16: 88)

Ayat 20

اُولٰۤىِٕكَ لَمْ يَكُوْنُوْا مُعْجِزِيْنَ فِى الْاَرْضِ وَمَا كَانَ لَهُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ مِنْ اَوْلِيَاۤءَ ۘ يُضٰعَفُ لَهُمُ الْعَذَابُ ۗمَا كَانُوْا يَسْتَطِيْعُوْنَ السَّمْعَ وَمَا كَانُوْا يُبْصِرُوْنَ

ulā'ika lam yakūnū mu‘jizīna fil-arḍi wa mā kāna lahum min dūnillāhi min auliyā'(a), yuḍā‘afu lahumul-‘ażāb(u), mā kānū yastaṭī‘ūnas-sam‘a wa mā kānū yubṣirūn(a).

Mereka tidak mampu menghalangi (siksaan Allah) di bumi, dan tidak akan ada bagi mereka penolong selain Allah. Azab itu dilipatgandakan kepada mereka. Mereka tidak mampu mendengar (kebenaran) dan tidak dapat melihat(nya).

Allah swt menjelaskan bahwa mereka yang menghalang-halangi manusia menuju jalan Allah, tidak akan dapat melarikan diri dari siksa Allah, walaupun mereka lari ke penjuru bumi yang mana pun. Bilamana azab itu datang menimpa mereka, mereka pasti berada dalam genggaman malaikat dan tidak ada seorang pun yang dapat menolong atau menyelamatkan mereka dari azab itu, bahkan azab Allah akan ditimpakan dua kali lipat; pertama karena kesesatannya dan kedua karena menyesatkan orang lain. Dan juga karena mereka tidak mau mendengarkan seruan Al-Quran dan melihat kebenaran, karena dirinya telah diliputi oleh akidah yang sesat, kemusyrikan, dan kezaliman, bahkan mereka bersikap negatif terhadap seruan Al-Quran, sebagaimana dijelaskan Allah:

Dan orang-orang yang kafir berkata, "Janganlah kamu mendengarkan (bacaan) Al-Quran ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya, agar kamu dapat mengalahkan (mereka)." (Fushshilat/41: 26)

Ayat 21

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ خَسِرُوْٓا اَنْفُسَهُمْ وَضَلَّ عَنْهُمْ مَّا كَانُوْا يَفْتَرُوْنَ

ulā'ikal-lażīna khasirū anfusahum wa ḍalla ‘anhum mā kānū yaftarūn(a).

Mereka itulah orang yang merugikan dirinya sendiri, dan lenyaplah dari mereka apa yang selalu mereka ada-adakan.

Sesudah itu Allah swt menjelaskan bahwa mereka yang mempunyai sifat seperti itu adalah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri. Mereka disingkirkan dari rahmat Allah, karena membuat-buat dusta, menukar petunjuk dengan kesesatan, dan menyembah berhala, yang sama sekali tidak dapat memberi mudarat atau manfaat, sehingga hilang lenyaplah dari mereka apa yang selalu mereka harap-harapkan.

Allah berfirman:

Dan barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, dialah yang mendapat petunjuk, dan barang siapa Dia sesatkan, maka engkau tidak akan mendapatkan penolong-penolong bagi mereka selain Dia. Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari Kiamat dengan wajah tersungkur, dalam keadaan buta, bisu, dan tuli. Tempat kediaman mereka adalah neraka Jahanam. Setiap kali nyala api Jahanam itu akan padam, Kami tambah lagi nyalanya bagi mereka. (al-Isra/17: 97)

Ayat 22

لَاجَرَمَ اَنَّهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ هُمُ الْاَخْسَرُوْنَ

lā jarama annahum fil-ākhirati humul-akhsarūn(a).

Pasti mereka itu (menjadi) orang yang paling rugi di akhirat.

Orang-orang yang disebutkan ciri-cirinya dalam ayat sebelumnya, menjadi orang-orang yang paling rugi di akhirat, karena telah menukar kenikmatan surga dengan api neraka yang sangat panas, menukar minuman yang lezat dengan minuman yang membakar, dan meninggalkan hidup senang dan bahagia dengan hidup menderita dalam neraka, yang penuh dengan azab yang tidak ada putus-putusnya.

Ayat 23

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَاَخْبَتُوْٓا اِلٰى رَبِّهِمْۙ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

innal-lażīna āmanū wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti wa akhbatū ilā rabbihim, ulā'ika aṣḥābul-jannati hum fīhā khālidūn(a).

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan dan merendahkan diri kepada Tuhan, mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.

Berlainan sekali dengan nasib orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Mereka selalu berserah diri kepada Allah dengan patuh dan taat kepada-Nya dan kepada rasul-Nya, mengerjakan berbagai kebajikan di dunia, melaksanakan ketaatan pada Allah dengan tulus ikhlas dan meninggalkan segala yang mungkar. Mereka itu adalah penghuni-penghuni surga yang tidak akan keluar lagi darinya, dan mereka tidak akan mati, bahkan kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.

Ayat 24

۞ مَثَلُ الْفَرِيْقَيْنِ كَالْاَعْمٰى وَالْاَصَمِّ وَالْبَصِيْرِ وَالسَّمِيْعِۗ هَلْ يَسْتَوِيٰنِ مَثَلًا ۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ ࣖ

maṡalul-farīqaini kal-a‘mā wal-aṣammi wal-baṣīri was-samī‘(i), hal yastawiyāni maṡalā(n), afalā tażakkarūn(a).

Perumpamaan kedua golongan (orang kafir dan mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Samakah kedua golongan itu? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran?

Dalam ayat ini, Allah swt menjelaskan bahwa perumpamaan kedua golongan itu, yaitu golongan orang-orang kafir dan orang-orang mukmin, adalah seperti orang buta dan tuli dengan orang-orang yang melihat dan mendengar. Orang tuli yang kehilangan indera pendengarannya tentu tidak dapat menangkap ilmu pengetahuan yang menjadi unsur pembeda antara manusia dengan hewan, dan orang yang buta karena kehilangan penglihatan tentu tidak dapat menyaksikan kebenaran yang dilihatnya. Demikian pula orang yang kafir yang diserupakan dengan orang buta dan tuli itu, tentu saja tidak dapat disamakan dengan orang mukmin yang dapat mempergunakan kedua inderanya dengan sempurna.

Hal ini layak menjadi pelajaran yang berkesan mendalam dalam hati sanubari manusia sehingga setiap orang akan berusaha untuk dapat memanfaatkan penglihatan dan pendengarannya secara maksimal baik lahir maupun batin.

Ayat 25

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖٓ اِنِّيْ لَكُمْ نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ ۙ

wa laqad arsalnā nūḥan ilā qaumihī innī lakum nażīrum mubīn(un).

Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata), “Sungguh, aku ini adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu,

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa Dia telah mengutus Nabi Nuh a.s. kepada kaumnya yang ingkar dan durhaka kepada Tuhan dengan menyembah berhala. Nabi Nuh berkata kepada mereka, "Sesungguhnya aku memberi peringatan dari Allah, supaya kamu meninggalkan syirik dan beriman serta taat kepada-Nya."

Nama Nabi Nuh a.s. sebenarnya adalah Abdul Gaffar bin Lamak bin Mutausyilkh bin Idris a.s. dan diutus sebagai nabi setelah Nabi Idris a.s. Namanya yang terkenal adalah Nuh karena banyak merintih, yang menggambarkan banyaknya kesulitan yang dihadapi dalam melaksanakan dakwah pada kaumnya yang musyrik. Menurut Ibnu Abbas r.a., Nabi Nuh diutus pada awal umur beliau 40 tahun dan terus-menerus melaksanakan dakwah kepada kaumnya selama 950 tahun. Nabi Nuh a.s. antara lain berkata kepada kaumnya, "Innī nadzīrun mubīn" (Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu). Maksudnya, Nabi Nuh memperingatkan kaumnya akan beratnya siksaan Allah yang akan menimpa mereka karena kekafiran mereka. Maka Nabi Nuh menyuruh kaumnya agar beriman dan taat kepada-Nya.

Ayat 26

اَنْ لَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّا اللّٰهَ ۖاِنِّيْٓ اَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ اَلِيْمٍ

allā ta‘budū illallāh(a), innī akhāfu ‘alaikum ‘ażāba yaumin alīm(in).

agar kamu tidak menyembah selain Allah. Aku benar-benar khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat pedih.”

Peringatan ini dijelaskan dengan kata-kata, "Supaya kamu sekalian jangan menyembah kecuali kepada Allah, dan jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, dan aku khawatir jika kamu melanggar dasar agama itu, kamu akan ditimpa azab yang pedih sekali."

Pada ayat ini diungkapkan peringatan Nabi Nuh a.s. kepada kaumnya, ketika ia berkata, "Hendaklah kamu semua tidak beribadah kecuali kepada Allah, dan jangan kamu menyekutukan-Nya. Sungguh aku khawatir karena kamu semua banyak melakukan pelanggaran terhadap aturan agama, sehingga kamu akan ditimpa azab yang pedih."

Kaum Nuh adalah umat yang pertama kali menyembah berhala dan mengadakan kemusyrikan. Nabi Nuh sendiri adalah rasul yang pertama menghadapi orang-orang musyrik, yang diutus Allah kepada kaumnya. Peringatan Nabi Nuh itu didasarkan atas kekhawatirannya, jika kaumnya tidak bertauhid kepada Allah, dan tidak meninggalkan semua bentuk kemusyrikan, mereka akan ditimpa azab yang sangat pedih. Akan tetapi kaum Nabi Nuh menentang seruan nabinya dengan empat alasan yang dibuat-buat sebagaimana dikemukakan pada ayat berikutnya (ayat 27).

Ayat 27

فَقَالَ الْمَلَاُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَوْمِهٖ مَا نَرٰىكَ اِلَّا بَشَرًا مِّثْلَنَا وَمَا نَرٰىكَ اتَّبَعَكَ اِلَّا الَّذِيْنَ هُمْ اَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِۚ وَمَا نَرٰى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍۢ بَلْ نَظُنُّكُمْ كٰذِبِيْنَ

fa qālal-mala'ul-lażīna kafarū min qaumihī mā narāka illā basyaram miṡlanā wa mā narākattaba‘aka illal-lażīna hum arāżilunā bādiyar-ra'y(i), wa mā narā lakum ‘alainā min faḍlim bal naẓunnukum kāżibīn(a).

Maka berkatalah para pemuka yang kafir dari kaumnya, “Kami tidak melihat engkau, melainkan hanyalah seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang yang mengikuti engkau, melainkan orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya. Kami tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami menganggap kamu adalah orang pendusta.”

Pertama, para pemimpinnya berkata, "Kami memandang kamu sebagai manusia biasa, sederajat saja dengan kami. Kamu tidak mempunyai kelebihan apa-apa daripada kami, sehingga kami tidak perlu mengikuti kamu, apalagi mengakui kamu sebagai seorang utusan Allah."

Kedua, "Kami melihat pengikutmu adalah orang hina, rakyat biasa saja, seperti petani, kaum buruh, dan pekerja harian yang tidak mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat. Mereka lekas percaya dan terpengaruh begitu saja tanpa pertimbangan akal."

Ketiga, "Kami tidak melihat kamu dan pengikut-pengikut kamu mempunyai kelebihan ilmu pengetahuan atau kekayaan yang dapat dibanggakan, yang mendorong kami untuk mengikuti seruanmu."

Keempat: "Kami yakin bahwa pengakuanmu sebagai utusan Allah adalah semata-mata dusta."

Ayat 28

قَالَ يٰقَوْمِ اَرَءَيْتُمْ اِنْ كُنْتُ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّيْ وَاٰتٰىنِيْ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِهٖ فَعُمِّيَتْ عَلَيْكُمْۗ اَنُلْزِمُكُمُوْهَا وَاَنْتُمْ لَهَا كٰرِهُوْنَ

qāla yā qaumi ara'aitum in kuntu ‘alā bayyinatim mir rabbī wa ātānī raḥmatam min ‘indihī fa ‘ummiyat ‘alaikum, anulzimukumūhā wa antum lahā kārihūn(a).

Dia (Nuh) berkata, ”Wahai kaumku! Apa pendapatmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan aku diberi rahmat dari sisi-Nya, sedangkan (rahmat itu) disamarkan bagimu. Apa kami akan memaksa kamu untuk menerimanya, padahal kamu tidak menyukainya?

Nabi Nuh a.s. bertanya, "Hai kaumku, bagaimana pendapatmu jika aku mengemukakan hujjah yang nyata sekali kebenarannya dari Tuhanku, dan bukan sekali-kali dari diriku sendiri, dan bukan pula karena jasaku sendiri, sebagai seorang manusia yang istimewa, akan tetapi karena aku diberi rahmat oleh Tuhanku, yaitu kenabian, yang tidak dapat kamu melihatnya karena dihalangi oleh kejahilan, kesombongan, serta kesenangan kepada pangkat dan kedudukan duniawi, maka apakah aku akan memaksa kamu untuk menerimanya, sedangkan kamu sangat membencinya? Kami tidak dapat melakukan paksaan. Terserah kepada kalian untuk menerima atau menolaknya, karena aku hanya seorang utusan Allah yang bertugas menyampaikannya."

Nabi Nuh a.s. menjelaskan apa yang tersirat dalam jawabannya yaitu walaupun mereka sama-sama manusia, namun jangan menyamaratakan semua manusia dalam segala hal ihwal keadaannya. Semua orang tidak sama watak dan tabiatnya, kecerdasan dan kemampuannya, dan kesediaan untuk menerima petunjuk dan kebenaran, apalagi dalam bidang-bidang yang secara keseluruhan dikuasai oleh Allah swt, seperti membuka hati dan menerima rahmat, atau menerima pangkat kenabian yang semuanya itu sangat samar bahkan tertutup sama sekali bagi orang-orang kafir. Nabi Nuh mengatakan, "Apa yang dapat aku kerjakan ialah menyampaikan perintah Allah. Sama sekali aku tidak mampu memaksa kamu untuk menerima kenyataan-kenyataan seperti itu. Sebagai utusan Allah, aku hanya mampu menyampaikan saja, terserah kepada kamu untuk menerima atau menolaknya, asal kamu betul-betul memahami semua akibatnya."

Ayat 29

وَيٰقَوْمِ لَآ اَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًاۗ اِنْ اَجْرِيَ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ بِطَارِدِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْاۗ اِنَّهُمْ مُّلٰقُوْا رَبِّهِمْ وَلٰكِنِّيْٓ اَرٰىكُمْ قَوْمًا تَجْهَلُوْنَ

wa yā qaumi lā as'alukum ‘alaihi mālā(n), in ajriya illā ‘alallāhi wa mā ana biṭāridil-lażīna āmanū, innahum mulāqū rabbihim wa lākinnī arākum qauman tajhalūn(a).

Dan wahai kaumku! Aku tidak meminta harta kepada kamu (sebagai imbalan) atas seruanku. Imbalanku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang yang telah beriman. Sungguh, mereka akan bertemu dengan Tuhannya, dan sebaliknya aku memandangmu sebagai kaum yang bodoh.

Nabi Nuh berkata, "Wahai kaumku, aku tidak meminta upah atau balasan apa pun atas nasihat dan seruan kepadamu itu. Aku mengajak kalian kepada ketauhidan dan ketakwaan kepada Allah, semata-mata ikhlas karena Allah, supaya kamu sekalian berbahagia di akhirat. Aku sama sekali tidak meminta atau mengharapkan pemberian upah harta benda dari kalian. Aku tahu bahwa harta benda itu sangat kamu sayangi. Aku tahu bahwa penilaian kalian terhadap seseorang itu selalu dikaitkan dengan kekayaannya. Oleh karena itu, untuk memurnikan seruanku dan untuk tidak menyinggung perasaan, aku tidak meminta apa-apa, cukuplah aku mengharapkan pahala dari Allah saja, karena Allah lah yang memberi tugas kepadaku dan aku hanya bertawakal kepada-Nya." Dan ucapan seperti itu diucapkan pula oleh rasul-rasul yang lain dalam rangka menyampaikan risalahnya kepada umat.

Kaum Nuh mengusulkan kepada Nuh, "Hai Nuh, jika kamu ingin supaya kami ikut beriman kepadamu, maka usirlah pengikutmu yang lemah dan hina itu, karena kami tidak pantas duduk bersama mereka dalam suatu majelis." Nabi Nuh a.s. menjawab, "Aku tidak akan mengusir mereka, karena mereka sungguh-sungguh akan bertemu dengan Tuhannya, dan mereka hanya akan ditanya tentang amalnya, bukan soal pangkat atau keturunannya, dan itulah yang tidak kamu ketahui." Ucapan Nabi Nuh a.s. itu dijelaskan pula dalam ayat lain yaitu firman Allah swt:

Mereka berkata, "Apakah kami harus beriman kepadamu, padahal pengikut-pengikutmu orang-orang yang hina?" Dia (Nuh) menjawab, "Tidak ada pengetahuanku tentang apa yang mereka kerjakan. Perhitungan (amal perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Tuhanku, jika kamu menyadari. Dan aku tidak akan mengusir orang-orang yang beriman. Aku (ini) hanyalah pemberi peringatan yang jelas." (asy-Syuara/26: 111-115)

Ayat 30

وَيٰقَوْمِ مَنْ يَّنْصُرُنِيْ مِنَ اللّٰهِ اِنْ طَرَدْتُّهُمْ ۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ

wa yā qaumi may yanṣurunī minallāhi in ṭarattuhum, afalā tażakkarūn(a).

Dan wahai kaumku! Siapakah yang akan menolongku dari (azab) Allah jika aku mengusir mereka. Tidakkah kamu mengambil pelajaran?

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan tentang ketegasan Nabi Nuh yang berseru kepada kaumnya yang menginginkan agar Nabi Nuh mengusir para pengikutnya yang beriman, "Wahai kaumku, tidak ada seorang pun yang dapat menolak siksaan Allah, jika aku mengusir mereka yang telah beriman dan mengikuti seruanku, karena hal itu termasuk suatu kezaliman yang berat sekali, yang pasti akan dibalas dengan azab yang berat pula. Apakah kamu tidak sadar dan mengambil pelajaran? Mereka itu mempunyai Tuhan yang pasti akan menolongnya, dan yang mengusir mereka pasti akan binasa." Permintaan pengusiran para pengikut yang telah beriman tidak hanya diterima atau dialami oleh Nabi Nuh, tetapi juga oleh nabi-nabi lain, tidak terkecuali Nabi Muhammad saw.

Ayat 31

وَلَآ اَقُوْلُ لَكُمْ عِنْدِيْ خَزَاۤىِٕنُ اللّٰهِ وَلَآ اَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَآ اَقُوْلُ اِنِّيْ مَلَكٌ وَّلَآ اَقُوْلُ لِلَّذِيْنَ تَزْدَرِيْٓ اَعْيُنُكُمْ لَنْ يُّؤْتِيَهُمُ اللّٰهُ خَيْرًا ۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ ۚاِنِّيْٓ اِذًا لَّمِنَ الظّٰلِمِيْنَ

wa lā aqūlu lakum ‘indī khazā'inullāhi wa lā a‘lamul-gaiba wa lā aqūlu innī malakuw wa lā aqūlu lil-lażīna tazdarī a‘yunukum lay yu'tiyahumullāhu khairā(n), allāhu a‘lamu bimā fī anfusihim, innī iżal laminaẓ-ẓālimīn(a).

Dan aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah, dan aku tidak mengetahui yang gaib, dan tidak (pula) mengatakan bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat, dan aku tidak (juga) mengatakan kepada orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu, “Bahwa Allah tidak akan memberikan kebaikan kepada mereka. Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka. Sungguh, jika demikian aku benar-benar termasuk orang-orang yang zalim.”

Dalam ayat ini, dijelaskan jawaban Nuh kepada kaumnya atas ketidakpercayaan mereka kepada kenabian Nuh, walaupun ia mengaku menjadi nabi. Ia juga tidak mengatakan kepada mereka bahwa ia mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah, yang diperlukan oleh setiap hamba-Nya, yang bisa ia keluarkan untuk menutupi kebutuhan dirinya dan seluruh pengikutnya. Ia sama saja seperti orang lain, memerlukan usaha yang wajar, karena soal jaminan rezeki itu tidak termasuk dalam urusan kenabian. Sekiranya urusan itu dijadikan bagian dari kerasulan tentu banyak orang-orang yang mengikuti nabi karena ingin jaminan rezeki dan harta saja. Padahal gagasan yang pokok dari tugas kerasulan ialah menyucikan jiwa manusia dari pengaruh kebendaan dengan ibadah dan makrifat kepada Allah sebagai persiapan masuk surga dan memperoleh keridaan-Nya pada hari Kiamat. Harta dan anak-anak tidak bermanfaat lagi, dan yang menghadap Allah hanya mereka yang berhati bersih.

Selanjutnya Nabi Nuh mengatakan bahwa ia tidak mengetahui yang gaib. Ia tidak melebihi orang lain dengan ilmu gaib, yang dapat mengungkapkan benda-benda yang tersembunyi untuk menambah kekayaan, atau mem-peroleh kemanfaatan dan menolak kemudaratan, yang dapat disampaikan kepada semua pengikut-pengikutnya, agar menjadi orang-orang yang kaya dan sebagainya. Disebutkan pula dalam firman Allah:

Katakanlah (Muhammad), "Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya. Aku hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman." (al-Araf/7: 188)

Nabi Nuh melanjutkan pernyataannya dengan mengatakan bahwa ia bukanlah malaikat yang diutus kepada mereka, melainkan seorang manusia seperti mereka yang ditugaskan untuk menyeru manusia kepada ketauhidan. Dalam ucapan Nabi Nuh itu, ada bantahan terhadap anggapan orang-orang kafir yang mengatakan bahwa seorang rasul itu semestinya malaikat, tidak makan, tidak minum, tidak mondar-mandir ke luar masuk pasar, harus mengetahui semua yang gaib, dan mempunyai banyak kelebihan daripada manusia biasa.

Ia juga tidak mengatakan kepada orang yang beriman yang mereka hinakan itu, bahwa Allah tidak akan memberikan kebaikan kepada mereka di akhirat. Pandangan Allah berbeda sekali dengan pandangan manusia. Sebagaimana diterangkan dalam beberapa hadis sahih:

"Allah tidak memandang rupa atau tubuh kamu, akan tetapi Allah memandang kepada hati kamu." (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)

Allah lebih mengetahui apa yang terkandung dalam hati mereka, bagaimana murninya keimanan mereka, dan bagaimana pula keikhlasan mereka dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, tidak seperti pandangan mereka yang menuduh orang-orang mukmin mempunyai pandangan yang picik yang mempercayai apa saja. Sesungguhnya, jika Nabi berbeda penilaian dengan mereka, adalah karena Nabi bukan memandang apa yang nampak dari luar saja, tetapi melihat kepada keimanan dan keikhlasan pengikutnya. Jika Nabi menilai seperti penilaian orang-orang kafir, niscaya ia termasuk orang-orang yang zalim.

Ayat 32

قَالُوْا يٰنُوْحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَاَ كْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَآ اِنْ كُنْتَ مِنَ الصّٰدِقِيْنَ

qālū yā nūḥu qad jādaltanā fa akṡarta jidālanā fa'tinā bimā ta‘idunā in kunta minaṣ-ṣādiqīn(a).

Mereka berkata, “Wahai Nuh! Sungguh, engkau telah berbantah dengan kami, dan engkau telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang engkau ancamkan, jika kamu termasuk orang yang benar.”

Ayat-ayat ini menerangkan tantangan kaum Nabi Nuh a.s. yang menolak kebenaran Nuh sebagai utusan Allah untuk memberi petunjuk bagi mereka kepada jalan yang benar, demi keselamatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat. Ucapan-ucapan mereka yang bernada menentang itu pada hakekatnya pembangkangan, karena mereka sudah kehabisan alasan. Mereka tidak dapat lagi memberikan bantahan-bantahan dengan alasan yang wajar yang dapat diterima oleh akal pikiran yang sehat, kecuali mengatakan, "Hai Nuh, kamu telah demikian banyaknya berdebat dengan kami, tidak ada suatu alasan dari kami yang tidak kamu bantah, sehingga kami merasa jemu dan bosan, dan tidak ada yang kami katakan lagi kecuali suatu hal, yaitu kalau memang benar apa yang kamu katakan itu semua, datangkanlah segera azab yang kamu peringatkan itu di dunia ini sebelum azab akhirat." Tantangan ini adalah sebagai jawaban mereka terhadap perkataan Nuh a.s. kepada mereka seperti yang telah diterangkan pada permulaan kisah ini yaitu:

Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata), "Sungguh, aku ini adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Aku benar-benar khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat pedih." (Hud/11: 25-26)

Ayat 33

قَالَ اِنَّمَا يَأْتِيْكُمْ بِهِ اللّٰهُ اِنْ شَاۤءَ وَمَآ اَنْتُمْ بِمُعْجِزِيْنَ

qāla innamā ya'tīkum bihillāhu in syā'a wa mā antum bimu‘jizīn(a).

Dia (Nuh) menjawab, “Hanya Allah yang akan mendatangkan azab kepadamu jika Dia menghendaki, dan kamu tidak akan dapat melepaskan diri.

Pada ayat ini, Allah menerangkan jawaban Nabi Nuh a.s. terhadap tantangan kaumnya yang kafir itu, dengan memberikan penjelasan bahwa urusan mendatangkan azab itu tidak berada dalam kekuasaannya, melainkan dalam kekuasaan Allah Yang Mahakuasa, yang menciptakan alam semesta ini dan berbuat segala sesuatu menurut iradah-Nya. Mereka semestinya tidak perlu tergesa-gesa, bahkan tidak wajar meminta dipercepat datangnya azab Allah itu, sebab apabila azab itu datang sebagaimana yang mereka minta, niscaya mereka tidak akan mampu menolak dan mencegahnya. Sebaliknya, permintaan yang wajar dari mereka ialah supaya azab Allah itu tidak datang. Untuk itu, hendaklah mereka beriman kepada Allah dan mematuhi perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, sebagaimana yang disampaikan kepada mereka.

Ayat 34

وَلَا يَنْفَعُكُمْ نُصْحِيْٓ اِنْ اَرَدْتُّ اَنْ اَنْصَحَ لَكُمْ اِنْ كَانَ اللّٰهُ يُرِيْدُ اَنْ يُّغْوِيَكُمْ ۗهُوَ رَبُّكُمْ ۗوَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَۗ

wa lā yanfa‘ukum nuṣḥī in arattu an anṣaḥa lakum in kānallāhu yurīdu ay yugwiyakum, huwa rabbukum, wa ilaihi turja‘ūn(a).

Dan nasihatku tidak akan bermanfaat bagimu sekalipun aku ingin memberi nasihat kepadamu, kalau Allah hendak menyesatkan kamu. Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”

Pada ayat ini, Allah menerangkan lanjutan jawaban dan penjelasan Nabi Nuh a.s. kepada kaumnya yang membangkang itu, bahwa apapun yang disampaikan kepada mereka yang berupa nasihat dalam rangka mengajak kepada jalan yang benar dan memperingatkan mereka supaya terhindar dari azab Allah di dunia dan di akhirat, tidak akan ada manfaatnya, jika mereka masih tetap disesatkan oleh bujukan hawa nafsu mereka. Itulah yang menjadi sebab kebinasaan mereka di dunia dan azab yang abadi di akhirat. Selanjut-nya Nabi Nuh a.s. menjelaskan kepada mereka, bahwa sesungguhnya Allah adalah Tuhan mereka yang memiliki dan mengatur dunia ini, sehingga segala sesuatu terjadi menurut ketentuan, ukuran, dan kehendak-Nya. Semuanya akan kembali kepada-Nya di akhirat, untuk menerima balasan amalnya dengan balasan yang baik atau buruk, sesuai dengan amal perbuatannya di dunia.

Ayat 35

اَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرٰىهُۗ قُلْ اِنِ افْتَرَيْتُهٗ فَعَلَيَّ اِجْرَامِيْ وَاَنَا۠ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُجْرِمُوْنَ ࣖ

am yaqūlūnaftarāh(u), qul iniftaraituhū fa ‘alayya ijrāmī wa ana barī'um mimmā tujrimūn(a).

Bahkan mereka (orang kafir) berkata, “Dia cuma mengada-ada saja.” Katakanlah (Muhammad), “Jika aku mengada-ada, akulah yang akan memikul dosanya, dan aku bebas dari dosa yang kamu perbuat.”

Menurut pendapat Ibnu Katsir, ayat ini merupakan kelanjutan dari kisah kaum Nuh a.s. yang menerangkan bahwa mereka menuduh Nuh a.s. memberikan nasihat-nasihat dan peringatan-peringatan yang tidak benar dan hanya dibuat-buat saja. Maka Allah mengajari Nuh a.s. supaya mengatakan kepada mereka bahwa andaikata ia membuat-buat tentu dia sendirilah yang memikul dosanya, tuduhan itu sama sekali tidak benar.

Menurut pendapat sebagian mufasir lain, ayat ini bukanlah lanjutan dari kisah kaum Nuh a.s., tetapi kalimat sisipan (jumlah mutaridhah). Menurut mereka maksud ayat ini ialah bahwa setelah orang-orang kafir Mekah mendengar kisah kaum Nuh a.s. ini dari Muhammad saw, lalu mereka menuduhnya mengada-adakan kisah itu. Oleh karena itu, Allah mengajari Nabi Muhammad saw. supaya mengatakan kepada mereka bahwa andaikata ia mengada-adakannya, dia sendiri yang akan memikul dosanya. Tetapi yang mereka tuduhkan itu sama sekali tidak benar, dan ia bebas dari perbuatan yang mereka tuduhkan.

Ayat 36

وَاُوْحِيَ اِلٰى نُوْحٍ اَنَّهٗ لَنْ يُّؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ اِلَّا مَنْ قَدْ اٰمَنَ فَلَا تَبْتَىِٕسْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَۖ

wa ūḥiya ilā nūḥin annahū lay yu'mina min qaumika illā man qad āmana falā tabta'is bimā kānū yaf‘alūn(a).

Dan diwahyukan kepada Nuh, “Ketahuilah tidak akan beriman di an-tara kaummu, kecuali orang yang benar-benar beriman (saja), karena itu janganlah engkau bersedih hati tentang apa yang mereka perbuat.

Pada ayat ini, Allah mengisahkan bahwa Ia telah mewahyukan kepada Nabi Nuh untuk menjelaskan hal-hal berikut:

a. Setelah kaum Nuh meminta supaya Nuh a.s. segera mendatangkan azab Allah sebagai bukti atas kebenaran dakwahnya dan Nabi Nuh a.s. pun telah mendoakan mereka supaya dimusnahkan Allah, maka tidak ada lagi yang beriman di antara mereka kecuali hanya sedikit saja yaitu hanya orang-orang yang sudah menyatakan beriman kepadanya sebelum itu.

b. Sekalipun sudah ratusan tahun lamanya Nabi Nuh a.s. hidup bersama kaumnya menyampaikan dakwah kepada mereka, namun mereka masih tetap membangkang. Hal itu tidaklah membuatnya berduka cita dan bersedih karena memikirkan sikap dan tingkah laku mereka yang tetap tidak beriman itu, sebab azab pembalasan Allah kepada mereka di dunia ini sudah dekat saatnya, dan mereka tidak akan dapat mengelak dan mencegahnya.

(37) Menurut riwayat Ibnu Abbas, panjang kapal itu seribu dua ratus hasta. Pada ayat ini diterangkan bahwa Allah memerintahkan kepada Nuh a.s. supaya membuat kapal yang akan dipergunakan untuk menyelamatkan Nabi Nuh dan pengikutnya yang beriman dari topan (air bah) yang akan melanda dan menenggelamkan permukaan bumi sebagai azab di dunia ini kepada orang-orang kafir dari kaumnya yang selalu membangkang dan durhaka. Nabi Nuh diperintahkan membuat kapal penyelamat itu dengan petunjuk-petunjuk dan pengawasan dari Allah.

Selanjutnya pada ayat ini Allah memperingatkan Nuh a.s. agar tidak lagi berbicara dengan kaumnya yang zalim (kafir) dan tidak lagi memohon supaya dosa mereka diampuni atau dihindarkan dari azab-Nya, karena sudah menjadi ketetapan Allah bahwa mereka akan ditenggelamkan.

Larangan serupa ini telah diberikan pula kepada Nabi Ibrahim a.s. sewaktu dia memohonkan kepada Allah agar azab-Nya tidak ditimpakan kepada kaum Luth, sebagaimana disebut dalam firman-Nya:

Wahai Ibrahim! Tinggalkanlah (perbincangan) ini, sungguh, ketetapan Tuhanmu telah datang, dan mereka itu akan ditimpa azab yang tidak dapat ditolak. (Hud/11: 76)

Ayat 37

وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِاَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلَا تُخَاطِبْنِيْ فِى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا ۚاِنَّهُمْ مُّغْرَقُوْنَ

waṣna‘il-fulka bi'a‘yuninā wa waḥyinā wa lā tukhāṭibnī fil-lażīna ẓalamū, innahum mugraqūn(a).

Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah engkau bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.”

Menurut riwayat Ibnu Abbas, panjang kapal itu seribu dua ratus hasta. Pada ayat ini diterangkan bahwa Allah memerintahkan kepada Nuh a.s. supaya membuat kapal yang akan dipergunakan untuk menyelamatkan Nabi Nuh dan pengikutnya yang beriman dari topan (air bah) yang akan melanda dan menenggelamkan permukaan bumi sebagai azab di dunia ini kepada orang-orang kafir dari kaumnya yang selalu membangkang dan durhaka. Nabi Nuh diperintahkan membuat kapal penyelamat itu dengan petunjuk-petunjuk dan pengawasan dari Allah.

Selanjutnya pada ayat ini Allah memperingatkan Nuh a.s. agar tidak lagi berbicara dengan kaumnya yang zalim (kafir) dan tidak lagi memohon supaya dosa mereka diampuni atau dihindarkan dari azab-Nya, karena sudah menjadi ketetapan Allah bahwa mereka akan ditenggelamkan.

Larangan serupa ini telah diberikan pula kepada Nabi Ibrahim a.s. sewaktu dia memohonkan kepada Allah agar azab-Nya tidak ditimpakan kepada kaum Luth, sebagaimana disebut dalam firman-Nya:

Wahai Ibrahim! Tinggalkanlah (perbincangan) ini, sungguh, ketetapan Tuhanmu telah datang, dan mereka itu akan ditimpa azab yang tidak dapat ditolak. (Hud/11: 76)

Ayat 38

وَيَصْنَعُ الْفُلْكَۗ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلَاٌ مِّنْ قَوْمِهٖ سَخِرُوْا مِنْهُ ۗقَالَ اِنْ تَسْخَرُوْا مِنَّا فَاِنَّا نَسْخَرُ مِنْكُمْ كَمَا تَسْخَرُوْنَۗ

wa yaṣna‘ul-fulk(a), wa kullamā marra ‘alaihi mala'um min qaumihī sakhirū minh(u), qāla in taskharū minnā fa innā naskharu minkum kamā taskharūn(a).

Dan mulailah dia (Nuh) membuat kapal. Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya. Dia (Nuh) berkata, “Jika kamu mengejek kami, maka kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu mengejek (kami).

Pada ayat ini diterangkan bahwa Nuh a.s. membuat kapal penyelamat itu sesuai dengan perintah dan petunjuk-petunjuk yang diwahyukan oleh Allah kepadanya. Banyak riwayat atau pendapat yang dinukil oleh para mufasir tentang hal-hal yang bertalian dengan kapal itu, seperti terbuat dari kayu apa, dibuat dimana, bentuknya bagaimana, panjang dan lebarnya berapa, dan perincian-perincian lainnya yang sebagian telah diterangkan, sewaktu menerangkan ayat 37 sebelum ini. Pendapat yang terbaik dalam soal ini dari segi kepercayaan ialah seperti yang diterangkan oleh Syihabuddin Mahmud Al-Alusi dalam tafsirnya, Ruhul Maaniy, sebagai berikut:

"Orang yang cermat dalam hal ini, tidak akan condong kepada perincian yang berlebih-lebihan, hanya percaya bahwa Nuh a.s. telah membuat kapal itu sebagaimana yang dikisahkan Allah dalam kitab-Nya, dan tidak mencari tahu tentang panjang lebar dan tingginya, dibuat dari kayu apa, berapa lama dibuatnya, dan lain-lain sebagainya yang tidak diterangkan oleh kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya yang sahih."

Selanjutnya pada ayat ini diterangkan bahwa setiap kali kaum Nuh lewat dan melihatnya sedang membuat kapal, mereka mengejeknya dengan bermacam-macam pertanyaan yang bernada cemooh. Ejekan dan cemoohan itu timbul karena mereka semua belum mengenal kapal dan cara memakainya termasuk Nabi Nuh a.s. sendiri.Sikap Nuh a.s. dalam membalas ejekan dan cemoohan kaumnya dinyatakan dalam jawabannya, "Kalau kamu mengejek kami membuat kapal ini karena kami mematuhi perintah Allah dalam rangka usaha untuk menyelamatkan kami dan umat kami, maka kami pun akan mengejek kamu."

Sebagian mufasir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ejekan balasan dari Nuh a.s. itu, ialah azab dunia yang akan menimpa kaumnya sehingga ia tidak akan memperdulikan mereka lagi. Jadi Nuh sendiri tidak membalas ejekan, karena dianggap kurang wajar bagi seorang nabi. Sebagian lainnya berpendapat bahwa tidak ada salahnya jika ejekan balasan itu benar-benar datang dari Nuh a.s. sesuai dengan firman Allah:

Barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu. (al-Baqarah/2: 194)

Dan firman Allah:

Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. (an-Nahl/16: 126)

Dan firman Allah:

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal. (asy-Syura/42: 40)

Al-Alusi berpendapat bahwa kedua ejekan itu (ejekan kaum Nuh dan ejekan Nabi Nuh a.s. sebagai balasan) memang terjadi.

Ayat 39

فَسَوْفَ تَعْلَمُوْنَۙ مَنْ يَّأْتِيْهِ عَذَابٌ يُّخْزِيْهِ وَيَحِلُّ عَلَيْهِ عَذَابٌ مُّقِيْمٌ

fa saufa ta‘lamūn(a), may ya'tīhi ‘ażābuy yukhzīhi wa yaḥillu ‘alaihi ‘ażābum muqīm(un).

Maka kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakan dan (siapa) yang akan ditimpa azab yang kekal.”

Pada ayat ini diterangkan lanjutan perkataan Nabi Nuh a.s. kepada kaumnya yang mengejek dengan mengatakan apabila mereka belum tahu apa gunanya kapal yang sedang dibuatnya itu, maka pasti mereka akan mengetahuinya kelak setelah kapal itu selesai dibuat, dan mereka ditenggelamkan. Sebenarnya perkataan Nabi Nuh a.s. itu bukanlah sekadar jawaban atas ejekan mereka, akan tetapi sebagai ancaman akan datangnya azab kepada mereka. Sebab apabila mereka sadar, niscaya mereka akan dapat merasakan bahwa perkataan Nabi Nuh a.s. tidak lagi sebagai kata-kata biasa yang selalu mereka anggap sekadar menakut-nakuti yang tidak akan ada kenyataannya. Tetapi kali ini sudah dalam tahap persiapan untuk menyelamatkan orang-orang yang beriman dari bahaya azab yang akan memusnahkan orang-orang yang sangat durhaka kepada Allah dan rasul-Nya itu.

Ayat 40

حَتّٰىٓ اِذَا جَاۤءَ اَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّوْرُۙ قُلْنَا احْمِلْ فِيْهَا مِنْ كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَاَهْلَكَ اِلَّا مَنْ سَبَقَ عَلَيْهِ الْقَوْلُ وَمَنْ اٰمَنَ ۗوَمَآ اٰمَنَ مَعَهٗٓ اِلَّا قَلِيْلٌ

Ḥattā iżā jā'a amrunā wafārat-tannūr(u), qulnaḥmil fīhā min kullin zaujainiṡnaini wa ahlaka illā man sabaqa ‘alaihil-qaulu wa man āman(a), wa mā āmana ma‘ahū illā qalīl(un).

Hingga apabila perintah Kami datang dan tanur (dapur) telah memancarkan air, Kami berfirman, “Muatkanlah ke dalamnya (kapal itu) dari masing-masing (hewan) sepasang (jantan dan betina), dan (juga) keluargamu kecuali orang yang telah terkena ketetapan terdahulu dan (muatkan pula) orang yang beriman.” Ternyata orang-orang beriman yang bersama dengan Nuh hanya sedikit.

Pada ayat ini Allah swt menerangkan, bahwa Nabi Nuh a.s. dalam melaksanakan pembuatan kapal itu dengan segala macam persiapannya sangat bersungguh-sungguh dan banyak menerima ejekan dan cemoohan dari kaumnya. Ketika datang ketetapan Allah untuk membinasakan kaum yang kafir itu, bumi pun memancarkan air yang meluap-luap seperti meluapnya air yang mendidih dari kuali di dapur tempat memasak, sehingga menenggelamkan segala apa yang ada di permukaannya. Sementara ulama memahami bahwa banjir tersebut tidak bersifat universal melainkan lokal.

Maka Allah memerintahkan kepada Nuh a.s. agar membawa ke dalam kapal itu sepasang (jantan dan betina) dari tiap jenis binatang, agar keturunannya dapat berkembang biak sesudah air bah yang dinamakan topan itu reda. Selain itu, Allah memerintahkan Nuh a.s. membawa ke dalam kapal itu semua keluarganya yang laki-laki dan perempuan kecuali yang tidak beriman. Begitu juga Allah memerintahkan Nuh a.s. membawa ke dalam kapal itu semua orang-orang yang beriman yang jumlahnya sedikit. Sebagian mufasir ada yang mengatakan bahwa yang dibawa oleh Nuh ke dalam kapal itu dari keluarganya ialah seorang istrinya yang beriman dan tiga putranya dari istri yang beriman itu, yaitu Syam, Ham, dan Yafis.

Adapun jumlah orang yang beriman, yang dibawa Nuh a.s. ke dalam kapal itu tidak terdapat keterangannya dalam Al-Quran atau pun dalam hadis. Dalam ayat ini hanya diterangkan bahwa jumlah mereka sedikit. Pada permulaan ayat ini dan permulaan ayat 42 yang akan datang dilukiskan sebagian dari kisah topan itu, dan pada ayat-ayat lain dilukiskan lebih banyak seperti dalam firman Allah:

Lalu Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi menyemburkan mata-mata air maka bertemulah (air-air) itu sehingga (meluap menimbulkan) keadaan (bencana) yang telah ditetapkan. Dan Kami angkut dia (Nuh) ke atas (kapal) yang terbuat dari papan dan pasak, yang berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan) Kami sebagai balasan bagi orang yang telah diingkari (kaumnya). (al-Qamar/54: 11-14)

Ayat 41

۞ وَقَالَ ارْكَبُوْا فِيْهَا بِسْمِ اللّٰهِ مَجْرٰ۪ىهَا وَمُرْسٰىهَا ۗاِنَّ رَبِّيْ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

wa qālarkabū fīhā bismillāhi majrêhā wa mursāhā, inna rabbī lagafūrur raḥīm(un).

Dan dia berkata, ”Naiklah kamu semua ke dalamnya (kapal) dengan (menyebut) nama Allah pada waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Pada ayat ini diterangkan bahwa Nuh a.s. menyuruh orang yang beriman pada risalahnya supaya naik ke dalam kapal itu dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuh, sebab segala kekuasaan ada di tangan-Nya. Dia dapat berbuat sekehendak-Nya, mengatur sunnah-Nya sesuai dengan Iradah-Nya; sedang keselamatan mereka pada saat yang sangat penting itu hanya berada di bawah kekuasaan-Nya, di dalam lindungan-Nya.

Berkata Rasulullah saw, "Umatku akan selamat (tidak tenggelam) apabila mereka menaiki kapal, supaya membaca: Bismillahi malikirrahmanirrahim, bismillahi majreha wa mursaha innahu lagafururrahim." (Riwayat Ath-thabrani dari Ali)

Selanjutnya pada ayat ini diterangkan bahwa Nuh a.s. menyatakan, "Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Ucapan ini selain mengandung syukur, menunjukkan bahwa ia beserta pengikut-pengikutnya yang beriman selamat dari bahaya topan berkat rahmat Allah yang sangat luas.

Ayat 42

وَهِيَ تَجْرِيْ بِهِمْ فِيْ مَوْجٍ كَالْجِبَالِۗ وَنَادٰى نُوْحُ ِۨابْنَهٗ وَكَانَ فِيْ مَعْزِلٍ يّٰبُنَيَّ ارْكَبْ مَّعَنَا وَلَا تَكُنْ مَّعَ الْكٰفِرِيْنَ

wa hiya tajrī bihim fī maujin kal-jibāl(i), wa nādā nūḥunibnahū wa kāna fī ma‘ziliy yā bunayyarkam ma‘anā wa lā takum ma‘al-kāfirīn(a).

Dan kapal itu berlayar membawa mereka ke dalam gelombang laksana gunung-gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, ketika dia (anak itu) berada di tempat yang jauh terpencil, “Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.”

Ayat ini menerangkan bahwa kapal itu berlayar membawa Nuh a.s. beserta para pengikutnya, yang beriman, mengarungi lautan yang amat luas dan melalui gelombang-gelombang ombak yang dahsyat, bergulung-gulung menjulang tinggi laksana gunung.

Setelah Nabi Nuh dan para pengikutnya masuk ke dalam kapal, dia melihat anaknya yang bernama Kanan pergi ke arah gunung, menjauhkan diri. Nabi Nuh memanggil-manggil anaknya seraya mengajak turut masuk ke dalam kapal, tetapi anaknya menolak, sehingga Nabi Nuh merasa sedih dan risau.

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah Nabi Nuh a.s. sebelum peristiwa itu tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dari anaknya itu. Ada yang berpendapat bahwa Nuh a.s. memang tidak tahu, karena sebelum peristiwa itu anaknya bersikap munafik kepadanya. Pendapat lain mengata-kan bahwa ia tahu kekafiran anaknya, tetapi setelah anaknya itu menyaksi-kan sendiri bahwa topan sudah mulai datang, maka Nuh mengharap kesadaran anaknya, sehingga ia mengajaknya supaya masuk ke dalam kapal itu, namun usahanya sia-sia karena anaknya tetap menolak.

Ayat 43

قَالَ سَاٰوِيْٓ اِلٰى جَبَلٍ يَّعْصِمُنِيْ مِنَ الْمَاۤءِ ۗقَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ اِلَّا مَنْ رَّحِمَ ۚوَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِيْنَ

qāla sa'āwī ilā jabaliy ya‘ṣimunī minal-mā'(i), qāla lā ‘āṣimal-yauma min amrillāhi illā ma raḥim(a), wa ḥāla bainahumal-mauju fa kāna minal-mugraqīn(a).

Dia (anaknya) menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah!” (Nuh) berkata, “Tidak ada yang melindungi dari siksaan Allah pada hari ini selain Allah yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka dia (anak itu) termasuk orang yang ditenggelamkan.

Pada ayat ini, Allah menyebutkan jawaban Kanan terhadap seruan dan ajakan ayahnya Nuh a.s. supaya masuk ke dalam kapal. Ia menolak tidak mau turut masuk dengan alasan bahwa ia bisa berlindung ke atas gunung untuk memelihara dirinya dari bahaya air bah (topan) yang mengancam itu.

Mendengar itu Nabi Nuh a.s. menjelaskan kepada anaknya yang membangkang, bahwa pada hari itu tidak ada yang bisa melindungi dirinya dari topan itu selain Allah dan tidak ada yang selamat kecuali orang-orang yang dikasihi-Nya, yaitu orang-orang yang masuk ke dalam kapal itu. Demikianlah, iradah Tuhan sudah menetapkan segala sesuatu berjalan menurut proses yang telah digariskan-Nya. Gelombang yang menggulung tinggi demikian dahsyatnya telah menghalangi antara Nuh a.s. dengan anaknya yang membangkang dan durhaka, sehingga terputuslah pembicara-an antara keduanya, dan sang anak pun turut tenggelam bersama orang-orang kafir lainnya.

Ayat 44

وَقِيْلَ يٰٓاَرْضُ ابْلَعِيْ مَاۤءَكِ وَيٰسَمَاۤءُ اَقْلِعِيْ وَغِيْضَ الْمَاۤءُ وَقُضِيَ الْاَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُوْدِيِّ وَقِيْلَ بُعْدًا لِّلْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَ

wa qīla yā arḍubla‘ī mā'aki wa yā samā'u aqli‘ī wa gīḍal-mā'u wa quḍiyal-amru wastawat ‘alal-jūdiyyi wa qīla bu‘dal lil-qaumiẓ-ẓālimīn(a).

Dan difirmankan, “Wahai bumi! Telanlah airmu dan wahai langit (hujan!) berhentilah.” Dan air pun disurutkan, dan perintah pun diselesaikan dan kapal itupun berlabuh di atas gunung Judi, dan dikatakan, ”Binasalah orang-orang zalim.”

Pada ayat ini diterangkan bahwa air bah (topan) melanda permukaan bumi yang memancarkan mata air yang meluap-luap, ditambah dengan curahan air hujan yang berlimpah-limpah, dan kapal Nuh a.s. itu berlayar mengarungi lautan yang bergejolak dengan dahsyatnya dan belum diketahui kapan hal itu akan berakhir. Kemudian tibalah saatnya, Allah memerintah-kan bumi supaya menyerap air yang dipancarkannya dan memerintahkan langit supaya menghentikan curahan hujannya, sehingga air pun surut dan perintah Allah diselesaikan dengan sempurna, dan orang-orang kafir dari kaum Nuh a.s. itu tenggelam semuanya. Kemudian kapal itupun berlabuh di atas bukit Judiy.

Kemudian pada akhir ayat ini, Allah mengutuk orang-orang kafir dengan firman-Nya, "Binasalah orang-orang yang zalim." Maksudnya: Peristiwa topan itu adalah untuk membinasakan orang-orang zalim (kafir) yang jauh dari rahmat Allah, karena kezaliman mereka dan tidak mau bertobat serta kembali ke jalan yang benar. Peristiwa banjir besar zaman Nabi Nuh ini tentu tidak menenggelamkan seluruh permukaan bumi, tetapi terjadi di suatu daerah yang sangat luas di Laut Mati dan sekitarnya yang memang lebih rendah dari permukaan air laut.

Ayat 45

وَنَادٰى نُوْحٌ رَّبَّهٗ فَقَالَ رَبِّ اِنَّ ابْنِيْ مِنْ اَهْلِيْۚ وَاِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَاَنْتَ اَحْكَمُ الْحٰكِمِيْنَ

wa nādā nūḥur rabbahū fa qāla rabbi innabnī min ahlī, wa inna wa‘dakal-ḥaqqu wa anta aḥkamul-ḥākimīn(a).

Dan Nuh memohon kepada Tuhannya sambil berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.”

Pada ayat ini diterangkan bahwa Nabi Nuh a.s. memohon kepada Tuhan agar anaknya yang bernama Kanan atau Yam diselamatkan dari topan itu, karena anaknya itu adalah termasuk keluarganya dan Allah telah menjanjikan bahwa keluarganya akan diselamatkan dari topan, dan janji Allah adalah benar, tidak berubah, dan Ia adalah Hakim Yang Paling Bijaksana dari segala hakim. Doa Nabi Nuh a.s. ini terjadi sebelum anaknya tenggelam, sesudah ia memanggil dan mengajaknya supaya turut masuk ke dalam kapal itu.

Meskipun Nabi Nuh a.s. tidak mengetahui bahwa ia, setelah diperintahkan Allah membuat kapal, masih diperkenankan memohon doa bagi orang-orang kafir, sedang anaknya sudah nyata-nyata membangkang tidak mau diajak masuk ke dalam kapal, tetapi ia belum yakin bahwa anaknya itu termasuk orang-orang kafir yang harus turut ditenggelamkan, apalagi ia didorong oleh perasaan kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya.

Ayat 46

قَالَ يٰنُوْحُ اِنَّهٗ لَيْسَ مِنْ اَهْلِكَ ۚاِنَّهٗ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْـَٔلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنِّيْٓ اَعِظُكَ اَنْ تَكُوْنَ مِنَ الْجٰهِلِيْنَ

qāla yā nūḥu innahū laisa min ahlik(a), innahū ‘amalun gairu ṣāliḥ(in), falā tas'alnī mā laisa laka bihī ‘ilm(un), innī a‘iẓuka an takūna minal-jāhilīn(a).

Dia (Allah) berfirman, “Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik, sebab itu jangan engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku menasihatimu agar (engkau) tidak termasuk orang yang bodoh.”

Pada ayat ini diterangkan, bahwa Allah menolak permohonan Nuh a.s. agar anaknya Kanan bisa lepas dari azab topan itu. Allah menerangkan bahwa Kanan yang enggan masuk kapal itu tidak termasuk keluarganya yang dijanjikan oleh Allah swt akan diselamatkan dari topan karena anak itu telah melakukan perbuatan yang tidak baik. Dia tidak mau turut masuk ke dalam kapal dan tidak mau menerima petunjuk yang benar, walaupun petunjuk itu datangnya dari ayahnya sendiri, yang telah menjadi rasul Allah. Ia tetap keras kepala dan membangkang bersama dengan orang-orang kafir lainnya dan harus ditenggelamkan di waktu topan itu. Allah tidak membeda-bedakan sesama manusia melainkan dengan takwanya, tanpa memandang warna kulit, bangsa, dan keturunan.

Allah melarang Nuh a.s. memohon kepada-Nya tentang sesuatu yang belum diketahuinya dengan yakin bahwa permohonan itu sudah wajar dikemukakan atau tidak. Selanjutnya Allah memperingatkan Nuh a.s. supaya ia tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang jahil yang memohon sesuatu kepada-Nya menurut keinginan nafsunya atau untuk keuntungan keluarga dan kekasihnya tanpa mengetahui apa yang boleh dan patut diminta.

Ayat ini mengandung beberapa hukum dan petunjuk antara lain:

a. Tidak boleh memohon kepada Allah tentang sesuatu yang tidak wajar yang bertentangan dengan sunnah Allah atau yang belum diketahui bahwa permohonan itu wajar atau tidak.

b. Setiap orang yang menentang kebenaran yang ditunjuki oleh Allah dan rasul-Nya akan mendapat balasan siksa.

Ayat 47

قَالَ رَبِّ اِنِّيْٓ اَعُوْذُ بِكَ اَنْ اَسْـَٔلَكَ مَا لَيْسَ لِيْ بِهٖ عِلْمٌ ۗوَاِلَّا تَغْفِرْ لِيْ وَتَرْحَمْنِيْٓ اَكُنْ مِّنَ الْخٰسِرِيْنَ

qāla rabbi innī a‘ūżu bika an as'alaka mā laisa lī bihī ‘ilm(un), wa illā tagfir lī wa tarḥamnī akum minal-khāsirīn(a).

Dia (Nuh) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu untuk memohon kepada-Mu sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakikatnya). Kalau Engkau tidak mengampuniku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku termasuk orang yang rugi.”

Pada ayat ini diterangkan anggapan Nabi Nuh a.s. terhadap teguran Allah yang berisi penolakan atas permohonannya, agar anaknya Kanan diselamatkan dari topan. Demikianlah, setelah Nabi Nuh a.s. mengetahui dari Allah hakikat anaknya itu, maka ia memohon ampun kepada-Nya tentang kekhilafan dan kesalahannya dalam memohonkan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Ia berlindung kepada Allah supaya dapat menjaga dirinya agar tidak menyampaikan permohonan yang sifatnya serupa dengan kesalahannya itu. Pada akhir permohonan ampun itu, dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, ia menyatakan penyesalannya kepada Allah. Jika kesalahannya tidak diampuni Tuhan, niscaya ia termasuk golongan orang yang merugi, sebab kesalahannya itu hanya didorong oleh perasaan kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya dan ingin supaya anaknya mendapat rahmat Allah.

Ayat 48

قِيْلَ يٰنُوْحُ اهْبِطْ بِسَلٰمٍ مِّنَّا وَبَرَكٰتٍ عَلَيْكَ وَعَلٰٓى اُمَمٍ مِّمَّنْ مَّعَكَ ۗوَاُمَمٌ سَنُمَتِّعُهُمْ ثُمَّ يَمَسُّهُمْ مِّنَّا عَذَابٌ اَلِيْمٌ

qīla yā nūḥuhbiṭ bisalāmim minnā wa barakātin ‘alaika wa ‘alā umamim mimmam ma‘ak(a), wa umamun sanumatti‘uhum ṡumma yamassuhum minnā ‘ażābun alīm(un).

Difirmankan, “Wahai Nuh! Turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami, bagimu dan bagi semua umat (mukmin) yang bersamamu. Dan ada umat-umat yang Kami beri kesenangan (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab Kami yang pedih.”

Ayat ini menerangkan bahwa setelah kapal itu berlabuh di atas bukit Judiy beberapa waktu yang tidak diterangkan lamanya ”menurut sebagian mufasir, lamanya satu bulan”dan air bah sudah surut, Allah memerintahkan kepada Nuh a.s. supaya turun dari kapal itu bersama-sama dengan para pengikutnya untuk membangun kehidupan baru dalam rangka meneruskan generasi umat manusia yang bertauhid dan bertakwa, setelah orang-orang kafir dari kaumnya itu musnah tenggelam dalam azab topan.

Allah memerintahkan agar Nuh a.s. dan para pengikutnya turun dari kapal itu disertai ucapan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari-Nya. Mereka akan diberi berkah, sesuai dengan janji Allah, dalam menempuh kehidupan dunia dan akhirat. Setelah mereka turun ke daratan, maka mereka mendapat keluasan dalam rezeki dan keperluan hidup yang mereka butuhkan untuk kepentingan mereka dan generasi selanjutnya.

Selanjutnya Allah menerangkan bahwa tidak semua dari generasi mereka yang akan berkembang biak di kemudian hari sama dengan mereka. Akan tetapi, ada di antara generasi yang berkembang biak itu menjadi umat-umat yang hanya dapat menikmati rezeki dan kesenangan dunia, namun di akhirat mereka akan menerima azab yang sangat pedih. Mereka disesatkan oleh setan sehingga menjadi musyrik dan bergelimang dalam kezaliman dan kejahatan-kejahatan lainnya, sehingga mereka tidak bisa memelihara keamanan dan kesejahteraan, bahkan sebagian menindas sebagian yang lain. Mereka bercerai-berai dan berselisih serta menyimpang dari petunjuk agama yang dibawa oleh para rasul Allah.

Menurut keterangan Taqiyuddin al-Maqrizi, semua pengikut Nabi Nuh tidak ada yang mempunyai keturunan kecuali tiga anaknya (Syam, Ham, dan Yafis). Pendapat ini berdasarkan firman Allah:

Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan. (ash-saffat/37: 77)

Ayat 49

تِلْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الْغَيْبِ نُوْحِيْهَآ اِلَيْكَ ۚمَا كُنْتَ تَعْلَمُهَآ اَنْتَ وَلَا قَوْمُكَ مِنْ قَبْلِ هٰذَاۚ فَاصْبِرْۚ اِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِيْنَ ࣖ

tilka min ambā'il-gaibi nūḥīhā ilaik(a), mā kunta ta‘lamuhā anta wa lā qaumuka min qabli hāżā, faṣbir, innal-‘āqibata lil-muttaqīn(a).

Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah engkau mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah, sungguh, kesudahan (yang baik) adalah bagi orang yang bertakwa.

Pada ayat ini, Allah swt menjelaskan kepada Nabi Muhammad saw, bahwa kisah Nuh a.s. itu dan kisah nabi-nabi lainnya adalah berita penting yang termasuk dalam soal-soal gaib yang diwahyukan Allah kepadanya, yang belum pernah diketahuinya dan belum pernah pula diketahui oleh kaumnya sebelum itu, sehingga mereka bisa menuduhnya bahwa kisah itu diperolehnya dari orang lain. Tetapi Allah-lah yang mewahyukan kisah itu kepada Muhammad sesuai dengan kejadian yang sebenarnya sebagaimana yang diterangkan dalam kitab-kitab para nabi sebelumnya. Seandainya ada di antara kaumnya yang pernah mendengarnya, maka pengetahuan mereka itu hanya secara global dan samar-samar.

Oleh karena itu, sekalipun berbagai tuduhan mereka lemparkan terhadap Muhammad saw, tetapi Allah memerintahkannya supaya bersabar menghadapi kaumnya yang banyak menyakitkan hatinya; sebagaimana Nuh a.s. bersabar menghadapi kaumnya yang mengejek dan mencemoohkannya beratus-ratus tahun lamanya. Hal serupa itu sudah menjadi sunnah Allah pada rasul-rasul-Nya. Namun demikian, kesudahannya adalah kemenangan dan keberuntungan bagi orang-orang yang bertakwa dan sabar. Sebaliknya, kekalahan dan kerugian akan menimpa orang-orang yang membangkang terhadap kebenaran dan orang-orang yang berbuat jahat. Ini sesuai dengan ayat-ayat lain seperti firman Allah:

Sesungguhnya Kami akan menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tampilnya para saksi (hari Kiamat). (al-Mumin/40: 51)

Dalam Al-Quran tidak diterangkan dengan tegas berapa usia Nabi Nuh a.s., tetapi hanya disebutkan dalam firman-Nya sebagai berikut:

Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun. Kemudian mereka dilanda banjir besar, sedangkan mereka adalah orang-orang yang zalim. (al-Ankabut/29: 14)

Yang jelas ayat tersebut hanya menyatakan bahwa Nuh a.s. tinggal di antara kaumnya selama sembilan ratus lima puluh tahun. Ada kemungkinan bahwa rentang waktu tersebut hanya menunjuk pada jangka waktu dalam menyampaikan dakwah kepada kaumnya. Dan ada kemungkinan pula bahwa itulah jumlah seluruh usianya termasuk di dalam masa menyampaikan dakwah.

Ayat 50

وَاِلٰى عَادٍ اَخَاهُمْ هُوْدًا ۗقَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗاِنْ اَنْتُمْ اِلَّا مُفْتَرُوْنَ

wa ilā ‘ādin akhāhum hūdā(n), qāla yā qaumi‘budullāha mā lakum min ilāhin gairuh(ū), in antum illā muftarūn(a).

Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) saudara mereka, Hud. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. (Selama ini) kamu hanyalah mengada-ada.

Pada ayat ini diterangkan bahwa Allah telah mengutus rasul-Nya kepada bangsa ad yang berdiam di sebelah utara Hadramaut di Yaman dan sebelah barat Oman. Rasul Allah itu ialah Hud a.s. yang dipilih Allah dari bangsa ad sendiri, agar lebih mudah menyampaikan dan menanamkan kepercayaan kepada mereka. Menurut sebagian riwayat yang dikutip oleh sebagian mufasir dikatakan bahwa Nabi Hud a.s. adalah orang pertama yang berbahasa Arab dan rasul Allah pertama dari bangsa Arab keturunan Nuh a.s. Pada ayat ini, Allah mempergunakan uslub atau gaya bahasa ijaz yang singkat padat yaitu "kepada kaum ad ada saudara mereka yaitu Hud," maksudnya, "Kami telah utus kepada kaum ad seorang dari mereka yang bernama Hud." Tata bahasa semacam ini banyak dipergunakan dalam Al-Quran.

Hud a.s. sebagai rasul Allah, mulai menyeru kaumnya supaya menyembah Allah Yang Maha Esa, tiada tuhan yang lain melainkan Dia. Nabi Hud a.s. melarang mereka menyembah patung-patung dan berhala-berhala, karena perbuatan semacam itu adalah mempersekutukan Tuhan dan mengadakan perkataan bohong dengan menyebutkan bahwa patung-patung dan berhala-berhala yang mereka sembah itu, sebagai penolong yang dapat memberikan manfaat dan menolak mudarat (bahaya). Padahal patung-patung itu dibuat oleh manusia.

Ayat 51

يٰقَوْمِ لَآ اَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ اَجْرًا ۗاِنْ اَجْرِيَ اِلَّا عَلَى الَّذِيْ فَطَرَنِيْ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ

yā qaumi lā as'alukum ‘alaihi ajrā(n), in ajriya illā ‘alal-lażī faṭaranī, afalā ta‘qilūn(a).

Wahai kaumku! Aku tidak meminta imbalan kepadamu atas (seruanku) ini. Imbalanku hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Tidakkah kamu mengerti?”

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa Hud a.s. dalam menyampaikan dakwah kepada kaumnya, sama sekali tidak meminta upah dan bayaran, sehingga mereka tidak dapat menuduhnya untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. Ia hanya mengharap pahala dari Allah Yang telah menciptakannya sebagai manusia yang berpikiran sehat dan yang dapat membebaskan dirinya dari menyembah patung-patung yang dibikin oleh kaum Nuh a.s. Patung-patung itu mereka buat untuk mengabadikan jasa-jasa nenek moyang mereka yang saleh. Sebenarnya mereka terjerumus ke jurang syirik itu karena dipermainkan oleh tipu daya setan yang pada mulanya dimaksudkan untuk menghormati dan mengagungkan, tetapi pada akhirnya menjadi sesembahan.

Kemudian Nabi Hud a.s. mendorong kaumnya supaya mau memperguna-kan akal pikiran yang sehat, agar mereka bisa membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang membikin mudarat bagi mereka. Ia juga mengatakan bahwa ia menasihati mereka dan menunjukkan kepada jalan yang benar hanyalah untuk keselamatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat. Tetapi mereka tidak mau mengikutinya.

Ayat 52

وَيٰقَوْمِ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاۤءَ عَلَيْكُمْ مِّدْرَارًا وَّيَزِدْكُمْ قُوَّةً اِلٰى قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِيْنَ

wa yā qaumistagfirū rabbakum ṡumma tūbū ilaihi yursilis-samā'a ‘alaikum midrāraw wa yazidkum quwwatan ilā quwwatikum wa lā tatawallau mujrimīn(a).

Dan (Hud berkata), “Wahai kaumku! Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras, Dia akan menambahkan kekuatan di atas kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling menjadi orang yang berdosa.”

Ayat ini menerangkan bahwa Hud a.s., setelah mengajak kaumnya menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan melarang mereka menyekutukan-Nya dengan beribadah kepada berhala-berhala, menyuruh mereka meminta ampun kepada Allah yang kemudian bertobat dengan penuh keikhlasan. Selanjutnya Hud a.s. menjelaskan, apabila mereka berbuat seperti yang telah dinasihatkan itu, niscaya Allah akan menurunkan hujan lebat, yang sangat besar manfaatnya bagi mereka sebagai bangsa yang banyak mempunyai tanam-tanaman dan kebun-kebun. Allah juga akan menambah kekuatan dan kemuliaan yang mereka impikan, di samping yang sudah mereka miliki. Oleh karena itu, Nabi Hud a.s. memperingatkan kaumnya, supaya tidak berpaling dari kebenaran yang telah dinasihatkan kepada mereka dan tidak meneruskan kesalahan-kesalahan besar yang sudah biasa mereka lakukan yaitu menyembah berhala-berhala, patung-patung dan terjerumus pada perbuatan jahat lainnya. Kaum Hud a.s. itu, yang disebut bangsa ad atau kabilah ad atau kaum ad, di samping terkenal sebagai bangsa yang kaya raya di bidang pertanian, mereka terkenal pula sebagai orang-orang kuat yang bertubuh kekar, yang menyebabkan mereka bertambah sombong dan takabur, sebagaimana yang diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya:

Maka adapun kaum ad, mereka menyombongkan diri di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran dan mereka berkata, "Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kami?" Tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan mereka. Dia lebih hebat kekuatan-Nya dari mereka? Dan mereka telah mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Maka Kami tiupkan angin yang sangat bergemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang nahas, karena Kami ingin agar mereka itu merasakan siksaan yang menghinakan dalam kehidupan di dunia. Sedangkan azab akhirat pasti lebih menghinakan dan mereka tidak diberi pertolongan. (Fushshilat/41: 15-16)

Ayat 53

قَالُوْا يٰهُوْدُ مَاجِئْتَنَا بِبَيِّنَةٍ وَّمَا نَحْنُ بِتَارِكِيْٓ اٰلِهَتِنَا عَنْ قَوْلِكَ وَمَا نَحْنُ لَكَ بِمُؤْمِنِيْنَ

qālū yā hūdu mā ji'tanā bibayyinatiw wa mā naḥnu bitārikī ālihatinā ‘an qaulika wa mā naḥnu laka bimu'minīn(a).

Mereka (kaum ‘Ad) berkata, “Wahai Hud! Engkau tidak mendatangkan suatu bukti yang nyata kepada kami, dan kami tidak akan meninggalkan sesembahan kami karena perkataanmu dan kami tidak akan mempercayaimu,

Pada ayat ini Allah swt menerangkan tantangan kaum Hud a.s. terhadap dakwah yang disampaikan Hud a.s. dengan cara membangkang dan mengatakan, bahwa Hud a.s. tidak memberikan bukti yang nyata sedikit pun yang menunjukkan kebenarannya sebagai rasul Allah, yang ditugaskan untuk menyampaikan dakwah kepada mereka. Sebab itu mereka tidak akan meninggalkan penyembahan berhala-berhala dan patung-patung hanya karena mendengar ucapannya yang tidak beralasan, dan menyatakan bahwa mereka tidak akan percaya kepadanya. Tantangan kaum Hud yang keras ini, pada mulanya didasarkan kepada tidak-adanya bukti yang nyata yang disampaikan oleh Nabi Hud a.s. kepada mereka tentang kebenarannya sebagai rasul Allah. Akan tetapi bila diperhatikan dari cara, gaya, dan isi dari tantangan kaumnya itu, maka dapat disimpulkan bahwa mereka hakikatnya hanya membangkang, bukan karena tidak adanya bukti atau dalil yang nyata. Dengan adanya tantangan itu mereka tidak bisa diharapkan lagi untuk beriman.

Ayat 54

اِنْ نَّقُوْلُ اِلَّا اعْتَرٰىكَ بَعْضُ اٰلِهَتِنَا بِسُوْۤءٍ ۗقَالَ اِنِّيْٓ اُشْهِدُ اللّٰهَ وَاشْهَدُوْٓا اَنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ

in naqūlu illa‘tarāka ba‘ḍu ālihatinā bisū'(in), qāla innī usyhidullāha wasyhadū annī barī'um mimmā tusyrikūn(a).

kami hanya mengatakan bahwa sebagian sesembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” Dia (Hud) menjawab, “Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah bahwa aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan,

Pada ayat ini diterangkan kelanjutan dari tantangan kaum Hud a.s., yaitu dengan mengatakan kepadanya, bahwa ucapan Hud itu mirip seperti ucapan orang yang kemasukan setan. Ucapan itu sama sekali tidak dapat mereka terima, lebih-lebih ucapan yang meremehkan dan menghalang-halangi mereka untuk beribadah kepada berhala. Tantangan ini ternyata diikuti dengan tantangan yang lebih keras dari yang sebelumnya. Mereka menuduh Hud a.s. menderita penyakit gila, jadi tidak perlu didengar perkataannya apalagi dipercayai. Penyakit gila itu, menurut anggapan mereka, disebabkan karena Hud a.s. durhaka kepada sesembahan-sesembahan mereka. Itulah sebabnya Nabi Hud a.s. mengambil kesimpulan bahwa dakwahnya tidak akan berguna lagi bagi mereka, sehingga ia menjawab tantangan mereka itu dengan mengatakan bahwa ia bersaksi kepada Allah dan menyuruh mereka supaya menyaksikannya, bahwa sesungguhnya ia terlepas dari apa yang mereka persekutukan itu. Jawaban Hud a.s. ini menunjukkan suatu sikap yang tegas, penuh dengan keimanan dalam mempertanggungjawabkan kebenaran dakwahnya, yang disampaikan kepada kaumnya tanpa memperdulikan segala macam bentuk rintangan dan tantangan yang dihadapinya.

Ayat 55

مِنْ دُوْنِهٖ فَكِيْدُوْنِيْ جَمِيْعًا ثُمَّ لَا تُنْظِرُوْنِ

min dūnihī fa kīdūnī jamī‘an ṡumma lā tunẓirūn(i).

dengan yang lain, sebab itu jalankanlah semua tipu dayamu terhadapku dan jangan kamu tunda lagi.

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan kelanjutan dari jawaban Nabi Hud a.s. kepada kaumnya dengan yang lebih keras dan dijiwai oleh keberanian yang penuh untuk mempertanggungjawabkan kebenaran dakwahnya.

Dengan nada menantang Hud a.s. menyuruh kaumnya yang sangat membangkang itu, supaya bersatu semuanya bersama dengan tuhan-tuhan mereka dalam melaksanakan segala macam tipu daya untuk membinasakan-nya seketika itu juga, tanpa memberikan kesempatan kepadanya, untuk mempersiapkan lebih dahulu guna membela diri. Jawaban ini cukup jelas menunjukkan bahwa Hud a.s. tidak takut sama sekali kepada kaumnya yang kafir itu, apalagi kepada tuhan-tuhan mereka yang tidak dapat berbuat apa-apa. Perkataan serupa ini pernah diucapkan Nabi Nuh a.s. kepada kaumnya, sebagaimana yang diterangkan dalam firman Allah:

Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku), dan janganlah keputusanmu itu dirahasiakan. Kemudian bertindaklah terhadap diriku, dan janganlah kamu tunda lagi. (Yunus/10: 71)

Ayat 56

اِنِّيْ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللّٰهِ رَبِّيْ وَرَبِّكُمْ ۗمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ اِلَّا هُوَ اٰخِذٌۢ بِنَاصِيَتِهَا ۗاِنَّ رَبِّيْ عَلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ

innī tawakkaltu ‘alallāhi rabbī wa rabbikum, mā min dābbatin illā huwa ākhiżum bināṣiyatihā, inna rabbī ‘alā ṣirāṭim mustaqīm(in).

Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak satu pun makhluk bergerak yang bernyawa melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasainya). Sungguh, Tuhanku di jalan yang lurus (adil).

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan perkataan Hud a.s. dalam menjawab tantangan kaumnya, yaitu setelah ia menyuruh mereka bergabung semuanya bersama dengan tuhan-tuhan mereka dalam melaksanakan segala macam tipu daya untuk membinasakannya, lalu dinyatakannya bahwa ia sudah bertawakkal sepenuhnya kepada Allah Tuhannya, dan juga Tuhan mereka yang telah menciptakan alam semesta ini. Tidak ada binatang satu pun yang melata di atas jagat raya ini yang tidak dikuasai-Nya, dan Allah Mahaadil membimbing hamba-Nya di atas jalan yang lurus, menolong orang-orang yang benar, dan menindas orang-orang yang zalim. Dengan demikian, jawaban Hud a.s. kepada kaumnya yang bernada menantang dengan berani itu, bukanlah didorong oleh rasa sombong, takabur dan sebagainya, tetapi didorong oleh keimanan yang telah membaja dalam lubuk hatinya untuk mempertanggungjawabkan kebenaran dakwahnya yang disampaikan kepada kaumnya. Hud a.s. yakin bahwa orang-orang kafir dari kaumnya itu tidak akan dapat berbuat sesuatu apa pun di luar ketentuan dan kehendak Allah. Maka timbullah tawakalnya sesuai dengan anjuran Allah, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

Ayat 57

فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقَدْ اَبْلَغْتُكُمْ مَّآ اُرْسِلْتُ بِهٖٓ اِلَيْكُمْ ۗوَيَسْتَخْلِفُ رَبِّيْ قَوْمًا غَيْرَكُمْۗ وَلَا تَضُرُّوْنَهٗ شَيْـًٔا ۗاِنَّ رَبِّيْ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَفِيْظٌ

fa in tawallau faqad ablagtukum mā ursiltu bihī ilaikum, wa yastakhlifu rabbī qauman gairakum, wa lā taḍurrūnahū syai'ā(n), inna rabbī ‘alā kulli syai'in ḥafīẓ(un).

Maka jika kamu berpaling, maka sungguh, aku telah menyampaikan kepadamu apa yang menjadi tugasku sebagai rasul kepadamu. Dan Tuhanku akan mengganti kamu dengan kaum yang lain, sedang kamu tidak dapat mendatangkan mudarat kepada-Nya sedikit pun. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pemelihara segala sesuatu.”

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan rangkaian penutup dari perkataan Hud a.s. kepada kaumnya dengan memperingatkan bahwa jika mereka berpaling dari apa yang telah disampaikannya itu, dan tetap mendustakannya sebagai rasul Allah, maka ia tidak dapat lagi berbuat lebih dari itu, karena ia telah melaksanakan dakwah yang diamanatkan Allah kepadanya. Amanat itu telah dilaksanakan dengan ikhlas, dan tugasnya hanya sekadar menyampaikan. Oleh karena itu, jika mereka masih tetap menantang dan membangkang, maka azab Allah akan ditimpakan kepada mereka dan mereka diganti Allah dengan kaum yang lain.

Selanjutnya Hud a.s. menegaskan bahwa mereka sedikitpun tidak akan dapat membuat mudarat terhadap Allah, disebabkan berpaling dari keimanan atau dengan sebab-sebab lainnya. Sesungguhnya Allah Maha Pemelihara segala sesuatu dengan cermat, sesuai dengan sunnah-Nya yang ditentukan oleh iradah-Nya, antara lain menolong rasul-rasul-Nya dan menimpa azab kepada musuh-musuh mereka.

Penegasan Hud a.s. kepada kaumnya bahwa mereka tidak akan dapat membuat mudarat kepada Allah, disebabkan berpalingnya mereka dari beriman dan tetap dalam kekafiran, bukanlah sekadar peringatan untuk menakut-nakuti mereka, tetapi memang demikianlah hakikat dan kenyataannya, dan ini sesuai dengan firman Allah:

Jika kamu kafir (ketahuilah) maka sesungguhnya Allah tidak memerlukanmu dan Dia tidak meridai kekafiran hamba-hamba-Nya. Jika kamu bersyukur, Dia meridai kesyukuranmu itu. (az-Zumar/39: 7)

Dan firman Allah:

Maka sembahlah selain Dia sesukamu! (wahai orang-orang musyrik). Katakanlah, "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari Kiamat." (az-Zumar/39: 15)

Ayat 58

وَلَمَّا جَاۤءَ اَمْرُنَا نَجَّيْنَا هُوْدًا وَّالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗ بِرَحْمَةٍ مِّنَّاۚ وَنَجَّيْنٰهُمْ مِّنْ عَذَابٍ غَلِيْظٍ

wa lammā jā'a amrunā najjainā hūdaw wal-lażīna āmanū ma‘ahū biraḥmatim minnā, wa najjaināhum min ‘ażābin galīẓ(in).

Dan ketika azab Kami datang, Kami selamatkan Hud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat Kami. Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari azab yang berat.

Pada ayat ini Allah swt menerangkan bahwa sewaktu datang azab Allah kepada kaum Hud a.s. sebagai akibat dari pembangkangan mereka, Nabi Hud a.s. beserta pengikut-pengikutnya yang beriman telah diselamat-kan Allah dari azab dunia yang sangat dahsyat itu sebagai rahmat dan karunia Allah kepada mereka dan akan menyelamatkan mereka dari azab Allah yang lebih berat di akhirat nanti. Sedang kaum Hud a.s. yang tetap menentang dan membangkang itu, musnah semuanya dan akan mendapat azab yang lebih berat di akhirat nanti.

Adapun azab Allah yang ditimpakan kepada kaum Hud a.s. yaitu berupa angin yang sangat dingin lagi kencang, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

Sedangkan kaum ad, mereka telah dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin, Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus; maka kamu melihat kaum ad pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk). Maka adakah kamu melihat seorang pun yang masih tersisa di antara mereka? (al-Haqqah/69: 6-8)

Ayat 59

وَتِلْكَ عَادٌ ۖجَحَدُوْا بِاٰيٰتِ رَبِّهِمْ وَعَصَوْا رُسُلَهٗ وَاتَّبَعُوْٓا اَمْرَ كُلِّ جَبَّارٍ عَنِيْدٍ

wa tilka ‘ādun jaḥadū bi'āyāti rabbihim wa ‘aṣau rusulahū wattaba‘ū amra kulli jabbārin ‘anīd(in).

Dan itulah (kisah) kaum ‘Ad yang mengingkari tanda-tanda (kekuasaan) Tuhan. Mereka mendurhakai rasul-rasul-Nya dan menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi durhaka.

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa itulah kisah kaum ad yang telah mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah dan mendurhakai rasul-Nya yang diutus untuk memberikan petunjuk kepada mereka menuju jalan yang benar, yaitu mengesakan-Nya dan mematuhi perintah-Nya. Tetapi mereka hanya mau mematuhi perintah penguasa yang sewenang-wenang yang tidak mau mengikuti kebenaran walaupun dengan dalil-dalil dan bukti-bukti yang cukup meyakinkan.

Pada ayat ini diterangkan bahwa bangsa ad (kaum Hud a.s.) itu mendurhakai rasul-rasul Allah. Apakah memang demikian? Atau hanya mereka durhakai seorang rasul Allah saja yaitu Hud a.s.? Para mufasir menjelaskan bahwa yang mereka dustakan itu adalah Hud a.s., tetapi mendustakan atau mendurhakai seorang rasul Allah berarti mendustakan atau mendurhakai semua rasul-Nya. Sebab, semua rasul mengemban tugas yang sama, yaitu mengajak supaya bertauhid kepada Allah dan mematuhi perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.

Ayat 60

وَاُتْبِعُوْا فِيْ هٰذِهِ الدُّنْيَا لَعْنَةً وَّيَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ اَلَآ اِنَّ عَادًا كَفَرُوْا رَبَّهُمْ ۗ اَلَا بُعْدًا لِّعَادٍ قَوْمِ هُوْدٍ ࣖ

wa utbi‘ū fī hażihid-dun-yā la‘nataw wa yaumal-qiyāmah(ti), alā inna ‘ādan kafarū rabbahum, alā bu‘dal li‘ādin qaumi hūd(in).

Dan mereka selalu diikuti dengan laknat di dunia ini dan (begitu pula) di hari Kiamat. Ingatlah, kaum ‘Ad itu ingkar kepada Tuhan mereka. Sungguh, binasalah kaum ‘Ad, umat Hud itu,

Pada ayat ini Allah swt menerangkan bahwa kaum ad yang terus-menerus membangkang dalam kekafiran itu, telah ditimpa kutukan Allah di dunia ini, sehingga mereka musnah semuanya ditiup angin keras yang sangat dahsyat dan kelak disusul dengan azab yang lebih pedih dan lebih dahsyat lagi pada hari Kiamat.

Selanjutnya Allah memperingatkan kepada semua hamba-Nya agar menyadari bahwa demikian itulah balasan terhadap kaum ad yang kafir, yang mengingkari keesaan Allah Yang Mahakuasa, yang telah menciptakan mereka. Mereka juga mendustakan rasul-rasul-Nya dengan angkuh dan keras kepala, hanya karena mengejar keberuntungan duniawi yang tidak kekal.

Kemudian pada akhir ayat ini, Allah menyatakan dengan jelas bahwa kebinasaanlah bagi kaum ad yang telah jauh dari rahmat Allah, mereka adalah kaum Hud a.s. yang tidak percaya kepada Hud a.s. dan kepada dakwah yang dibawanya, sehingga mereka mendapat kutukan di dunia dan di akhirat.

Ayat 61

۞ وَاِلٰى ثَمُوْدَ اَخَاهُمْ صٰلِحًا ۘ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗهُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا فَاسْتَغْفِرُوْهُ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ ۗاِنَّ رَبِّيْ قَرِيْبٌ مُّجِيْبٌ

wa ilā ṡamūda akhāhum ṣālihā(n), qāla yā qaumi‘budullāḥa mā lakum min ilāhin gairuh(ū), huwa ansya'akum minal-arḍi wasta‘marakum fīhā fastagfirūhu ṡumma tūbū ilaih(i), inna rabbī qarībum mujīb(un).

dan kepada kaum samud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya).”

Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Dia telah mengutus seorang utusan kepada kaum namud, namanya Saleh. Ia menyeru mereka supaya menyembah Allah dan meninggalkan sembahan-sembahan yang telah membawa mereka kepada jalan yang salah dan menyesatkan. Allah-lah yang menciptakan mereka dari tanah. Dari tanah itulah diciptakan-Nya Adam a.s. dan dari tanah itu pulalah asal semua manusia. Setelah manusia berkembang biak di atas bumi mereka diserahi tugas memakmurkannya, sebagai anugerah dan karunia dari Allah. Dengan karunia itu kaum Samud telah hidup senang bahkan mereka telah dapat pula membuat rumah tempat berlindung seperti tersebut dalam firman Allah:

Dan mereka memahat rumah-rumah dari gunung batu, (yang didiami) dengan rasa aman. (al-Hijr/15: 82)

Demikian besarnya karunia dan nikmat Allah yang diberikan kepada mereka. Maka mereka wajib mensyukuri nikmat itu dengan mengagungkan dan memuliakan-Nya dan tidak menyembah selain-Nya. Dan seharusnyalah mereka bertobat kepada-Nya, karena keterlanjuran mereka berbuat kesesatan, menyembah sembahan-sembahan selain Dia. Bila mereka menyadari hal itu dan dengan sungguh-sungguh bertobat kepada-Nya tentulah Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penerima tobat akan mengampuni mereka dan memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang saleh. Inilah yang diserukan dan dianjurkan Nabi Saleh a.s. kepada kaumnya itu.

Ayat 62

قَالُوْا يٰصٰلِحُ قَدْ كُنْتَ فِيْنَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هٰذَآ اَتَنْهٰىنَآ اَنْ نَّعْبُدَ مَا يَعْبُدُ اٰبَاۤؤُنَا وَاِنَّنَا لَفِيْ شَكٍّ مِّمَّا تَدْعُوْنَآ اِلَيْهِ مُرِيْبٍ

qālū yā ṣāliḥu qad kunta fīnā marjuwwan qabla hāżā atanhānā an na‘buda mā ya‘budu ābā'unā wa innanā lafī syakkim mimmā tad‘ūnā ilaihi murīb(in).

Mereka (kaum samud) berkata, “Wahai Saleh! Sungguh, engkau sebelum ini berada di tengah-tengah kami merupakan orang yang di harapkan, mengapa engkau melarang kami menyembah apa yang disembah oleh nenek moyang kami? Sungguh, kami benar-benar dalam keraguan dan kegelisahan terhadap apa (agama) yang engkau serukan kepada kami.”

Seruan Nabi Saleh yang demikian baiknya dan disertai dengan alasan-alasan yang dapat diterima serta dikuatkan dengan janji, bahwa mereka akan mendapat ampunan dari Allah Yang Maha Pemurah, ditolak mentah-mentah oleh kaumnya. Mereka menjawab: "Hai Saleh, engkau adalah tumpuan harapan kami, karena engkau adalah orang yang terpandang, orang yang arif bijaksana, keturunan orang-orang mulia di antara kami dan kami percaya bahwa engkau akan dapat memimpin kami ke jalan yang benar. Tetapi semua harapan kami itu telah engkau kecewakan dengan seruanmu. Kami merasa heran, mengapa kamu melarang kami menyembah tuhan-tuhan kami yang telah menjadi sembahan kami dan nenek moyang kami sejak dahulu kala?

Ayat 63

قَالَ يٰقَوْمِ اَرَءَيْتُمْ اِنْ كُنْتُ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّيْۗ وَاٰتٰىنِيْ مِنْهُ رَحْمَةً فَمَنْ يَّنْصُرُنِيْ مِنَ اللّٰهِ اِنْ عَصَيْتُهٗ ۗفَمَا تَزِيْدُوْنَنِيْ غَيْرَ تَخْسِيْرٍ

qāla yā qaumi ara'aitum in kuntu ‘alā bayyinatim mir rabbī, wa ātānī minhu raḥmatan famay yanṣurunī minallāhi in ‘aṣaituh(ū), famā tazīdūnanī gaira takhsīr(in).

Dia (Saleh) berkata, “Wahai kaumku! Terangkanlah kepadaku jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapa yang akan menolongku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya? Maka kamu hanya akan menambah kerugian kepadaku.

Nabi Saleh a.s. menjawab tuduhan dan tantangan kaumnya itu dengan menyatakan bahwa seruannya itu adalah seruan yang benar untuk kebaikan dan kebahagiaan mereka sendiri, jika mereka mau memikirkan dan mempertimbangkannya. Nabi Saleh meminta mereka mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya, jika ternyata ia yang benar dan dapat mengemuka-kan bukti-bukti dari Tuhan atas kebenaran seruan itu. Apakah mungkin ia mendurhakai-Nya dan enggan menyampaikan seruan ini kepada kaumnya. Siapakah yang dapat menolong jika Allah membinasakannya karena kedurhakaan itu? Ia harus menyampaikan kebenaran ini dan menjelaskan kepada mereka bahwa sembahan-sembahan dan berhala-berhala itu, tidak dapat menolong mereka sedikit pun. Oleh karena itu, sembahlah Allah yang menciptakan mereka dan memberi nikmat dan karunia kepada mereka sehingga mereka dapat hidup senang di muka bumi ini.

Ayat 64

وَيٰقَوْمِ هٰذِهٖ نَاقَةُ اللّٰهِ لَكُمْ اٰيَةً فَذَرُوْهَا تَأْكُلْ فِيْٓ اَرْضِ اللّٰهِ وَلَا تَمَسُّوْهَا بِسُوْۤءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيْبٌ

wa yā qaumi hāżihī nāqatullāhi lakum āyatan fa żarūhā ta'kul fī arḍillāhi wa lā tamassūhā bisū'in fa ya'khużakum ‘ażābun qarīb(un).

Dan wahai kaumku! Inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apa pun yang akan menyebabkan kamu segera ditimpa (azab).”

Nabi Saleh a.s. mengatakan kepada kaumnya yang ingkar, bahwa kalau mereka tidak percaya akan seruanya ini, maka Allah telah mengirimkan seekor unta yang istimewa sebagai bukti atas kebenaran seruannya. Unta ini jauh berbeda sifat dan tingkah lakunya dari unta biasa, baik mengenai makan-minumnya, maupun tabiat dan sifatnya. Mereka dilarang mengganggunya dan membiarkan unta itu makan dan minum di tempat yang disukainya. Jika mereka berani mengganggu atau menganiayanya pasti mereka akan ditimpa siksaan dari Allah.

Ayat 65

فَعَقَرُوْهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوْا فِيْ دَارِكُمْ ثَلٰثَةَ اَيَّامٍ ۗذٰلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوْبٍ

fa ‘aqarūhā fa qāla tamatta‘ū fī dārikum ṡalāṡata ayyām(in), żālika wa‘dun gairu makżūb(in).

Maka mereka menyembelih unta itu, kemudian dia (Saleh) berkata, “Bersukarialah kamu semua di rumahmu selama tiga hari. Itu adalah janji yang tidak dapat didustakan.”

Tetapi kaum namud tetap tidak mempercayainya dan tetap menentang serta memperolok-olokkannya bahkan membunuh unta yang dikirimkan Allah sebagai mukjizat itu. Nabi Saleh a.s. sangat bersedih hati atas tindakan kaumnya, sebab dia yakin mereka akan dibinasakan Allah karena perbuatan mereka membunuh unta itu. Lalu Nabi Saleh berkata, "Kamu diberi kesempatan oleh Allah bersenang-senang hidup di negeri ini selama tiga hari, dan sesudah itu kamu akan dibinasakan karena keingkaran dan kedurhakaan kamu. Ini adalah janji dari Allah, yang pasti terlaksana dan kamu akan melihat sendiri."

Ayat 66

فَلَمَّا جَاۤءَ اَمْرُنَا نَجَّيْنَا صٰلِحًا وَّالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗ بِرَحْمَةٍ مِّنَّا وَمِنْ خِزْيِ يَوْمِىِٕذٍ ۗاِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيْزُ

falammā jā'a amrunā najjainā ṣāliḥaw wal-lażīna āmanū ma‘ahū biraḥmatim minnā wa min khizyi yaumi'iż(in), inna rabbaka huwal-qawiyyul-‘ażīz(u).

Maka ketika keputusan Kami datang, Kami selamatkan Saleh dan orang-orang yang beriman bersamanya dengan rahmat Kami dan (Kami selamatkan) dari kehinaan pada hari itu. Sungguh, Tuhanmu, Dia Mahakuat, Mahaperkasa.

Tatkala datang malapetaka yang diancamkan Allah kepada kaum Samud, sebagai siksaan dan balasan atas kedurhakaan mereka, Allah swt menyelamatkan Nabi Saleh a.s. dan orang-orang yang beriman bersamanya, dengan karunia dan rahmat-Nya, dari azab dan siksaan itu. Pada hari tersebut, mereka yang durhaka dimusnahkan semuanya. Mereka mendapat nama buruk dalam sejarah manusia, yang tentu saja akan dianggap sebagai lembaran hitam yang menodai kemurnian dan ketinggian martabat manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sungguh amat berat siksaan yang ditimpakan Allah kepada mereka, tetapi tindakan itu adalah adil dan sesuai dengan dosa dan kesalahan yang mereka lakukan. Allah-lah yang berhak melakukannya dan Dia-lah yang dapat melaksanakannya karena Dia adalah Maha Perkasa dan Maha Kuasa.

Ayat 67

وَاَخَذَ الَّذِيْنَ ظَلَمُوا الصَّيْحَةُ فَاَصْبَحُوْا فِيْ دِيَارِهِمْ جٰثِمِيْنَۙ

wa akhażal-lażīna ẓalamuṣ-ṣaiḥatu fa aṣbaḥū fī dārihim jāṡimīn(a).

Kemudian suara yang mengguntur menimpa orang-orang zalim itu, sehingga mereka mati bergelimpangan di rumahnya.

Kaum Samud dibinasakan Allah dengan suara keras yang mengguntur, menggoncangkan hati setiap pendengarnya dan menimbulkan gempa yang amat dahsyat, sehingga orang yang berdosa dan durhaka itu jatuh tersungkur tidak sadarkan diri lalu ditelan oleh bumi yang telah merekah dan pecah-belah. Tidak seorang pun di antara mereka yang dapat menyelamatkan diri dari malapetaka itu.

Ayat 68

كَاَنْ لَّمْ يَغْنَوْا فِيْهَا ۗ اَلَآ اِنَّ ثَمُوْدَا۟ كَفَرُوْا رَبَّهُمْ ۗ اَلَا بُعْدًا لِّثَمُوْدَ ࣖ

ka allam yagnau fīhā, alā inna ṡamūda kafarū rabbahum, alā bu‘dal liṡamūd(a).

Seolah-olah mereka belum pernah tinggal di tempat itu. Ingatlah, kaum samud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, binasalah kaum samud.

Sungguh dahsyat malapetaka yang ditimpakan kepada mereka, sehingga dalam sesaat saja mereka sudah musnah semuanya, seakan-akan mereka tidak pernah ada di muka bumi, seakan-akan kampung halaman mereka tidak pernah didiami oleh manusia, hilang lenyap dan musnah ditelan bencana. Semua ini akibat kedurhakaan mereka terhadap Allah dan keingkaran mereka terhadap mukjizat dan bukti-bukti yang diturunkan-Nya. Sepantasnyalah mereka mendapat kutukan dan siksaan yang dahsyat.

Ayat 69

وَلَقَدْ جَاۤءَتْ رُسُلُنَآ اِبْرٰهِيْمَ بِالْبُشْرٰى قَالُوْا سَلٰمًا ۖقَالَ سَلٰمٌ فَمَا لَبِثَ اَنْ جَاۤءَ بِعِجْلٍ حَنِيْذٍ

wa laqad jā'at rusulunā ibrāhīma bil-busyrā qālū salāmā(n), qāla salāmun famā labiṡa an jā'a bi‘ijlin ḥanīż(in).

Dan para utusan Kami (para malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan, “Selamat.” Dia (Ibrahim) menjawab, “Selamat (atas kamu).” Ma-ka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang.

Beberapa malaikat datang mengunjungi Nabi Ibrahim a.s. di rumah-nya untuk menyampaikan berita gembira kepadanya. Diriwayatkan dari Atha bahwa malaikat-malaikat itu terdiri dari Jibril, Mikail, dan Israfil a.s. Ada pula riwayat yang mengatakan mereka terdiri dari Jibril bersama tujuh malaikat lainnya. Mereka disambut oleh Nabi Ibrahim a.s. dengan sambutan yang baik sekali karena dia yakin bahwa tamunya yang penuh sopan-santun dan mengucapkan salam sebelum memasuki rumahnya adalah tamu-tamu terhormat dari kalangan orang-orang yang baik. Sudah menjadi kebiasaan bagi orang-orang Arab Badui bila kedatangan tamu, mereka harus disuguhi hidangan yang istimewa, sesuai dengan kesanggupan tuan rumah. Nabi Ibrahim a.s. pun menghidangkan untuk tamu-tamunya itu makanan yang lezat yaitu seekor domba yang dibakar di atas batu yang dipanaskan dan mempersilahkan mereka menikmati makanan yang istimewa itu. Tetapi tamu-tamu itu tidak mau menyentuh makanan itu, karena mereka adalah malaikat yang menyamar seperti manusia, sedang malaikat tidak membutuhkan makanan dan minuman.

Ayat 70

فَلَمَّا رَآٰ اَيْدِيَهُمْ لَا تَصِلُ اِلَيْهِ نَكِرَهُمْ وَاَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيْفَةً ۗقَالُوْا لَا تَخَفْ اِنَّآ اُرْسِلْنَآ اِلٰى قَوْمِ لُوْطٍۗ

falammā ra'ā aidiyahum lā taṣilu ilaihi nakirahum wa aujasa minhum khīfah(tan), qālū lā takhaf innā ursilnā ilā qaumi lūṭ(in).

Maka ketika dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, dia (Ibrahim) mencurigai mereka, dan merasa takut kepada mereka. Mereka (malaikat) berkata, “Jangan takut, sesungguhnya kami diutus kepada kaum Lut.”

Karena para tamu tidak mau menyentuh makanan lezat yang dihidangkan itu, maka Nabi Ibrahim a.s. merasa curiga atas niat baik mereka. Di kalangan orang Arab bila tamu tidak makan makanan yang dihidangkan itu adalah suatu tanda tamunya bermaksud jahat terhadapnya. Berbagai macam perasaan seperti curiga, takut, dan lain sebagainya timbul dari hati Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya, melihat sikap tamu-tamunya itu. Hal ini jelas tampak pada air mukanya yang tadinya berseri-seri, lantas berubah menjadi pucat pasi. Akhirnya para malaikat itu menjelaskan bahwa mereka adalah malaikat yang diutus Allah kepada kaum Luth untuk membinasakan mereka karena mereka adalah kaum yang terkutuk yang tidak mengindahkan peringatan Allah supaya mereka meninggalkan perbuatan maksiat dan terkutuk dan beriman kepada Allah swt serta kepada risalah yang dibawa Nabi Lut a.s.

Ayat 71

وَامْرَاَتُهٗ قَاۤىِٕمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنٰهَا بِاِسْحٰقَۙ وَمِنْ وَّرَاۤءِ اِسْحٰقَ يَعْقُوْبَ

wamra'atuhū qā'imatun fa ḍaḥikat fa basysyarnāhā bi'isḥāq(a), wa miw warā'i isḥāqa ya‘qūb(a).

Dan istrinya berdiri lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishak dan setelah Ishak (akan lahir) Yakub.

Istri Nabi Ibrahim a.s. yang bernama Sarah menjadi gembira dan tersenyum karena yang datang itu bukanlah orang jahat, tetapi adalah malaikat-malaikat utusan Allah, dan tentu saja mereka tidak mau makan dan minum. Selanjutnya mereka berkata kepada Sarah bahwa Allah telah menyampaikan suatu berita gembira untuknya bahwa dia akan melahirkan seorang anak bernama Ishak dan Ishak pun akan mempunyai keturunan pula di antaranya Yakub.

Ayat 72

قَالَتْ يٰوَيْلَتٰىٓ ءَاَلِدُ وَاَنَا۠ عَجُوْزٌ وَّهٰذَا بَعْلِيْ شَيْخًا ۗاِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ عَجِيْبٌ

qālat yā wailatā a'alidu wa ana ‘ajūzuw wa hāżā ba‘lī syaikhā(n), inna hāżā lasyai'un ‘ajīb(un).

Dia (istrinya) berkata, “Sungguh ajaib, mungkinkah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua, dan suamiku ini sudah sangat tua? Ini benar-benar sesuatu yang ajaib.”

Alangkah terkejutnya Sarah ketika mendengar ucapan malaikat itu seakan-akan ia tidak percaya bahwa yang dihadapinya itu ialah malaikat-malaikat yang tidak pernah berbohong dan tidak akan berdusta selama-lamanya. Karena itu dengan spontan ia menjawab, "Sungguh mengherankan! Bagaimana aku akan melahirkan seorang anak, padahal aku ini sudah tua dan suamiku sudah tua renta pula!"

Diriwayatkan bahwa umur Nabi Ibrahim di waktu itu 100 tahun dan istrinya 90 tahun. Menurut kebiasaan seorang perempuan bila telah berumur 50 tahun tidak haid lagi dan karena itu ia tidak ada harapan lagi untuk beranak. Apalagi Sarah adalah seorang perempuan mandul pula seperti tersebut dalam firman Allah:

Kemudian istrinya datang memekik (tercengang) lalu menepuk wajahnya sendiri seraya berkata, "(Aku ini) seorang perempuan tua yang mandul." (az-Zariyat/51: 29)

Nabi Ibrahim a.s. tidak kurang terkejutnya mendengar berita itu seperti tersebut dalam firman Allah:

Dia (Ibrahim) berkata, "Benarkah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, lalu (dengan cara) bagaimana kamu memberi (kabar gembira) tersebut?" (al-hijr/15: 54)

Keduanya (Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya Sarah) sama-sama ragu akan berita gembira itu, karena biasanya hal itu tidak mungkin terjadi.

Ayat 73

قَالُوْٓا اَتَعْجَبِيْنَ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ رَحْمَتُ اللّٰهِ وَبَرَكٰتُهٗ عَلَيْكُمْ اَهْلَ الْبَيْتِۗ اِنَّهٗ حَمِيْدٌ مَّجِيْدٌ

qālū ata‘jabīna min amrillāhi raḥmatullāhi wa barakātuh(ū), ‘alaikum ahlal-bait(i), innahū ḥamīdum majīd(un).

Mereka (para malaikat) berkata, “Mengapa engkau merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat dan berkah Allah, dicurahkan kepada kamu, wahai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji, Maha Pengasih.”

Akhirnya para malaikat itu berkata, "Apakah patut kamu merasa heran terhadap sesuatu yang telah ditetapkan Allah?" Allah Yang Mahakuasa lagi Mahaperkasa tidak akan sulit baginya bila Dia menghendaki akan menganugerahkan anak kepada siapa saja meskipun hal itu menurut adat dan kebiasaan tidak mungkin terjadi. Hal itu sungguh amat mudah bagi Allah sesuai dengan firman-Nya:

Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka jadilah sesuatu itu. (Yasin/36: 82)

Selanjutnya malaikat mengatakan, "Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat kepada kamu, hai keluarga Ibrahim a.s. Dia-lah yang berhak disanjung dan dipuji."

Mendengar ucapan para malaikat itu mengertilah Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya Sarah, bahwa mereka telah terlanjur dan terlalu lancang mengucapkan kata-kata padahal yang membawa berita gembira itu adalah para malaikat utusan Allah.

Tidaklah dapat dilukiskan bagaimana gembira dan bahagianya Nabi Ibrahim a.s. apalagi istrinya yang lain yang bernama Hajar telah melahirkan seorang putera bernama Ismail. Mereka mengucapkan syukur dan puji kepada Allah, yang telah memberi mereka karunia yang sudah lama mereka idam-idamkan dan hampir berputus-asa dalam hal ini karena mereka sudah tua.

Ayat 74

فَلَمَّا ذَهَبَ عَنْ اِبْرٰهِيْمَ الرَّوْعُ وَجَاۤءَتْهُ الْبُشْرٰى يُجَادِلُنَا فِيْ قَوْمِ لُوْطٍ

falammā żahaba ‘an ibrāhīmar rau‘u wa jā'athul busyrā yujādilunā fī qaumi lūṭ(in).

Maka ketika rasa takut hilang dari Ibrahim dan kabar gembira telah datang kepadanya, dia pun bersoal jawab dengan (para malaikat) Kami tentang kaum Lut.

Setelah Nabi Ibrahim a.s. mengetahui bahwa yang datang kepadanya adalah malaikat utusan Allah, maka dia merasa lega dan hilanglah segala syakwasangka di dalam hatinya. Alangkah bahagianya keluarga Nabi Ibrahim a.s. di kala itu, tidak ada kegembiraan dan kebahagiaan yang melebihinya karena apa yang telah lama diingini dan diidam-idamkan, tiba-tiba dengan karunia dan rahmat Allah dia akan memperoleh seorang anak yang sekaligus telah diberi nama Ishak. Tetapi Nabi Ibrahim a.s. sebagai seorang penyantun dan pengasih dan penyayang terhadap umat manusia, di saat diliputi kegembiraan, ia tidak lupa bahkan ingat kembali akan ucapan para malaikat itu, bahwa mereka diutus Allah untuk membinasakan kaum Luth. Terlukislah di dalam ingatannya bagaimana buruknya nasib kaum Luth itu, dan bagaimana dahsyatnya malapetaka yang akan menimpa mereka. Rasa bahagia dan gembira dengan sekejap telah berganti dengan rasa cemas dan putus asa. Ia memberanikan dirinya untuk berdebat dengan para malaikat itu, dengan harapan rencana pembinasaan kaum Luth itu dapat dibatalkan. Hal itu tersebut dalam firman Allah:

Dan ketika utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengatakan, "Sungguh, kami akan membinasakan penduduk kota (Sodom) ini karena penduduknya sungguh orang-orang zalim." (al-Ankabut/29: 31)

Ayat 75

اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ لَحَلِيْمٌ اَوَّاهٌ مُّنِيْبٌ

inna ibrāhīma laḥalīmun awwāhum munīb(un).

Ibrahim sungguh penyantun, lembut hati dan suka kembali (kepada Allah).

Demikianlah rasa santun dan kasih sayang seorang nabi terhadap umat manusia, terutama Nabi Ibrahim a.s. yang dalam keadaan gembira dan bahagia ia akan memperoleh keinginan dan idaman hatinya yang telah lama dicita-citakannya, yaitu seorang anak laki-laki bernama Ishak dari istri pertama. Di dalam keadaan demikian, biasanya orang lupa akan segala-galanya, tetapi ia tidak melupakan nasib kaum Luth yang didengarnya bahwa mereka akan dibinasakan dan ia mohon kepada Tuhannya agar mereka diselamatkan dengan mengemukakan alasan dan harapan agar permohonannya itu dikabulkan. Sesungguhnya Nabi Ibrahim memang benar seorang yang penyantun dan menaruh iba (kasihan) terhadap orang yang ditimpa kemalangan dan selalu berserah diri kepada Tuhannya.

Ayat 76

يٰٓاِبْرٰهِيْمُ اَعْرِضْ عَنْ هٰذَا ۚاِنَّهٗ قَدْ جَاۤءَ اَمْرُ رَبِّكَۚ وَاِنَّهُمْ اٰتِيْهِمْ عَذَابٌ غَيْرُ مَرْدُوْدٍ

yā ibrāhīmu a‘riḍ ‘an hāżā, innahū qad jā'a amru rabbik(a), wa innahum ātīhim ‘ażābun gairu mardūd(in).

Wahai Ibrahim! Tinggalkanlah (perbincangan) ini, sungguh, ketetapan Tuhanmu telah datang, dan mereka itu akan ditimpa azab yang tidak dapat ditolak.

Akhirnya para malaikat dengan tegas mengatakan kepada Ibrahim sambil menolak permintaannya yang dikemukakan dengan sungguh-sungguh. Janganlah ia membicarakan nasib kaum Luth itu dan serahkanlah urusan mereka kepada keputusan Tuhannya. Allah telah memberi keputusan terhadap mereka bahwa mereka akan ditimpa azab yang tidak dapat ditolak, karena mereka adalah kaum yang ingkar akan perintah-Nya dan telah melakukan dosa dan maksiat yang sangat jahat dan menjijikkan. Dosa mereka tidak dapat diampuni lagi, mereka telah diberi kesempatan untuk bertobat dan kembali kepada jalan yang lurus, tetapi semua dakwah dan seruan yang baik selalu mereka tolak, malah mereka sambut dengan cemoohan dan ejekan. Itulah keputusan Tuhanmu yang Maha Adil. Mereka dan negeri mereka akan dimusnahkan dengan menenggelamkannya ke dalam tanah.

Ayat 77

وَلَمَّا جَاۤءَتْ رُسُلُنَا لُوْطًا سِيْۤءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا وَّقَالَ هٰذَا يَوْمٌ عَصِيْبٌ

wa lammā jā'at rusulunā lūṭan sī'a bihim wa ḍāqa bihim żar‘aw wa qāla hāżā yaumun ‘aṣīb(un).

Dan ketika para utusan Kami (para malaikat) itu datang kepada Lut, dia merasa curiga dan dadanya merasa sempit karena (kedatangan)nya. Dia (Lut) berkata, “Ini hari yang sangat sulit.”

Tatkala malaikat-malaikat Allah datang kepada Lut, dalam bentuk pemuda yang rupawan, ia merasa susah karena kedatangan tamu-tamu itu. Ia sudah khawatir bahwa kaumnya pasti akan mengganggu mereka itu karena pemuda-pemuda itu menarik perhatian mereka, karena mereka suka kepada lelaki, bukan kepada wanita. Nabi Lut a.s. merasa sesak dadanya karena kedatangan tamu-tamu itu, sehingga ia berkata, "Inilah hari yang paling menyulitkan dan paling berbahaya."

Ayat 78

وَجَاۤءَهٗ قَوْمُهٗ يُهْرَعُوْنَ اِلَيْهِۗ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ السَّيِّاٰتِۗ قَالَ يٰقَوْمِ هٰٓؤُلَاۤءِ بَنَاتِيْ هُنَّ اَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوا اللّٰهَ وَلَا تُخْزُوْنِ فِيْ ضَيْفِيْۗ اَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَّشِيْدٌ

wa jā'ahū qaumuhū yuhra‘ūna ilaih(i), wa min qablu kānū ya‘malūnas-sayyi'āt(i), qāla yā qaumi hā'ulā'i banātī hunna aṭharu lakum fattaqullāha wa lā tukhzūni fī ḍaifī, alaisa minkum rajulur rasyīd(un).

Dan kaumnya segera datang kepadanya. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan keji. Lut berkata, “Wahai kaumku! Inilah putri-putri (negeri)ku mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu orang yang pandai?”

Datanglah kaum Luth kepadanya dengan bergegas-gegas seperti orang-orang yang didorong oleh hawa nafsu yang jahat. Mereka sejak dahulu mengerjakan perbuatan-perbuatan yang keji dan sangat dicela oleh tabiat manusia yang wajar, lebih-lebih oleh syariat agama. Mereka suka melakukan homoseksual, melakukan hubungan kelamin dengan sesama lelaki tidak dengan wanita, dan mereka secara terang-terangan melakukan berbagai kemungkaran di balai pertemuannya. Firman Allah:

Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?" (al-Ankabut/29: 29)

Nabi Lut a.s. berkata, "Wahai kaumku inilah puteri-puteriku, dan puteri-puteri kaumku, silahkan kamu kawin dengan mereka. Mereka lebih suci bagimu dan kamu dapat bergaul secara halal dan baik dengan mereka dari pada memuaskan seleramu dengan melakukan homoseksual yang sangat keji dan merusak moral dan kesehatan. Bertakwalah kepada Allah dan hindarilah azab Allah, dan janganlah kamu mencemarkan namaku dengan memperkosa tamu-tamuku ini, sebab menghinakan tamu sama dengan menghinakan tuan rumahnya. Tidakkah ada di antara kamu seorang yang mempunyai akal yang sehat dan kebijaksanaan yang dapat mencegahmu dari perbuatan keji?"

Ayat 79

قَالُوْا لَقَدْ عَلِمْتَ مَا لَنَا فِيْ بَنٰتِكَ مِنْ حَقٍّۚ وَاِنَّكَ لَتَعْلَمُ مَا نُرِيْدُ

qālū laqad ‘alimta mā lanā fī banātika min ḥaqq(in), wa innaka lata‘lamu mā nurīd(u).

Mereka menjawab, “Sesungguhnya eng-kau pasti tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan (syahwat) terhadap putri-putrimu; dan engkau tentu mengetahui apa yang (sebenarnya) kami kehendaki.”

Mereka menjawab, "Sesungguhnya kamu sejak dahulu sudah tahu bahwa kami sama sekali tidak mempunyai hasrat untuk mengawini anak-anak perempuanmu itu dan anak-anak perempuan kaummu. Oleh karena itu, janganlah kamu mencoba untuk memalingkan perhatian kami dari pemuda-pemuda itu dengan menyodorkan anak-anak perempuanmu, karena kamu tentu telah mengetahui apa yang sebenarnya kami inginkan."

Ayat 80

قَالَ لَوْ اَنَّ لِيْ بِكُمْ قُوَّةً اَوْ اٰوِيْٓ اِلٰى رُكْنٍ شَدِيْدٍ

qāla lau anna lī bikum quwwatan au āwī ilā ruknin syadīd(in).

Dia (Lut) berkata, “Sekiranya aku mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).”

Nabi Lut a.s. berkata ketika kaumnya tetap ingin melaksanakan kejahatan homoseksual terhadap tamu-tamunya, sehingga ia putus harapan untuk menghentikan mereka dari perbuatan yang keji itu, "Seandainya aku mempunyai kekuatan dan daya kemampuan untuk menghalangi kamu atau seandainya aku dapat menjumpai sekumpulan orang-orang yang kuat yang dapat menolong aku dari kejahatan-kejahatan kamu tentulah akan aku lakukan."

Ayat 81

قَالُوْا يٰلُوْطُ اِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَّصِلُوْٓا اِلَيْكَ فَاَسْرِ بِاَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِّنَ الَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ اَحَدٌ اِلَّا امْرَاَتَكَۗ اِنَّهٗ مُصِيْبُهَا مَآ اَصَابَهُمْ ۗاِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ ۗ اَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيْبٍ

qālū yā lūṭu innā rusulu rabbika lay yaṣilū ilaika fa asri bi'ahlika biqiṭ‘im minal-laili wa lā yaltafit minkum aḥadun illamra'atak(a), innahū muṣībuhā mā aṣābahum, inna mau‘idahumuṣ-ṣubḥ(u), alaisaṣ-ṣubḥu biqarīb(in).

Mereka (para malaikat) berkata, “Wahai Lut! Sesungguhnya kami adalah para utusan Tuhanmu, mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah beserta keluargamu pada akhir malam dan jangan ada seorang pun di antara kamu yang menoleh ke belakang, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia (juga) akan ditimpa (siksaan) yang menimpa mereka. Sesungguhnya saat terjadinya siksaan bagi mereka itu pada waktu subuh. Bukankah subuh itu sudah dekat?”

Setelah para malaikat yang menjadi tamu Nabi Lut a.s. itu menyaksikan adanya kekhawatiran pada diri Nabi Lut a.s., mereka berkata, "Hai Lut, sesungguhnya kami adalah utusan Tuhanmu yang sengaja diutus untuk membinasakan mereka dan menyelamatkan kamu dari kejahatan-kejahatan mereka. Mereka sekali-kali tidak akan dapat mengganggu kamu, maka tenangkanlah hatimu. Ternyata penglihatan kaum Nabi Lut a.s. itu dijadikan gelap oleh Allah sehingga mereka tidak dapat melihat kepada Nabi Lut a.s. dan kepada tamu-tamunya seperti diterangkan dalam firman Allah:

Dan sungguh, mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan peringatan-Ku! (al-Qamar/54: 37)

Akhirnya mereka kembali ke rumahnya masing-masing dalam keadaan buta, tidak mengetahui jalan menuju ke rumahnya, mereka berteriak-teriak minta tolong dan mengatakan bahwa kami disihir oleh tamu-tamu yang berada di rumah Lut a.s.

Malaikat itu berkata kepada Nabi Lut a.s., "Keluarlah dari kampung ini, beserta keluarga dan kaummu yang beriman di akhir malam ini dan janganlah ada seorang pun di antara kamu yang ketinggalan atau menoleh ke belakang kecuali istrimu. Sesungguhnya azab yang akan menimpa mereka itu akan menimpa istrimu pula karena ia adalah seorang perempuan yang tidak beriman bahkan telah khianat kepada suaminya." Adapun sebabnya mereka tidak menoleh ke belakang, karena akibat menyaksikan azab itu, ia akan panik sehingga kakinya tidak akan dapat melangkah lagi dan akhirnya ditimpa oleh azab yang menyusul di belakangnya. Saat datangnya azab kepada mereka adalah waktu subuh seperti diterangkan dalam firman Allah:

Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit. (al-Hijr/15: 73)

Kemudian malaikat itu menegaskan kepastian turunnya azab dengan sebuah pertanyaan, "Bukankah subuh itu sudah dekat? Maka segeralah kamu bersiap-siap untuk mencari keselamatan."

Ayat 82

فَلَمَّا جَاۤءَ اَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَاَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّنْ سِجِّيْلٍ مَّنْضُوْدٍ

falammā jā'a amrunā ja‘alnā ‘āliyahā sāfilahā wa amṭarnā ‘alaihā ḥijāratam min sijjīlim manḍūd(in).

Maka ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkirbalikkannya negeri kaum Lut, dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar,

Ketika putusan Allah telah datang untuk mengazab kaum Luth, Allah menjadikan negeri mereka terjungkir balik, yang di atas jatuh ke bawah dan yang di bawah naik ke atas, dan Allah menghujani mereka dengan batu-batu yang berasal dari tanah yang terbakar hangus yang jatuh kepada mereka secara bertubi-tubi. Tentang ambruknya tanah menurut ahli pengetahuan adalah disebabkan karena adanya uap atau gas-gas yang keluar dari dasarnya kemudian karena adanya kekosongan di bawah lapisan bumi itu, maka tanah-tanah yang ada di atasnya menjadi runtuh dan ambruk ke bawah.

Ayat 83

مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَۗ وَمَا هِيَ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ بِبَعِيْدٍ ࣖ

musawwamatan ‘inda rabbik(a) wa mā hiya minaẓ-ẓālimīna biba‘īd(in).

yang diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang yang zalim.

Allah menurunkan batu-batu sijjil sebelum bumi dijungkirbalikkan. Menurut firman Allah dalam surah adz-dzariyat batu-batu itu adalah tanah liat yang terbakar sehingga menjadi batu yang diberi tanda oleh Allah Taala dengan nama orang-orang yang akan ditimpakannya. Batu-batu itu dijatuhkan di tempat yang sering dilalui orang musyrik Quraisy ketika mereka berdagang ke negeri Syam supaya menjadi peringatan bagi mereka agar jangan memusuhi Muhammad, supaya jangan ditimpa azab seperti yang menimpa kaum Nabi Lut a.s. yang ingkar kepada nabinya. Tempat itu sering dilalui oleh mereka bila mereka berdagang di musim panas di negeri Syam seperti diterangkan dalam firman Allah:

Dan sesungguhnya kamu (penduduk Mekah) benar-benar akan melalui (bekas-bekas) mereka pada waktu pagi, (ash-saffat/37: 137)

Ayat 84

۞ وَاِلٰى مَدْيَنَ اَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۗقَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗوَلَا تَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيْزَانَ اِنِّيْٓ اَرٰىكُمْ بِخَيْرٍ وَّاِنِّيْٓ اَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُّحِيْطٍ

wa ilā madyana akhāhum syu‘aibā(n), qāla yā qaumi‘budullāha mā lakum min ilāhin gairuh(ū), wa lā tanquṣul-mikyāla wal-mīzāna innī arākum bikhairiw wa innī akhāfu ‘alaikum ‘ażāba yaumim muḥīṭ(in).

Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syuaib. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (makmur). Dan sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab pada hari yang membinasakan (Kiamat).

Pada ayat ini diterangkan bahwa Allah swt mengutus Syuaib sebagai rasul-Nya kepada penduduk Madyan. Syuaib dipilih dari kaumnya sendiri. Syuaib adalah seorang putera keturunan dari Madyan bin Ibrahim a.s. Madyan membangun suatu daerah untuk kaumnya yang terletak di Hajar dekat negeri Syam, dan dinamakan sesuai dengan namanya, sehingga daerah itu beserta penduduknya dan kabilahnya dikatakan Madyan. Syuaib a.s. sebagai rasul Allah memulai tugas dakwahnya dengan mengajak kaumnya supaya menyembah Allah dan melarang mempersekutukan-Nya dengan berhala-berhala, patung-patung, dan sebagainya, karena tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah Yang Maha Esa yang menciptakan seluruh alam semesta. Kemudian Syuaib a.s. melarang kaumnya mengurangi takaran dan timbangan, sebagaimana yang mereka lakukan dalam segala macam perdagangan dan jual-beli, sebab perbuatan itu sama dengan mengambil hak orang dengan kecurangan yang sangat jahat dan keji. Larangan serupa ini diterangkan pula dalam firman Allah:

Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi. (al-Muthaffifin/83: 1- 3)

Syuaib a.s. menjelaskan kepada kaumnya, bahwa ia melihat mereka hidup berkecukupan dan kaya raya, mereka tidak perlu melakukan kecurangan dalam takaran dan timbangan. Sebab, perbuatan itu selain mengambil hak orang lain dengan cara yang licik dan keji juga berarti mengingkari nikmat Allah yang telah memberi kekayaan yang banyak kepada mereka. Semestinya mereka bersyukur kepada-Nya, bukan sebalik-nya mereka menambah harta kekayaan dengan kecurangan-kecurangan dan kelicikan-kelicikan yang sangat dimurkai Allah. Nabi Syuaib a.s. mem-peringatkan kaumnya, bahwa apabila mereka masih tetap membangkang dalam kekafiran dan terus melakukan pekerjaan tercela itu, maka ia khawatir mereka akan ditimpa azab yang membinasakan mereka.

Ayat 85

وَيٰقَوْمِ اَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيْزَانَ بِالْقِسْطِ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ

wa yā qaumi auful-mikyāla wal-mīzāna bil-qisṭi wa lā tabkhasun-nāsa asy-yā'ahum wa lā ta‘ṡau fil-arḍi mufsidīn(a).

Dan wahai kaumku! Penuhilah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan jangan kamu membuat kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.

Syuaib a.s. menjelaskan kepada kaumnya tentang hal yang harus mereka lakukan dalam soal takar-menakar dan timbang-menimbang, setelah lebih dahulu melarang mereka mengurangi takaran dan timbangan. Kewajiban itu ialah supaya kaumnya menyempurnakan takaran dan timbangan dengan adil tanpa kurang atau lebih dari semestinya. Bagi penjual yang sebetulnya dilarang ialah mengurangi takaran dan timbangan dari semestinya, dan tidak ada salahnya menambah dengan sepantasnya, untuk meyakinkan bahwa takaran dan timbangan itu benar-benar sudah cukup. Cara ini adalah terpuji, akan tetapi Syuaib a.s. mewajibkan mereka supaya berbuat adil tanpa kurang atau lebih. Ini maksudnya supaya dalam melaksanakan takaran dan timbangan benar-benar teliti.

Setelah Nabi Syuaib a.s. melarang kaumnya mengurangi takaran dan timbangan dan mewajibkan mereka supaya menyempurnakannya, kemudian ia melarang mereka dari segala macam perbuatan yang sifatnya mengurangi hak-hak orang lain, hak milik perseorangan atau orang banyak, baik jenis yang ditakar dan yang ditimbang maupun jenis-jenis lainnya seperti yang dihitung atau yang sudah dibatasi dengan batas-batas tertentu. Lebih jauh lagi Nabi Syuaib a.s. melarang kaumnya berbuat apa saja yang sifatnya merusak atau mengganggu keamanan dan ketenteraman di muka bumi, baik yang berhubungan dengan urusan-urusan keduniaan maupun yang ber-hubungan dengan keagamaan. Ayat ini mengandung hukum antara lain:

a. Wajib menyempurnakan timbangan dan takaran sebagaimana mestinya.

b. Haram mengambil hak orang lain, dengan cara dan jalan apa saja, baik hak itu milik perseorangan atau milik orang banyak seperti harta pemerintah dan perusahaan.

c. Haram berbuat sesuatu yang bersifat merusak atau mengganggu keamanan dan ketenteraman di muka bumi, seperti mencopet, mencuri, merampok, korupsi, menteror, dan lain-lainnya.

Ayat 86

بَقِيَّتُ اللّٰهِ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ەۚ وَمَآ اَنَا۠ عَلَيْكُمْ بِحَفِيْظٍ

baqiyyatullāhi khairul lakum in kuntum mu'minīn(a), wa mā ana ‘alaikum biḥafīẓ(in).

Sisa (yang halal) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu.”

Pada ayat ini, Nabi Syuaib a.s. memberikan penjelasan kepada kaumnya bahwa keuntungan yang halal yang mereka peroleh setelah menyempurnakan takaran dan timbangan, adalah lebih baik dari keuntungan yang haram yang mereka peroleh dengan cara mengurangi takaran dan timbangan, jika mereka beriman. Karena iman itu benar-benar dapat membersihkan jiwa dari keserakahan dan ketamakan, dan mengisinya dengan sifat pemurah. Tetapi jika mereka tidak beriman, tentu tidak akan dapat merasakan sama sekali. Selanjutnya Nabi Syuaib a.s. menjelaskan kepada kaumnya, bahwa ia bukanlah orang yang ditugaskan memelihara atau menjaga mereka dari berbuat kejahatan-kejahatan. Dia hanya sekadar menyampaikan nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk kepada mereka. Tugas itu sudah dilaksanakannya dengan sungguh-sungguh dan disertai dengan peringatan-peringatan tentang azab Allah kepada orang-orang yang tetap membangkang.

Ayat 87

قَالُوْا يٰشُعَيْبُ اَصَلٰوتُكَ تَأْمُرُكَ اَنْ نَّتْرُكَ مَا يَعْبُدُ اٰبَاۤؤُنَآ اَوْ اَنْ نَّفْعَلَ فِيْٓ اَمْوَالِنَا مَا نَشٰۤؤُا ۗاِنَّكَ لَاَنْتَ الْحَلِيْمُ الرَّشِيْدُ

qālū yā syu‘aibu aṣalātuka ta'muruka an natruka mā ya‘budu ābā'unā au an naf‘ala fī amwālinā mā nasyā'(u), innaka la'antal-ḥalīmur-rasyīd(u).

Mereka berkata, “Wahai Syuaib! Apakah agamamu yang menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang disembah nenek moyang kami atau melarang kami mengelola harta kami menurut cara yang kami kehendaki? Sesungguhnya engkau benar-benar orang yang sangat penyantun dan pandai.”

Pada ayat ini, Allah menerangkan reaksi yang dihadapi Nabi Syuaib a.s. dari kaumnya sebagai bantahan atas dua macam isi dakwahnya itu, yaitu: pertama, supaya mereka menyembah Allah Yang Maha Esa dan tidak boleh mermpersekutukan-Nya dengan menyembah berhala-berhala dan sebagai-nya; kedua, supaya mereka menyempurnakan takaran dan timbangan dan tidak boleh menguranginya.

Terhadap isi dakwah yang pertama, mereka membantah dengan mengatakan, "Apakah salatmu, yang ditimbulkan oleh kekacauan pikiran yang tidak menentu dan perbuatan gila, yang mendorong dan memerintahkan kamu supaya kami meninggalkan sembahan kami dari berhala-berhala dan patung-patung yang disembah oleh nenek-moyang kami?" Mereka sengaja menyebutkan salat Syuaib a.s. karena ia terkenal banyak melakukan salat sehingga menjadi ejekan bagi mereka, karena mereka menyangka bahwa perbuatannya itu adalah perbuatan gila dan kekacauan pikiran yang tidak menentu. Apabila kaumnya melihat ia sedang melakukan salat mereka saling mengedipkan mata dan mentertawakannya, maka salat itu adalah di antara syiar-syiar agama yang menjadi bahan tertawaan mereka.

Adapun terhadap isi dakwahnya yang kedua, mereka membantah dengan mengatakan, "Apakah salat itu yang memerintahkan kamu supaya melarang dan mengekang kebebasan kami dalam mendayagunakan harta kekayaan kami menurut kepandaian dan kecerdikan dengan segala macam tipu daya sesuai dengan kemauan dan keinginan kami? Sungguh kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi pandai."

Menurut Ibnu Abbas, pujian kepada Syuaib a.s. itu merupakan ejekan terhadapnya, sedang yang mereka maksud ialah sebaliknya, yakni lawan dari dua sifat itu. Pendapat ini sesuai dengan percakapan mereka sebelumnya yang sifat dan tujuannya adalah mengejek.

Pendapat lain mengatakan bahwa pujian itu tetap menurut artinya yang asal berdasarkan prasangka mereka semula yaitu sebelum Syuaib a.s. menyampaikan dakwahnya itu kepada mereka. Seolah-olah mereka mengatakan, "Kamu selama ini sangat penyantun lagi pandai, mengapa sekarang kamu mau menyusahkan kami?" Pendapat ini seirama dengan perkataan kaum namud kepada Nabi Saleh a.s. yang diterangkan dalam firman Allah:

Mereka (kaum Samud) berkata, "Wahai Saleh! Sungguh, engkau sebelum ini berada di tengah-tengah kami merupakan orang yang diharapkan, mengapa engkau melarang kami menyembah apa yang disembah oleh nenek moyang kami? Sungguh, kami benar-benar dalam keraguan dan kegelisahan terhadap apa (agama) yang engkau serukan kepada kami." (Hud/11: 62)

Ayat 88

قَالَ يٰقَوْمِ اَرَءَيْتُمْ اِنْ كُنْتُ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّيْ وَرَزَقَنِيْ مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ اُخَالِفَكُمْ اِلٰى مَآ اَنْهٰىكُمْ عَنْهُ ۗاِنْ اُرِيْدُ اِلَّا الْاِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُۗ وَمَا تَوْفِيْقِيْٓ اِلَّا بِاللّٰهِ ۗعَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَاِلَيْهِ اُنِيْبُ

qāla yā qaumi ara'aitum in kuntu ‘alā bayyinatim mir rabbī wa razaqanī minhu rizqan ḥasanaw wa mā urīdu an ukhālifakum ila mā anhākum ‘anh(u), in urīdu illal-iṣlāḥa mastaṭa‘t(u), wa mā taufīqī illā billāh(i), ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb(u).

Dia (Syuaib) berkata, “Wahai kaumku! Terangkan padaku jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan aku dianugerahi-Nya rezeki yang baik (pantaskah aku menyalahi perintah-Nya)? Aku tidak bermaksud menyalahi kamu terhadap apa yang aku larang darinya. Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan selama aku masih sanggup. Dan petunjuk yang aku ikuti hanya dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya (pula) aku kembali.

Pada ayat ini Allah swt menerangkan jawaban Syuaib a.s. terhadap bantahan kaumnya itu dengan mengatakan, "Hai kaumku bagaimana pikiranmu tentang persoalan ini jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku bahwa dakwah yang kusampaikan kepadamu itu bukan pendapatku sendiri tetapi wahyu dari Allah. Ia telah menganugerahkan kepadaku bermacam-macam rezeki yang baik. Semuanya aku peroleh dengan jalan yang halal, tanpa mengurangi takaran dan timbangan dan cara-cara lain yang sifatnya mengurangi atau merugikan hak orang lain dengan cara yang tidak sah. Apa yang kukatakan ini kepadamu sekalian adalah hasil percobaan dan pengalamanku dalam usaha yang berhasil baik yang mengandung kebajikan dan keberkahan, bukan sekadar berdasarkan teori atau omongan orang yang belum berpengalaman."

Selanjutnya Nabi Syuaib a.s. menjelaskan kepada kaumnya dengan mengatakan, "Sama sekali aku tidak bermaksud melarangmu untuk mengurangi takaran dan timbangan serta perbuatan-perbuatan lain yang sifatnya mengurangi atau merugikan hak orang lain dengan jalan yang tidak halal, lalu kemudian aku sendiri mengerjakannya, tetapi sejak semula aku telah berlaku jujur dan tidak mengerjakan penipuan dan kecurangan."

Kemudian Nabi Syuaib a.s. mengatakan bahwa ia tidak akan mendapat taufik dalam setiap langkah yang diambilnya, kecuali dengan hidayah dan pertolongan Allah. Kemudian ia menyatakan lagi bahwa ia tidak punya daya dan kekuatan, hanya kepada Allah-lah dia bertawakal dalam menunaikan dakwah yang disampaikan kepada kaumnya. Dan kepada-Nyalah ia kembali dalam segala urusan di dunia ini, dan Dialah yang akan membalas semua amalnya di hari akhirat.

Ayat 89

وَيٰقَوْمِ لَا يَجْرِمَنَّكُمْ شِقَاقِيْٓ اَنْ يُّصِيْبَكُمْ مِّثْلُ مَآ اَصَابَ قَوْمَ نُوْحٍ اَوْ قَوْمَ هُوْدٍ اَوْ قَوْمَ صٰلِحٍ ۗوَمَا قَوْمُ لُوْطٍ مِّنْكُمْ بِبَعِيْدٍ

wa yā qaumi lā yajrimannakum syiqāqī ay yuṣībakum miṡlu mā aṣāba qauma nūḥin au qauma hūdin au qauma ṣāliḥ(in), wa mā qaumu lūṭim minkum biba‘īd(in).

Dan wahai kaumku! Janganlah pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu berbuat dosa, sehingga kamu ditimpa siksaan seperti yang menimpa kaum Nuh, kaum Hud atau kaum Saleh, sedang kaum Lut tidak jauh dari kamu.

Pada ayat ini diterangkan bahwa Nabi Syuaib a.s. menjelaskan kepada kaumnya nasihat dan peringatan dengan mengatakan, "Hai kaumku, janganlah pertentangan antara aku dengan kamu, karena kamu masih tetap mempertahankan menyembah berhala dan patung-patung, dan menganiaya hak orang lain dengan mengurangi takaran, timbangan dan lain-lain, mendorong dan menyebabkan kamu menjadi orang-orang yang jahat sehingga kamu ditimpa oleh azab yang membinasakan di dunia ini sebagai-mana azab topan yang menenggelamkan kaum Nuh atau azab angin keras yang memusnahkan kaum Hud atau azab suara keras mengguntur yang mematikan kaum Saleh."

Kalau azab yang menimpa kaum-kaum itu yang disebabkan pembangkangan mereka terhadap Allah dan rasul-rasul-Nya, tidak dapat menjadi contoh dan pengajaran bagimu, karena sudah jauh masanya atau tempatnya dari kamu, maka perhatikanlah tentang azab hujan batu yang membakar dan memusnahkan kaum Luth. Peristiwa ini tidaklah jauh masa dan tempatnya dari kamu.

Ayat 90

وَاسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ ۗاِنَّ رَبِّيْ رَحِيْمٌ وَّدُوْدٌ

wastagfirū rabbakum ṡumma tūbū ilaih(i), inna rabbī raḥīmuw wadūd(un).

Dan mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sungguh, Tuhanku Maha Penyayang, Maha Pengasih.”

Pada ayat ini diterangkan bahwa Nabi Syuaib a.s. menyuruh kaumnya untuk memohon ampun kepada Allah Yang Maha Esa dengan beriman kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan menyembah berhala-berhala dan patung-patung, dan tidak mengurangi takaran, timbangan dan mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak halal. Kemudian ia menyuruh mereka supaya tobat yakni kembali kepada jalan yang benar dengan menaati Allah dan menjauhi larangan-Nya, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang dan Pengasih terhadap hamba-Nya yang sudah bertobat dan kembali kepada jalan yang benar dengan memberikan ampunan dan membebaskan dari azab dunia dan akhirat.

Perintah minta ampun dan tobat disebut secara bergandengan sebagaimana terdapat dalam ayat-ayat lain yang maksudnya hampir sama. Akan tetapi, kalau perintah istigfar itu ditujukan kepada orang-orang yang masih kafir, maka maksudnya bukan sekedar minta ampun tetapi supaya beriman kepada Allah. Adapun tobat ialah menyesali kesalahan yang diperbuat dan kembali kepada jalan yang benar. Kesalahan yang dimaksud ialah kesalahan-kesalahan yang dilakukan sesudah beriman, sebab kesalahan-kesalahan yang diperbuat di dalam kekafiran bisa hapus sendiri dengan beriman, dan masuk Islam.

Ayat 91

قَالُوْا يٰشُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِّمَّا تَقُوْلُ وَاِنَّا لَنَرٰىكَ فِيْنَا ضَعِيْفًا ۗوَلَوْلَا رَهْطُكَ لَرَجَمْنٰكَ ۖوَمَآ اَنْتَ عَلَيْنَا بِعَزِيْزٍ

qālū yā syu‘aibu mā nafqahu kaṡīram mimmā taqūlu wa innā lanarāka fīnā ḍa‘īfā(n), wa lau lā rahṭuka larajamnāk(a), wa anta ‘alainā bi‘azīz(in).

Mereka berkata, “Wahai Syuaib! Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang engkau katakan itu, sedang kenyataannya kami memandang engkau seorang yang lemah di antara kami. Kalau tidak karena keluargamu, tentu kami telah merajam engkau, sedang engkau pun bukan seorang yang berpengaruh di lingkungan kami.”

Sesudah penduduk Madyan (kaum Syuaib a.s.) merasa jenuh dan jengkel terhadap Nabi Syuaib a.s. karena semua alasan yang mereka kemukakan untuk menolak seruannya dijawab oleh Nabi Syuaib, mereka akhirnya berkata, "Hai Syuaib, kami tidak dapat memahami apa yang engkau kemukakan kepada kami mengenai tuhan-tuhan sembahan kami dan peraturan-peraturan yang mengekang kebebasan kami untuk bertindak dan mengendalikan harta kekayaan kami, begitu pula tentang azab yang akan menimpa kami, jika kami tidak mengikuti kemauanmu. Seakan-akan engkaulah yang menetapkan segala sesuatu dan di tangan engkaulah kebahagiaan dan kecelakaan kami, padahal semua itu adalah semata-mata urusan Tuhan. Kami melihat dan meyakini bahwa engkau adalah seorang yang lemah tak berdaya, tidak mungkin akan dapat membawa manfaat atau mudarat kepada kami, dan bila kami ingin membinasakan engkau, engkau tidak akan dapat membela diri. Kalau tidak rasa kasihan kami terhadap keluarga dan karib kerabatmu, tentulah kami sudah melemparimu dengan batu sampai mati."

Mereka melanjutkan bantahannya, "Engkau sendiri tidak ada harapan dan tidak ada harganya bagi kami karena engkau bukanlah seorang yang gagah berani dan perkasa yang dapat mempertahankan diri dari serangan orang lain. Hanya semata-mata karena kasihan kepada keluarga dan karib kerabatmulah, kami belum membunuhmu, karena mereka masih tetap berada di pihak kami, dalam golongan kami tidak mau meninggalkan agama kami dan agama nenek moyang kami."

Ayat 92

قَالَ يٰقَوْمِ اَرَهْطِيْٓ اَعَزُّ عَلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاتَّخَذْتُمُوْهُ وَرَاۤءَكُمْ ظِهْرِيًّا ۗاِنَّ رَبِّيْ بِمَا تَعْمَلُوْنَ مُحِيْطٌ

qāla yā qaumi arahṭī a‘azzu ‘alaikum minallāh(i), wattakhażtumūhu warā'akum ẓihriyyā(n), inna rabbī bimā ta‘malūna muḥīṭ(un).

Dia (Syuaib) menjawab, “Wahai kaumku! Apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah, bahkan Dia kamu tempatkan di belakangmu (diabaikan)? Ketahuilah sesungguhnya (pengetahuan) Tuhanku meliputi apa yang kamu kerjakan.

Mendengar ucapan kaumnya yang sangat menusuk hati dan menganggapnya sebagai orang hina dan tidak berdaya itu, Nabi Syuaib a.s. berkata, "Sungguh sangat menyedihkan kepicikan pikiranmu dan sangat mengherankan sekali pendapatmu itu. Apakah kamu menganggap kaum kerabatku itu lebih mulia dan lebih perkasa dari Allah yang menciptakan mereka, menciptakan kamu semua bahkan menciptakan langit dan bumi? Apakah hanya karena aku berasal dari mereka, sehingga tidak berani melaksanakan ancamanmu itu, bukan karena aku beriman kepada Allah yang akan menyeru kamu supaya kamu menyembah dan tidak mempersekutukan-Nya. Karena Dialah Yang Maha Kuasa, Maha Perkasa, dan Maha Pemurah yang melimpahkan-Nya dan menganggap enteng kekuasaan dan rahmat-Nya. Dialah yang patut kamu takuti. Dialah yang sewajarnya kamu muliakan, bahkan kaum kerabatku tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kehendak Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu lakukan, tak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi-Nya. Dia akan memberi balasan yang setimpal atas keingkaran dan kedurhakaanmu itu."

Ayat 93

وَيٰقَوْمِ اعْمَلُوْا عَلٰى مَكَانَتِكُمْ اِنِّيْ عَامِلٌ ۗسَوْفَ تَعْلَمُوْنَۙ مَنْ يَّأْتِيْهِ عَذَابٌ يُّخْزِيْهِ وَمَنْ هُوَ كَاذِبٌۗ وَارْتَقِبُوْٓا اِنِّيْ مَعَكُمْ رَقِيْبٌ

wa yā qaumi‘malū ‘alā makānatikum innī ‘āmil(un), saufa ta‘lamūn(a), may ya'tīhi ‘ażābuy yukhzīhi wa man huwa kāżib(un), wartaqibū innī ma‘akum raqīb(un).

Dan wahai kaumku! Berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakan dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah! Sesungguhnya aku bersamamu adalah orang yang menunggu.”

Kemudian Nabi Syuaib a.s. dengan tegas menentang mereka dan mengatakan kepada mereka, "Berbuatlah sekehendak hatimu, lakukanlah apa yang dapat kamu lakukan, dan kumpulkanlah segala kekuatan yang ada pada kamu, aku akan tetap berpegang teguh kepada akidahku, dan aku tetap beriman kepada-Nya dan aku percaya dan yakin bahwa Dia akan melindungiku dan memeliharaku dari segala marabahaya. Kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang akan ditimpa azab dan malapetaka, siapa di antara kita yang berbohong dan berdusta, tunggulah nasib yang akan menimpamu, aku pun bersamamu menunggu."

Ini adalah suatu tantangan yang berani dari seorang yang tak berdaya, tak mempunyai penolong dan pembela dari kalangan kaumnya dan tidak mempunyai kekuatan yang dapat diandalkan, tetapi penuh keyakinan dan kepercayaan bahwa Allah selalu menyertainya dan tidak akan mengabaikan atau menyia-nyiakannya. Inilah tantangan terhadap orang-orang yang sombong dan takabur, selalu membanggakan materi tetapi lupa bahwa di atas kekuatan materi ada kekuatan gaib yang dapat menghancurleburkan mereka yaitu kekuatan dan kekuasaan Allah swt.

Ayat 94

وَلَمَّا جَاۤءَ اَمْرُنَا نَجَّيْنَا شُعَيْبًا وَّالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗ بِرَحْمَةٍ مِّنَّاۚ وَاَخَذَتِ الَّذِيْنَ ظَلَمُوا الصَّيْحَةُ فَاَصْبَحُوْا فِيْ دِيَارِهِمْ جٰثِمِيْنَۙ

wa lammā jā'a amrunā najjainā syu‘aibaw wal-lażīna amanū ma‘ahū biraḥmatim minnā, wa akhażatil-lażīna ẓalamuṣ-ṣaiḥatu fa aṣbaḥū fī diyārihim jāṡimīn(a).

Maka ketika keputusan Kami datang, Kami selamatkan Syuaib dan orang-orang yang beriman bersamanya dengan rahmat Kami. Sedang orang yang zalim dibinasakan oleh suara yang mengguntur, sehingga mereka mati bergelimpangan di rumahnya,

Sudah menjadi ketetapan dan sunnah Allah bagi umat-umat yang dahulu bahwa setiap umat yang durhaka dan menolak seruan rasul-Nya akan ditimpa malapetaka dan dibinasakan kecuali orang-orang yang beriman dan patuh serta taat kepada Allah. Akhirnya siksaan dan malapetaka itu ditimpakan pula kepada penduduk Madyan dan dengan rahmat dan kasih sayang Allah, Nabi Syuaib a.s. beserta orang-orang yang beriman diselamatkan dari malapetaka berupa suara yang keras mengguntur yang menggoncangkan hati setiap orang dan menimbulkan goncangan dan gempa bumi yang maha hebat sehingga penduduk negeri itu dengan sekejap mata hilang ditelan bumi, persis seperti malapetaka yang menimpakan kaum namud, kaum Nabi Saleh a.s. yang ingkar dan durhaka pula.

Ayat 95

كَاَنْ لَّمْ يَغْنَوْا فِيْهَا ۗ اَلَا بُعْدًا لِّمَدْيَنَ كَمَا بَعِدَتْ ثَمُوْدُ ࣖ

ka allam yagnau fīhā, alā bu‘dal limadyana kamā ba‘idat ṡamūd(u).

seolah-olah mereka belum pernah tinggal di tempat itu. Ingatlah, binasalah penduduk Madyan sebagaimana kaum samud (juga) telah binasa.

Negeri Madyan sesudah malapetaka itu menjadi sunyi sepi seakan-akan belum pernah didiami manusia. Sungguh celaka nasib mereka dan terjauhlah mereka dari rahmat dan kasih sayang Allah karena keingkaran dan kedurhakaan mereka sama halnya dengan nasib kaum namud.

Ayat 96

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا مُوْسٰى بِاٰيٰتِنَا وَسُلْطٰنٍ مُّبِيْنٍۙ

wa laqad arsalnā mūsā bi'āyātinā wa sulṭānim mubīn(in).

Dan sungguh, Kami telah mengutus Musa dengan tanda-tanda (kekuasaan) Kami dan bukti yang nyata,

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah mengutus Musa a.s. dilengkapinya dengan tanda-tanda kekuasaan-Nya dan mukjizat yang nyata dan kesemuanya itu menunjukkan keesaan Allah swt, tidak ada Tuhan melainkan Dia. Ulama tafsir sepakat bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah yang memperkuat kenabian Nabi Musa a.s. ada sembilan macam, yaitu tongkat, tangan putih bercahaya, angin topan, belalang, kutu, darah, katak, kekurangan buah-buahan dan kekurangan jiwa. Kesembilan tanda-tanda kekuasaan Allah itu, telah dicantumkan antara lain dalam firman-Nya:

Lalu (Musa) melemparkan tongkatnya, tiba-tiba tongkat itu menjadi ular besar yang sebenarnya. Dan dia mengeluarkan tangannya, tiba-tiba tangan itu menjadi putih (bercahaya) bagi orang-orang yang melihatnya. (al-Araf/7: 107-108)

Dan firman-Nya:

Maka Kami kirimkan kepada mereka topan, belalang, kutu, katak dan darah (air minum berubah menjadi darah) sebagai bukti-bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa. (al-Araf/7: 133)

Dan firman-Nya pula:

Dan sungguh, Kami telah menghukum Firaun dan kaumnya dengan (mendatangkan musim kemarau) bertahun-tahun dan kekurangan buah-buahan, agar mereka mengambil pelajaran. (al-Araf/7: 130)

Di samping kelengkapan mukjizat yang diberikan kepada Nabi Musa a.s. itu, Allah swt juga telah memberikan kefasihan dan kepandaian berhujjah kepada adiknya bernama Harun terutama di dalam berdialog dengan Firaun beserta pemimpin-pemimpin kaumnya. Inilah yang dimaksud dengan "sulthanan mubina" (mukjizat yang nyata). Sebagian ulama Tafsir berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan sulthanan mubina pada ayat ini, ialah tongkat Nabi Musa a.s. Sekalipun itu termasuk salah satu dari sembilan tanda-tanda kekuasaan Allah swt sebagaimana tersebut di atas, tetapi dialah yang paling menonjol dibandingkan dengan tanda-tanda kekuasaan Allah yang lain yang diberikan kepada Musa a.s. Dengan mukjizat tongkat itulah, ahli-ahli sihir Firaun berbalik, lalu beramai-ramai beriman meninggalkan Firaun dan kepercayaannya yang sesat, sebagaimana dalam firman Allah swt:

Dan Kami wahyukan kepada Musa, "Lemparkanlah tongkatmu!" Maka tiba-tiba ia menelan (habis) segala kepalsuan mereka. Maka terbuktilah kebenaran, dan segala yang mereka kerjakan jadi sia-sia. Maka mereka dikalahkan di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang hina. Dan para pesihir itu serta merta menjatuhkan diri dengan bersujud. Mereka berkata, "Kami beriman kepada Tuhan seluruh alam, (yaitu) Tuhannya Musa dan Harun." (al-Araf/7: 117-122)

Ayat 97

اِلٰى فِرْعَوْنَ وَمَلَا۟ىِٕهٖ فَاتَّبَعُوْٓا اَمْرَ فِرْعَوْنَ ۚوَمَآ اَمْرُ فِرْعَوْنَ بِرَشِيْدٍ

ilā fir‘auna wa mala'ihī fattaba‘ū amra fir‘aun(a), wa mā amru fir‘auna birasyīd(in).

Kepada Fir‘aun dan para pemuka kaumnya, tetapi mereka mengikuti perintah Fir‘aun, padahal perintah Fir‘aun bukanlah (perintah) yang benar.

Pada ayat ini Allah swt menjelaskan bahwa Nabi Musa a.s. yang dilengkapi dengan tanda-tanda kekuasaan Allah dan mukjizat yang nyata, telah diutus kepada Firaun dan pemimpin-pemimpin kaumnya, agar mereka menyembah hanya kepada Allah swt, Tuhan Pencipta alam, karena tidak ada Tuhan yang sebenarnya melainkan Dia. Meskipun mereka telah melihat dan menyaksikan sendiri tanda-tanda kekuasaan Allah dan mukjizat yang nyata yang diperlihatkan oleh Nabi Musa a.s. yang kesemuanya itu menunjukkan atas kekuasaan Allah swt, namun mereka tidak mau sadar, bahkan mereka tetap menaati perintah Firaun, sekalipun Firaun itu tidak benar, dan tidak mendatangkan kebaikan bahkan yang demikian itu hanya merusak dan menyesatkan.

Ayat 98

يَقْدُمُ قَوْمَهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ فَاَوْرَدَهُمُ النَّارَ ۗوَبِئْسَ الْوِرْدُ الْمَوْرُوْدُ

yaqdumu qaumahū yaumal-qiyāmati fa auradahumun-nār(a), wa bi'sal-wirdul-maurūd(u).

Dia (Fir‘aun) berjalan di depan kaumnya di hari Kiamat, lalu membawa mereka masuk ke dalam neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang dimasuki.

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Firaun telah merusak di muka bumi dan menyesatkan kaumnya di dunia, pada ayat ini Allah swt menerangkan bahwa di akhirat nanti, dia akan mengantar kaumnya ke tempat yang telah disediakan untuk mereka. Ia berjalan di depan dan kaumnya yang mengiringinya dari belakang sehingga mereka sampai ke neraka, lalu mereka dijebloskan ke dalamnya bersama-sama. Alangkah celaka dan meruginya Firaun dan kaumnya, karena neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi, bahkan sejak mereka meninggalkan dunia ini, tiap hari, pagi dan petang neraka itu selalu ditampakkan kepada mereka sebagaimana firman Allah swt:

Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, sedangkan Firaun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang sangat buruk. Kepada mereka diperlihatkan neraka, pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Lalu kepada malaikat diperintahkan), "Masukkanlah Firaun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras!" (al-Mumin/40: 45-46)

Ayat 99

وَاُتْبِعُوْا فِيْ هٰذِهٖ لَعْنَةً وَّيَوْمَ الْقِيٰمَةِۗ بِئْسَ الرِّفْدُ الْمَرْفُوْدُ

wa utbi‘ū fī hāżihī la‘nataw wa yaumal-qiyāmah(ti), bi'sar-rifdul-marfūd(u).

Dan mereka diikuti dengan laknat di sini (dunia) dan (begitu pula) pada hari Kiamat. (Laknat) itu seburuk-buruk pemberian yang diberikan.

Pada ayat ini Allah swt menerangkan bahwa Firaun beserta kaumnya sejak di dunia telah mendapat laknat dari umat sesudahnya, terus menerus, sampai di akhirat nanti dilaknat lagi oleh orang-orang yang sedang berada di Padang Mahsyar, menunggu keputusan dari Qadhi Rabbul Jalil tentang di mana ia akan ditempatkan nanti. Laknat atau kutukan yang mereka peroleh adalah satu hal yang paling buruk. Ayat ini sejalan dengan firman Allah swt:

Dan Kami susulkan laknat kepada mereka di dunia ini; sedangkan pada hari Kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah). (al-Qashash/28: 42)

Ayat 100

ذٰلِكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الْقُرٰى نَقُصُّهٗ عَلَيْكَ مِنْهَا قَاۤىِٕمٌ وَّحَصِيْدٌ

Żālika min ambā'il-qurā naquṣṣuhū ‘alaika minhā qā'imuw wa ḥaṣīd(un).

Itulah beberapa berita tentang negeri-negeri (yang telah dibinasakan) yang Kami ceritakan kepadamu (Muhammad). Di antara negeri-negeri itu sebagian masih ada bekas-bekasnya dan ada (pula) yang telah musnah.

Pada ayat ini Allah swt menerangkan bahwa perisitwa yang telah terjadi pada umat terdahulu dan kejadian-kejadian penting baik di kota maupun di desa-desa sejak dari kaum Nabi Nuh a.s. hingga kaum nabi-nabi sesudahnya, sengaja dicantumkan di dalam Al-Quran, supaya Nabi Muhammad dapat membacakan kepada manusia dan dapat pula dibaca oleh orang-orang sepeninggalnya untuk dapat dijadikan pelajaran dan peringatan.

Di antara negeri-negeri yang telah dibinasakan itu ada yang masih nampak bekas-bekasnya ibarat tanaman yang masih tegak berdiri di muka bumi seperti halnya negeri kaum Nabi Saleh a.s. Ada pula yang tidak mempunyai bekas sama sekali laksana tanaman yang telah dituai yang tidak mempunyai bekas-bekas sedikit pun seperti halnya negeri kaum Nabi Lut a.s. yang telah dijungkirbalikkan itu.

Ayat 101

وَمَا ظَلَمْنٰهُمْ وَلٰكِنْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ فَمَآ اَغْنَتْ عَنْهُمْ اٰلِهَتُهُمُ الَّتِيْ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مِنْ شَيْءٍ لَّمَّا جَاۤءَ اَمْرُ رَبِّكَۗ وَمَا زَادُوْهُمْ غَيْرَ تَتْبِيْبٍ

wa mā ẓalamnāhum wa lākin ẓalamū anfusahum famā agnat ‘anhum ālihatuhumul-latī yad‘ūna min dūnillāhi min syai'il lammā jā'a amru rabbik(a), wa mā zādūhum gaira tatbīb(in).

Dan Kami tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri, karena itu tidak bermanfaat sedikit pun bagi mereka sesembahan yang mereka sembah selain Allah, ketika siksaan Tuhanmu datang. Sesembahan itu hanya menambah kebinasaan bagi mereka.

Ayat ini menerangkan bahwa dibinasakannya mereka itu bukanlah tindakan aniaya dari Allah, tetapi mereka sendirilah yang menganiaya dirinya yang menyebabkan Allah mengambil tindakan demikian. Mereka mempersekutukan Allah dan mengadakan kerusakan di muka bumi secara terus-menerus, sehingga azab tidak dapat ditunda-tunda. Andaikata mereka dibiarkan dalam keadaan yang demikian berlarut-larut, niscaya mereka akan tetap saja, malah bertambah-tambah penganiayaan, kejahatan, dan pengrusakannya di muka bumi, sebagaimana kata Nabi Nuh a.s. tentang kaumnya, kepada Allah:

Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak tahu bersyukur. (Nuh/71: 27)

Rasul-rasul yang diutus kepada mereka cukup gigih memberikan pelajaran dan petunjuk, tetapi mereka tetap saja angkuh dan membangkang. Apabila diberi ancaman, mereka makin membangkang dan menentang karena mereka terlalu percaya bahwa tuhan-tuhan sembahannya itulah yang akan menyelamatkan dari segala marabahaya dan azab yang akan menimpanya. Padahal apabila Allah swt telah memutuskan akan menurunkan azab dan membinasakan suatu kaum, maka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah swt itu tidak akan bermanfat sedikit pun dan tidak mempunyai daya sama sekali untuk menahan dan menghalangi keputusan Allah. Kepercayaan mereka kepada sembahan-sembahan mereka itu, tidak lain kecuali hanya menambah kebinasaan dan kehancuran mereka. Mereka percaya bahwa sembahan-sembahan itu akan menimpakan malapetaka kepada nabi yang diutus sebagaimana diceritakan Allah swt di dalam firman-Nya; mengenai kaum Nabi Hud a.s.:

Kami hanya mengatakan bahwa sebagian sesembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu. (Hud/11: 54)

Ayat 102

وَكَذٰلِكَ اَخْذُ رَبِّكَ اِذَآ اَخَذَ الْقُرٰى وَهِيَ ظَالِمَةٌ ۗاِنَّ اَخْذَهٗٓ اَلِيْمٌ شَدِيْدٌ

wa każālika akhżu rabbika iżā akhażal-qurā wa hiya ẓālimah(tun), inna akhżahū alīmun syadīd(un).

Dan begitulah siksa Tuhanmu apabila Dia menyiksa (penduduk) negeri-negeri yang berbuat zalim. Sungguh, siksa-Nya sangat pedih, sangat berat.

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa azab yang ditimpakan kepada negeri-negeri kaum Nuh, kaum ad dan kaum namud itu juga akan ditimpakan kepada semua negeri yang penduduknya tetap bersifat dan selalu berbuat kerusakan di muka bumi ini. Tidak ada suatu kaum pun yang akan luput dan terhindar daripadanya apabila Allah swt telah menghendakinya. Sabda Nabi Muhammad saw:

Sesungguhnya Allah swt menangguhkan siksaan bagi orang-orang yang zalim sehingga apabila Dia mengazabnya Dia tidak akan meluputkannya. (Riwayat Ahmad, al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi dari Abu Musa al-Asyari)

Sesungguhnya azab Allah itu sangat pedih. Uraian di atas dapat dijadikan pelajaran terutama bagi orang-orang yang zalim, supaya mereka sadar dan menginsafi perbuatannya yang jahat itu. Tidak ada suatu usaha dan kekuatan bagaimanapun hebatnya yang dapat menghalangi atau membendung azab Allah yang akan ditimpakan-Nya kepada suatu negeri atau suatu kaum. Firman Allah swt:

Dan tidakkah mereka bepergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul)? Orang-orang itu lebih kuat dari mereka (sendiri) dan mereka telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya melebihi apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang jelas. Maka Allah sama sekali tidak berlaku zalim kepada mereka, tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri mereka sendiri. (ar-Rum/30: 9)

Ayat 103

اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّمَنْ خَافَ عَذَابَ الْاٰخِرَةِ ۗذٰلِكَ يَوْمٌ مَّجْمُوْعٌۙ لَّهُ النَّاسُ وَذٰلِكَ يَوْمٌ مَّشْهُوْدٌ

inna fī żālika la'āyatal liman khāfa ‘ażābal-ākhirah(ti), żālika yaumum majmū‘(un), lahun-nāsu wa żālika yaumum masyhūd(un).

Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat. Itulah hari ketika semua manusia dikumpulkan (untuk dihisab), dan itulah hari yang disaksikan (oleh semua makhluk).

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa apa yang telah dikisahkan tentang kehancuran umat-umat dahulu sebagai akibat dari penganiayaan yang telah dilakukannya, adalah menjadi bahan pelajaran bagi orang-orang yang mau sadar dan takut kepada azab akhirat. Allah yang menyiksa mereka di dunia ini, tentu mampu pula menyiksa mereka di akhirat kelak dan apa yang meliputi mereka di dunia ini, merupakan gambaran dan contoh dari apa yang akan ditemuinya di akhirat nanti.

Kejadian-kejadian seperti topan, gempa bumi, tanah longsor, dan sebagainya, yang menghancurkan harta benda dan jiwa yang tidak sedikit jumlahnya, adalah azab dan teguran dari Allah swt kepada manusia untuk menyadari kesalahan-kesalahan, dosa-dosa, penganiayaan-penganiayaan yang diperbuatnya, dan bukan hanya bencana alam yang tidak ada sangkut pautnya dengan kekuasaan Allah swt. Sebelum terjadi hal-hal seperti tersebut di atas, rasul-rasul Allah telah memperingatkan kepada kaumnya akan terjadinya sesuatu, supaya mereka berhati-hati. Itu semua menunjukkan bahwa kejadian-kejadian itu tidaklah secara kebetulan, tetapi erat hubungannya dengan Qadha dan Qadar, salah satu rukun iman yang wajib diyakini dan dipercayai, perhatikanlah firman Allah swt:

Dan orang-orang yang zalim kelak akan tahu ke tempat mana mereka akan kembali. (asy-Syuara/26: 227)

Orang-orang yang tidak mau sadar akan peringatan Allah di dunia ini, akan diazab nanti di akhirat, pada hari di mana semua makhluk akan berkumpul untuk dihisab semua amalnya, kemudian dibalas dengan seadil-adilnya. Kejadian itu disaksikan oleh semua makhluk baik manusia, jin, malaikat, maupun makhluk-makhluk yang lain.

Ayat 104

وَمَا نُؤَخِّرُهٗٓ اِلَّا لِاَجَلٍ مَّعْدُوْدٍۗ

wa mā nu'akhkhiruhū illā li'ajalim ma‘dūd(in).

Dan Kami tidak akan menunda, kecuali sampai waktu yang sudah ditentukan.

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa hari Kiamat adalah hari dimana segenap makhluk akan berkumpul dan menyaksikan segala amalnya dan tiap-tiap manusia diminta mempertanggungjawabkan amalnya di dunia, tidak akan ditunda dan diperpanjang, tetapi akan berakhir sesuai dengan yang telah ditentukan Allah swt.

Ayat 105

يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ اِلَّا بِاِذْنِهٖۚ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَّسَعِيْدٌ

yauma ya'ti lā takallamu nafsun illā bi'iżnih(ī), fa minhum syaqiyyuw wa sa‘īd(un).

Ketika hari itu datang, tidak seorang pun yang berbicara, kecuali dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang sengsara dan ada yang berbahagia.

Pada ayat ini Allah swt menerangkan bahwa jika hari yang telah ditentukan itu tiba, tidak seorang pun dapat berbicara dan berbuat sesuatu kecuali dengan izin Allah, sebagaimana firman-Nya:

Inilah hari, saat mereka tidak dapat berbicara, dan tidak diizinkan kepada mereka mengemukakan alasan agar mereka dimaafkan. (al-Mursalat/77: 35-36)

Dan firman-Nya:

Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan dia hanya mengatakan yang benar. (an-Naba/78: 38)

Di antara orang-orang yang berkumpul di hari Kiamat itu, ada yang celaka, mereka akan mendapat azab yang pedih sebagaimana yang telah diancamkan kepada orang-orang kafir, dan ada yang berbahagia, mereka akan memperoleh pahala dan kesenangan sepanjang masa sesuai dengan yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa.

Ayat 106

فَاَمَّا الَّذِيْنَ شَقُوْا فَفِى النَّارِ لَهُمْ فِيْهَا زَفِيْرٌ وَّشَهِيْقٌۙ

fa ammal-lażīna syaqū fa fin-nāri lahum fīhā zafīruw wa syahīq(un).

Maka adapun orang-orang yang sengsara, maka (tempatnya) di dalam neraka, di sana mereka mengeluarkan dan menarik nafas dengan merintih,

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa orang-orang yang termasuk golongan celaka, karena pada waktu mereka di dunia telah merusak akidahnya, mengikuti orang-orang yang sesat perbuatannya, sehingga pudar dan padamlah cahaya iman dari padanya, bergelimang dosa sepanjang masa. Mereka itu akan dimasukkan ke dalam neraka dan merasakan azab yang pedih seperti halnya seekor himar yang mengeluarkan dan memasukkan nafasnya disertai rintihan dan teriakan yang amat keras.

Ayat 107

خٰلِدِيْنَ فِيْهَا مَا دَامَتِ السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُ اِلَّا مَا شَاۤءَ رَبُّكَۗ اِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيْدُ

khālidīna fīhā mā dāmatis-samāwātu wal-arḍu illā mā syā'a rabbuk(a), inna rabbaka fa‘‘ālul limā yurīd(u).

mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sungguh, Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.

Mereka akan kekal di dalam neraka, selama-lamanya kecuali kalau Allah swt menghendaki yang lain, karena Dia Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Apa saja yang dikehendaki-Nya akan terwujud dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan ada.

Ayat 108

۞ وَاَمَّا الَّذِيْنَ سُعِدُوْا فَفِى الْجَنَّةِ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا مَا دَامَتِ السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُ اِلَّا مَا شَاۤءَ رَبُّكَۗ عَطَاۤءً غَيْرَ مَجْذُوْذٍ

wa ammal-lażīna su‘idū fa fil-jannati khālidīna fīhā mā dāmatis-samāwātu wal-arḍu illā mā syā'a rabbuk(a), ‘aṭā'an gaira majżūż(in).

Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga; mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tidak ada putus-putusnya.

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa orang-orang yang berbahagia karena ketika mereka berada di dunia selalu berhati-hati dan menghindari perbuatan yang bertentangan dengan perintah Allah dan menjauhi godaan-godaan yang akan menjerumuskannya ke lembah maksiat, mereka akan ditempatkan di surga, dan kekal di dalamnya selama-lamanya, kecuali Allah swt menghendaki yang lain. Balasan dan nikmat yang dianugerahkan kepada orang-orang yang berbahagia adalah karunia semata-mata dari Allah swt yang terus menerus tiada putus-putusnya, sesuai dengan firman-Nya:

Mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya. (at-Tin/95: 6)

Ayat 109

فَلَا تَكُ فِيْ مِرْيَةٍ مِّمَّا يَعْبُدُ هٰٓؤُلَاۤءِ ۗمَا يَعْبُدُوْنَ اِلَّا كَمَا يَعْبُدُ اٰبَاۤؤُهُمْ مِّنْ قَبْلُ ۗوَاِنَّا لَمُوَفُّوْهُمْ نَصِيْبَهُمْ غَيْرَ مَنْقُوْصٍ ࣖ

falā taku fī miryatim mimmā ya‘budu hā'ulā'(i), mā ya‘budūna illā kamā ya‘budu ābā'uhum min qabl(u), wa innā lamuwaffūhum naṣībahum gaira manqūṣ(in).

Maka janganlah engkau (Muhammad) ragu-ragu tentang apa yang mereka sembah. Mereka menyembah sebagaimana nenek moyang mereka dahulu menyembah. Kami pasti akan menyempurnakan pembalasan (terhadap) mereka tanpa dikurangi sedikit pun.

Pada ayat ini, Allah swt menghibur Nabi Muhammad saw dan memberi peringatan kepada musuh-musuhnya. Dan bagi orang-orang musyrik penyembah berhala, Allah pasti akan menyiksa mereka karena apa yang disembah mereka, sama saja dengan yang telah disembah oleh nenek moyangnya. Sebagaimana nenek moyang mereka telah disiksa akibat perbuatannya memusuhi nabi-nabi dan menyembah berhala, begitu juga yang akan ditimpakan kepada mereka, tidak dikurangi sedikit pun.

Ayat 110

وَلَقَدْ اٰتَيْنَا مُوْسَى الْكِتٰبَ فَاخْتُلِفَ فِيْهِ ۗوَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗوَاِنَّهُمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ

wa laqad ātainā mūsal-kitāba fakhtulifa fīh(i), wa lau lā kalimatun sabaqat mir rabbika laquḍiya bainahum, wa innahum lafī syakkim minhu murīb(in).

Dan sungguh, Kami telah memberikan Kitab (Taurat) kepada Musa, lalu diperselisihkannya. Dan kalau tidak ada ketetapan yang terdahulu dari Tuhanmu, niscaya telah dilaksanakan hukuman di antara mereka. Sungguh, mereka (orang kafir Mekah) benar-benar dalam kebimbangan dan keraguan terhadapnya (Al-Qur'an).

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa Dia telah memberikan kitab Taurat kepada Musa a.s., kemudian kitab Taurat itu diperselisihkan oleh kaumnya, apakah kitab Taurat itu betul dari Allah atau bukan? Ada di antara mereka yang percaya, bahwa kitab Taurat itu betul-betul dari Allah dan sebagian yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu, Nabi Muhammad tidak perlu merasa gusar kalau dia melihat orang-orang kafir Mekah meragukan Al-Quran, baik isi maupun kebenarannya. Andaikata tidak ada ketentuan dari Allah untuk menangguhkan kepada orang-orang yang zalim dan ingkar sampai kepada waktu yang telah ditetapkan, tentunya Allah mengazab mereka sebagaimana telah mengazab dan menghancurkan orang-orang yang menentang dakwah rasul dahulu sebelum Nabi Muhammad saw. Sejalan dengan isi ayat ini, Allah berfirman:

Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lengah dari apa yang diperbuat oleh orang yang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak, (Ibrahim/14: 42)

Pada akhir ayat ini Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang mendustakan kitab Allah benar-benar dalam keraguan dan kebimbangan yang sangat dalam, sebagaimana firman Allah:

Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Quran) itu. (asy-Syura/42: 14)

Ayat 111

وَاِنَّ كُلًّا لَّمَّا لَيُوَفِّيَنَّهُمْ رَبُّكَ اَعْمَالَهُمْ ۗاِنَّهٗ بِمَا يَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

wa inna kullan lammā layuwaffiyannahum rabbuka a‘mālahum, innahū bimā ya‘malūna khabīr(un).

Dan sesungguhnya kepada masing-masing (yang berselisih itu) pasti Tuhanmu akan memberi balasan secara penuh atas perbuatan mereka. Sungguh, Dia Mahateliti terhadap apa yang mereka kerjakan.

Pada ayat ini Allah swt menegaskan bahwa orang-orang yang memperselisihkan tentang kebenaran Al-Quran dan meragukan kedatangannya dari Allah, maka Allah akan menyempurnakan balasan perbuatan mereka baik di dunia maupun di akhirat, karena Allah Maha Mengetahui apa yang telah mereka kerjakan. Firman Allah:

Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan sesungguh-nya Allah tidak menzalimi hamba-hamba-Nya. (ali Imran/3: 182)

Dan firman-Nya:

Barang siapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri. Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba (-Nya). (Fushshilat/41: 46)

Ayat 112

فَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْاۗ اِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

fastaqim kamā umirta wa man tāba ma‘aka wa lā taṭgau, innahū bimā ta‘malūna baṣīr(un).

Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertobat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Ayat ini memberikan tuntutan kepada Nabi Muhammad saw terhadap apa yang semestinya ia perbuat pada waktu umatnya melancarkan tantangan, dan meragukan Al-Quran yang dibawanya. Dia diperintahkan untuk tetap pada pendiriannya, berjalan di atas jalan yang lurus, menyampaikan syariat yang diamanatkan kepadanya, melaksanakan risalahnya dan jangan sampai terlintas di dalam hatinya akan meninggalkan sebagian dari apa yang telah diwahyukan kepadanya, karena kekejaman fitnahan umatnya, sebagaimana firman Allah:

Maka boleh jadi engkau (Muhammad) hendak meninggalkan sebagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan dadamu sempit karenanya. (Hud/11: 12)

Begitu pula orang-orang yang telah sadar dan insyaf serta tobat dari kemusyrikan dan kekafiran dan telah beriman bersama Muhammad saw supaya tetap dalam pendiriannya, mempertahankan akidah tauhidnya dan jangan sekali-kali bergeser dari jalan yang lurus dan benar yang telah diimani dan diyakininya, karena Allah melihat dan mengetahui semuanya itu. Sejalan dengan ayat ini, Allah berfirman:

Karena itu serulah (mereka beriman) dan tetaplah (beriman dan berdakwah) sebagaimana diperintahkan kepadamu (Muhammad) dan janganlah mengikuti keinginan mereka dan katakanlah, "Aku beriman kepada Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan agar berlaku adil di antara kamu. Allah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal perbuatan kami dan bagi kamu amal perbuatan kamu. Tidak (perlu) ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah (kita) kembali." (asy-Syura/42: 15)

Ayat 113

وَلَا تَرْكَنُوْٓا اِلَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُۙ وَمَا لَكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ مِنْ اَوْلِيَاۤءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُوْنَ

wa lā tarkanū ilal-lażīna ẓalamū fa tamassakumun-nār(u), wa mā lakum min dūnillāhi min auliyā'a ṡumma lā tunṣarūn(a).

Dan janganlah kamu cenderung kepada orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, sedangkan kamu tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, sehingga kamu tidak akan diberi pertolongan.

Pada ayat ini, Allah swt menandaskan bahwa orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad dan menganut agamanya, supaya jangan sekali-kali cenderung kepada orang-orang zalim, yaitu musuh-musuh kaum Muslimin yang selalu menyakitinya dan orang-orang musyrik yang selalu berusaha mengembalikannya kepada kemusyrikan. Jangan sekali-kali minta bantuan dan pertolongan dari mereka, seakan-akan mereka telah dijadikan pemimpinnya, karena bila hal itu sudah sampai kepada derajat yang demikian, maka termasuklah orang-orang mukmin itu seperti mereka juga yang tidak akan mendapat petunjuk. Firman Allah:

Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (al-Maidah/5: 51)

Satu-satunya yang dapat dijadikan pemimpin serta diminta bantuan dan pertolongannya hanya Allah. Barang siapa yang berbuat selain dari itu, maka ia termasuk orang yang zalim yang tak mempunyai penolong, sebagaimana firman Allah:

Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu. (al-Maidah/5: 72)

Ayat 114

وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗاِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذّٰكِرِيْنَ

wa aqimiṣ-ṣalāta ṭarafayin-nahāri wa zulafam minal-lail(i), innal-ḥasanāti yużhibnas-sayyi'āt(i), żālika żikrā liż-żākirīn(a).

Dan laksanakanlah salat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).

Ayat ini memerintahkan agar kaum Muslimin mendirikan salat, lengkap dengan rukun dan syaratnya, tetap dikerjakan lima kali dalam sehari semalam menurut waktu yang telah ditentukan yaitu salat Subuh, Zuhur, dan Asar, Magrib, dan Isya. Sejalan dengan ayat ini firman Allah:

Maka bertasbihlah kepada Allah pada petang hari dan pada pagi hari (waktu subuh), dan segala puji bagi-Nya baik di langit, di bumi, pada malam hari dan pada waktu zuhur (tengah hari). (ar-Rum/30: 17-18)

Ayat ini menerangkan juga bahwa perbuatan-perbuatan yang baik, yang garis besarnya ialah mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangannya, antara lain melaksanakan salat, akan menghapuskan dosa-dosa kecil dan perbuatan-perbuatan buruk. Ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad saw:

Iringilah perbuatan buruk itu dengan perbuatan yang baik, maka perbuatan baik itu akan menghapuskan (dosa) perbuatan buruk itu. (Riwayat at-Tirmidzi dari Abu dzar al-Gifari)

Dan firman Allah:

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (an-Nisa/4: 31)

Pesan-pesan terdahulu seperti perintah istiqamah, larangan berbuat aniaya dan memihak kepada orang-orang zalim serta perintah mendirikan salat adalah merupakan pelajaran dan peringatan bagi orang-orang yang sadar dan insyaf yang selalu ingat kepada Allah.

Ayat 115

وَاصْبِرْ فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُضِيْعُ اَجْرَ الْمُحْسِنِيْنَ

waṣbir fa innallāha lā yaḍī‘u ajral-muḥsinīn(a).

Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan.

Pada ayat ini, Allah swt memerintahkan supaya berlaku sabar. Yang dimaksud dengan sabar dalam ayat ini ialah tabah dan tahan menghadapi segala kesulitan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sabar dan salat adalah dua amal yang kembar yang dapat dijadikan penolong untuk dapat mengatasi segala kesulitan yang dihadapi, sehingga dengan mudah dapat sampai kepada yang dicita-citakan. Tidak sedikit ayat yang menganjurkan supaya sabar dan salat itu dijadikan penolong. Antara lain firman Allah:

Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar. (al-Baqarah/2: 153)

Dan firman-Nya:

Maka sabarlah engkau (Muhammad) atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum matahari terbit, dan sebelum terbenam; dan bertasbihlah (pula) pada waktu tengah malam dan di ujung siang hari, agar engkau merasa tenang. (thaha/20: 130)

Ayat ini disudahi dengan suatu penegasan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan seperti sabar, tetapi Allah akan menyempurnakan pahalanya sebagaimana firman-Nya:

Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. (az-Zumar/39: 10)

Ayat 116

فَلَوْلَا كَانَ مِنَ الْقُرُوْنِ مِنْ قَبْلِكُمْ اُولُوْا بَقِيَّةٍ يَّنْهَوْنَ عَنِ الْفَسَادِ فِى الْاَرْضِ اِلَّا قَلِيْلًا مِّمَّنْ اَنْجَيْنَا مِنْهُمْ ۚوَاتَّبَعَ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مَآ اُتْرِفُوْا فِيْهِ وَكَانُوْا مُجْرِمِيْنَ

fa lau lā kāna minal-qurūni min qablikum ulū baqiyyatiy yanhauna ‘anil-fasādi fil-arḍi illā qalīlam mimman anjainā minhum, wattaba‘al-lażīna ẓalamū mā utrifū fīhi wa kānū mujrimīn(a).

Maka mengapa tidak ada di antara umat-umat sebelum kamu orang yang mempunyai keutamaan yang melarang (berbuat) kerusakan di bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang yang telah Kami selamatkan. Dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan dan kemewahan. Dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.

Pada ayat ini Allah swt menyatakan celaan-Nya kepada orang-orang pintar, cerdik-pandai yang tidak melarang orang-orang sesamanya berbuat kerusakan di muka bumi, padahal akal sehat dan pikiran cerdas yang mereka miliki itu cukup untuk dapat mengerti dan memahami kebaikan yang diserukan oleh para rasul. Hanya sedikit saja di antara mereka yang mempergunakan akal sehat, pikiran, dan kecerdasannya, untuk melarang berbuat yang mungkar dan menyuruh berbuat yang baik. Mereka yang sedikit itulah yang diselamatkan oleh Allah. Orang-orang dahulu yang cerdik pandai yang zalim lebih mementingkan kemewahan dan kesenangan yang berlebih-lebihan yang menyebabkan mereka itu menjadi sombong, takabur, dan fasik. Ajakan rasul kepada kebaikan ditentangnya, bahkan mereka berbuat sebaliknya. Kejahatan merebak, tidak ada seorang pun di antara mereka yang melarang orang lain berbuat yang mungkar. Oleh karena dosa yang mereka perbuat itu sudah terlalu berat, maka Allah membinasakan mereka. Firman Allah:

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu). (al-Isra/17: 16)

Ayat 117

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرٰى بِظُلْمٍ وَّاَهْلُهَا مُصْلِحُوْنَ

wa mā kāna rabbuka liyuhlikal-qurā biẓulmiw wa ahluhā muṣliḥūn(a).

Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, selama penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.

Pada ayat ini Allah swt menjelaskan bahwa Dia tidak akan membinasakan suatu negeri, jika penduduk negeri itu, masih berbuat kebaikan, tidak berbuat zalim seperti mengurangi timbangan sebagaimana halnya kaum Nabi Syuaib a.s., tidak melakukan perbuatan liwath (homoseks, sodomi) seperti halnya kaum Nabi Lut a.s., tidak patuh kepada pimpinannya yang kejam dan bengis, seperti halnya Firaun, dan kejahatan lain, karena yang demikian, adalah suatu kezaliman. Allah tidak akan menyuruh melakukan yang demikian itu. Firman Allah:

Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba(-Nya). (Fushshilat/41: 46)

Dan firman-Nya:

Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun. (Yunus/10: 44)

Ayat 118

وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلَا يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَۙ

wa lau syā'a rabbuka laja‘alan-nāsa ummataw wāḥidataw wa lā yazālūna mukhtalifīn(a).

Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat),

Ayat ini menjelaskan bahwa kalau Allah menghendaki, maka manusia menjadi umat yang satu dalam beragama sesuai dengan fitrah asal kejadiannya. Sekalipun pada mulanya manusia itu merupakan umat yang satu tidak terdapat perselisihan di antara mereka, tetapi setelah mereka berkembang biak, timbullah keperluan dan keinginan yang berbeda-beda maka timbul pulalah perbedaan dan perselisihan yang tak habis-habisnya, sebagaimana firman Allah:

Dan manusia itu dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. (Yunus/10: 19)

Ayat 119

اِلَّا مَنْ رَّحِمَ رَبُّكَ ۗوَلِذٰلِكَ خَلَقَهُمْ ۗوَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَاَمْلَـَٔنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ

illā mar raḥima rabbuk(a), wa liżālika khalaqahum, wa tammat kalimatu rabbika la'amla'anna jahannama minal-jinnati wan-nāsi ajma‘īn(a).

kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah tetap, “Aku pasti akan memenuhi neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.”

Perselisihan mereka tidak saja tentang agama yang dianut oleh masing-masing kaum seperti agama Yahudi, Nasrani, Majusi, Islam, atau syirik, tetapi juga penganut dari satu agama, kecuali orang-orang yang mendapat rahmat dari Allah dan diberi taufik serta hidayah. Mereka itu bersatu dan selalu mengusahakan persatuan agar manusia taat kepada peraturan dan ketentuan Allah, mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Demikian kehendak Allah mengenai keragaman manusia. Ada yang mendapat rahmat, taufik, dan hidayah dari Allah, mereka bersatu dan menggalang persatuan, dan mereka termasuk dalam golongan orang-orang yang bahagia yang akan menjadi penghuni surga. Ada pula yang tak putus-putusnya berselisih dan mereka termasuk dalam golongan orang-orang yang celaka yang menjadi penghuni neraka. Malik bin Anas pernah berkata, "Manusia itu diciptakan sebagian berada di surga dan sebagian yang lain berada di neraka sair." Oleh karena itu Allah mengakhiri ayat ini dengan satu ketegasan bahwa telah menjadi ketentuan-Nya akan memenuhi neraka Jahanam dengan jin dan manusia yang selalu berbuat jahat dan dosa di muka bumi ini.

Ayat 120

وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهٖ فُؤَادَكَ وَجَاۤءَكَ فِيْ هٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَّذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ

wa kullan naquṣṣu ‘alaika min ambā'ir-rusuli mā nuṡabbitu bihī fu'ādaka wa jā'aka fī hāżihil-ḥaqqu wa mau‘iẓatuw wa żikrā lil-mu'minīn(a).

Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman.

Ayat ini menerangkan bahwa kisah para rasul terdahulu bersama umatnya, seperti peristiwa perdebatan dan permusuhan di antara mereka, keluhan para nabi karena kaumnya mendustakan serta menyakiti dan sebagainya, semuanya itu berguna untuk meneguhkan hati Rasulullah agar tidak tergoyahkan oleh apa pun untuk mengemban tugas kerasulan dan menyiarkan dakwahnya. Selain itu, kisah-kisah tersebut juga menanamkan keyakinan yang mantap dan mendalam tentang apa yang diserukan para rasul, seperti akidah bahwa Allah adalah Esa, bertobat dan beribadah kepada-Nya dengan ikhlas, meninggalkan kejahatan, baik yang nyata maupun yang tidak nyata. Kesemuanya itu merupakan pelajaran dan peringatan yang bermanfaat bagi orang-orang mukmin bahwa umat terdahulu itu ditimpakan azab kepadanya karena mereka telah berbuat aniaya dan kerusakan di bumi.

Ayat 121

وَقُلْ لِّلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ اعْمَلُوْا عَلٰى مَكَانَتِكُمْۗ اِنَّا عٰمِلُوْنَۙ

wa qul lil-lażīna lā yu'minūna‘malū ‘alā makānatikum, innā ‘āmilūn(a).

Dan katakanlah (Muhammad) kepada orang yang tidak beriman, “Berbuatlah menurut kedudukanmu; kami pun benar-benar akan berbuat,

Pada ayat ini, Allah swt memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar berkata kepada orang-orang kafir, "Berbuatlah menurut kedudukan dan kemampuanmu menentang dakwah dan menyakiti orang-orang yang berdakwah beserta pendukung-pendukungnya. Kami pun akan berbuat menurut kedudukan dan kemampuan kami mempertahankan dakwah dan meneruskan perintah Allah, serta taat dan patuh kepada-Nya." Ini adalah ancaman kepada mereka tentang azab yang akan diterimanya sebagai balasan dari perbuatannya itu.

Ayat 122

وَانْتَظِرُوْاۚ اِنَّا مُنْتَظِرُوْنَ

wantaẓirū innā muntaẓirūn(a).

dan tunggulah, sesungguhnya kami pun termasuk yang menunggu.”

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengatakan kepada orang-orang kafir yang tetap membangkang kepada Rasul agar mereka menunggu apa yang akan terjadi dengan dakwah Rasul, dan musibah apa yang menimpa Rasul, yang memang sangat mereka harapkan, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

Bahkan mereka berkata, "Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya." (ath-thur/52: 30)

Kemudian Rasul diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa ia juga menunggu apa yang akan terjadi dengan nasib mereka, apakah mereka akan diazab Allah, ataukah mereka akan dikalahkan oleh orang-orang mukmin, dalam peperangan yang akan terjadi antara kedua belah pihak, sebagaimana nasib yang diterima umat-umat terdahulu, yang membangkang kepada nabi-nabi mereka. Sesungguhnya Allah menjamin kemenangan bagi orang-orang yang membela agama, dan kekalahan serta kehinaan bagi orang-orang yang zalim. Ayat-ayat ini serupa dengan firman Allah:

Kelak kamu akan mengetahui, siapa yang akan memperoleh tempat (terbaik) di akhirat (nanti). Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan beruntung. (al-Anam/6: 135)

Ayat 123

وَلِلّٰهِ غَيْبُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاِلَيْهِ يُرْجَعُ الْاَمْرُ كُلُّهٗ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِۗ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ ࣖ

wa lillāhi gaibus-samāwāti wal-arḍi wa ilaihi yurja‘ul-amru kulluhū fa‘budhu wa tawakkal ‘alaih(i), wa mā rabbuka bigāfilin ‘ammā ta‘malūn(a).

Dan milik Allah meliputi rahasia langit dan bumi dan kepada-Nya segala urusan dikembalikan. Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan Tuhanmu tidak akan lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah mengetahui yang tersembunyi dan tidak terjangkau dengan ilmu siapa pun baik di langit maupun di bumi. Dialah mengetahui segala apa yang akan terjadi dan waktu terjadinya secara tepat. Semua urusan akan kembali kepada-Nya. Apa yang Dia kehendaki pasti jadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tak akan ada. Oleh karena itu, Dialah satu-satunya yang pantas dan wajib disembah, dengan segala keikhlasan. Kepada-Nyalah kita harus bertawakal guna tercapainya sesuatu yang di luar kemampuan kita, karena barang siapa yang bertawakal kepada-Nya akan tercapailah keperluannya. Firman Allah:

Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu. (ath-thalaq/65: 3)

Pada akhir ayat ini, Allah swt menjelaskan bahwa Dia tidak akan lalai dari apa yang telah dikerjakan hamba-Nya. Dia akan menyempurnakan tiap-tiap balasan amal yang diperbuat di dunia ini dan tidak akan ada pengurangan sedikit pun.

Firman Allah:

Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan). (al-Baqarah/2: 281)

Hud (123 ayat)

Ads

#HaditsPilihan

Telah menceritakan kepada kami <i>Abu Bakr bin Abu Syaibah</i> berkata, telah menceritakan kepada kami <i>Syarik</i> dari <i>Al Miqdam bin Syuraih bin Hani`</i> dari <i>Bapaknya</i> dari <i>Aisyah</i> ia berkata; Aku berkata; "Kabarkanlah kepadaku apa yang pertama kali dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika masuk menemuimu?" Aisyah menjawab; "Beliau selalu bersiwak jika akan masuk menemui aku."

HR. Ibnu Majah